Hegemoni Budaya Dan Perkembangan
Secara perlahan namun pasti, umat insan menjalin korelasi mesra satu sama lain melalui perantaraan kecanggihan teknologi komunikasi. Sementara politik dan ekonomi secara kasat mata biasanya senantiasa memertahankan aneka macam ’jurang pertentangan’ di antara manusia. Inilah salah satu bentuk dari keajaiban peradaban kontemporer, dimana insan sanggup saling mengembangkan kisah dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi lainnya dalam suatu hitungan sepersekian detik.
Episode lainnya dari drama perkembangan peradaban modern dikala ini ialah suatu kisah di mana proses penyebaran informasi yang melintasi aneka macam tapal batas wilayah (negara), konferensi jarak jauh (teleconference), cetak jarak jauh, dan sebagainya telah bisa membuat ikatan-ikatan gres secara sosiologis ataupun psikologis sebagai belahan dari warga masyarakat ”Desa Dunia’ (Global Village) ibarat yang disitir oleh McLuhan spesialis sejarah komunikasi sosial dari Canada.
Revolusi teknologi komunikasi dan informasi bukanlah satu-satunya ’agent of social change’ dari fenomena kontemporer globalisasi yang terus berkembang hingga dikala ini. Sebab perkembangan sistem ekonomi, khususnya perdagangan dunia setidaknya merupakan kontributor lain juga yang harus dipertimbangkan.
Globalisasi yang tengah terjadi dikala ini telah membawa beberapa perubahan fundamental bagi sejarah kehidupan insan dikarenakan telah memporak-porandakan konsep jarak, ruang dan waktu. Globalisasi dalam dimensi sebagai anugerah sanggup ditandai oleh ketersediaan barang dan jasa, lengkap dengan keragaman variasi, model, kualitas, ataupun harga secara memadai serta gampang diakses oleh para konsumen.
Demikian pula dengan aneka macam insiden apapun dari aneka macam pelosok dunia akan sanggup secara gampang diketahui, bahkan dengan sesegera mungkin sehingga banyak pihak sanggup dengan cepat pula menyampaikan respon atas aneka macam insiden tersebut. Akan tetapi, globalisasi secara sekaligus juga sanggup dilihat dalam dimensi sebagai musibah, lantaran realitas yang hadir dalam format ibarat itu tidak akan pernah bersifat ”netral” dan ”bebas kepentingan”, terutama dalam penguasaan aset sumber daya material, baik modal, energi, teknologi, dan informasi.
Atas dasar kenyataan itu maka terlalu naif bila tetap beranggapan bahwa dalam globalisasi yang sedang terjadi dikala ini akan dicapai suatu perolehan, baik kesempatan maupun hasil yang adil bagi semua pihak. Secara lebih tegas ialah adanya pihak yang lebih diuntungkan dan dirugikan dalam ’setting’ situasi dan kondisi ibarat ini. Dan secara gampang sanggup diterka bahwa negara-negara maju mempunyai peluang yang lebih besar dari pada negara-negara berkembang yang terpaksa harus mendapatkan nasib sebagai pihak yang akan banyak dirugikan.
Fokus perhatian pada problem keterkaitan antara suatu ’bentuk teknologi’ dengan ’sistem kebudayaan’ menjadi kian relevan manakala muncul suatu kenyataan bahwa kesuksesan dari negara-negara maju sebagai produsen utama perangkat teknologi tersebut telah menciptakan, merekayasa, dan mensosialisasikan ’simbol-simbol’ gres wacana kemajuan suatu peradaban dan pada karenanya mendorong dan memacu negara-negara berkembang ikut ’terseret’ ke dalam setting modernisasi tersebut. Hanya saja perbedaannya, posisi negara-negara berkembang bukan turut berperan sebagai produsen suatu bentuk teknologi, tetapi lebih sekedar menjadi konsumen aneka macam produk teknologi yang dihasilkan negara-negara maju melalui proyek ’transfer teknologi’. Kegiatan ini selanjutnya menjadi terkenal bagi negara berkembang lantaran dipandang sanggup menjadi sumber ’kekuatan baru’ di dalam melaksanakan pembangunan (modernisasi), khususnya atas kemampuannya membuat efisiensi biaya operasional serta kemampuan untuk meningkatkan produktivitas.
Dengan demikian globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan insan di dunia, baik di bidang ekonomi, politik, social dan budaya. Globalisasi sejatinya ialah anak kandung dari kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya dilakukan dalam suatu negara kemudian merambah ke dunia lain dan demi memasarkan produk-produk mereka dan mencari laba demi mengakumulasikan modal. Bila pada masa kolonialisme, kapitalisme melaksanakan koloni untuk mencari materi mentah dan ekspansi pasar namun masa pascakolonial kapitalisme “membonceng” kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Era globalisasi mendorong adanya pasar bebas yang membuat modal begitu gampang keluar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar bebas akan membuat suatu negara terisolasi dari pergaulan internasional. Selain itu, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan batas-batas negara menjadi samar. Dan pada karenanya menjadi alasan berpengaruh untuk menyampaikan perhatian pada problem identitas budaya nasional. Karena dengan adanya adopsi proses suatu bentuk teknologi komunikasi dan informasi tersebut, menyampaikan aneka macam bentuk implikasi tertentu dalam pola korelasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya, baik di dalam masyarakat itu sendiri (sebagai tanggapan masuknya rasionalitas teknologis modern ke dalam sistem berpikir masyarakat yang tradisional) maupun pada dikala berinteraksi antarnegara (akibat masuknya negara ke dalam perangkap ketergantungan terhadap negara lain; khususnya ketergantungan teknologis).
Berkaitan dengan problem perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta fenomena transfer teknologi antarnegara maka sanggup diketahui bahwa berdasarkan Dizard (1989) negara Amerika Serikat merupakan produsen utama perangkat teknologi komunikasi ibarat komputer, satelit komunikasi, industri film, jaringan telepon, serta industri siaran (broadcasting) baik televisi maupun radio, bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bahkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dari Collins (1988), dari semua jenis produk yang telah ’mendunia’, dimana Amerika Serikat memimpin dalam kapasitasnya sebagai produsen dan pengekspor aneka macam acara siaran televisi selama lebih dari 30 tahun terakhir.
Lebih lanjut Parker (1996) menjelaskan bahwa dengan adanya kenyataan tersebut pada karenanya mengundang kritik dari Schiller (1989) yang menyatakan bahwa kencenderungan adanya dominasi televisi Amerika Serikat tersebut sanggup dikategorikan sebagai suatu bentuk ’imperialisme budaya’, dimana pada kelanjutannya telah mengakibatkan ’gegar budaya’ ataupun ’kehebohan budaya’ bagi negara-negara lain yang menerimanya (recipient countries). Bahkan kondisi ini ibarat ini telah diisyaratkan oleh Schiller jauh sebelumnya bahwa jikalau ’imperialisme’ dipahami sebagai suatu upaya untuk merekayasa pelanggengan kekuasaan suatu negara, yang dilakukan dengan cara memperluas kekuatan kontrol dan dominasi, maka tindakan Amerika Serikat mengekspor produk industri televisinya ke negara-negara lain sanggup dinilai sebagai ’global American electronic invasion’.
Imperialisme sanggup dilihat dari acara transfer teknologi komunikasi dalam hal ini ialah media massa yang menjadi pengantar dan mediator masuknya nilai-nilai modern (Barat) tersebut, baik yang kasatmata dalam bentuk pesan-pesan budaya maupun yang masih tersembunyi di balik bentuk fisik teknologi sehingga menghancurkan nilai-nilai tradisional masyarakat yang mengadopsi teknologi komunikasi tersebut.
Saat ini, dalam hal kebudayaan sanggup dilihat bagaimana kebudayaan Amerika dan Eropa sebagai representasi kekuatan kapitalisme dunia yang mencitrakan dirinya sebagai kebudayaan yang adiluhung. Masyarakat dunia ketiga yakni negara-negara yang berkembang, secara tidak sadar dipaksa mengintegrasikan dirinya ke dalam belahan dari kebudayaan tersebut.
Perkembangan teknologi juga telah memunculkan komunikasi gres dalam bentuk Computer Mediated Communication (CMC). Yaitu komunikasi dengan mediasi computer melalui jaringan on line internet di dunia maya, antara orang banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari aneka macam belahan dunia tanpa batas (Mcquail, 2002 hal. 113). Melalui CMC ini tugas pengakses internet menjadi bersahabat dengan situs global ibarat Yahoo, Hotmail, dll. Dengan demikian informasi yang begitu gampang menyebar, sekaligus mendorong terjadinya fenomena globalisasi budaya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia malah sering menjadi objek kemajuan dan kesiapan negara kaya. Yang terjadi mengalirkan begitu banyak informasi dari Negara-negara maju khususnya Barat kenegaraan berkembang. Atau terjadinya unevent globalization, globalisasi yang timpang (Lister et all; 2003:200).
Konsep Free Flow of Information antar negara di dunia yang pernah diperjuangkan pada massa 1980-an menjadi wacana pada tataran konseptual (McBride, 1982). Praktek arus informasi di media-media internasional masih didominasi negara maju, terutama Amerika Serikat. Negara dunia ketiga lebih banyak menjadi penerima, tanpa bisa mengirimkan secara seimbang informasi mengenai negaranya, yang kemudian memunculkan konsepsi imperialisme budaya negara barat, khususnya AS. Melalui penyebaran informasi tadi telah menyebarkan budaya mereka ke dalam kehidupan negara dan bangsa lain di dunia. Dari informasi pemberitaan, film, lagu, hingga gaya hidup orang AS. Menjadi demam isu di aneka macam negara termasuk Indonesia.
McDonald ialah contoh dari simbol yang sangat tepat dari internasionalisasi aspek budaya AS dalam praktek bisnis yang merabah keseluruh dunia. Keberadaan McDonald hingga Moskow dan kota-kota Eropa Timur yang lain, merupakan simbol yang amat tampak dari adanya pergeseran ekonomi sosialisme menjadi ekonomi pasar (Ritzer, 2000). Keberhasilan McDonald membawa resep standard dari pusat di AS melalui seni administrasi pembiasaan dengan selera lokal, telah bisa menancapkan kuku investasinya, baik di negara yang penduduknya mayoritas Muslim, Kristen, Hindu dan Budha. “They know local tastes a beefburger is unwelcome in Hindu India, a baconburger can not be sold in Muslim countries demands alteration to the recipes”.
Pusat industri media dunia sebagai penyebaran budaya global, benar-benar semakin menjadi alat kapitalisme. Media massa sebagai produsen budaya, cukup umur ini lebih berperan sebagai mesin bisnis pencari keuntungan. Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau kemana-mana, melintas batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi hanya pada beberapa orang aja.
Konsentrasi media global tentu saja akan mengurangi bobot tugas media dalam proses demokrasi, maupun representasi keragaman publik dunia, sebagaimana dibahas oleh Robert W Mc. Chesney. Mereka melihat semakin kuatnya media massa dipengaruhi oleh kekuatan kapitalis, dan kecenderungan berlaku di dunia, termasuk Indonesia. Pada dasarnya karakteristik pengusaha pemilik holdings media, atau sering dikenal dengan istilah the mogul, dimana pun mempunyai kecenderungan yang sama. Yaitu senantiasa berupaya memperbesar jaringan usahanya, kemudian mengakumulasikan laba dan model itu untuk kepentingan mereka, yang pada karenanya sering bertentangan dengan ketentuan keadilan dan demokrasi.
Gramsci, seorang teoritikus politik dari Italia menyampaikan santunan yang sangat berharga dalam studi social dan kebudayaan. Ia menyampaikan klarifikasi atas fenomena bertahannya kapitalisme hingga hari ini. Gramsci menemukan jawabannya ketika ia menyaksikan di masa hidupnya bahwa masyarakat yang berada di bawah tekanan rejim fasis Mussolini, tidak melaksanakan perlawanan terhadap rejim fasis yang berkuasa. Perlawanan seharusnya terjadi di Italia, namun kenyataan berkata lain, yang terjadi ialah rakyat mendapatkan dan rela hidup dengan penderitaan dan mendukung rejim yang berkuasa yaitu rejim Mussolini. Gramsci terus mencari tahu dan karenanya menemukan jawaban atas fenomena ini yaitu : hegemoni.
Hegemoni terjadi ketika masyarakat yang dikuasai oleh kelas yang dominant bersepakat dengan ideology, gaya hidup dan cara berpikir dari kelas dominant. Sehingga kaum tertindas tidak merasa ditindas oleh kelas yang berkuasa.
Berdasarkan ajaran Gramsci tersebut sanggup dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang karenanya berkembang menjadi kepercayaan terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.
Pada dikala ini hegemoni kapitalisme telah begitu mencengkram. Kecenderungan pesan mengalir dari arus budaya utama (mainstream) yakni budaya yang dibangun dari wilayah pusat (centrum) yang bertempat di belahan bumi utara, yaitu budaya barat (Amerika dan Eropa) ke masyarakat yang lemah dalam pengusaan tekologi, informasi, sumber daya manusia, dan sumber keuangan, yaitu bumi selatan (seperti Asia, Afrika, Amerika Latin) yang disebut sebagai wilayah pinggiran (pheriperique) sering dianggap sebagai proses dominasi budaya (cultural domination). Kekuatan dominasi budaya yang disebarkan melalui media massa dan imbas berpengaruh promosi media massa, bisa membuat kondisi masyarakat yang seragam (cultural homogenization). Budaya utama tersebut dihembuskan oleh kekuatan modal dan teknologi, kemampuan sumber daya insan dan jaringan telekomunikasi dan tanpa terasa telah diterima secara sukarela sebagai sebuah kebutuhan.
Perubahan dan dinamika social politik yang berkembang di suatu negara sangat mungkin disebabkan oleh lantaran imbas wacana dan isu-isu internasional yang sengaja dihembuskan oleh beberapa negara raksasa untuk mencapai tujuan akhir, yaitu hegemoni dan dominasi. Misalnya, isu lingkungan hidup, HAM, krisis ekonomi, gender, t3r0risme dan good governance semua tertuju pada problem kekuasaan. Dampak yang semakin dirasakan oleh masyarakat local ialah terjadinya pergeseran nilai dan norma social budaya yang berubah sangat cepat.
Masyarakat dunia ketiga umumnya tidak merasa kalau dirinya dieksploitasi oleh negara industri maju. Terdapat proses internalisasi nilai yang dilakukan negara maju ke negara dunia ketiga melalui “aparat” kebudayaan yang juga merupakan “agent of change” ibarat film, televise, internet, musik dan lain sebagainya yang telah bekerja dengan begitu sempurna.
Media massa dalam hal ini merupakan media yang sangat mendukung berkembangnya hegemoni budaya. Kemampuan teknologi dan kemapanan media jurnalistik dan komunikasi berperan dalam menyebarkan budaya-budaya popular sehingga menjadi budaya global. Kita melihat bagaimana film dan penyiaran di dunia ketiga terutama Indonesia hampir seluruhnya berkiblat pada kebudayaan barat.
Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral, maka produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai suatu yang netral termasuk media penyiaran ibarat televise dan radio. Terdapat kepentingan ideologis di dalamnya yang bermain dari sekelompok kepentingan yang berkaitan dengan ekonomi, politik. Keberadaan media pada karenanya akan didominasi oleh sekelompok pemodal yang ingin menguasai dunia melalui uangnya. Fenomena mengglobalnya media massa harus dilihat sebagai upaya kaum kapitalis dunia dalam menancapkan pengaruhnya ke seluruh belahan dunia.
Media massa khususnya televise pada gilirannya akan diposisikan menjadi biro kebudayaan dari kelas dominant yang ada dalam kehidupan, kekuasaan pemodal. Realitas yang disajikan medium televisi bukanlah realitas yang sebenarnya, tetapi realitas yang telah melalui proses “seleksi”. Seleksi dilakukan oleh sekelompok orang – jurnalis- , pekerja di rumah produksi, produser, sutradara, hingga pemilik yang yang mempunyai system nilai dan ideology tertentu. Hal inilah yang mengakibatkan televisi menjadi tidak bebas nilai. Dapat kita lihat kini ini dimana yang berkuasa ialah industri maju, maka televise akan menjadi biro system nilai, ideology, dan pegawanegeri hegemoni kesadaran. Hampir seluruh acara yang ditayangkan televise kita merepresentasikan kepentingan budaya yang ada di dunia maju. Bahkan film-film yang ditayangkan ialah film produksi sineas Amerika dan Eropa; ibarat Bioskop Trans TV, Layar Emas Box Office RCTI, dan Blockbuster ANTV. Tentunya system nilai dan ideology yang digambarkan sangat bias Amerika dan Eropa. Selain itu, lantaran televisi dikuasai pemodal maka siaran yang akan ditayangkan akan memperteguh dan mengukuhkan dominasi kaum pemodal. Kebudayaan yang disajikan ke khalayak luas pun kebudayaan yang tidak akan mengganggu eksistensi pemodal. Dengan semakin mengglobalnya televise, maka tidak aneh bila kebudayaan yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di Negara maju. Bila terjadi terus menerus maka Amerika dan Eropa akan dianggap sebagai harapan jutaan manusia.
Kecenderungan struktur industri media di dunia, khususnya di AS dalam beberapa tahun terakhir ini berdasarkan David Croteau dan William Hoynes (2001; 73) mengalami empat (4) macam perkembangan, yaitu:
1. Growth (Pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antara perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merabah kemana-mana.
2. Integration (Integrasi), raksasa media gres terintegrasi secara horisontal dengan bergerak ke bebagai bentuk media, ibarat film, penerbitan, radio, dll. Integrasi perusahaan media bisa juga terbentuk secara vertikal dengan mempunyai perusahaan di aneka macam tahapan produksi dan distribusi, contohnya mempunyai perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan bioskop, DVD dan jaringan stasiun televisi.
3. Globalization, untuk meningkatkan derajat keagamaan, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan mendunia.
4. Concentration of Ownership, kepemimpinan holdings media yang menjadi mainstream dunia semakin terkonstrasi kepemilikannya.
Berkah desa global (Marshall Mc Luhan) telah membuat apa yang disebut dengan gaya hidup global (the global life style). Gaya hidup global yang di bawa oleh media massa ditandai dengan membanjirnya produk impor atau dari multinational corporation yang secara massal mengembangkan industrinya hampir di seluruh dunia, ibarat pakaian, minuman, aksesoris, rumah tangga, parfum hingga pada jenis hiburan, musik, film, sinetron, lagu-lagu klasik dan popular, dalam bentuk vcd yang memungkinkan orang sanggup memutar sendiri di rumah-rumah. Produk-produk tersebut telah mendorong warga desa global sebagai konsumen aktif, lebih besar sebagai pengguna produk-produk tersebut daripada harus menjadi produktor. Inilah system kapitalisme sejati yang membawa dunia dalam harapan global. Akhirnya dunia menjadi lebih kosmopolit, yang mana satu orang dengan orang lain tidak saja saling memengaruhi tetapi juga saling mengeksploitasi dan mendominasi.
Hegemoni budaya yang berkembang di Indonesia bahwasanya sudah sangat meresahkan, terutama mengenai pola hidup remaja Indonesia dikala ini, dimana ketika hegemoni budaya barat diberi label modern, maka di sanalah jutaan anak muda negeri mengikut. Terdapat istilah generasi MTV, generasi yang berpikir, berperilaku, dan berbusana menggandakan system budaya yang dipraktikan budaya barat. Bila remaja dikala ini tidak menonton MTV maka kita akan dianggap norak, kampungan, dan tidak modern. Satu pemaknaan yang salah kaprah.
“Tren” pastinya ada lantaran sebuah kebutuhan, Tapi sesungguhnya para korporat sadar bahwa kebutuhan itu sanggup diciptakan. Komunikasi visual pun tercipta sebagai ujung tombak kapitalis untuk membuat rasa “aku harus beli”. Bagi Millen Kundera ini di sebut Imalogy, sebuah pencitraan; bagus itu harus berkulit putih (pucat) ibarat wanita barat umumnya, rambut bagus harus brunette, dan mata yang menarik hati haruslah berwarna biru atau hijau. Remaja Indonesia pun berlomba untuk mencitrakan dirinya sendiri dengan mengkopi perempuan-perempuan barat. Selain itu, di bidang ekonomi juga terjadi hegemoni di mana banyak bertebaran restoran-restoran ala barat ibarat McDonald, Kentucky Fried Chiken, Wendys, dan lain-lain. Masyarakat kini ini bila tidak makan di McD atau minum Coca Cola maka kita akan menjadi orang yang kampungan. Gejala ini merupakan suatu tanda-tanda poskolonialisme, yaitu suatu kondisi masyarakat yang mabuk akan nilai-nilai.
Hal ini akan sangat memengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari dan mengakibatkan factor-faktor negative dalam masyarakat, terutama munculnya diorientasi dan dislokasi. Disorientasi ialah proses kebingungan masyarakat lantaran kehilangan orientasi dalam kehidupan yang makin kompleks. Masyarakat kesulitan untuk mengambil keputusan atau memilih pilihan dari tawaran yang makin banyak dan beragam, dari barang, jenis pekerjaan hingga gaya hidup. Sedangkan dislokasi ialah kondisi dimana setiap orang tidak tahu berada pada posisi dimana lantaran kompleksnya mikrokultur yang lahir lantaran gaya hidup global yang cepat menular. Dalam kondisi ibarat itu, makin banyak warga masyarakat global yang semakin terpinggirkan oleh gegap gempita kehidupan yang kompetitif, teralienasinya individu dari masyarakatnya, terjadinya krisis identitas di segala lapisan.
Dapat dilihat dikala ini bahwa hegemoni budaya barat telah bersahabat dengan masyarakat Indonesia dan dengan sadar telah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari ibarat cara berpakaian, cara berpikir, selera musik dan lainnya. Dari segi penggunaan bahasa juga, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional yang harus dikuasai oleh setiap orang. Bahasa Inggris merupakan syarat utama dalam lowongan pekerjaan.
Sekarang ini tengah terjadi ’perang’ besar-besaran, semboyan besar-besaran untuk mendewakan kekuatan materi, kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya. Apa yang dikonsumsi masyarakat bukan lagi sesuatu berdasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesautu yang disebut dalam istilah teoritis ialah simbol. Di sini kemudian gambaran atau image menjadi sangat penting, ia berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi dimana informasi bukan lagi sekedar sebagai alat atau modal untuk berdagang melainkan menjadi produk itu sendiri. Maraknya industri yang di sebut production house atau rumah produksi misalnya, menjadi indikasi untuk hal ini. Dia tidak memproduksi barang melainkan informasi wacana barang, gambaran wacana barang.
Hegemoni budaya barat sanggup mengancam keutuhan budaya bangsa sendiri, lantaran itu untuk membebaskan masyarakat dari budaya barat, Gramsci menyampaikan bahwa tugas pembebasan ini kepada kaum intelektual yang harus menyadarkan masyarakat bahwa mereka tengah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Menurut Gramsci, terdapat dua macam kaum intelektual, yaitu :
1. Kaum Intelek Organik yaitu kaum intelektual yang menggerakkan massa untuk bebas dari hegemoni budaya barat dan menyadarkan masyarakat bawah bahwa mereka telah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Dalam kondisi ibarat ini kaum intelektual harus membangun blok solidaritas (civil society) guna melaksanakan perlawanan budaya dan melaksanakan delegitimasi terhadap system kebudayaan dari kelas dominant.
2. Kaum intelektual tradisional yaitu kaum yang tidak bergerak untuk membebaskan dari hegemoni, tidak melaksanakan penyadaran dan menjadi biro kepentingan kelas berkuasa. llmu pengetahuan yang dimiliki kaum intelektual jenis melegitimasi kekuasaan yang menindas. Biasanya menempati aneka macam posisi alamiah, filosofis dan religius. Mereka terdapat di aneka macam forum ibarat sekolah, universitas, forum agama, media dan lain sebagainya. Umumnya dalam kehidupan sehari-hari, kaum intelektual menganggap diri mereka independent lantaran bukan dari belahan politik nyata di masyarakat. Tapi berdasarkan Gramsci sesungguhnya mereka tidaklah independent lantaran mereka justru memproduksi, memertahankan, menyebarkan ideology-ideologi yang membentuk hegemoni dan kemudian menjadi tertanam dan ternaturalisasi dalam logika sehat yang pada karenanya akan menguntungkan pihak penguasa.
Dari uraian di atas sanggup kita simpulkan bahwa sesungguhnya kebudayaan bukanlah ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena pertarungan kepentingan ideology dan kelas dalam masyarakat baik nasional maupun internasional. Dalam konteks pertarungan kaum intelektual dituntut untuk berpihak menjadi biro kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat hegemoni dan dominasi. Peran kaum intelektual dalam kritik menjadi sangat penting, membiarkan budaya berdiri tanpa kritik akan semakin menjauhkan insan dari keadaan yang humanis.
Bila kaum intelektual organic ingin menjadi pembebas maka mereka harus memperkuat civil society sebagaimana yang disarankan Gramsci. Kaum intelektual organic harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak rakyat untuk berguru bahu-membahu dalam memahami kebudayaan yang ada dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistematik. Setelah massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap budaya dominant.
Menciptakan Budaya tanding Terhadap Hegemoni Budaya
Dominasi budaya yang dilakukan melalui media massa oleh masyarakat Barat pada karenanya mulai disadari sebagai bentuk imperialisme budaya baru. Bentuk imperialisme modern ini tidak lagi dilakukan dengan pesawat terbang, meriam, peluru dan pasukan, tetapi dilakukan oleh media massa.
Ideologi yang disebarluaskan, tidak dipaksakan oleh penguasa, tetapi merupakan imbas budaya yang disebarkan secara sadar dan sanggup meresap, serta berperan dalam mengintepretasikan pengalaman. Proses ini berlangsung secara tersembunyi, tetapi berlangsung terus menerus.
Kekuatan-kekuatan dominant yang dimiliki negara-negara maju (pusat) tersebut sebagai pihak penguasa teknologi, juga dipakai untuk mendominasi kaidah-kaidah moral dan intelektual yang berlaku di masyarakat negara-negara berkembang (pinggiran) sebagai pihak pengadopsi teknolgi. Akibatnya dalam tingkat tertentu semua ruang public dan semua aspek kehidupan politik, social dan budaya yang dimiliki masyarakat tersebut menjadi masuk ke dalam perangkap ‘hegemoni’.
Melihat kecenderungan demikian, maka hendaknya, sanggup dilakukan diantaranya dengan reformasi di bidang media massa ibarat melaksanakan deregulasi terhadap undang-undang pers, sesuai dengan kenyataan social budaya Indonesia, terutama dalam memperkokoh semangat kebangsaan. Selain itu, kebijakan negara terhadap media massa bukan untuk mengendalikan arus informasi dari rakyat untuk rakyat tetapi bagaimana menyampaikan porsi yang cukup terhadap produk mental local.
Saat ini, masyarakat Indonesia, pemerintah, seniman, mulai merekonstruksi atas “KeIndonesiaan” melalui kebudayaan nasional, kesenian daerah, promosi budaya sebagai wahana budaya tanding terhadap hegemoni budaya tersebut. Sebenarnya, langkah tersebut telah dimulai pada masa orde gres yang secara resmi mengupayakan aspek visual dan dekoratif kebudayaan orisinil Indonesia, mulai dari restorasi monument-monumen purbakala, reproduksi gaya arsitektur tradisional hingga mengajarkan konteks “keindonesiaan” kesenian-kesenian kawasan ibarat seni tari serta penyebarluasan kerajinan tangan dan motif-motif tradisional ibarat kain batik, songket dan lain-lain dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu diterapkan nilai-nilai dan sikap yang dipakai sebagai karakteristik figure kelompok suku bangsa sebagai indikasi kepribadian Indonesia.
Erosi budaya local yang terus menerus mengikis budaya local, kian dipercaya akan bisa menghancurkan local genie secara perlahan-lahan dan menggantikan dengan kebudayaan gres yang tercerabut dari akar budaya genius lokalnya. Dominasi budaya dan hegemoni budaya sanggup dikurangi setidaknya sanggup diletakkan pada porsinya yang selaras dengan budaya setempat, ketika ada kesadaran dan upaya untuk mengatasi keterasingan masyarakat dan keterasingan cultural dengan cara yang kritis.
Dalam kondisi ibarat ini pula, kajian komunikasi antarbudaya memperlihatkan kesadaran pentingnya keterbukaan setiap bangsa untuk mengerti, memahami dan bersikap kritis guna mengantisipasi imbas budaya mainstream terhadap budaya sendiri. Sikap pintar dan bijaksana, yakni perlunya mengakrabi secara kritis tanggapan dampak yang ditimbulkannya dan bukan untuk menghindari secara membabi buta lantaran budaya asing.
Globalisasi yang timpang tersebut memang tidak berarti dunia runtuh, dan tidak pula semua orang menjadi pesimis. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Dawkins yang memperlihatkan konsep ketahanan sosial masyarakat dari perubahan. Dawkins mengungkapkan konsepsi meme dalam kehidupan sosial. Setiap kelompok mempunyai meme, sebagaimana individu mempunyai gen yang akan senantiasa diturunkan kepada anaknya. Melalui meme, kelompok sosial akan memertahankan karakteristik nilai-nilai sosial budayanya kendati kelompok itu diterpa serbuan guncangan budaya lain. Meme menyebar melalui komunikasi dan sosialisasi. Ia merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di benak seseorang, yang memengaruhi insiden di lingkungannya sedemikian rupa sehingga makin tertular luas ke benak orang lain (Lull, 1998), contohnya budaya Jepang.
Aksi postmodernisme juga menyampaikan angin segar bagi budaya lokal dan seni tradisional. Ketika masyarakat sudah mengalami kejenuhan dengan aneka macam hal yang bersifat modern dan global, maka justru mereka kembali kepada hal-hal bersifat etnik, tradisional, dikenal dengan retradisionalisasi.
Hidup Berkepribadian dengan Kebudayaan Sendiri
Manusia dengan kebudayaan itu saling menciptakan, insan membuat kebudayaan melalui cipta, karsa dan karya. Selanjutnya kebudayaan yang sudah diciptakan itu membentuk insan yang hidup di dalamnya sesuai dengan pola yang dibuat oleh kebudayaan itu. Manusia hanya bisa hidup dalam kebudayaan, lantaran kebudayaan merupakan kesadaran bersama, yang membentuk pola pikir dan kesadaran yang bersiklus dan teratur. Kebudayaan dalam taraf ini dikenal dengan kosmologi, sebagai sebuah cara hidup dan cara pandang yang tertib, teratur dan ajek.
Dalam sistem modern dengan sarana komunikasi yang jago dan canggih, sebuah kebudayaan yang besar bisa memaksakan keberadaannya pada bangsa lain, sehingga memaksa orang lain hidup di luar kebudayaannya sendiri. Ketercerabutan budaya mewarnai kehidupan masyarakat modern, yang terjadi lantaran proses migrasi, kemudian masuk ke wilayah budaya lain. Tetapi yang repot ketercerabutan itu ialah tanggapan proses hegemoni.
Hegemoni kebudayaan itu berjalan melalui media massa, kesenian, pendidikan dan penerbitan aneka macam buku. Dengan mengadopsi budaya luar yang hegemonim itu suatu bangsa akan kehilangan persentuhan bahkan rujukan dengan budayanya sendiri. Padahal berpijak pada tradisi sendiri merupakan pangkal kemajuan, bukan sebaiknya, kemajuan ditempuh dengan meninggalkan tradisi sendiri. Karena dengan cara itu pembaruan tidak mengakar, sehingga tidak akan bisa tumbuh subur dan kuat.
Kita bisa saksikan sebuah bangsa besar ibarat Turki dengan kekhalifahan Dinasti Usmani yang sangat besar itu, tiba-tiba diganti oleh Kemal Attaturk dengan tradisi Barat secara total, semenjak dari sistem pemerintahan, sistem pendidikan dan perekonomiannya. Hingga dikala ini Turki tidak menjadi negara besar, bahkan semakin kecil, mau masuk ke Uni Eropa saja gagal baik lantaran diskriminasi maupun lantaran kemajuan negara itu yang tidak berarti walaupun sudah membaratkan diri mereka secara total. Justeru lantaran pembaratannya, dengan imitasinya itu Turki kehilangan kepribadiannya. Dengan tanpa kepribadian mustahil suatu bangsa bisa berkembang dan disegani orang.
Sebaliknya bangsa Jepang, ketika ditaklukkan Amerika hanya satu seruan Kaisar yaitu bangsa Jepang ingin dibolehkan hidup dengan tradisi bangsa Jepang: Sistem politik Jepang, sistem pendidikan Jepang, sistem kalender Jepang dan penggunaan abjad Jepang. Berbeda dengan Turki yang terpuruk, Jepang dengan kejepangannya bisa menampilkan diri sebagai negara yang maju bisa berdiri dan duduk sejajar dengan peradaban Barat, tetapi tidak meninggalkan tradisi, justeru Jepang maju dengan modal tradisi.
Sementara di Indonesia semenjak awal melaksanakan modernisasi terutama semenjak Orde Baru langkah yang dilakukan ialah menghancurkan tradisi, lantaran tradisi dianggap sebagai penghalang kemajuan. Maka kini ini sedikit sekali tradisi yang tersisa. Apalagi dengan gencarnya siaran media, hampir tidak lagi mengapresiasi tradisi sendiri, semuanya menyuguhkan budaya asing yang dianggap lebih modern. Setiap hari kebudayaan sendiri semakin tersisih, sementara budaya asing semakin mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kejadian itu bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan direkayasa dengan harapan bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain kalau bangsa ini telah mengambil budaya lain. Maka yang terjadi ialah peniruan atau imitasi dan penjiplakan, sementara mustahil orang bisa besar dengan menjiplak, niscaya kualitasnya di bawah budaya utama. Maka karenanya daya saing yang dibutuhkan tidak pernah muncul, sementara kebudayaan sendiri terlanjur sudah dikesampingkan, tidak dihormati oleh bangsa sendiri.
Baru ketika bangsa lain menghormati kebudayaan kita, kita gres tersadar untuk ikut mengapresiasi kebudayaan sendiri, yang sudah kita tinggalkan, karenanya bangsa asinglah yang menguasai kebudayaan kita. Sementara imperialisme kebudayaan ini ialah belahan penting dari imperialisme politik dan ekonomi, maka imperialisme kebudayaan dijalankan dalam rangka memperlancar imperialisme politik dan ekonomi itu.
Dengan imperialisme kebudayaan itu kita tercerabut dari kebudayaan sendiri, karenanya kita sebagai gelandangan budaya dan mengalami kemiskinan budaya. Sehingga menjadi bangsa yang tidak mempunyai imajinasi, bangsa yang kehilangan mimpi sehingga tidak bisa menjadi bangsa yang cerdas dan kreatif. Memang hidup dengan basis kebudayaan sendiri yang sudah terlanjur diremehkan, dihinakan agak repot, kecuali bagi orang yang penuh percaya diri. Padahal hidup dengan kebudayaan sendiri itulah kunci kemajuan, dengan budaya sendiri seseorang atau suatu bangsa akan mempunyai kepribadian. Dengan berkepribadian itulah bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain.
Bangsa kita yang terdiri dari aneka macam suku bangsa, budaya dan bahasa, mempunyai aneka macam sumber kebudayaan yang bisa dikembangkan. Baik dikembangkan menjadi sistem pemerintahan, kenegaraan, sistem pendidikan, sistem pertahanan dan sistem ekonomi. Bangsa ini pernah menjadi bangsa besar sebelum dihancurkan oleh penjajah, justeru lantaran dengan sistem pemerintahan sendiri, sistem pendidikan sendiri. Dalam proses ini selain dibutuhkan keberanian mengangkat budaya sendiri, juga dibutuhkan kemampuan untuk menafsirkan kembali kebudayaan sendiri, sesudah itu dibutuhkan keberanian moral dan keberanian politik untuk melaksanakan perubahan kebudayaan.
Kebudayaan bagi bangsa yang mempunyai kepribadian, bukan sekadar konsep akademik, tetapi sudah merupakan seni administrasi perubahan. Dengan cara pada suatu kebudayaan ditransformasikan dan menuju arah mana kebudayaan itu ditransformasikan. Politik kebudayaan mempersyaratkan adanya pemeran kebudayaan yang mempunyai kepribadian, hanya dengan cara itu mereka mempunyai keberanian moral untuk melaksanakan pendobrakan dari kejenuhan dan kebuntuan, untuk menerobos aneka macam kemungkinan, untuk membuat peluang dan harapan.
Hegemoni Budaya
Kepustakaan :
1. Gillin, Todd. 1979. Prime Time Ideology: The Hegemonic Process In Television, in Newcomb, Horace, ed. 1994, Television: The Critical View. Fifth Edition. New York: Oxfod University Press.
2. Simon, Roger. 1991. Gramsci’s Political Thought; An Introduction. London: Lawrence and Wishart.
3. Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Lifestyle Ectasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
4. NU Online (www.nu.or.id)
Sumber http://dingklikkelas.blogspot.com
Episode lainnya dari drama perkembangan peradaban modern dikala ini ialah suatu kisah di mana proses penyebaran informasi yang melintasi aneka macam tapal batas wilayah (negara), konferensi jarak jauh (teleconference), cetak jarak jauh, dan sebagainya telah bisa membuat ikatan-ikatan gres secara sosiologis ataupun psikologis sebagai belahan dari warga masyarakat ”Desa Dunia’ (Global Village) ibarat yang disitir oleh McLuhan spesialis sejarah komunikasi sosial dari Canada.
Revolusi teknologi komunikasi dan informasi bukanlah satu-satunya ’agent of social change’ dari fenomena kontemporer globalisasi yang terus berkembang hingga dikala ini. Sebab perkembangan sistem ekonomi, khususnya perdagangan dunia setidaknya merupakan kontributor lain juga yang harus dipertimbangkan.
Globalisasi yang tengah terjadi dikala ini telah membawa beberapa perubahan fundamental bagi sejarah kehidupan insan dikarenakan telah memporak-porandakan konsep jarak, ruang dan waktu. Globalisasi dalam dimensi sebagai anugerah sanggup ditandai oleh ketersediaan barang dan jasa, lengkap dengan keragaman variasi, model, kualitas, ataupun harga secara memadai serta gampang diakses oleh para konsumen.
Demikian pula dengan aneka macam insiden apapun dari aneka macam pelosok dunia akan sanggup secara gampang diketahui, bahkan dengan sesegera mungkin sehingga banyak pihak sanggup dengan cepat pula menyampaikan respon atas aneka macam insiden tersebut. Akan tetapi, globalisasi secara sekaligus juga sanggup dilihat dalam dimensi sebagai musibah, lantaran realitas yang hadir dalam format ibarat itu tidak akan pernah bersifat ”netral” dan ”bebas kepentingan”, terutama dalam penguasaan aset sumber daya material, baik modal, energi, teknologi, dan informasi.
Atas dasar kenyataan itu maka terlalu naif bila tetap beranggapan bahwa dalam globalisasi yang sedang terjadi dikala ini akan dicapai suatu perolehan, baik kesempatan maupun hasil yang adil bagi semua pihak. Secara lebih tegas ialah adanya pihak yang lebih diuntungkan dan dirugikan dalam ’setting’ situasi dan kondisi ibarat ini. Dan secara gampang sanggup diterka bahwa negara-negara maju mempunyai peluang yang lebih besar dari pada negara-negara berkembang yang terpaksa harus mendapatkan nasib sebagai pihak yang akan banyak dirugikan.
Fokus perhatian pada problem keterkaitan antara suatu ’bentuk teknologi’ dengan ’sistem kebudayaan’ menjadi kian relevan manakala muncul suatu kenyataan bahwa kesuksesan dari negara-negara maju sebagai produsen utama perangkat teknologi tersebut telah menciptakan, merekayasa, dan mensosialisasikan ’simbol-simbol’ gres wacana kemajuan suatu peradaban dan pada karenanya mendorong dan memacu negara-negara berkembang ikut ’terseret’ ke dalam setting modernisasi tersebut. Hanya saja perbedaannya, posisi negara-negara berkembang bukan turut berperan sebagai produsen suatu bentuk teknologi, tetapi lebih sekedar menjadi konsumen aneka macam produk teknologi yang dihasilkan negara-negara maju melalui proyek ’transfer teknologi’. Kegiatan ini selanjutnya menjadi terkenal bagi negara berkembang lantaran dipandang sanggup menjadi sumber ’kekuatan baru’ di dalam melaksanakan pembangunan (modernisasi), khususnya atas kemampuannya membuat efisiensi biaya operasional serta kemampuan untuk meningkatkan produktivitas.
Dengan demikian globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan insan di dunia, baik di bidang ekonomi, politik, social dan budaya. Globalisasi sejatinya ialah anak kandung dari kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya dilakukan dalam suatu negara kemudian merambah ke dunia lain dan demi memasarkan produk-produk mereka dan mencari laba demi mengakumulasikan modal. Bila pada masa kolonialisme, kapitalisme melaksanakan koloni untuk mencari materi mentah dan ekspansi pasar namun masa pascakolonial kapitalisme “membonceng” kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Era globalisasi mendorong adanya pasar bebas yang membuat modal begitu gampang keluar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar bebas akan membuat suatu negara terisolasi dari pergaulan internasional. Selain itu, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah menjadikan batas-batas negara menjadi samar. Dan pada karenanya menjadi alasan berpengaruh untuk menyampaikan perhatian pada problem identitas budaya nasional. Karena dengan adanya adopsi proses suatu bentuk teknologi komunikasi dan informasi tersebut, menyampaikan aneka macam bentuk implikasi tertentu dalam pola korelasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya, baik di dalam masyarakat itu sendiri (sebagai tanggapan masuknya rasionalitas teknologis modern ke dalam sistem berpikir masyarakat yang tradisional) maupun pada dikala berinteraksi antarnegara (akibat masuknya negara ke dalam perangkap ketergantungan terhadap negara lain; khususnya ketergantungan teknologis).
Berkaitan dengan problem perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta fenomena transfer teknologi antarnegara maka sanggup diketahui bahwa berdasarkan Dizard (1989) negara Amerika Serikat merupakan produsen utama perangkat teknologi komunikasi ibarat komputer, satelit komunikasi, industri film, jaringan telepon, serta industri siaran (broadcasting) baik televisi maupun radio, bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bahkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dari Collins (1988), dari semua jenis produk yang telah ’mendunia’, dimana Amerika Serikat memimpin dalam kapasitasnya sebagai produsen dan pengekspor aneka macam acara siaran televisi selama lebih dari 30 tahun terakhir.
Lebih lanjut Parker (1996) menjelaskan bahwa dengan adanya kenyataan tersebut pada karenanya mengundang kritik dari Schiller (1989) yang menyatakan bahwa kencenderungan adanya dominasi televisi Amerika Serikat tersebut sanggup dikategorikan sebagai suatu bentuk ’imperialisme budaya’, dimana pada kelanjutannya telah mengakibatkan ’gegar budaya’ ataupun ’kehebohan budaya’ bagi negara-negara lain yang menerimanya (recipient countries). Bahkan kondisi ini ibarat ini telah diisyaratkan oleh Schiller jauh sebelumnya bahwa jikalau ’imperialisme’ dipahami sebagai suatu upaya untuk merekayasa pelanggengan kekuasaan suatu negara, yang dilakukan dengan cara memperluas kekuatan kontrol dan dominasi, maka tindakan Amerika Serikat mengekspor produk industri televisinya ke negara-negara lain sanggup dinilai sebagai ’global American electronic invasion’.
Imperialisme sanggup dilihat dari acara transfer teknologi komunikasi dalam hal ini ialah media massa yang menjadi pengantar dan mediator masuknya nilai-nilai modern (Barat) tersebut, baik yang kasatmata dalam bentuk pesan-pesan budaya maupun yang masih tersembunyi di balik bentuk fisik teknologi sehingga menghancurkan nilai-nilai tradisional masyarakat yang mengadopsi teknologi komunikasi tersebut.
Saat ini, dalam hal kebudayaan sanggup dilihat bagaimana kebudayaan Amerika dan Eropa sebagai representasi kekuatan kapitalisme dunia yang mencitrakan dirinya sebagai kebudayaan yang adiluhung. Masyarakat dunia ketiga yakni negara-negara yang berkembang, secara tidak sadar dipaksa mengintegrasikan dirinya ke dalam belahan dari kebudayaan tersebut.
Perkembangan teknologi juga telah memunculkan komunikasi gres dalam bentuk Computer Mediated Communication (CMC). Yaitu komunikasi dengan mediasi computer melalui jaringan on line internet di dunia maya, antara orang banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari aneka macam belahan dunia tanpa batas (Mcquail, 2002 hal. 113). Melalui CMC ini tugas pengakses internet menjadi bersahabat dengan situs global ibarat Yahoo, Hotmail, dll. Dengan demikian informasi yang begitu gampang menyebar, sekaligus mendorong terjadinya fenomena globalisasi budaya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia malah sering menjadi objek kemajuan dan kesiapan negara kaya. Yang terjadi mengalirkan begitu banyak informasi dari Negara-negara maju khususnya Barat kenegaraan berkembang. Atau terjadinya unevent globalization, globalisasi yang timpang (Lister et all; 2003:200).
Konsep Free Flow of Information antar negara di dunia yang pernah diperjuangkan pada massa 1980-an menjadi wacana pada tataran konseptual (McBride, 1982). Praktek arus informasi di media-media internasional masih didominasi negara maju, terutama Amerika Serikat. Negara dunia ketiga lebih banyak menjadi penerima, tanpa bisa mengirimkan secara seimbang informasi mengenai negaranya, yang kemudian memunculkan konsepsi imperialisme budaya negara barat, khususnya AS. Melalui penyebaran informasi tadi telah menyebarkan budaya mereka ke dalam kehidupan negara dan bangsa lain di dunia. Dari informasi pemberitaan, film, lagu, hingga gaya hidup orang AS. Menjadi demam isu di aneka macam negara termasuk Indonesia.
McDonald ialah contoh dari simbol yang sangat tepat dari internasionalisasi aspek budaya AS dalam praktek bisnis yang merabah keseluruh dunia. Keberadaan McDonald hingga Moskow dan kota-kota Eropa Timur yang lain, merupakan simbol yang amat tampak dari adanya pergeseran ekonomi sosialisme menjadi ekonomi pasar (Ritzer, 2000). Keberhasilan McDonald membawa resep standard dari pusat di AS melalui seni administrasi pembiasaan dengan selera lokal, telah bisa menancapkan kuku investasinya, baik di negara yang penduduknya mayoritas Muslim, Kristen, Hindu dan Budha. “They know local tastes a beefburger is unwelcome in Hindu India, a baconburger can not be sold in Muslim countries demands alteration to the recipes”.
Pusat industri media dunia sebagai penyebaran budaya global, benar-benar semakin menjadi alat kapitalisme. Media massa sebagai produsen budaya, cukup umur ini lebih berperan sebagai mesin bisnis pencari keuntungan. Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau kemana-mana, melintas batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi hanya pada beberapa orang aja.
Konsentrasi media global tentu saja akan mengurangi bobot tugas media dalam proses demokrasi, maupun representasi keragaman publik dunia, sebagaimana dibahas oleh Robert W Mc. Chesney. Mereka melihat semakin kuatnya media massa dipengaruhi oleh kekuatan kapitalis, dan kecenderungan berlaku di dunia, termasuk Indonesia. Pada dasarnya karakteristik pengusaha pemilik holdings media, atau sering dikenal dengan istilah the mogul, dimana pun mempunyai kecenderungan yang sama. Yaitu senantiasa berupaya memperbesar jaringan usahanya, kemudian mengakumulasikan laba dan model itu untuk kepentingan mereka, yang pada karenanya sering bertentangan dengan ketentuan keadilan dan demokrasi.
Gramsci, seorang teoritikus politik dari Italia menyampaikan santunan yang sangat berharga dalam studi social dan kebudayaan. Ia menyampaikan klarifikasi atas fenomena bertahannya kapitalisme hingga hari ini. Gramsci menemukan jawabannya ketika ia menyaksikan di masa hidupnya bahwa masyarakat yang berada di bawah tekanan rejim fasis Mussolini, tidak melaksanakan perlawanan terhadap rejim fasis yang berkuasa. Perlawanan seharusnya terjadi di Italia, namun kenyataan berkata lain, yang terjadi ialah rakyat mendapatkan dan rela hidup dengan penderitaan dan mendukung rejim yang berkuasa yaitu rejim Mussolini. Gramsci terus mencari tahu dan karenanya menemukan jawaban atas fenomena ini yaitu : hegemoni.
Hegemoni terjadi ketika masyarakat yang dikuasai oleh kelas yang dominant bersepakat dengan ideology, gaya hidup dan cara berpikir dari kelas dominant. Sehingga kaum tertindas tidak merasa ditindas oleh kelas yang berkuasa.
Berdasarkan ajaran Gramsci tersebut sanggup dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang karenanya berkembang menjadi kepercayaan terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.
Pada dikala ini hegemoni kapitalisme telah begitu mencengkram. Kecenderungan pesan mengalir dari arus budaya utama (mainstream) yakni budaya yang dibangun dari wilayah pusat (centrum) yang bertempat di belahan bumi utara, yaitu budaya barat (Amerika dan Eropa) ke masyarakat yang lemah dalam pengusaan tekologi, informasi, sumber daya manusia, dan sumber keuangan, yaitu bumi selatan (seperti Asia, Afrika, Amerika Latin) yang disebut sebagai wilayah pinggiran (pheriperique) sering dianggap sebagai proses dominasi budaya (cultural domination). Kekuatan dominasi budaya yang disebarkan melalui media massa dan imbas berpengaruh promosi media massa, bisa membuat kondisi masyarakat yang seragam (cultural homogenization). Budaya utama tersebut dihembuskan oleh kekuatan modal dan teknologi, kemampuan sumber daya insan dan jaringan telekomunikasi dan tanpa terasa telah diterima secara sukarela sebagai sebuah kebutuhan.
Perubahan dan dinamika social politik yang berkembang di suatu negara sangat mungkin disebabkan oleh lantaran imbas wacana dan isu-isu internasional yang sengaja dihembuskan oleh beberapa negara raksasa untuk mencapai tujuan akhir, yaitu hegemoni dan dominasi. Misalnya, isu lingkungan hidup, HAM, krisis ekonomi, gender, t3r0risme dan good governance semua tertuju pada problem kekuasaan. Dampak yang semakin dirasakan oleh masyarakat local ialah terjadinya pergeseran nilai dan norma social budaya yang berubah sangat cepat.
Masyarakat dunia ketiga umumnya tidak merasa kalau dirinya dieksploitasi oleh negara industri maju. Terdapat proses internalisasi nilai yang dilakukan negara maju ke negara dunia ketiga melalui “aparat” kebudayaan yang juga merupakan “agent of change” ibarat film, televise, internet, musik dan lain sebagainya yang telah bekerja dengan begitu sempurna.
Media massa dalam hal ini merupakan media yang sangat mendukung berkembangnya hegemoni budaya. Kemampuan teknologi dan kemapanan media jurnalistik dan komunikasi berperan dalam menyebarkan budaya-budaya popular sehingga menjadi budaya global. Kita melihat bagaimana film dan penyiaran di dunia ketiga terutama Indonesia hampir seluruhnya berkiblat pada kebudayaan barat.
Bila melihat kebudayaan bukanlah ruang yang netral, maka produk kebudayaan dan medium kebudayaan pun tidak bisa dipandang sebagai suatu yang netral termasuk media penyiaran ibarat televise dan radio. Terdapat kepentingan ideologis di dalamnya yang bermain dari sekelompok kepentingan yang berkaitan dengan ekonomi, politik. Keberadaan media pada karenanya akan didominasi oleh sekelompok pemodal yang ingin menguasai dunia melalui uangnya. Fenomena mengglobalnya media massa harus dilihat sebagai upaya kaum kapitalis dunia dalam menancapkan pengaruhnya ke seluruh belahan dunia.
Media massa khususnya televise pada gilirannya akan diposisikan menjadi biro kebudayaan dari kelas dominant yang ada dalam kehidupan, kekuasaan pemodal. Realitas yang disajikan medium televisi bukanlah realitas yang sebenarnya, tetapi realitas yang telah melalui proses “seleksi”. Seleksi dilakukan oleh sekelompok orang – jurnalis- , pekerja di rumah produksi, produser, sutradara, hingga pemilik yang yang mempunyai system nilai dan ideology tertentu. Hal inilah yang mengakibatkan televisi menjadi tidak bebas nilai. Dapat kita lihat kini ini dimana yang berkuasa ialah industri maju, maka televise akan menjadi biro system nilai, ideology, dan pegawanegeri hegemoni kesadaran. Hampir seluruh acara yang ditayangkan televise kita merepresentasikan kepentingan budaya yang ada di dunia maju. Bahkan film-film yang ditayangkan ialah film produksi sineas Amerika dan Eropa; ibarat Bioskop Trans TV, Layar Emas Box Office RCTI, dan Blockbuster ANTV. Tentunya system nilai dan ideology yang digambarkan sangat bias Amerika dan Eropa. Selain itu, lantaran televisi dikuasai pemodal maka siaran yang akan ditayangkan akan memperteguh dan mengukuhkan dominasi kaum pemodal. Kebudayaan yang disajikan ke khalayak luas pun kebudayaan yang tidak akan mengganggu eksistensi pemodal. Dengan semakin mengglobalnya televise, maka tidak aneh bila kebudayaan yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di Negara maju. Bila terjadi terus menerus maka Amerika dan Eropa akan dianggap sebagai harapan jutaan manusia.
Kecenderungan struktur industri media di dunia, khususnya di AS dalam beberapa tahun terakhir ini berdasarkan David Croteau dan William Hoynes (2001; 73) mengalami empat (4) macam perkembangan, yaitu:
1. Growth (Pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers antara perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merabah kemana-mana.
2. Integration (Integrasi), raksasa media gres terintegrasi secara horisontal dengan bergerak ke bebagai bentuk media, ibarat film, penerbitan, radio, dll. Integrasi perusahaan media bisa juga terbentuk secara vertikal dengan mempunyai perusahaan di aneka macam tahapan produksi dan distribusi, contohnya mempunyai perusahaan produksi film, sekaligus perusahaan bioskop, DVD dan jaringan stasiun televisi.
3. Globalization, untuk meningkatkan derajat keagamaan, konglomerat media telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus yuridiksi negara dan mendunia.
4. Concentration of Ownership, kepemimpinan holdings media yang menjadi mainstream dunia semakin terkonstrasi kepemilikannya.
Berkah desa global (Marshall Mc Luhan) telah membuat apa yang disebut dengan gaya hidup global (the global life style). Gaya hidup global yang di bawa oleh media massa ditandai dengan membanjirnya produk impor atau dari multinational corporation yang secara massal mengembangkan industrinya hampir di seluruh dunia, ibarat pakaian, minuman, aksesoris, rumah tangga, parfum hingga pada jenis hiburan, musik, film, sinetron, lagu-lagu klasik dan popular, dalam bentuk vcd yang memungkinkan orang sanggup memutar sendiri di rumah-rumah. Produk-produk tersebut telah mendorong warga desa global sebagai konsumen aktif, lebih besar sebagai pengguna produk-produk tersebut daripada harus menjadi produktor. Inilah system kapitalisme sejati yang membawa dunia dalam harapan global. Akhirnya dunia menjadi lebih kosmopolit, yang mana satu orang dengan orang lain tidak saja saling memengaruhi tetapi juga saling mengeksploitasi dan mendominasi.
Hegemoni budaya yang berkembang di Indonesia bahwasanya sudah sangat meresahkan, terutama mengenai pola hidup remaja Indonesia dikala ini, dimana ketika hegemoni budaya barat diberi label modern, maka di sanalah jutaan anak muda negeri mengikut. Terdapat istilah generasi MTV, generasi yang berpikir, berperilaku, dan berbusana menggandakan system budaya yang dipraktikan budaya barat. Bila remaja dikala ini tidak menonton MTV maka kita akan dianggap norak, kampungan, dan tidak modern. Satu pemaknaan yang salah kaprah.
“Tren” pastinya ada lantaran sebuah kebutuhan, Tapi sesungguhnya para korporat sadar bahwa kebutuhan itu sanggup diciptakan. Komunikasi visual pun tercipta sebagai ujung tombak kapitalis untuk membuat rasa “aku harus beli”. Bagi Millen Kundera ini di sebut Imalogy, sebuah pencitraan; bagus itu harus berkulit putih (pucat) ibarat wanita barat umumnya, rambut bagus harus brunette, dan mata yang menarik hati haruslah berwarna biru atau hijau. Remaja Indonesia pun berlomba untuk mencitrakan dirinya sendiri dengan mengkopi perempuan-perempuan barat. Selain itu, di bidang ekonomi juga terjadi hegemoni di mana banyak bertebaran restoran-restoran ala barat ibarat McDonald, Kentucky Fried Chiken, Wendys, dan lain-lain. Masyarakat kini ini bila tidak makan di McD atau minum Coca Cola maka kita akan menjadi orang yang kampungan. Gejala ini merupakan suatu tanda-tanda poskolonialisme, yaitu suatu kondisi masyarakat yang mabuk akan nilai-nilai.
Hal ini akan sangat memengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari dan mengakibatkan factor-faktor negative dalam masyarakat, terutama munculnya diorientasi dan dislokasi. Disorientasi ialah proses kebingungan masyarakat lantaran kehilangan orientasi dalam kehidupan yang makin kompleks. Masyarakat kesulitan untuk mengambil keputusan atau memilih pilihan dari tawaran yang makin banyak dan beragam, dari barang, jenis pekerjaan hingga gaya hidup. Sedangkan dislokasi ialah kondisi dimana setiap orang tidak tahu berada pada posisi dimana lantaran kompleksnya mikrokultur yang lahir lantaran gaya hidup global yang cepat menular. Dalam kondisi ibarat itu, makin banyak warga masyarakat global yang semakin terpinggirkan oleh gegap gempita kehidupan yang kompetitif, teralienasinya individu dari masyarakatnya, terjadinya krisis identitas di segala lapisan.
Dapat dilihat dikala ini bahwa hegemoni budaya barat telah bersahabat dengan masyarakat Indonesia dan dengan sadar telah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari ibarat cara berpakaian, cara berpikir, selera musik dan lainnya. Dari segi penggunaan bahasa juga, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa internasional yang harus dikuasai oleh setiap orang. Bahasa Inggris merupakan syarat utama dalam lowongan pekerjaan.
Sekarang ini tengah terjadi ’perang’ besar-besaran, semboyan besar-besaran untuk mendewakan kekuatan materi, kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya. Apa yang dikonsumsi masyarakat bukan lagi sesuatu berdasar nilai guna, nilai pakai, tetapi sesautu yang disebut dalam istilah teoritis ialah simbol. Di sini kemudian gambaran atau image menjadi sangat penting, ia berjalan seiring melesatnya kemajuan dunia informasi dimana informasi bukan lagi sekedar sebagai alat atau modal untuk berdagang melainkan menjadi produk itu sendiri. Maraknya industri yang di sebut production house atau rumah produksi misalnya, menjadi indikasi untuk hal ini. Dia tidak memproduksi barang melainkan informasi wacana barang, gambaran wacana barang.
Hegemoni budaya barat sanggup mengancam keutuhan budaya bangsa sendiri, lantaran itu untuk membebaskan masyarakat dari budaya barat, Gramsci menyampaikan bahwa tugas pembebasan ini kepada kaum intelektual yang harus menyadarkan masyarakat bahwa mereka tengah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Menurut Gramsci, terdapat dua macam kaum intelektual, yaitu :
1. Kaum Intelek Organik yaitu kaum intelektual yang menggerakkan massa untuk bebas dari hegemoni budaya barat dan menyadarkan masyarakat bawah bahwa mereka telah ditindas dan dihegemoni oleh kekuasaan tertentu. Dalam kondisi ibarat ini kaum intelektual harus membangun blok solidaritas (civil society) guna melaksanakan perlawanan budaya dan melaksanakan delegitimasi terhadap system kebudayaan dari kelas dominant.
2. Kaum intelektual tradisional yaitu kaum yang tidak bergerak untuk membebaskan dari hegemoni, tidak melaksanakan penyadaran dan menjadi biro kepentingan kelas berkuasa. llmu pengetahuan yang dimiliki kaum intelektual jenis melegitimasi kekuasaan yang menindas. Biasanya menempati aneka macam posisi alamiah, filosofis dan religius. Mereka terdapat di aneka macam forum ibarat sekolah, universitas, forum agama, media dan lain sebagainya. Umumnya dalam kehidupan sehari-hari, kaum intelektual menganggap diri mereka independent lantaran bukan dari belahan politik nyata di masyarakat. Tapi berdasarkan Gramsci sesungguhnya mereka tidaklah independent lantaran mereka justru memproduksi, memertahankan, menyebarkan ideology-ideologi yang membentuk hegemoni dan kemudian menjadi tertanam dan ternaturalisasi dalam logika sehat yang pada karenanya akan menguntungkan pihak penguasa.
Dari uraian di atas sanggup kita simpulkan bahwa sesungguhnya kebudayaan bukanlah ruang yang netral. Keberadaannya menjadi arena pertarungan kepentingan ideology dan kelas dalam masyarakat baik nasional maupun internasional. Dalam konteks pertarungan kaum intelektual dituntut untuk berpihak menjadi biro kelas penguasa ataukah menjadi pembebas massa rakyat hegemoni dan dominasi. Peran kaum intelektual dalam kritik menjadi sangat penting, membiarkan budaya berdiri tanpa kritik akan semakin menjauhkan insan dari keadaan yang humanis.
Bila kaum intelektual organic ingin menjadi pembebas maka mereka harus memperkuat civil society sebagaimana yang disarankan Gramsci. Kaum intelektual organic harus segera turun ke tengah-tengah massa dan mengajak rakyat untuk berguru bahu-membahu dalam memahami kebudayaan yang ada dalam realitas kehidupan. Gerakan ini bertujuan membongkar kesadaran palsu (kesadaran borjuasi) yang ditancapkan dalam kesadaran massa secara sistematik. Setelah massa sadar akan posisinya dalam ruang kebudayaan, massa kemudian diajak untuk memproduksi kebudayaan yang berpihak pada posisi kelasnya. Kebudayaan yang diproduksi ini merupakan satu kebudayaan tandingan sebagai perlawanan terhadap budaya dominant.
Menciptakan Budaya tanding Terhadap Hegemoni Budaya
Dominasi budaya yang dilakukan melalui media massa oleh masyarakat Barat pada karenanya mulai disadari sebagai bentuk imperialisme budaya baru. Bentuk imperialisme modern ini tidak lagi dilakukan dengan pesawat terbang, meriam, peluru dan pasukan, tetapi dilakukan oleh media massa.
Ideologi yang disebarluaskan, tidak dipaksakan oleh penguasa, tetapi merupakan imbas budaya yang disebarkan secara sadar dan sanggup meresap, serta berperan dalam mengintepretasikan pengalaman. Proses ini berlangsung secara tersembunyi, tetapi berlangsung terus menerus.
Kekuatan-kekuatan dominant yang dimiliki negara-negara maju (pusat) tersebut sebagai pihak penguasa teknologi, juga dipakai untuk mendominasi kaidah-kaidah moral dan intelektual yang berlaku di masyarakat negara-negara berkembang (pinggiran) sebagai pihak pengadopsi teknolgi. Akibatnya dalam tingkat tertentu semua ruang public dan semua aspek kehidupan politik, social dan budaya yang dimiliki masyarakat tersebut menjadi masuk ke dalam perangkap ‘hegemoni’.
Melihat kecenderungan demikian, maka hendaknya, sanggup dilakukan diantaranya dengan reformasi di bidang media massa ibarat melaksanakan deregulasi terhadap undang-undang pers, sesuai dengan kenyataan social budaya Indonesia, terutama dalam memperkokoh semangat kebangsaan. Selain itu, kebijakan negara terhadap media massa bukan untuk mengendalikan arus informasi dari rakyat untuk rakyat tetapi bagaimana menyampaikan porsi yang cukup terhadap produk mental local.
Saat ini, masyarakat Indonesia, pemerintah, seniman, mulai merekonstruksi atas “KeIndonesiaan” melalui kebudayaan nasional, kesenian daerah, promosi budaya sebagai wahana budaya tanding terhadap hegemoni budaya tersebut. Sebenarnya, langkah tersebut telah dimulai pada masa orde gres yang secara resmi mengupayakan aspek visual dan dekoratif kebudayaan orisinil Indonesia, mulai dari restorasi monument-monumen purbakala, reproduksi gaya arsitektur tradisional hingga mengajarkan konteks “keindonesiaan” kesenian-kesenian kawasan ibarat seni tari serta penyebarluasan kerajinan tangan dan motif-motif tradisional ibarat kain batik, songket dan lain-lain dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu diterapkan nilai-nilai dan sikap yang dipakai sebagai karakteristik figure kelompok suku bangsa sebagai indikasi kepribadian Indonesia.
Erosi budaya local yang terus menerus mengikis budaya local, kian dipercaya akan bisa menghancurkan local genie secara perlahan-lahan dan menggantikan dengan kebudayaan gres yang tercerabut dari akar budaya genius lokalnya. Dominasi budaya dan hegemoni budaya sanggup dikurangi setidaknya sanggup diletakkan pada porsinya yang selaras dengan budaya setempat, ketika ada kesadaran dan upaya untuk mengatasi keterasingan masyarakat dan keterasingan cultural dengan cara yang kritis.
Dalam kondisi ibarat ini pula, kajian komunikasi antarbudaya memperlihatkan kesadaran pentingnya keterbukaan setiap bangsa untuk mengerti, memahami dan bersikap kritis guna mengantisipasi imbas budaya mainstream terhadap budaya sendiri. Sikap pintar dan bijaksana, yakni perlunya mengakrabi secara kritis tanggapan dampak yang ditimbulkannya dan bukan untuk menghindari secara membabi buta lantaran budaya asing.
Globalisasi yang timpang tersebut memang tidak berarti dunia runtuh, dan tidak pula semua orang menjadi pesimis. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Dawkins yang memperlihatkan konsep ketahanan sosial masyarakat dari perubahan. Dawkins mengungkapkan konsepsi meme dalam kehidupan sosial. Setiap kelompok mempunyai meme, sebagaimana individu mempunyai gen yang akan senantiasa diturunkan kepada anaknya. Melalui meme, kelompok sosial akan memertahankan karakteristik nilai-nilai sosial budayanya kendati kelompok itu diterpa serbuan guncangan budaya lain. Meme menyebar melalui komunikasi dan sosialisasi. Ia merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di benak seseorang, yang memengaruhi insiden di lingkungannya sedemikian rupa sehingga makin tertular luas ke benak orang lain (Lull, 1998), contohnya budaya Jepang.
Aksi postmodernisme juga menyampaikan angin segar bagi budaya lokal dan seni tradisional. Ketika masyarakat sudah mengalami kejenuhan dengan aneka macam hal yang bersifat modern dan global, maka justru mereka kembali kepada hal-hal bersifat etnik, tradisional, dikenal dengan retradisionalisasi.
Hidup Berkepribadian dengan Kebudayaan Sendiri
Manusia dengan kebudayaan itu saling menciptakan, insan membuat kebudayaan melalui cipta, karsa dan karya. Selanjutnya kebudayaan yang sudah diciptakan itu membentuk insan yang hidup di dalamnya sesuai dengan pola yang dibuat oleh kebudayaan itu. Manusia hanya bisa hidup dalam kebudayaan, lantaran kebudayaan merupakan kesadaran bersama, yang membentuk pola pikir dan kesadaran yang bersiklus dan teratur. Kebudayaan dalam taraf ini dikenal dengan kosmologi, sebagai sebuah cara hidup dan cara pandang yang tertib, teratur dan ajek.
Dalam sistem modern dengan sarana komunikasi yang jago dan canggih, sebuah kebudayaan yang besar bisa memaksakan keberadaannya pada bangsa lain, sehingga memaksa orang lain hidup di luar kebudayaannya sendiri. Ketercerabutan budaya mewarnai kehidupan masyarakat modern, yang terjadi lantaran proses migrasi, kemudian masuk ke wilayah budaya lain. Tetapi yang repot ketercerabutan itu ialah tanggapan proses hegemoni.
Hegemoni kebudayaan itu berjalan melalui media massa, kesenian, pendidikan dan penerbitan aneka macam buku. Dengan mengadopsi budaya luar yang hegemonim itu suatu bangsa akan kehilangan persentuhan bahkan rujukan dengan budayanya sendiri. Padahal berpijak pada tradisi sendiri merupakan pangkal kemajuan, bukan sebaiknya, kemajuan ditempuh dengan meninggalkan tradisi sendiri. Karena dengan cara itu pembaruan tidak mengakar, sehingga tidak akan bisa tumbuh subur dan kuat.
Kita bisa saksikan sebuah bangsa besar ibarat Turki dengan kekhalifahan Dinasti Usmani yang sangat besar itu, tiba-tiba diganti oleh Kemal Attaturk dengan tradisi Barat secara total, semenjak dari sistem pemerintahan, sistem pendidikan dan perekonomiannya. Hingga dikala ini Turki tidak menjadi negara besar, bahkan semakin kecil, mau masuk ke Uni Eropa saja gagal baik lantaran diskriminasi maupun lantaran kemajuan negara itu yang tidak berarti walaupun sudah membaratkan diri mereka secara total. Justeru lantaran pembaratannya, dengan imitasinya itu Turki kehilangan kepribadiannya. Dengan tanpa kepribadian mustahil suatu bangsa bisa berkembang dan disegani orang.
Sebaliknya bangsa Jepang, ketika ditaklukkan Amerika hanya satu seruan Kaisar yaitu bangsa Jepang ingin dibolehkan hidup dengan tradisi bangsa Jepang: Sistem politik Jepang, sistem pendidikan Jepang, sistem kalender Jepang dan penggunaan abjad Jepang. Berbeda dengan Turki yang terpuruk, Jepang dengan kejepangannya bisa menampilkan diri sebagai negara yang maju bisa berdiri dan duduk sejajar dengan peradaban Barat, tetapi tidak meninggalkan tradisi, justeru Jepang maju dengan modal tradisi.
Sementara di Indonesia semenjak awal melaksanakan modernisasi terutama semenjak Orde Baru langkah yang dilakukan ialah menghancurkan tradisi, lantaran tradisi dianggap sebagai penghalang kemajuan. Maka kini ini sedikit sekali tradisi yang tersisa. Apalagi dengan gencarnya siaran media, hampir tidak lagi mengapresiasi tradisi sendiri, semuanya menyuguhkan budaya asing yang dianggap lebih modern. Setiap hari kebudayaan sendiri semakin tersisih, sementara budaya asing semakin mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kejadian itu bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan direkayasa dengan harapan bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain kalau bangsa ini telah mengambil budaya lain. Maka yang terjadi ialah peniruan atau imitasi dan penjiplakan, sementara mustahil orang bisa besar dengan menjiplak, niscaya kualitasnya di bawah budaya utama. Maka karenanya daya saing yang dibutuhkan tidak pernah muncul, sementara kebudayaan sendiri terlanjur sudah dikesampingkan, tidak dihormati oleh bangsa sendiri.
Baru ketika bangsa lain menghormati kebudayaan kita, kita gres tersadar untuk ikut mengapresiasi kebudayaan sendiri, yang sudah kita tinggalkan, karenanya bangsa asinglah yang menguasai kebudayaan kita. Sementara imperialisme kebudayaan ini ialah belahan penting dari imperialisme politik dan ekonomi, maka imperialisme kebudayaan dijalankan dalam rangka memperlancar imperialisme politik dan ekonomi itu.
Dengan imperialisme kebudayaan itu kita tercerabut dari kebudayaan sendiri, karenanya kita sebagai gelandangan budaya dan mengalami kemiskinan budaya. Sehingga menjadi bangsa yang tidak mempunyai imajinasi, bangsa yang kehilangan mimpi sehingga tidak bisa menjadi bangsa yang cerdas dan kreatif. Memang hidup dengan basis kebudayaan sendiri yang sudah terlanjur diremehkan, dihinakan agak repot, kecuali bagi orang yang penuh percaya diri. Padahal hidup dengan kebudayaan sendiri itulah kunci kemajuan, dengan budaya sendiri seseorang atau suatu bangsa akan mempunyai kepribadian. Dengan berkepribadian itulah bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain.
Bangsa kita yang terdiri dari aneka macam suku bangsa, budaya dan bahasa, mempunyai aneka macam sumber kebudayaan yang bisa dikembangkan. Baik dikembangkan menjadi sistem pemerintahan, kenegaraan, sistem pendidikan, sistem pertahanan dan sistem ekonomi. Bangsa ini pernah menjadi bangsa besar sebelum dihancurkan oleh penjajah, justeru lantaran dengan sistem pemerintahan sendiri, sistem pendidikan sendiri. Dalam proses ini selain dibutuhkan keberanian mengangkat budaya sendiri, juga dibutuhkan kemampuan untuk menafsirkan kembali kebudayaan sendiri, sesudah itu dibutuhkan keberanian moral dan keberanian politik untuk melaksanakan perubahan kebudayaan.
Kebudayaan bagi bangsa yang mempunyai kepribadian, bukan sekadar konsep akademik, tetapi sudah merupakan seni administrasi perubahan. Dengan cara pada suatu kebudayaan ditransformasikan dan menuju arah mana kebudayaan itu ditransformasikan. Politik kebudayaan mempersyaratkan adanya pemeran kebudayaan yang mempunyai kepribadian, hanya dengan cara itu mereka mempunyai keberanian moral untuk melaksanakan pendobrakan dari kejenuhan dan kebuntuan, untuk menerobos aneka macam kemungkinan, untuk membuat peluang dan harapan.
Hegemoni Budaya
Kepustakaan :
1. Gillin, Todd. 1979. Prime Time Ideology: The Hegemonic Process In Television, in Newcomb, Horace, ed. 1994, Television: The Critical View. Fifth Edition. New York: Oxfod University Press.
2. Simon, Roger. 1991. Gramsci’s Political Thought; An Introduction. London: Lawrence and Wishart.
3. Ibrahim, Idi Subandy. 1997. Lifestyle Ectasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
4. NU Online (www.nu.or.id)
0 Response to "Hegemoni Budaya Dan Perkembangan"
Posting Komentar