Apa Langkah Antisipasi Buruknya Pelayanan Bpjs Kesehatan
Meskipun iurannya murah, pelayanan BPJS masih banyak kelemahan dan tidak sebaik asuransi kesehatan. Masalahnya, semua orang wajib ikut BPJS Kesehatan dan akan ada sanksi bagi yang menolak ikut.
Apa yang sanggup dilakukan untuk mengantisipasi pelayanan BPJS yang jelek ?
Sesuai aturan, perusahaan wajib mendaftarkan karyawannya di BPJS Kesehatan per 1 Januari 2015. Sudah ada komitmen antara BPJS Kesehatan dan APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). Jika tidak mendaftar akan ada sanksinya bagi perusahaan.
Buat semua masyarakat, BPJS mematok sasaran 2019 bahwa semua sudah harus menjadi penerima BPJS Kesehatan. Akan ada sejumlah hukuman bagi yang tidak menjadi peserta.
Kewajiban ini menjadikan reaksi yang berbeda – beda dari setiap perusahaan.
Reaksi pertama, meskipun menambah biaya, beberapa perusahaan menentukan mempertahankan asuransi kesehatan yang sudah ada sekaligus memperlihatkan BPJS sebagai kemudahan tambahan. Ini solusi yang ideal sebab karyawan mendapat pemanis kemudahan kesehatan.
Reaksi kedua, tidak sedikit perusahaan yang akan menghentikan kemudahan asuransi kesehatan yang usang dan mengalihkannya ke BPJS. Alasannya: (a) bagi pegawai negeri itu sudah kewajiban untuk beralih dari ASKES ke BPJS; (b) buat swasta, biaya yang besar kalau perusahaan harus membayar dua kemudahan kesehatan sekaligus.
Penghentian asuransi kesehatan dan pengalihan ke BPJS bahwasanya tidak akan jadi duduk kasus selama kualitas layanan BPJS setara dengan kualitas layanan asuransi kesehatan yang selama ini dinikmati karyawan.
Pertanyaanya, apakah kualitas pelayannya setara ? Jika kualitasnya belum baik, apa langkah yang sanggup dilakukan ?
Layanan BPJS
Meskipun iuran murah dan cakupan luas, namun manfaat dan pelayanan BPJS kesehatan berbeda dari asuransi kesehatan swasta dan ASKES (dulu asuransinya pegawai negeri), terutama pada hal – hal berikut ini:
Pertama, BPJS menerapkan alur pelayanan dengan acuan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit atau dokter spesialis, penerima wajib terlebih dahulu ke kemudahan kesehatan (faskes) tingkat I yang telah ditunjuk, yaitu puskesmas, dokter keluarga atau klinik, untuk mendapat surat rujukan. Kecuali gawat darurat, penerima tidak sanggup eksklusif ke rumah sakit atau dokter spesialis.
Selama duduk kasus kesehatan penerima sanggup ditangani oleh faskes I, maka penerima tidak perlu dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis. Keputusan merujuk ke rumah sakit yaitu kewenangan faskes I.
Kondisi yang sangat berbeda dengan proses di asuransi kesehatan. Dengan asuransi, penerima tidak butuh acuan dan sanggup eksklusif ke rumah sakit atau dokter seorang andal sesuai pilihannya.
Kedua, puskesmas, yang notabene menjadi titik awal semua proses berobat di BPJS, jam kerjanya terbatas. Di simpulan pekan, sabtu dan minggu, puskesmas tutup. Sementara, buat banyak karyawan, terutama di kota besar, sebab alasan kesibukan, investigasi kesehatan gres sanggup dilakukan di simpulan pekan ketika libur.
Memang, penerima sanggup ke faskes I lainnya, yaitu klinik atau dokter keluarga. Tapi, mereka ini jumlahnya masih terbatas. Selain itu, sebab puskesmas tutup di simpulan pekan, beban faskes I lainnya menjadi tinggi, imbasnya penerima harus antri panjang di sabtu dan minggu.
Ketiga, BPJS menetapkan bahwa penerima hanya boleh menentukan satu faskes I untuk memperoleh rujukan. Peserta tidak sanggup ke sembarang faskes I meskipun itu faskes yang sudah kerjasama dengan BPJS.
Kondisi ini, misalnya, menyulitkan buat penerima yang lokasi pilihan faskes I jauh dari daerah bekerja atau dari rumah. Selain itu, kalau sedang di luar kota dan akan berobat, penerima harus lebih dahulu menghubungi kantor BPJS terdekat , yang kemudian akan menujukkan Faskes I mana yang sanggup melayani.
Peserta BPJS juga hanya sanggup pergi ke rumah sakit yang disebutkan dalam surat acuan dari Faskes I. Misalnya, dari puskesmas harus ke RSUD yang sudah ditunjuk. Peserta tidak sanggup sembarang pergi ke rumah sakit lain meskipun rumah sakit tersebut kerjasama dengan BPJS.
Menurut teman pegawai negeri, dahulu PT ASKES juga menerapkan acuan tapi undangan acuan sanggup dilakukan di semua puskesmas. Tidak ada ketentuan harus di puskemas tertentu. Di periode PT ASKES, penerima sanggup menentukan rumah sakit sesuai impian mereka selama rumah sakit tersebut kerjasama dengan PT ASKES.
Keempat, penerima BPJS hanya sanggup berobat di rumah sakit yang sudah kerjasama dengan BPJS. Di rumah sakit yang belum kerjasama, penerima tidak sanggup memakai jaminan kesehatan BPJS.
Masalahnya tidak semua rumah sakit swasta sudah kerjasama dengan BPJS. Daftar rumah sakit yang sudah kerjasama.
Sementara, dengan asuransi kesehatan, penerima sanggup berobat di semua rumah sakit. Di rumah sakit yang sudah kerjasama dengan asuransi kesehatan, pembayaran cukup dilakukan dengan memperlihatkan kartu (cashless). Di rumah sakit yang belum kerjasama, pembayaran dengan sistem reimbursement.
Kelima, kemudahan kamar BPJS hanya hingga kelas 1. Tidak ada kemudahan kelas VIP keatas. Meskipun perawatan dan kualitas dokter tidak dibedakan antar kelas, namun kenyamanan kamar tentunya berbeda antar kelas.
Dalam asuransi kesehatan, kelas kamar yang ditawarkan lebih tinggi. Peserta sanggup menikmati kelas VIP dan diatasnya.
Keenam, tantangan yang kerap dihadapi penerima BPJS dalam pelayanan kesehatan adalah: (1) antri panjang di rumah sakit; (2) kesulitan mendapat kamar rawat inap sebab kamar untuk penerima BPJS sering penuh; (3) ada obat -obatan yang tidak dijamin oleh BPJS sehingga penerima harus menanggung sendiri (4) meskipun seharusnya gratis – selama sesuai kelas – penerima kadang masih harus membayar kelebihan plafond, yang kalau tidak dibayar, rumah sakit enggan melayani. Ini keluhan yang kerap muncul di media.
Kondisi ini terkait lonjakan penerima BPJS, yang telah mencapai 132 juta orang dan masih akan terus bertambah. Kenaikkan undangan dipicu oleh kewajiban perusahaan untuk ikut serta (ada sanksi) dan murahnya iuran. Sementara itu, di sisi lain, ketersediaan kamar dan tenaga medis di rumah sakit tidak sanggup dengan cepat ditingkatkan, khususnya untuk penerima BPJS.
Kenapa saya tekankan penerima BPJS. Karena setiap berobat, rumah sakit biasanya menanyakan penerima BPJS atau bukan.
Ini ada hubungannya dengan cara BPJS membayar klaim ke rumah sakit. Metode BPJS yaitu membayar tagihan rumah sakit sesuai standar biaya perawatan, yang sudah diputuskan oleh pemerintah (nama skemanya INA-CBG), yang mungkin jumlahnya lebih rendah dari biaya kasatmata rumah sakit. Metode ini disinyalir ikut mempengaruhi kemauan rumah sakit menyediakan jumlah kamar untuk penerima BPJS.
Sementara itu, asuransi kesehatan membayar sesuai biaya kasatmata yang ditagih oleh rumah sakit. Jarang sekali kita mendengar bahwa jumlah kamar kurang dalam pelayanan asuransi kesehatan.
Apa Bisa Dilakukan
Buat yang sudah pernah mendapat kemudahan asuransi kesehatan dari perusahaan, situasi ini memunculkan dilema sebab kualitas pelayanan BPJS yang kemungkinan tidak sebaik asuransi kesehatan yang mereka nikmati selama ini.
Apa yang sanggup dilakukan untuk mengantisipasi hal ini?
Pertama, karyawan tidak memanfaatkan BPJS sama sekali dan sebagai alternatif membeli asuransi kesehatan sendiri. Kemudahan proses berobat di asuransi dipandang sebagai manfaat yang lebih penting, meskipun harus membayar biaya tambahan. Untuk kesehatan banyak orang rela mengeluarkan dana tambahan demi pelayanan yang lebih baik.
BPJS kesehatan sanggup tetap dipakai sebagai jaga-jaga kalau plafond asuransi kesehatan habis atau untuk pengobatan penyakit – penyakit yang tidak ditanggung oleh asuransi.
Tertarik dan ingin tahu berapa biaya mengambil asuransi kesehatan.
Kedua, memanfaatkan koordinasi manfaat antara BPJS dan asuransi kesehatan swasta.
Apa itu koordinasi manfaat? Peserta memakai BPJS, kalau lalu terdapat biaya pemanis atau mengambil kelas kamar diatas standard BPJS, kelebihan biaya diklaim ke asuransi kesehatan.
Asuransi kesehatan menanggung sisa tagihan yang tidak dijamin oleh BPJS, selama sisa tagihan masih dalam batas plafond asuransi kesehatan. Dengan ini, penerima tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan.
Sebenarnya, koordinasi manfaat yaitu hal lumrah antar perusahaan asuransi swasta. Ini terjadi apabila pemegang polis punya lebih dari satu asuransi kesehatan.
Tapi, implementasinya antara BPJS Kesehatan dan asuransi kesehatan swasta sepertinya belum jelas.
Sejauh ini yang saya pahami dari media. Meskipun sudah ada penandatanganan kerjasama koordinasi manfaat antara 30 asuransi kesehatan swasta dengan BPJS, kendalanya yaitu belum ada pemikiran pelaksana koordinasi manfaat. Padahal penetapan pemikiran koordinasi manfaat ini sangat penting, untuk memastikan karyawan atau penerima tidak kesulitan mendapat pelayanan ketika diberlakukan koordinasi manfaat ini.
Jika ingin memakai cara ini, wajib memastikan ke pihak asuransi apakah koordinasi manfaat dengan BPJS sudah berjalan. Pahami syarat-syaratnya dengan baik.
Ketiga, ini cara yang paling mudah, mengikuti aktivitas cash plan yang ditawarkan asuransi.
Cash plan yaitu pinjaman harian yang dibayarkan kalau penerima masuk rumah sakit. Bedanya dengan asuransi kesehatan yang mengganti menurut tagihan rumah sakit, penggantian cash plan jumlahnya tetap regardless jumlah tagihan rumah sakit.
Keunggulan cash plan yaitu prosesnya relatif lebih mudah. Peserta hanya perlu memperlihatkan berapa usang dirawat inap di rumah sakit. Asuransi akan mengganti sejumlah hari rawat inpat dikali manfaat per harinya. Prosesnya tidak ribet dan tidak membutuhkan koordinasi antar pihak untuk meng-klaim manfaat.
Biasanya, diluar kebutuhan BPJS, saya tidak menganjurkan cash plan sebagai asuransi kesehatan utama sebab jumlah penggantiannya relatif lebih kecil dibandingkan total tagihan rumah sakit (selengkapnya soal Cash Plan Asuransi)
Tapi, dalam masalah BPJS ini, sebab sudah jaminan kesehatan utama, saya menyarankan cash plan sebagai pendukung. Karena prosedurnya paling gampang dan biaya yang diganti hanyalah selisih yang tidak dijamin oleh BPJS sehingga besar kemungkinan kekurangan biaya masih sanggup dicover uang dari cash plan.
Tertarik dengan cash-plan dari asuransi kesehatan.
Kesimpulan
BPJS itu inisiatif yang manis untuk pemerataan kualitas layanan kesehatan buat seluruh lapisan masyarakat. Iurannya murah dan coverage-nya luas.
Namun, kualitas pelayanan BPJS ketika ini belum sebaik asuransi kesehatan dalam banyak hal. Ini menjadikan tantangan buat mereka, yang selama ini sudah menikmati asuransi kesehatan, yang lalu harus berganti ke BPJS.
Ada tiga cara yang sanggup dilakukan pekerja menghadapi ini, yaitu (1) beli asuransi kesehatan; (2) gunakan koordinasi manfaat antara BPJS dan asuransi, atau (3) ambil asuransi kesehatan dengan skema cash plan. Pilih yang paling sesuai dengan kebutuhan dan budget.
Ingin tahu lebih lanjut, simak soal BPJS Kesehatan.
Sumber https://duwitmu.com
0 Response to "Apa Langkah Antisipasi Buruknya Pelayanan Bpjs Kesehatan"
Posting Komentar