Mikroba Dalam Pengolahan Limbah
1) Proses Dekompisisi
Pengomposan yakni suatu proses pengelolaan limbah padat, dengan cara sedikit demi sedikit komponen materi padat diuraikan secara biologis di bawah keadaan terkendali sehingga menjadi bentuk yang sanggup ditangani, disimpan atau dipakai untuk lahan pertanian tanpa efek yang merugikan (Harada, 1990). Definisi lain dinyatakan oleh Haug (1980), bahwa pengomposan sebagai proses dekomposisi dan stabilisasi materi secara biologis dengan produk simpulan yang cukup stabil untuk dipakai di lahan pertanian tanpa efek yang merugikan. Dalzell and K. Thurairajan (1987) dan Gaur (1980) mendefinisikan pengomposan sebagai proses perombakan materi organik oleh sejumlah besar mikroorganisme dalam lingkungan yang lembab, panas, beraerasi dan humus sebagai hasil akhir.
Pengomposan bahan-bahan organik, terutama pada sisa-sisa tumbuhan dan kotoran binatang sering dilakukan oleh para petani, dengan tujuan untuk menambah tingkat kesuburan lahan pertanian yang dikelolanya. Tujuan dan target pengomposan intinya untuk memantapkan bahan-bahan organik yang berasal dari bahan-bahan limbah, mengurangi bau, membunuh organisme patogen dan biji-biji gulma, pada kesudahannya menghasilkan pupuk organik seragam dan sesuai untuk tanah (Haga and Kiyonori, 1990).
Menurut W.E. Splittstoesser (1984), dekomposisi materi organik menjadi kompos bergantung pada kandungan air dan nitrogen yang cukup pada materi serta temperatur yang sesuai. Kandungan air dan nitrogen dari protein merupakan sumber nutrisi yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme pengurai. Untuk penguraian materi yang optimal, sangat diharapkan pengendalian suhu biar acara dan pertumbuhan mikroorganisme sanggup berlangsung dengan baik.
Aktivitas biologi merupakan faktor penting dalam pengomposan. Berbagai mikrorganisme terlibat dalam proses dekomposisi materi organik, antara lain bakteri, fungi, aktinomycetes, ragi, mikrofauna protozoa, Jumlah basil lebih banyak dibandingkan dengan mikroorganisme lain, tetapi ukurannya lebih kecil, kemudian diikuti oleh Actinomycetes, Fungi dan Protozoa. Selain mikroorganisme, acara biologi dalam pengomposan juga dilakukan oleh biota pengurai lainnya menyerupai cacing tanah.
Galli, E., Tomati U. and A. Grappeli (1983), beropini bahwa cacing tanah sanggup mempercepat perombakan materi organik yang dilakukan oleh mikroorganisme, sehingga waktu pengomposan menjadi lebih pendek.. Penggunaan cacing tanah selain sanggup memperpendek waktu pengomposan juga menghemat tenaga dalam pekerjaan membalikan materi yang dikomposkan.
Proses pengomposan sanggup berlangsung secara aerobik maupun anaerobik (Gaur, 1980). Pada proses dekomposisi secara aerobik, mikroorganisme memakai oksigen untuk menguraikan materi organik dan mengasimilasi Karbon, Nitrogen, Fosfor, Sulfur dan unsur-unsur lainnya untuk sintesis protoplasma. Reaksi yang terjadi yakni sebagai berikut:
Pada proses dekomposisi secara anaerobik, reaksi biokimia berlangsung melalui proses reduksi. Tahap awal pengomposan, kelompok basil penghasil asam, heterotrof fakultatif mendegradasi materi organik menjadi asam-asam lemah, aldehid dan seterusnya. Kelompok basil yang lain, merubah produk antara menjadi metana, ammonia, karbon dioksida dan hidrogen. Reaksi kimia yang terjadi selama dekomposisi materi organik secara anaerobik yakni sebagai berikut:
Kecepatan penguraian materi organik menjadi kompos bergantung pada beberapa faktor yaitu: ukuran partikel, unsur hara, kandungan air, aerasi, keasaman (pH) dan suhu (Nurwachid Budi Santoso, 2001).
a) Ukuran Partikel
Ukuran partikel kuat pada keberhasilan proses pengomposan. Ukuran yang baik antara 10 hingga 50 mm, apabila terlalu kecil ruang-ruang antara partikel menjadi sempit sehingga sanggup menghambat gerakan udara ke dalam tumpukan dan sirkulasi gas karbon dioksida keluar tumpukan. Apabila ukuran partikel sangat besar, luas permukaan kurang sehingga reaksi pengomposan akan berjalan lambat atau bahkan akan berhenti sama sekali (Dalzell, Gray KR., Tharairajan, 1991).
b) Unsur Hara
Aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan memerlukan sumber energi dari unsur karbon dan nitrogen. Unsur-unsur tersebut biasanya telah tersedia cukup dalam materi organik, bahkan kebanyakan unsur hara lainnya akan tersedia pula dalam jumlah yang cukup.
Untuk mempercepat proses pengomposan, dibutuhkan materi organik yang mempunyai rasio C/N relatif rendah yaitu berkisar antara 25 hingga 35/liter dalam adonan pertama. Apabila rasio C/N lebih besar, proses pengomposan akan memakan waktu lebih lama,hingga pembentukan karbon dioksida dari oksidasi unsur karbon berkurang. Sebaliknya apabila rasio C/N lebih kecil, nitrogen dalam materi organik akan dibebaskan sebagai amoniak (Nurwachid Budi Santoso, 2001).
Cara paling sederhana untuk menyesuaikan rasio C/N ialah dengan mencampur banyak sekali materi organik yang mempunyai rasio C/N tinggi dengan materi yang mempunyai rasio C/N rendah. Hal ini sanggup dilakukan contohnya materi berjerami dicampur dengan tinja, kotoran binatang yang mempunyai rasio C/N lebih rendah. Rasio C/N bahan-bahan organik yang sering dipakai sebagai materi kompos sanggup dilihat pada tabel 1. Makin tinggi tingkat dekomposisi dari materi organik, makin kecil rasio C/N. Pada rasio C/N rendah tidak ada persaingan antara akar tum-buhan dengan mikroorganisme dalam memakai unsur nitrogen dalam tanah (Joetono, 1998).
c) Kandungan Air
Kandungan air pada materi organik sebaiknya antara 30– 40%, hal ini ditandai dengan tidak menetesnya air apabila materi digenggam dan akan mekar apabila genggaman dilepaskan. Kandungan air materi terlalu tinggi, ruang antar partikel dari materi menjadi sempit alasannya yakni terisi air, sehingga sirkulasi udara dalam tumpukan akan terhambat. Kondisi tersebut berakibat pada tumpukan materi akan didominasi oleh mikroorganisme anaerob yang menghasilkan wangi busuk tidak sedap.
d) Aerasi
Dalam proses pengomposan, mikroorganisme dalam materi organik sangat memerlukan jumlah udara yang cukup, alasannya yakni prosesnya ber-langsung secara aerob. Aerasi sanggup diperoleh melalui gerakan udara dari alam masuk ke dalam tumpukan dengan membolak-balik bahan secara berkala, baik memakai mesin maupun dengan tangan/cangkul.
e) Keasaman (pH)
Pada tahap awal pengomposan, akan terjadi perubahan pH yaitu materi agak asam, alasannya yakni terbentuk asam organik sederhana, selanjutnya pH berangsur naik, karena terlepasnya ammonia (bersifat basa) dari hasil penguraian protein. Keadaan basa yang terlalu tinggi, mengakibatkan selama proses pengomposan kehilangan nitrogen secara berlebihan (Nurwachid Budi Santoso, 2001).
f) Suhu
Dalam proses pengomposan, sebagian energi dibebaskan sebagai panas. Pada tahap awal suhu tumpukan materi sekitar 400C, mikroorganisme yang terlibat yakni basil dan fungi mesofilik. Selanjutnya suhu materi naik hingga di atas 400C, mikroorganisme yang berperan yakni mikroorganisme termofilik, actinomycetes dan fungi termofilik. Setelah suhu berangsur turun, maka mikroorganisme mesofilik muncul kembali, selanjutnya, gula dan pati mengalami perombakan, diikuti oleh perombakan hemiselulosa, selulosa dan kesudahannya lignin. Menurut L. Murbandono HS. (2000) dalam Nurwachid Budi Santoso (2001), suhu ideal dalam pengomposan antara 300C hingga 450C. Apabila suhunya terlalu tinggi maka mikroorganisme akan mati, sebaliknya apabila suhu pengomposan terlalu rendah, mikroorganisme belum sanggup bekerja secara optimal (Yovita Hety Indriani, 1999).
2) Pupuk Organik
a) Standar Pupuk Organik
Berdasarkan atas banyak sekali fakta yang dikemukakan oleh para pakar dan sumber info yang lain yang berkaitan dengan kelembagaan atau organisasi maka dari asfek manajemen yang perlu mendapat perhatian yakni spesifikasi produk simpulan pupuk organik. Petani sebagai konsumen akan memperhatikan kandungan hara dan air. Spesifikasi produk sangat tergantung pada masing-masing negara sebagai rujukan nilai minuman untuk NPK paling tidak 1.5 % - 3.0 % - 1.5 % - 3.0 % dan 1.0 % - 1.5 % beberapa negara menyerupai Filipina, hanya menciptakan spesifikasi untuk kombinasi NPK secara total 4 % - 5 % dan 5 % - 6 % tanpa memisahkan secara spesifik untuk masing-masing hara. Kandungan lengas dihentikan melampaui 15 % - 25 % pada kenyataannya makin rendah kandungan air, maka kualitas pupuk organik menjadi lebih baik akan tetapi tidak gampang untuk mengurangi atau menekan kandungan air produk simpulan tanpa memakai peralatan khusus, dan diharapkan tenaga dan energi yang lebih besar.
Kandungan total materi organik paling tidak 20% tetapi sanggup lebih tinggi apabila produk organik tersebut tidak dijual sebagai materi pupuk organik tetapi sebagai materi pembenah tanah dan pemakai secara itensif memakai pupuk organik untuk meningkatkan kandungan materi organik tanah. Kriteria kualitas materi organik yang berkaitan dengan kandungan materi organik yakni nisbah C/N. Bahan organik yang mengalami proses pengomposan baik dan menjadi pupuk organik yang stabil mempunyai nisbah C/N anatara 10/1 menyerupai dalam definisi standar ISO cukup jelas, bahwa kandungan utama pupuk organik yakni karbon dalam bentuk senyawa organik, mikrorganisme memanfaatkan sebagai sumber energi kemudian materi ternisbah C/N yang tinggi pada produk simpulan mengambarkan mikroorganisme akan aktif memanfaatkan nitrogen untuk membentuk kafein. Apabila produk pupuk organik dengan nisbah C/N tinggi diaplikasikan kedalam tanah maka mikrorganisme akan tumbuh dengan memanfaatkan N–tersedia tanah, sehingga tanah terjadi imobilisasi N. Apabila nisbah C/N rendah pada awal proses pengomposan maka nitrogen akan hilang melalui proses penguapan amonium.
Keasaman (pH) harus masuk dalam kriteria kualitas pupuk organik, berkisar netral, pH 6.5 – 7.5 dalam kondisi normal tidak akan menjadikan masalah, sejauh proses pengomposan yang dilakukan sanggup mempertahankan pH pada kisaran netral.
Apabila produk pupuk organik mengandung satu atau lebih unsur mikro, maka hal ini harus dijelaskan dan dimasukan dalam label. Spesifikasi lain yang perlu diperhatikan pada pupuk organik yakni warna, tekstur, bebas dari patogen, logam berat, atau unsur lain, partikel yang tidak dikehendaki. Tidak ada konsumen atau pemakai pupuk organik yang menghendaki terluka alasannya yakni serpihan gelas atau logam atau tidak ingin dalam karung pupuk organik penuh dengan kerikil atau kerikil. Patogen dan logam berat biasanya berasal dari limbah cair dan sampah kota.
Mungkin perlu juga diinformasikan bahwa dalam standar baku, penggunaan materi inokulan atau materi lain yang bertujuan untuk mempercepat pengomposan. Pada umumnya yang banyak dipakai yakni mikrorganisme menyerupai Trikhourderma spp.
Karakteristik Umum Pupuk Organik
Karakteristik umum yang dimiliki pupuk organik sebagai berikut :
- Hara pupuk organik pada umumnya rendah tetapi berfariasi tergantung pada jenis materi dasarnya. Kandungan hara yang rendah berarti biaya untuk setiap unit unsur hara yang dipakai rata-rata lebih mahal.
- Hara yang berasal dari materi organik diharapkan untuk kegiatan mikrobia tanah untuk dialihrupakan dari bentuk ikatan kompleks organik yang tidak sanggup dimanfaatkan oleh tumbuhan menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang sanggup diserap oleh tumbuhan kebanyakan unsur di dalam tanah biasanya terdiri dalam bentuk unsur tersedia dari dalam bentuk unsur tersedia dari hasil perombakan materi organik.
- Penyediaan hara yang berasal dari pupuk organik biasanya terbatas dan tidak cukup dalam menyediakan hara yang diharapkan tanaman.
0 Response to "Mikroba Dalam Pengolahan Limbah"
Posting Komentar