Pelembagaan Weda Sebagai Norma Agama Hindu
A. DAPATKAH WEDA DIKATAKAN SEBAGAI LEMBAGA SOSIAL
Istilah Weda berasal dari urat kata Wid yang berarti mengetahui, walaupun Weda itu berarti ilmu pengetahuan tetapi tidak semua ilmu pengetahuan itu yaitu Weda, lantaran Weda yaitu pengetahuan yang diturunkan oleh Tuhan kepada insan melalui wahyu-Nya. Sedangkan pengetahuan yang dikembangkan oleh insan sebagai inovasi melalui penelitian disebut dengan Widya. Makara Weda yaitu bersifat rohani dan Widya bersifat duniawi. Dengan demikian, maka pengetahuan sanggup dibedakan menjadi dua, yaitu:
Setiap norma di dalam kehidupan bermasyarakat belum tentu sanggup menjadi penggalan dari suatu forum sosial. Suatu norma-norma sanggup menjadi penggalan dari forum sosial, apabila norma dimaksud sanggup memenuhi kebutuhan pokok insan dalam bidang kedamaian. “Kedamaian yaitu kehidupan yang tentram aman” (Poerwadarminta, 1976: 224). Masalah kedamaian meliputi paling sedikit dua hal yaitu ketertiban yang menyangkut bidang eksternal manusia, dan ketenangan menyangkut bidang intern manusia. Dalam rangka membuat kedamaian yang mantap, maka harus dijaga keserasian antara ketertiban dan ketenangan masyarakat.
Setiap norma sanggup dikatakan memenuhi kebutuhan pokok manusia, apabila norma yang dimaksud sudah mengalami proses pelembagaan atau institutionalization. Institutionalization merupakan “suatu proses yang harus dialami suatu norma sosial tertentu untuk menjadi penggalan dari salah satu forum sosial” (Soerjono, 1980: 112).
Weda sanggup menjadi penggalan dari forum sosial. Apabila Weda dimaksud berisikan norma-norma, nilai-nilai maupun kaedah-kaedah dan sudah mengalami proses pelembagaan. Dalam hal ini, apakah Weda memenuhi unsur-unsur diatas, dalam arti apakah Weda berisikan norma, kaedah, nilai-nilai ?. pasal 6 Buku II Weda Smrti, menyebutkan :
Wedo’ khilo dharmamulam
Smrtiçile ca tadwidam
Acaraçciwa sadhunam
Atmanastutirewa ca
“Weda yaitu sumber pertama dari pada dharma, kemudian watak istiadat, dan….tingkah laris yang terpuji dari orang-orang yang budiman yang mendalami ajaran….suci Weda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci dan alhasil kepuasan dari pribadi (Pudja, 1995:62).”
Jadi Çruti, Smrti, Çila dan Acara serta Atmanastusti yaitu merupakan sumber aturan agama Hindu. Dari semua sumber itu yang utama yaitu Çruti (Weda), weda berisikan cara-cara untuk mendapatkan kebenaran hukum, untuk mengetahui baik tidaknya tingkah laris seseorang untuk memilih apa yang harus dan yang tidak boleh dikerjakan, apabila ketentuan ini tidak ditemukan pada Çruti, sanggup dicari pada Smrti. Apabila pada kedua sumber diatas tidak ada maka dilihat pada Acara (Kebiasaan-kebiasaan yang telah usang berlaku).
“Menerjemahkan dharma atau kebajikan dalam hidup sehari-hari. Sadar akan kebenaran bahwa pada hakikatnya kebenaran suci adanya-itulah dharma. Dan, sadar akan ketiadaan dibalik keberadaan-itulah Kebenaran. Tak ada lagi pula subjek dan objek. Ayat-ayat suci pun memberikan : “Dharma melampaui segala macam keadaan; oleh karenanya ia bebas dari segala macam noda. Dharma melampaui ‘aku’, maka bebas dari segala bentuk pencemaran. “Para bijak yang memahami serta menyakini hal ini sudah niscaya melakoni Dharma dalam hidup sehari-hari. (Anand krisnha, 2005:83)
Yang terakhir sanggup dilihat pada Cila yaitu tingkah laris yang baik. Apabila tingkah laris ini memperlihatkan kepuasan pada diri sendiri (atmanastusti), maka ini dipakai sebagai norma-norma atau pedoman bersikap tindak.
Dengan demikian, maka Weda sanggup dikatakan himpunan norma-norma aturan yang sanggup dijadikan untuk bersikap tindak. Sehingga tercipta suasana hidup teratur, kondusif dan tentram. Selain itu, pasal 10 Buku II Weda Smrti, menyebutkan:
Crutistu wedo wijneyo
dharmacastram tu wai smrtih
te sarwartheswamimamsye
tabhyam dharmohi nirbabhau.
Yang dimaksud dengan Sruti ialah Weda dan yang dimaksud dengan Smrti yaitu dharma sastra, kedua kitab suci ini tidak boleh diragukan kebenarannya mengenai apapun juga lantaran dari keduanya itu aturan (Pudja, 1995:63).
Selanjutnya pasal 40 Sarassamucaya, menyebutkan, bahwa :
Crutyuktah paramo dharmas
tatha smrti gato’parah,
cistacarah parah proktastrayo
dharmah sanatanah
Adapun yang patut untuk diingat-ingat, semua apa yang diajarkan Cruti disebut Dharma, semua yang diajarkan oeh Smrti pun dharma namanya, demikian pula tingkah laris orang cista disebut juga dharma . yang disebut Cista yaitu yang berkata-kata benar, orang yang sanggup dipercaya, orang yang menjadi kawasan pensucian, orang yang menjadi kawasan mendapatkan fatwa kerohanian, singkatnya ketiga itu, dharma namanya (Pudja, 1981:29).
Bukan sekedar memberi atau berbagi, “kebaikan-kebaikan” lain pun mereka jalani walau sudah berbuat banyak serta menjalani enam kebaikan untuk melampaui ilusi, sebenarnya mereka tidak berbuat apa-apa; mereka tidak menjalani apa-apa. (Anand krisnha, 2005:84)
Berdasarkan uraian diatas jelaslah Weda merupakan sumber aturan agama Hindu yang berisikan norma-norma atau patokan-patokan untuk bersikap tindak yang baik dan benar dalam rangka mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup jasmani. Oleh lantaran kedamaian dan kesejahteraan merupakan syarat suatu norma-norma untuk sanggup menjadi suatu penggalan dari forum sosial, lantaran Weda sanggup memenuhi kebutuhan pokok insan dalam bidang kedamaian dan kesejahtreraan atau disebut Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharma.
B. UPAYA PELEMBAGAAN WEDA
Proses pelembagaan atau institutionalization yaitu suatu proses diakuinya, dikenalnya, dihargai dan dihayati hingga dengan ditaati atau diamalkannya suatu norma-norma dalam kehidupan sehari-hari oleh sebagian besar masyarakat. (soerjono Soekanto, 1980:113).
Apabila diamati masyarakat yang beragama Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali, maka dari semenjak hadirnya agama Hindu sudah mengakui keberadaan agama Hindu, namun sebagian besar dari masyarakatnya belum menganal norma-norma aturan yang terkandung di dalam Weda. Walaupun demikian masyarakatnya secara tidak mendekati atau malah sesuai dengan norma-norma aturan Weda. Sikap tindak mereka pada umumnya bersifat imitasi atau menggandakan sikap tindak orang lain. Dan tidak mengetahui dari mana landasan sikap tindak yang dilakukannya itu. Sikap tindak imitasi ini belum tentu selalu baik dan benar serta belum tentu sesuai dengan norma-norma yang diatur di dalam Weda, lantaran adakalanya sikap tindak yang ditiru menyimpang dari norma-norma dimaksud. Apabila proses imitasi sikap tindak ini berlanjut terus dari generasi ke generasi (gugontuwon), maka sanggup menjadikan penafsiran yang keliru terhadap norma-norma Weda. Hal ini pernah dialami oleh masyarakat Hindu yaitu lantaran perubahan penafsiran ini sehingga dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perpecahan terus menerus, ditentang dan diskreditkan (Pudja,1995:17). Untuk menghindarkan kekeliruan tersebut diatas , maka perlu diupayakan pelembagaan Weda sebagai sumber aturan Hindu dengan tujuan supaya norma-norma aturan yang terkandung di dalam Weda sanggup diakui, dikenal, dihayati dan diamalkan oleh masyarakat. Adapun proses pelembagaan Weda sanggup dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Tahap Pengakuan Weda.
Di dalam tahap ini masyarakat Hindu dituntut untuk mengakui keberadaan Weda sebagai sumber Hukum Hindu, mengakui bahwa norma-norma aturan Hindu sanggup menuntun, mengatur membimbing masyarakat dalam mencapai kedamaian, kesejahteraan rohani dan jasmani. Pengakuan terhadap Weda perlu ditingkatkan dan dipertahankan. Sebagaimana halnya pengukuhan terhadap Agama Hindu, yang secara resmi gres diakui oleh pemerintah Indonesia pada final tahun 1958. Dengan diakuinya keberadaan agama Hindu oleh pemerintah Indonesia, maka norma aturan agama Hindu diakui keberadaannya oleh masyarakat Hindu maupun masyarakat selain Hindu. Pengakuan terhadap Weda maupun masyarakat selain Hindu Weda itu dikenal atau diketahui oleh masyarakat atau penganutnya.
2. Tahap Pengenalan Weda
Dalam tahap ini masyarakat Hindu khususnya maupun masyarakat Indonesia umumnya, dituntut atau diperlukan sanggup mengenal norma-norma yang terkandung dalam Weda secara keseluruhan. Hal ini dimaksud supaya tidak terjadi suatu penafsiran yang keliru terhadap isi dari fatwa Weda. Kekeliruan ini juga terjadi di masyarakat sebagai berikut:
“ada kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat yang menganggap…mantra yaitu Weda itu sendiri dan pengertian ini tidaklah tepat lantaran pengertian mantra itu sendiri masih dibedakan antara mantra dalam arti hymne atau chanda yang dihimpun dalam empat himpunan yang disebut kitab-kitab mantra. Kata mantra dalam arti sempit yaitu mantra-mantra atau lafal-lafal yang lazim dipergunakan oleh para Brahmana dalam memimpin upacara keagamaan di Bali. Dalam korelasi ini sering kata mantra dipertukarkan dengan me-Weda” (Pudja, 1980:12).
Upaya untuk mengenal Weda sanggup dilakukan melalui Catur Pramana, yaitu Pratyaksa ialah pengamatan langsung; Sabda Pramana (pembuktian melalui sumber yang sanggup dipercaya); Anumana (dengan menarik kesimpulan); dan dengan Upamana (mengadakan perbandingan ). Upaya pengenalan Weda. Bertujuan untuk menghindari kesimpang-siuran dalam menanggapi Weda. Yang paling efektif dalam pengenalan Weda sanggup dilakukan melalui pengajaran dan penyuluhan norma aturan Weda, sebagai disebutkan:
“Wedabhyaso’nwaham caktya mahayajnakriya ksama, nacayantyacu papani mahapataka janyapi”
Weda Smrti XI. 246
“Dengan mempelajari Weda, melaksanakan Mahayadnya berdasarkan kemampuan seseorang dan sabar terhadap semua penderitaan cepat akan menghancurkan semua kesalahan-kesalahan walaupun hingga pada dosa besar” (Pudja, 1995:710).
Dalam upaya mengenal norma-norma, aturan-aturan, dan kaedah-kaedah aturan Weda, maka kitab suci harus dipelajari. Cara mempelajari diuraikan oleh G. Pudja dalam pendahuluan Rg Weda mandala I, sebagai berikut:
“Pada hakekatnya pelajaran Weda dimulai pada umur masih muda, contohnya pada ….umur empat tahun. Untuk memulai mempelajari Weda disyaratkan untuk melaksanakan pewintenan…yang pertama harus diajarkan yaitu mantra gayatri dan Trisandya, orang yang sudah mendapatkan mantra-mantra, berhak mempelajari dan mengucapkan mantra itu dan selanjutnya mempelajari mantra-mantra lainnya….pada waktu mengucapkan mantra-mantra supaya dimulai dengan menyampaikan OM dan diakhiri dengan mantra OM pula… memulai dengan kata OM berarti mulailah menyebutkan Tuhan dan kemudian disudahi pula dengan nama Tuhan …dalam penulisan-penulisan mantra –mantra diajarkan supaya memulai dengan OM Awighnam astu dan diakhiri dengan Om Shanti shanti shanti Om ….untuk memulai membaca Weda pada pagi hari dan pada waktu senja (sandhyakala) …pembaca Weda atau mantra supaya diakhiri bila terjadi peristiwa alam, menyerupai gampa, angin ribut, petir…. Pantangan ini harus pula diperhatikan bagi seseorang yang berguru Weda. Mempelajari Weda secara verbal supaya dibimbing oleh seorang guru yang mengerti dan tahu mengucapkan mantra itu dengan baik dan tepat” (Pudja,1980:28).
”Sribhagavan uvacha:
Loke smin dvividha nishtha
Pura prokta maya nagha
Jnanayogena smkhyanam
Karmayogena yoginam
Bhagavadgita III.3
Sri Bagawan menjawab :
Telah kukatakan semenjak dahulu, oh Anagha
Ada dua disiplin dalam hidup ini,
jalan ilmu pengetahuan bagi cendikiawan
Jalan tindakan, kerja bagi karyawan
Seperti dalam ilmu-psikologi cendekia balig cukup akal ini, Krisna menjelaskan kepada Arjuna, bahwa memang pada umunya ada dua macam pencari keberanan abadi ini, yaitu mereka yang mencari kebenaran abadi dengan jalan ilmu pengetahuan dan kerokhanian, dan mereka yang mencari kebenaran abadi degan jalan dedikasi dan kerja sehari-hari tanpa menghitung-hitung pahala yang diperoleh. (Pendit,1986:64)
3. Tahap Penghayatan Weda
Setelah mengakui dan mengenal keberadaan norma-norma aturan Hindu (Weda). Maka perlu ditingkatkan penghayatannya, lantaran seseorang yang sudah mencapai tahap pengenalan, akan dengan gampang menghayati. Penghayatan terhadap norma-norma dimaksud akan punah (hilang), apabila norma-norma dimaksud tidak dipelihara dan disimpan di hati nuraninya. Norma-norma aturan Hindu akan tetap tersimpan di hati nurani masyarakatnya, apabila norma-norma agama Hindu (Weda_ secara berulang-ulang dan selalu dipelajari selama hidupnya. Melupakan Weda menentangnya merupakan perbuatan dosa, hal ini tertuang dalam pasal 57 Buku XI Weda Smrti, sebagai berikut:
“Brahmojjnata wedaninda kauta
saksyam suhridwadhah
garhitanadyayorjagdhih
surapanasasamani sat”
“melupakan Weda, menghina Weda, memperlihatkan kesaksian palsu, membunuh teman, memakan makanan yang dihentikan atau menelan makanan yang tidak pantas dimakan yaitu enam macam kesalahan yang sama dosanya dengan memakan sura” (Pudja, 1995:663).
Dilihat dari istilah penghayatan Weda, maka penghayatan berasal dari kata hayat yang berarti hidup, menerima awalan pe dan akhiran an yang sanggup diartikan membuat menjadi atau menjadikan. Dengan demikian penghayatan sanggup berarti membuat norma-norma aturan Hindu menjadi hidup pada hati nurani umatnya.
4. Tahap Pengamalan Weda
Menurut WJS. Poerwardarminta, menyampaikan “pengamalan yaitu ….perbuatan mengamalkan “. mengamalkan ialah “melakukan ; melaksanakan; mempraktekkan…..menyampaikan maksud…” (Poerwadarminta, 1976:33). Pengamalan Weda yaitu suatu perbuatan untuk mempraktekkan norma-norma aturan Hindu (Weda), dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selanjutnya Sri Chandrasekharendra Saraswati menyampaikan : “Vedonityam adhiyatam, taduditam eksekusi alam svanushtiyatam” (Pendit, 1967:33). Maksudnya : “Kitab-kitab suci Weda harus dipelajari dan terus dihidupi dalam ucapan setiap hari, kiprah kewajiban yang dirumuskan di dalam ucapan setiap hari, kiprah kewajiban yang dirumuskan di dalamnya harus dilaksanakan sepatutnya” (Pendit,1967:33). Pengamalan Weda sanggup diwujudkan dalam bentuk prilaku atau sikap tindak yang sesuai dengan tawaran kitab Weda. Hal ini diuraikan dalam Pancama Weda Bab XVI Sloka 24 sebagai berikut:
Tasmac chastram paranamam te
karyakarya wyawasthitau
jnatwa sastra widhanoktam
eksekusi alam kartum iha’rhasi
Karena itu biarlah kitab-kitab suci itu menjadi petunjukmu untuk memilih kebenaran baik jelek perbuatan supaya diketahui dari pernyataan aturan dalam ajaran-ajaran kitab suci untuk engkau kerjakanlah disini (Pudja, 1982:358).
Dalam rangka pengamalan Weda ada beberapa cara yang harus dilaksanakan, yaitu dengan Bhaktiyoga, Jnanayoga, Rajayoga, Wibhuktiyoga dan dengan Karmayoga.
C. KESIMPULAN
Seseorang akan selalu bersikap tindak yang baik, bertuturkata yang santun dan berfikir yang baik (berbudi pekerti), apabila norma-norma Weda sudah merasuk di lubuk hati orang tersebut. Dan , orang sanggup menjalankan fatwa Weda melalui pemahaman dan interprestasi kedalam diri. Yang dicerminkan melalui tindak yang tidak mengharapkan pahala (hasil perbuatan). Hal ini sanggup terjadi pelembagaan pada orang dimaksud dan sudah menjadi penggalan dari forum sosial yaitu menjadi kebutuhan pokoknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ngurah, I Gusti Made. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya :Penerbit Paramita.
Pendit, Nyoman S. 1967. Aspek-Aspek Agama Kita. Jakarta: diterbitkan oleh Sub Proyek Penerangan Agama Hindu dan Budha Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Dep Agama.
Pudja, G. 1980. Reg Weda Mandala I. Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit.
.1981. Sarassamucaya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab suci Hindu Departemen Agama R.I
.1982. Bhagawadgita (Pancama Weda ). Jakarta : Mayasari
Pudja, G dan Sudharta, Tjokorda Rai. 1995. Manawa Dharmasastra atau Weda Smrti. Jakarta : Hanuman Sakti
Soerjono Soekanto, dan Mustafa Abdulla. 1980. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat . Jakarta : Penerbit CV Rajawali.
W.J.S.Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Sumber http://dingklikkelas.blogspot.com
Istilah Weda berasal dari urat kata Wid yang berarti mengetahui, walaupun Weda itu berarti ilmu pengetahuan tetapi tidak semua ilmu pengetahuan itu yaitu Weda, lantaran Weda yaitu pengetahuan yang diturunkan oleh Tuhan kepada insan melalui wahyu-Nya. Sedangkan pengetahuan yang dikembangkan oleh insan sebagai inovasi melalui penelitian disebut dengan Widya. Makara Weda yaitu bersifat rohani dan Widya bersifat duniawi. Dengan demikian, maka pengetahuan sanggup dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Pengetahuan rohani: Pengetahuan yang sanggup menuntun insan untuk mencapai kesempurnaan rohani.
- Pengetahuan duniawi: Pengetahuan yang sanggup menuntun insan pada upaya peningkatan kesejahteraan dan hidup senang di dunia ini.
Setiap norma di dalam kehidupan bermasyarakat belum tentu sanggup menjadi penggalan dari suatu forum sosial. Suatu norma-norma sanggup menjadi penggalan dari forum sosial, apabila norma dimaksud sanggup memenuhi kebutuhan pokok insan dalam bidang kedamaian. “Kedamaian yaitu kehidupan yang tentram aman” (Poerwadarminta, 1976: 224). Masalah kedamaian meliputi paling sedikit dua hal yaitu ketertiban yang menyangkut bidang eksternal manusia, dan ketenangan menyangkut bidang intern manusia. Dalam rangka membuat kedamaian yang mantap, maka harus dijaga keserasian antara ketertiban dan ketenangan masyarakat.
Setiap norma sanggup dikatakan memenuhi kebutuhan pokok manusia, apabila norma yang dimaksud sudah mengalami proses pelembagaan atau institutionalization. Institutionalization merupakan “suatu proses yang harus dialami suatu norma sosial tertentu untuk menjadi penggalan dari salah satu forum sosial” (Soerjono, 1980: 112).
Weda sanggup menjadi penggalan dari forum sosial. Apabila Weda dimaksud berisikan norma-norma, nilai-nilai maupun kaedah-kaedah dan sudah mengalami proses pelembagaan. Dalam hal ini, apakah Weda memenuhi unsur-unsur diatas, dalam arti apakah Weda berisikan norma, kaedah, nilai-nilai ?. pasal 6 Buku II Weda Smrti, menyebutkan :
Wedo’ khilo dharmamulam
Smrtiçile ca tadwidam
Acaraçciwa sadhunam
Atmanastutirewa ca
“Weda yaitu sumber pertama dari pada dharma, kemudian watak istiadat, dan….tingkah laris yang terpuji dari orang-orang yang budiman yang mendalami ajaran….suci Weda, juga tata cara perikehidupan orang-orang suci dan alhasil kepuasan dari pribadi (Pudja, 1995:62).”
Jadi Çruti, Smrti, Çila dan Acara serta Atmanastusti yaitu merupakan sumber aturan agama Hindu. Dari semua sumber itu yang utama yaitu Çruti (Weda), weda berisikan cara-cara untuk mendapatkan kebenaran hukum, untuk mengetahui baik tidaknya tingkah laris seseorang untuk memilih apa yang harus dan yang tidak boleh dikerjakan, apabila ketentuan ini tidak ditemukan pada Çruti, sanggup dicari pada Smrti. Apabila pada kedua sumber diatas tidak ada maka dilihat pada Acara (Kebiasaan-kebiasaan yang telah usang berlaku).
“Menerjemahkan dharma atau kebajikan dalam hidup sehari-hari. Sadar akan kebenaran bahwa pada hakikatnya kebenaran suci adanya-itulah dharma. Dan, sadar akan ketiadaan dibalik keberadaan-itulah Kebenaran. Tak ada lagi pula subjek dan objek. Ayat-ayat suci pun memberikan : “Dharma melampaui segala macam keadaan; oleh karenanya ia bebas dari segala macam noda. Dharma melampaui ‘aku’, maka bebas dari segala bentuk pencemaran. “Para bijak yang memahami serta menyakini hal ini sudah niscaya melakoni Dharma dalam hidup sehari-hari. (Anand krisnha, 2005:83)
Yang terakhir sanggup dilihat pada Cila yaitu tingkah laris yang baik. Apabila tingkah laris ini memperlihatkan kepuasan pada diri sendiri (atmanastusti), maka ini dipakai sebagai norma-norma atau pedoman bersikap tindak.
Dengan demikian, maka Weda sanggup dikatakan himpunan norma-norma aturan yang sanggup dijadikan untuk bersikap tindak. Sehingga tercipta suasana hidup teratur, kondusif dan tentram. Selain itu, pasal 10 Buku II Weda Smrti, menyebutkan:
Crutistu wedo wijneyo
dharmacastram tu wai smrtih
te sarwartheswamimamsye
tabhyam dharmohi nirbabhau.
Yang dimaksud dengan Sruti ialah Weda dan yang dimaksud dengan Smrti yaitu dharma sastra, kedua kitab suci ini tidak boleh diragukan kebenarannya mengenai apapun juga lantaran dari keduanya itu aturan (Pudja, 1995:63).
Selanjutnya pasal 40 Sarassamucaya, menyebutkan, bahwa :
Crutyuktah paramo dharmas
tatha smrti gato’parah,
cistacarah parah proktastrayo
dharmah sanatanah
Adapun yang patut untuk diingat-ingat, semua apa yang diajarkan Cruti disebut Dharma, semua yang diajarkan oeh Smrti pun dharma namanya, demikian pula tingkah laris orang cista disebut juga dharma . yang disebut Cista yaitu yang berkata-kata benar, orang yang sanggup dipercaya, orang yang menjadi kawasan pensucian, orang yang menjadi kawasan mendapatkan fatwa kerohanian, singkatnya ketiga itu, dharma namanya (Pudja, 1981:29).
Bukan sekedar memberi atau berbagi, “kebaikan-kebaikan” lain pun mereka jalani walau sudah berbuat banyak serta menjalani enam kebaikan untuk melampaui ilusi, sebenarnya mereka tidak berbuat apa-apa; mereka tidak menjalani apa-apa. (Anand krisnha, 2005:84)
Berdasarkan uraian diatas jelaslah Weda merupakan sumber aturan agama Hindu yang berisikan norma-norma atau patokan-patokan untuk bersikap tindak yang baik dan benar dalam rangka mencapai kedamaian dan kesejahteraan hidup jasmani. Oleh lantaran kedamaian dan kesejahteraan merupakan syarat suatu norma-norma untuk sanggup menjadi suatu penggalan dari forum sosial, lantaran Weda sanggup memenuhi kebutuhan pokok insan dalam bidang kedamaian dan kesejahtreraan atau disebut Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharma.
B. UPAYA PELEMBAGAAN WEDA
Proses pelembagaan atau institutionalization yaitu suatu proses diakuinya, dikenalnya, dihargai dan dihayati hingga dengan ditaati atau diamalkannya suatu norma-norma dalam kehidupan sehari-hari oleh sebagian besar masyarakat. (soerjono Soekanto, 1980:113).
Apabila diamati masyarakat yang beragama Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali, maka dari semenjak hadirnya agama Hindu sudah mengakui keberadaan agama Hindu, namun sebagian besar dari masyarakatnya belum menganal norma-norma aturan yang terkandung di dalam Weda. Walaupun demikian masyarakatnya secara tidak mendekati atau malah sesuai dengan norma-norma aturan Weda. Sikap tindak mereka pada umumnya bersifat imitasi atau menggandakan sikap tindak orang lain. Dan tidak mengetahui dari mana landasan sikap tindak yang dilakukannya itu. Sikap tindak imitasi ini belum tentu selalu baik dan benar serta belum tentu sesuai dengan norma-norma yang diatur di dalam Weda, lantaran adakalanya sikap tindak yang ditiru menyimpang dari norma-norma dimaksud. Apabila proses imitasi sikap tindak ini berlanjut terus dari generasi ke generasi (gugontuwon), maka sanggup menjadikan penafsiran yang keliru terhadap norma-norma Weda. Hal ini pernah dialami oleh masyarakat Hindu yaitu lantaran perubahan penafsiran ini sehingga dalam sejarah pertumbuhannya mengalami perpecahan terus menerus, ditentang dan diskreditkan (Pudja,1995:17). Untuk menghindarkan kekeliruan tersebut diatas , maka perlu diupayakan pelembagaan Weda sebagai sumber aturan Hindu dengan tujuan supaya norma-norma aturan yang terkandung di dalam Weda sanggup diakui, dikenal, dihayati dan diamalkan oleh masyarakat. Adapun proses pelembagaan Weda sanggup dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
1. Tahap Pengakuan Weda.
Di dalam tahap ini masyarakat Hindu dituntut untuk mengakui keberadaan Weda sebagai sumber Hukum Hindu, mengakui bahwa norma-norma aturan Hindu sanggup menuntun, mengatur membimbing masyarakat dalam mencapai kedamaian, kesejahteraan rohani dan jasmani. Pengakuan terhadap Weda perlu ditingkatkan dan dipertahankan. Sebagaimana halnya pengukuhan terhadap Agama Hindu, yang secara resmi gres diakui oleh pemerintah Indonesia pada final tahun 1958. Dengan diakuinya keberadaan agama Hindu oleh pemerintah Indonesia, maka norma aturan agama Hindu diakui keberadaannya oleh masyarakat Hindu maupun masyarakat selain Hindu. Pengakuan terhadap Weda maupun masyarakat selain Hindu Weda itu dikenal atau diketahui oleh masyarakat atau penganutnya.
2. Tahap Pengenalan Weda
Dalam tahap ini masyarakat Hindu khususnya maupun masyarakat Indonesia umumnya, dituntut atau diperlukan sanggup mengenal norma-norma yang terkandung dalam Weda secara keseluruhan. Hal ini dimaksud supaya tidak terjadi suatu penafsiran yang keliru terhadap isi dari fatwa Weda. Kekeliruan ini juga terjadi di masyarakat sebagai berikut:
“ada kecenderungan yang berkembang dalam masyarakat yang menganggap…mantra yaitu Weda itu sendiri dan pengertian ini tidaklah tepat lantaran pengertian mantra itu sendiri masih dibedakan antara mantra dalam arti hymne atau chanda yang dihimpun dalam empat himpunan yang disebut kitab-kitab mantra. Kata mantra dalam arti sempit yaitu mantra-mantra atau lafal-lafal yang lazim dipergunakan oleh para Brahmana dalam memimpin upacara keagamaan di Bali. Dalam korelasi ini sering kata mantra dipertukarkan dengan me-Weda” (Pudja, 1980:12).
Upaya untuk mengenal Weda sanggup dilakukan melalui Catur Pramana, yaitu Pratyaksa ialah pengamatan langsung; Sabda Pramana (pembuktian melalui sumber yang sanggup dipercaya); Anumana (dengan menarik kesimpulan); dan dengan Upamana (mengadakan perbandingan ). Upaya pengenalan Weda. Bertujuan untuk menghindari kesimpang-siuran dalam menanggapi Weda. Yang paling efektif dalam pengenalan Weda sanggup dilakukan melalui pengajaran dan penyuluhan norma aturan Weda, sebagai disebutkan:
“Wedabhyaso’nwaham caktya mahayajnakriya ksama, nacayantyacu papani mahapataka janyapi”
Weda Smrti XI. 246
“Dengan mempelajari Weda, melaksanakan Mahayadnya berdasarkan kemampuan seseorang dan sabar terhadap semua penderitaan cepat akan menghancurkan semua kesalahan-kesalahan walaupun hingga pada dosa besar” (Pudja, 1995:710).
Dalam upaya mengenal norma-norma, aturan-aturan, dan kaedah-kaedah aturan Weda, maka kitab suci harus dipelajari. Cara mempelajari diuraikan oleh G. Pudja dalam pendahuluan Rg Weda mandala I, sebagai berikut:
“Pada hakekatnya pelajaran Weda dimulai pada umur masih muda, contohnya pada ….umur empat tahun. Untuk memulai mempelajari Weda disyaratkan untuk melaksanakan pewintenan…yang pertama harus diajarkan yaitu mantra gayatri dan Trisandya, orang yang sudah mendapatkan mantra-mantra, berhak mempelajari dan mengucapkan mantra itu dan selanjutnya mempelajari mantra-mantra lainnya….pada waktu mengucapkan mantra-mantra supaya dimulai dengan menyampaikan OM dan diakhiri dengan mantra OM pula… memulai dengan kata OM berarti mulailah menyebutkan Tuhan dan kemudian disudahi pula dengan nama Tuhan …dalam penulisan-penulisan mantra –mantra diajarkan supaya memulai dengan OM Awighnam astu dan diakhiri dengan Om Shanti shanti shanti Om ….untuk memulai membaca Weda pada pagi hari dan pada waktu senja (sandhyakala) …pembaca Weda atau mantra supaya diakhiri bila terjadi peristiwa alam, menyerupai gampa, angin ribut, petir…. Pantangan ini harus pula diperhatikan bagi seseorang yang berguru Weda. Mempelajari Weda secara verbal supaya dibimbing oleh seorang guru yang mengerti dan tahu mengucapkan mantra itu dengan baik dan tepat” (Pudja,1980:28).
”Sribhagavan uvacha:
Loke smin dvividha nishtha
Pura prokta maya nagha
Jnanayogena smkhyanam
Karmayogena yoginam
Bhagavadgita III.3
Sri Bagawan menjawab :
Telah kukatakan semenjak dahulu, oh Anagha
Ada dua disiplin dalam hidup ini,
jalan ilmu pengetahuan bagi cendikiawan
Jalan tindakan, kerja bagi karyawan
Seperti dalam ilmu-psikologi cendekia balig cukup akal ini, Krisna menjelaskan kepada Arjuna, bahwa memang pada umunya ada dua macam pencari keberanan abadi ini, yaitu mereka yang mencari kebenaran abadi dengan jalan ilmu pengetahuan dan kerokhanian, dan mereka yang mencari kebenaran abadi degan jalan dedikasi dan kerja sehari-hari tanpa menghitung-hitung pahala yang diperoleh. (Pendit,1986:64)
3. Tahap Penghayatan Weda
Setelah mengakui dan mengenal keberadaan norma-norma aturan Hindu (Weda). Maka perlu ditingkatkan penghayatannya, lantaran seseorang yang sudah mencapai tahap pengenalan, akan dengan gampang menghayati. Penghayatan terhadap norma-norma dimaksud akan punah (hilang), apabila norma-norma dimaksud tidak dipelihara dan disimpan di hati nuraninya. Norma-norma aturan Hindu akan tetap tersimpan di hati nurani masyarakatnya, apabila norma-norma agama Hindu (Weda_ secara berulang-ulang dan selalu dipelajari selama hidupnya. Melupakan Weda menentangnya merupakan perbuatan dosa, hal ini tertuang dalam pasal 57 Buku XI Weda Smrti, sebagai berikut:
“Brahmojjnata wedaninda kauta
saksyam suhridwadhah
garhitanadyayorjagdhih
surapanasasamani sat”
“melupakan Weda, menghina Weda, memperlihatkan kesaksian palsu, membunuh teman, memakan makanan yang dihentikan atau menelan makanan yang tidak pantas dimakan yaitu enam macam kesalahan yang sama dosanya dengan memakan sura” (Pudja, 1995:663).
Dilihat dari istilah penghayatan Weda, maka penghayatan berasal dari kata hayat yang berarti hidup, menerima awalan pe dan akhiran an yang sanggup diartikan membuat menjadi atau menjadikan. Dengan demikian penghayatan sanggup berarti membuat norma-norma aturan Hindu menjadi hidup pada hati nurani umatnya.
4. Tahap Pengamalan Weda
Menurut WJS. Poerwardarminta, menyampaikan “pengamalan yaitu ….perbuatan mengamalkan “. mengamalkan ialah “melakukan ; melaksanakan; mempraktekkan…..menyampaikan maksud…” (Poerwadarminta, 1976:33). Pengamalan Weda yaitu suatu perbuatan untuk mempraktekkan norma-norma aturan Hindu (Weda), dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Selanjutnya Sri Chandrasekharendra Saraswati menyampaikan : “Vedonityam adhiyatam, taduditam eksekusi alam svanushtiyatam” (Pendit, 1967:33). Maksudnya : “Kitab-kitab suci Weda harus dipelajari dan terus dihidupi dalam ucapan setiap hari, kiprah kewajiban yang dirumuskan di dalam ucapan setiap hari, kiprah kewajiban yang dirumuskan di dalamnya harus dilaksanakan sepatutnya” (Pendit,1967:33). Pengamalan Weda sanggup diwujudkan dalam bentuk prilaku atau sikap tindak yang sesuai dengan tawaran kitab Weda. Hal ini diuraikan dalam Pancama Weda Bab XVI Sloka 24 sebagai berikut:
Tasmac chastram paranamam te
karyakarya wyawasthitau
jnatwa sastra widhanoktam
eksekusi alam kartum iha’rhasi
Karena itu biarlah kitab-kitab suci itu menjadi petunjukmu untuk memilih kebenaran baik jelek perbuatan supaya diketahui dari pernyataan aturan dalam ajaran-ajaran kitab suci untuk engkau kerjakanlah disini (Pudja, 1982:358).
Dalam rangka pengamalan Weda ada beberapa cara yang harus dilaksanakan, yaitu dengan Bhaktiyoga, Jnanayoga, Rajayoga, Wibhuktiyoga dan dengan Karmayoga.
- Pengamalan weda malalui Bhakti Yoga, diwujudkan dalam bentuk menghormati keberadaan norma-norma aturan Weda dengan cara mempraktekkan, mentaati semua tawaran dan larangan-Nya dengan penuh kesujudan (kerendahan hati) taat dan sraddha kepada Tuhan.
- Pengamalan Weda melalui Jnana Yoga, sanggup diwujudkan dengan cara menginformasikan, memperlihatkan pelajaran, penyuluhan kepada masyarakan mengenai norma-norma yang wajib ditaati oleh masyarakat Hindu. Pengamalan ini sanggup dilakukan oleh masyarakat setiap umatnya dalam bentuk sikap yang berbudi, santun sesuai tawaran Weda.
- Pengamalan Weda melalui Raja Yoga , sanggup diwujudkan melalui pengandalian diri dalam bentuk brata dan semadi, dengan tujuan untuk mengetahui hakekat dari Tuhan. Pengamalan ini sanggup dilihat di Bali pada pelaksanaan Brata hari Raya Nyepi atau dengan praktek ritual sebagai bentuk ekspresi dan penggunaan mantra-mantra.
- Pengamalan Weda melalui Wibhukti Yoga, diwujudkan dengan menginformasikan kepada masyarakat ihwal keutamaan dan kemuliaan Tuhan. Di dalam ajarannya dinyatakan bahwa Tuhan yaitu Dewa dari semua Dewa, Maha bijaksana, Maha mengetahui, Maha adil, terbesar dari yang terbesar, tertinggi dari yang tertinggi, terkecil dari yang terkecil. Dalam pengamalan Weda, masyarakat berprilaku sesuai dengan sifat-sifat Tuhan diatas.
- Pengamalan Weda melalui KarmaYoga, sanggup diwujudkan dalam bentuk berkarya sesuai dengan kiprah dan fungsinya (Swadharmanya).
C. KESIMPULAN
Seseorang akan selalu bersikap tindak yang baik, bertuturkata yang santun dan berfikir yang baik (berbudi pekerti), apabila norma-norma Weda sudah merasuk di lubuk hati orang tersebut. Dan , orang sanggup menjalankan fatwa Weda melalui pemahaman dan interprestasi kedalam diri. Yang dicerminkan melalui tindak yang tidak mengharapkan pahala (hasil perbuatan). Hal ini sanggup terjadi pelembagaan pada orang dimaksud dan sudah menjadi penggalan dari forum sosial yaitu menjadi kebutuhan pokoknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ngurah, I Gusti Made. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya :Penerbit Paramita.
Pendit, Nyoman S. 1967. Aspek-Aspek Agama Kita. Jakarta: diterbitkan oleh Sub Proyek Penerangan Agama Hindu dan Budha Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Dep Agama.
Pudja, G. 1980. Reg Weda Mandala I. Tanpa Tempat: Tanpa Penerbit.
.1981. Sarassamucaya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab suci Hindu Departemen Agama R.I
.1982. Bhagawadgita (Pancama Weda ). Jakarta : Mayasari
Pudja, G dan Sudharta, Tjokorda Rai. 1995. Manawa Dharmasastra atau Weda Smrti. Jakarta : Hanuman Sakti
Soerjono Soekanto, dan Mustafa Abdulla. 1980. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat . Jakarta : Penerbit CV Rajawali.
W.J.S.Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.
0 Response to "Pelembagaan Weda Sebagai Norma Agama Hindu"
Posting Komentar