iklan

✔ Analisis Administrasi Dan Kepemimpinan Sekolah Tinggi Tinggi



ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
                                                                                               
Sunardin, M.Pd.I/ FAI UNIAT JAKARTA    
PENDAHULUAN

Kepemimpinan yang baik selalu dikaitkan dengan keberhasilan sebuah institusi pendidikan. Ada kekerabatan yang signifikan antara peningkatan kinerja institusi pendidikan dengan keefektifan seorang pemimpin. Pemimpin  yang baik tidak semata-mata lantaran faktor bawaan, akan tetapi juga lantaran diusahakan. Latar sosial dan budaya seorang pemimpin menjadi salah satu yang besar lengan berkuasa terhadap keefektifan kepemimpinan, sehingga menjelaskan konstruksi sosial warga dan latar sosial dan budaya menjadi sebuah keharusan untuk mengungkap keberhasilan sebuah forum pendidikan.
Dalam kenyataannya para pemimpin sanggup mensugesti moral dan kepuasan kerja, keamanan, kwalitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan paranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka.
Kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam pengarahan yaitu faktor penting efektifitas manajer. Bila organisasi sanggup mengidentifikasikan kualitas –kualitas yang bekerjasama dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menseleksi pemimpin-pemimpin efektif akan meningkat. Dan bila organisasi sanggup mengidentifikasikan sikap dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan efektifitas personalia dalam organisasi.
Dalam sebuah institusi pendidikan, tentunya bukan hanya kiprah kepemimpinan dalam roda perjalanannya. Akan tetapi membutuhkan banyak elemen lain yang harus mendukung. Diantaranya yaitu tuntutan adanya manajemen,administrasi, organisasi yang solid.
Gabungan tiga elemen di atas akan meningkatkan mutu sebuah pendidikan, dimana kiprah masing-masing elemen tersebut amat berkaitan erat. Kinerja manajer lebih difokuskan kepada pencapaian tujuan, tanpa perlu memperhatikan penerimaan sosial atas kehadirannya. Pemimpin sebaliknya, ia tidak hanya mementingkan ketercapaian tujuan tetapi juga peduli pada sisi penerimaan social.
Pendidikan yaitu hal yang tidak sanggup dipisahkan dari siklus kehidupan manusia, sebuah fitrah dari makhluk yang dianugrahi logika dan pikiran. Proses pendidikan berjalan semenjak dalam kandungan hingga keliang lahat (baca: meninggal dunia). Pendidikan bisa didapat dimana saja dan kapan saja. Proses pendidikan yang paling efektif yaitu melalui pendidikan formal. Dimana sekolah merupakan perwujudan nyata pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar sistem dan kebijakan tertentu.
Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas yaitu Perguruan Tinggi. Dimana pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan tertentu. Maka tidaklah mengherankan kalau perguruan Tinggi menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimanapun di dunia itu. Itulah salah satu kiprah dan fungsi Perguruan Tinggi.
Dengan menyandang kiprah yang sangat penting tersebut sudah barang tentu Perguruan Tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter dalam kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala bentuk tantangan selaras dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of chenge dapat dijadikan alternatif parameter berdasarkan idiologi Perguruan Tinggi atau lebih dikenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang mencakup pendidikan, penelitian, dan dedikasi kepada masyarakat[1].
Dalam konteks Indonesia, kajian ulang wacana Perguruan Tinggi semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya mengakibatkan keprihatinan mendalam wacana meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga wacana semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang mempunyai competitive advantage, mempunyai daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan menyerupai dikala ini. Pengembangan perguruan-perguruan tinggi Islam (PTI), dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan PTI sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global.

Baca Juga


Penjaminan mutu yang menekankan pada bagaimana cara suatu institusi pendidikan menjalankan kegiatan mencar ilmu mengajar, menjaminkan bahwa: (1) setiap peserta didik akan mendapat kurikulum dan materi yang bermutu serta terkini; (2) pelaku didik (dosen) mempunyai kualitas yang sama ketika memberikan materi yang diperuntukkan bagi peserta didik; (3) setiap pendukung kegiatan proses mencar ilmu mengajar mempunyai kompetensi yang sesuai; (4) setiap lulusan mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu; dan (5) keberadaan institusi sanggup dipertahankan lantaran adanya kesesuaian antara perencanaan dan implementasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan perkembangan zaman.[2]
Tulisan ini mencoba mengkaji menganalisis manajemen dan kepemimpinan mutu perguruan tinggi. dan lebih dalam membahas duduk kasus manajemen perguruan tinggi.  
ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
Mengenai definisi kepemimpinan, banyak perbedaan pendapat mengenainya. Hal ini disebabkan berbedanya sudut pandang dari masing-masing peneliti, maka mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan perspektif-perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik dari perhatian mereka.
a.    Jacobs & Jacques, mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang menjadikan kesediaan untuk melaksanakan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.[3]
b.    Sedangkan berdasarkan Tannenbaum, Weschler & Massarik,   kepemimpinan yaitu imbas antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan tertentu.[4]
c.    Mar’at mengutip pendapat Browr, menyatakan bahwa pemimpin yaitu seseorang yang mempunyai posisi dengan potensi tinggi di lapangan.[5]
d.   Kartini Kartono mengatakan, bahwa pemimpin yaitu pribadi yang mempunyai kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi untuk sanggup mensugesti kelompok yang dipimpinnya untuk melaksanakan usaha bersama mengarah kepada sasaran-sasaran tertentu.[6]
Dari pengertian di atas, bisa di tarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu kekerabatan proses mensugesti yang terjadi dalam suatu komunitas yang di arahkan untuk tercapainya tujuan bersama.
Dibawah ini dijelaskan beberapa pendapat yang menjelaskan wacana pengertian manajemen.
a.    George R. terry dalam bukunya yang terkenal berjudul Principle of Management, dikemukakan bahwa:
"Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, kegiatan, dan tindakan pengawasan (controlling), yang dilakukan untuk memilih serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya insan dan sumber-sumber lain.
b. The Liang Gie
Manajemen sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan terhadap sumber daya insan dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
c. Sondang P. Siagian
Manajemen yaitu kemampuan dan keterampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain.
d. Malayu S.P. Hasibuan
Manajemen yaitu ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya insan dan sumber daya yang lain secara efektif dan efesien untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa pendapat diatas sanggup disimpulkan bekerjsama manajemen yaitu proses untuk mencapai tujuannya yang diinginkan dengan dibantu oleh faktor-faktor pendukung menyerupai perencanaan, pengorganisasian, dan  pengawasan (controlling) dengan melalui pemanfaatan sumber daya insan dan lainnya.
Manajemen yaitu suatu disiplin ilmu yang mempunyai objek study, sistematika, metode dan pendekatan.Dalam kerangka ini, ilmu manajemen didukung oleh disiplin-disiplin ilmu lainnya, menyerupai filsafat, psikologi, pendidikan, sosiologi, ekonomi, social budaya, teknologi dan sebagainya.Ilmu manajemen dipengaruhi dan memakai hokum kausalitas, normative dan propabilitas.[7]
Dalam manajemen memenuhi syarat-syarat menjadi disiplin ilmu sebab:
a.    Memiliki objek studi (formal dan material)
Objek material ilmu pendidikan yaitu sikap manusia.Objek formalnya yaitu menelaah fenomena pendidikan dalam perspektif yang luas dan integrative.
b.    Memiliki sistematika
Sistematika ilmu pendidikan dibedakan menjadi 3 potongan yaitu:
1.      Pendidikan sebagai tanda-tanda manusiawi, sanggup dianalisis yaitu adanya komponen pendidikan yang saling berinteraksi dalam suatu rangkaian keseluruhan untuk mencapai tujuan.
2.      Komponen pendidikan itu adalah:
a)  Tujuan pendidikan,
b)  Peserta didik,
c)  Pendidik,
d)  Isi pendidikan,
e)  Metode pendidikan,
f)  Alat pendidikan,
g)  Lingkungan pendidikan.
3.      Memiliki metode
Memliki metode-metode dalam ilmu pendidikan:
a)      Metode normativ, berkenaan dengan konsep manusiawi yang diidealkan yang ingin dicapai.
b)      Metode eksplanatori, berkenaan dengan pertanyaan kondisi, dan kekauatan apa yang membuat suatu proses pendidikan berhasil.
c)      Metode teknologis, berkenaan dengan bagaimana melakukannya dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
d)     Metode deskriptif, fenomenologis mencoba menguraikan kenyataan-kenyataan pendidikan dan kemudian mengklasifikasikannya.
e)      Metode hermeneutis, untuk memahami kenyataan pendidikan yang konkrit dan historis untuk menjelaskan makna dan struktur dan kegiatan pendidikan.
f)       Metode analisis kritis, menganalisis secara kritis wacana istilah, pernyataan, konsep, dan teori yang ada dalam pendidikan.[8]
Menurut Luther Gulick manajemen memenuhi syarat sebagai ilmu pengetahuan lantaran mempunyai serangkian teori, meskipun teori-teori itu masih terlalu umum dan subjekti.Selanjutnya dikatakan bahwa perjalanan suatu ilmu, teori-teori manajemen yang ada diuji dengan pengamalan.[9]

Sebelum membicarakan manajemen perguruan tinggi, lebih dahulu perlu menelaah hakekat yang lebih utuh mengenai perguruan tinggi lantaran entitas perguruan tinggi mempunyai beberapa dimensi fungsi atau dimensi makna. Definisi dan penjelasan yang sudah diberikan menyebutkan bahwa perguruan tinggi yaitu suatu satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan tinggi ialah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, ada sekurang-kurangnya empat atau lima dimensi makna yang menempel pada perguruan tinggi, yaitu: (1) dimensi keilmuan (ilmu dan teknologi); (2) dimensi pendidikan (pendidikan tinggi); (3) dimensi sosial (kehidupan masyarakat); (4) dimensi korporasi (satuan pendidikan atau penyelenggara). Di atas semua itu, apabila pendidikan tinggi dimaksudkan untuk meningkatkan martabat manusia, maka sanggup diangkat ke dalam dimensi makna yang lebih mendalam, yaitu (5) dimensi etis.[10] Saat membicarakan manajemen perguruan tinggi, banyak sekali dimensi maknalah antara lain yang membedakannya dengan manajemen perusahaan atau manajemen entitas lain. Oleh lantaran itu, sebelum membicarakan mengenai perguruan tinggi, ada baiknya kelima dimensi makna ditelaah satu persatu.
a.              Dimensi Etis
Universitas dikenal sebagai pusat kreativitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan bukan demi kreativitas sendiri, tetapi demi kesejahteraan umat manusia. Hakekat kiprah dan panggilan universitas ialah mengabdikan diri pada penelitian, pengajaran, dan pendidikan para mahasiswa yang dengan suka rela bergabung dengan para dosen dalam cinta yang sama akan pengetahuan. Universitas yaitu suatu komunitas akademik yang dengan cermat dan kritis membantu melindungi dan meningkatkan martabat insan dan warisan budaya melalui penelitian, pengajaran, dan banyak sekali pelayanan yang diberikan kepada komunitas setempat, nasional, dan bahkan internasional. Peran universitas pada proteksi martabat insan serta pada tanggungjawab moral inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu beberapa pola dimensi etis dari makna perguruan tinggi.[11]

b.             Dimensi Keilmuan
Dunia perguruan tinggi yaitu dunia ilmu pengetahuan. Tujuan utama pendidikan tinggi yaitu mengembangkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan dengan proses mencar ilmu mengajar, penelitian dan dedikasi kepada masyarakat. Hanya di perguruan tinggi melalui pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan betul-betul dikembangkan dan bukan di pendidikan yang lebih rendah atau di daerah lain. Oleh lantaran itu, para dosen harus berusaha selalu meningkatkan kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan penelitian yang dikuasainya. Demikian pula, para mahasiswa dirangsang untuk berpikir secara kritis, sistematis dan taat asa serta mau dan bisa mencar ilmu seumur hidup.

c.              Dimensi Pendidikan
Pendidikan tinggi yaitu pendidikan, yaitu pendidikan pada tingkat tinggi. Namun, hal ini sering mengakibatkan polemik, apakah memang betul bahwa proses yang terjadi di universitas merupakan suatu pendidikan atau suatu pembelajaran lantaran arti “pendidikan” lain sama sekali dengan “pembelajaran”. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa diusahakan menjadi orang yang belajar, mau mencar ilmu terus-menerus. Proses pembelajaran umumnya bersifat formal. Sebaliknya, pendidikan yaitu proses penyiapan insan muda menjadi insan dewasa, yaitu insan yang berdikari dan bertanggungjawab. Proses pendidikan bersifat informal dan terjadi terutama di dalam keluarga, tetapi sanggup pula di dalam masyarakat dan sekolah.
Dalam proses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, tidak ada pengaturan, kurikulum, maupun penjenjangan. Yang ada hanyalah perjenjangan, pengaturan, perencanaan, struktur, dan sistem mengenai pembelajaran. Namun polemik mungkin sanggup didamaikan dengan penjelasan bahwa di dalam perguruan tinggi terjadi pendidikan melalui pembelajaran. Pendidikan sanggup diberikan, baik dalam kurikulum intra, kurikulum ekstra. Dalam kurikulum intra, pendidikan sanggup diberikan dalam bentuk penjelasan dan pola aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam kurikulum ekstra, pendidikan sanggup diberikan dalam seni budaya, seni olahraga, seni organisasi, dan sebagainya. Disiplin, keterbukaan, pelayanan, dukungan pada yang lemah, kejujuran, kerja keras, dan sebagainya yang diperlihatkan dalam pengelolaan universitas yaitu nilai-nilai konkret yang merupakan pola nyata untuk pendidikan.

d.             Dimensi Sosial
Penemuan ilmiah dan inovasi teknologi telah membuat pertumbuhan ekonomi dan industri yang sangat besar. Melalui pertumbuhan ekonomi dan industri, kesejahteraan insan pun ditingkatkan. Melalui kegiatan dan usaha para andal dan mahasiswa, kehidupan demokrasi ditingkatkan dan martabat insan lebih dihargai. Perguruan tinggi mempersiapkan para mahasiswa untuk mengambil tanggungjawab di dalam masyarakat. Dari para lulusannya, masyarakat mengharapkan pembaruan dan perbaikan terus-menerus dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut, melalui pengajaran dan penelitian, perguruan tinggi diperlukan memperlihatkan sumbangan dalam memecahkan banyak sekali problem yang sedang dihadapi masyarakat menyerupai kekurangan pangan, pengangguran, kekurangan pemeliharaan kesehatan, ketidakadilan, kebodohan, dan sebagainya.

e.              Dimensi Korporasi
Perguruan tinggi memperlihatkan jasa kepada masyarakat berupa pendidikan tinggi dalam bentuk proses mencar ilmu mengajar dan penelitian. Yang diajarkan dan diteliti yaitu ilmu pengetahuan. Jadi, bisnis pendidikan tinggi ialah ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi mempunyai pelanggan, yaitu para mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusannya. Perguruan tinggi menghadapi persaingan, yaitu antar perguruan tinggi lain, baik dari dalam maupun luar negari. Apabila mahasiswa (pelanggan) perguruan tinggi terlalu sedikit, perguruan tinggi tidak sanggup membiayai dirinya sendiri, sehingga mengalami defisit dan kalau terus-menerus demikian, kelangsungan hidupnya akan terancam. Perguruan tinggi mempunyai dan mengelola banyak sekali sumber daya menyerupai manusia, barang-barang, peralatan, keuangan, dan metode. Perguruan tinggi perlu memperkenalkan produknya pada masyarakat semoga dikenal dan “dibeli”. Semua memperlihatkan kesamaan antara perguran tinggi dengan perusahaan. Inilah dimensi korporasi perguruan tinggi.
Di kala kontemporer, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini mensyaratkan adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih terkenal dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE) yang dikembangkan dari konsep Total Quality Management (TQM), pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia pendidikan (Salis, 2010).
Secara filosofis, konsep ini menekankan pada perbaikan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Sehingga tidak mengherankan, kalau institusi pendidikan, baik pendidikan dasar dan menengah mau pun pendidikan tinggi berlomba-lomba mengadopsi teori dan praktek manajemen mutu di perusahaan untuk diterapkan di institusi pendidikannya, yang disahkan melalui sertifikasi yang diberikan oleh forum yang berwenang. Salah satu jenis sertifikasi yang banyak dikejar oleh institusi pendidikan yaitu sertifikasi ISO dengan banyak sekali variasinya. ISO sebetulnya berasal dari istilah International Organization for Standardization, supaya lebih gampang disingkat menjadi ISO (Chatab, 1996). Sertifikasi ISO akan diberikan kalau institusi pendidikan tersebut telah berhasil menerapkan standar mutu pendidikan secara konsisten sesuai dengan persyaratan ISO.
Sejalan dengan penerapan manajemen mutu pada institusi pendidikan tinggi, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) telah mengeluarkan sebuah pedoman, yaitu Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi, yang secara tegas mensyaratkan bahwa proses penjaminan mutu di pendidikan tinggi merupakan keharusan yang tidak sanggup ditawar lagi. Pedoman ini disusun tidak dengan maksud untuk ‘mendikte’ perguruan tinggi dalam melaksanakan proses penjaminan mutu pendidikan tinggi, melainkan untuk memperlihatkan wangsit wacana siapa, apa, mengapa, dan bagaimana penjaminan mutu tersebut sanggup dijalankan (Departemen Pendidikan Nasional, 2003.
Dengan melaksanakan penjaminan mutu secara konsisten dan berkesinambungan diperlukan perguruan tinggi sanggup meningkatkan kinerjanya dengan maksimum, sehingga sanggup bersaing secara sehat dengan perguruan tinggi yang sejenis. Lebih jauh lagi, dengan pelaksanaan penjaminan mutu artinya perguruan tinggi tersebut bisa memberi kepastian dan keyakinan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa mutu pendidikan di perguruan tinggi tersebut sudah mengikuti standar-standar yang disyaratkan oleh forum pemberi sertifikasi atau akreditasi.
Di potongan selesai pedoman tersebut dijelaskan wacana pelaksanaan penjaminan mutu di perguruan tinggi, menyerupai kutipan berikut ini.
‘’Agar penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi sanggup dilaksanakan, maka terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi semoga pelaksanaan penjaminan mutu tersebut sanggup mencapai tujuannya, yaitu komitmen, perubahan paradigma, dan sikap mental para pelaku proses pendidikan tinggi, serta pengorganisasian penjaminan mutu di perguruan tinggi’’.
Komitmen yaitu syarat pertama yang harus ada. Komitmen di sini mencakup komitmen semua pihak, baik pimpinan, tenaga edukatif, tenaga non edukatif, atau pun tenaga penunjang, dengan kata lain seluruh civitas academica. Tetapi yang terpenting yaitu komitmen pimpinan, lantaran untuk mengubah paradigma dan sikap mental, serta pengorganisasian penjaminan mutu yang baik dibutuhkan komitmen pimpinan. Tanpa komitmen pimpinan semua hal yang sudah dirancang tidak akan ada gunanya.
Jelas sekali bahwa kiprah pimpinan dalam melaksanakan penjaminan mutu di perguruan tinggi sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Salis (2010) bahwa:Kepemimpinan yaitu unsur penting dalam TQM. Pemimpin harus mempunyai visi dan bisa menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan yang terperinci dan tujuan yang spesifik.


Pemangku Kepentingan di Perguruan Tinggi
Perguran tinggi di Indonesia sanggup dibedakan menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), dan Perguruan Tinggi Agama (PTA). Pada dasarnya pemangku kepentingan di semua perguruan tinggi di atas hampir sama, yang membedakan yaitu forum penyelenggaranya. Perguruan Tinggi Negeri diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, Perguruan Tinggi Swasta diselenggarakan oleh yayasan pribadi, PTK diselenggarakan oleh kementerian lain di luar Kementerian Pendidikan Nasional, dan PTA diselenggarakan oleh Kementerian Agama.
Untuk merinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi bisa dipakai pendekatan sistem, yaitu dengan melihat prosedur input-proses-output di perguruan tinggi, dengan menganggap bahwa perguruan tinggi sebagai sistem terbuka. Berdasarkan gambar prosedur input-proses-output perguruan tinggi, maka sanggup dirinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi secara umum adalah:
a.     Dosen
b.    Mahasiswa
c.     Tenaga non edukatif
d.    Lembaga penyelenggara
e.     Pemerintah
f.     Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya)
g.    Alumni
h.    Lembaga lain
i.      Masyarakat
Manajemen Perguruan Tinggi
Manajemen perguruan tinggi mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.    Perencanaan
Perencanaan kegiatan kerja, termasuk perencanaan anggaran, bukan merupakan hal gres bagi perguruan tinggi, baik perencanaan lima tahunan maupun perencanaan tahunan. Namun, perencanaan perlu pula dilakukan untuk perencanaan strategis, yaitu perencanaan yang memilih hidup mati dan berkembang tidaknya suatu universitas.

b.      Pengorganisasian
Fungsi pengorganisasian termasuk fungsi pengisian staf yang sesuai untuk setiap kiprah atau kedudukan. Pengisian staf atau karyawan perlu membedakan beberapa jenis karyawan yang bekerja di suatu universitas, yang masing-masing mempunyai kiprah khas dan karakteristik sendiri-sendiri. Ada sekurang-kurangnya empat jenis kelompok karyawan yang mempunyai kiprah berbeda:
1)   Karyawan akademik
Adalah para dosen dan peneliti yang bertugas mengajar dan melaksanakan penelitian ilmiah.
2)   Karyawan  administrasi
Adalah karyawan yang bekerja di rektorat, keuangan, pendaftaran, personalia dan sebagainya.
3)   Karyawan penunjang akademik
Adalah mereka yang bekerja sebagai andal atau karyawan di perpustakaan, laboratorium, bengkel latihan dan sejenisnya.
4)   Karyawan penunjang lain
Adalah karyawan lain menyerupai sopir, tukang kebun, petugas pencucian gedung, petugas pemeliharaan, dan sejenisnya.
Tugas pengorganisasian dan staf termasuk perencanaan, rekrutmen, seleksi, pelatihan, pengembangan karier, pembuatan rincian kiprah (job description) dan kebutuhan kiprah (job requirement), penetapan otorisasi, memilih organigram, memilih kekerabatan lini dan kekerabatan staf, memilih rentang kendali (span of control),  membuat penilaian kiprah dan jenjang kiprah (job evaluation dan job establishment), merencanakan kaderisasi, dan sebagainya.
c.    Penggerakan
Tugas penggerakan (actuating) yaitu kiprah menggerakkan seluruh insan yang bekerja dalam suatu perusahaan semoga masing-masing bekerja sesuai yang telah ditugaskan dengan semangat dan kemampuan maksimal. Ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi fungsi manajemen lantaran menyangkut manusia, yang mempunyai keyakinan, harapan, sifat, tingkah laku, emosi, kepuasan, pengembangan, dan logika budi serta menyangkut kekerabatan antar pribadi. Oleh lantaran itu, banyak yang menyampaikan bahwa fungsi penggerakan yaitu fungsi yang paling penting serta paling sulit dalam keseluruhan fungsi manajemen. Fungsi penggerakan berada pada semua tingkat, lokasi, dan potongan perusahaan. Kemudian, fungsi penggerakan mencakup memperlihatkan motivasi, memimpin, menggerakkan, mengevaluasi kinerja individu, memperlihatkan imbal jasa, mengembangkan para manajer, dan sebagainya. Fungsi penggerakan kadang kala diganti dengan istilah lain, contohnya fungsi kepemimpinan (leading).
Alat yang seringkali dipakai untuk membantu memahami kebutuhan insan ialah hierarki kebutuhan yang dikembangkan oleh A. H. Maslow. Hierarki mengenali lima tingkat (kadang-kadang dibagi menjadi enam) kebutuhan dasar manusia, dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi, yaitu sebagai berikut:
1)                  Kebutuhan fisiologis (physiological need)
Lapar dan haus yaitu kebutuhan yang paling dasar bagi kebutuhan insan dan harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum semua kebutuhan lainnya dipenuhi.
2)              Kebutuhan keamanan (safety need)
Keamanan yaitu tingkat kebutuhan kedua, yaitu berupa pakaian, daerah proteksi atau rumah daerah tinggal dan lingkungan yang menjamin keamanan menyerupai pekerjaan tetap, pensiun dan asuransi.
3)              Kebutuhan afeksi (affection need)
Termasuk dalam kebutuhan tingkat tiga yaitu pengakuan termasuk dalam lingkungan tertentu, bukan hanya lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan sosial lainnya menyerupai daerah kerja.
4)              Kebutuhan penghargaan (esteem need)
Kebutuhan penghargaan berbentuk kebutuhan penghargaan diri, rasa keberhasilan, dan pengakuan dari orang lain. Kebutuhan akan status merupakan dorongan utama untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut.
5)              Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization need)
Tingkat tertinggi kebutuhan insan yaitu rasa pemenuhan diri, yaitu sumbangan optimalnya pada sesama manusia, suatu realisasi penuh atas potensi diri manusia.
d.   Pengawasan
Pengawasan yaitu fungsi terakhir manajemen, namun bukan berarti yang tidak mempunyai kiprah yang penting. Pengawasan yaitu pengamatan dan pengukuran, apakah pelaksanaan dan hasil kerja sudah sesuai dengan perencanaan atau tidak. Kalau tidak, apa kendalanya dan bagaimana menghilangkan hambatan semoga hasil kerja sanggup sesuai dengan yang diharapkan. Fungsi pengawasan tidak harus dilakukan hanya setiap selesai tahun anggaran, tetapi justru harus secara terjadwal dalam waktu yang lebih pendek, contohnya setiap bulan, sehingga perbaikan yang perlu dilakukan tidak terlambat dilaksanakan.[12]
Problematika PTAIS
Terkait dengan perguruan tinggi Islam swasta, cukup umur ini, jumlah perguruan tinggi Agama Islam dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Ada 400 lebih PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya. Tentu saja dengan jumlah tersebut, dilihat dari segi kuantitasnya, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian perlu dipertanyakan sejauhmanakah kondisi dari sebagian PTAIS tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAIS dibanding dengan PTAIN dan PTUN? Apakah mereka sudah benar-benar menjadi Perguruan Tinggi, atau hanya sekedar menjadi forum "penjual" ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh lantaran itu, melihat keadaan makro PTAIS kini ini, pengembangan PTAIS menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi dikaitkan dengan kiprah pemerintah (baca: Depag) untuk mengembangkan PTAIS.[13]
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari banyak sekali problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, mencakup infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, kualitas guru dan dosen-dosen.dan kualitas lulusan. Kualitas guru yaitu merupakan salahsatu variebelpenting sangat memilih dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui forum pendidikan yang berkualitas akan memungkinkan para siswa untuk bisa mencar ilmu dengan maksimal.guru mempunyai kiprah penting untuk memungkinkan para siswa akan sanggup mencar ilmu dengan optimal, untuk itu perlu melaksanakan upaya maksimal yang sistematis untuk terus meningkatkan kualita spara guru[14].  
Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah mempunyai kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.[15]
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya, apalagi yang selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hal tersebut lantaran angka partisipasi garang nasional masih rendah, sementara Perguruan Tinggi Negeri memperluas Program Studi yang menyedot trend yang biasa masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar trend dengan mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka menjadikan sulitnya pembiayaan PTAIS, alasannya rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai kegiatan akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara terjadwal mendapat alokasi anggaran dari Pemda setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS hingga batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak tidak mungkin terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu kegiatan untuk darma dedikasi kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.[16]
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia sarana dan dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui prosedur yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi duduk kasus kualitas yang belum optimal, baik kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put PTAIS. Namun patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil legalisasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, PTAIS mendapat legalisasi yang tidak buruk, walau belum banyak yang mendapat legalisasi puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata mendapat job di masyarakat lantaran lebih banyak didominasi yaitu guru agama yang sudah mendapat status sebelum masuk kuliah atau mendapat kiprah sehabis lulus, baik sebagai guru, mubalig, pimpinan organisasi Islam, kader politik dan lain-lain. Memang masih banyak alumni yang berorientasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen lain dan Pemerintah Daerah. Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
Sudah diakui oleh kalayak luas bahwa perguruan tinggi merupakan daerah untuk meningkatkan kualitas manusia, baik dari aspek  jiwa atau ruh, intelektual, sosial dan profesionalitasnya. Amanah atau beban itu sebenarnya tidak gampang dipikul oleh perguruan tinggi, utamanya perguruan tinggi yang tidak  didukung oleh finansial yang  mencukupi.
Di Indonesia semangat membangun perguruan tinggi sedemikian besar. Semangat itu terlihat dengan terperinci dari jumlah perguruan tinggi yang sedemikian banyak jumlahnya. Jika dihitung, maka tidak kurang dari 3500 perguruan tinggi di Indonesia, baik yang berstatus negeri maupun yang berstatus swasta.
Perguruan tinggi negeri, dalam arti  dikelola oleh pemerintah, jumlahnya lebih dari 130 an buah. Sebagian  berada di bawah pengelolaan kementerian pendidikan dan kebudayaan,  sedang 52 lagi di antaranya dikelola oleh kementerian agama. Dualisme pengelolaan perguruan tinggi itu tidak lepas dari sejarah kelahirannya. Perguruan tinggi di Indonesia dilihat dari sejarahnya justru dimulai dari perguruan tinggi yang berbasis agama. Oleh lantaran itu tatkala ada pikiran untuk menyatukan di antara keduanya, bukan merupakan pekerjaan mudah.
Hal lain lagi, menyangkut perguruan tinggi swasta,  jumlahnya jauh lebih banyak, hingga ribuan,  dan berada di hampir semua kota di Indonesia. Hampir-hampir tidak ada kota setingkat kabupaten, apalagi di pulau  Jawa, yang belum mempunyai perguruan tinggi. Perguruan tinggi sudah dirasa serbagai kebutuhan oleh masyarakat. Oleh lantaran itu, bagi kota yang belum mempunyai perguruan tinggi, mereka  segera mendirikan,  setidak-tidaknya berstatus swasta.
Semangat mendirikan perguruan tinggi yang sedemikian besar itu menjadikan pertumbuhannya sedemikian cepat. Fenomena  itu pada aspek tertentu, memang  menggembirakan. Akan tetapi seringkali penambahan perguruan tinggi  itu tidak memperhatikan kualitas yang  sebenarnya dibutuhkan.  Tidak sedikit perguruan tinggi yang tidak didukung oleh tenaga pengajar, sarana dan prasarana, dan lingkungan  yang dibutuhkan. Ada saja peruruan tinggi yang memakai akomodasi seadanya, hingga kegiatan pembelajaran yang dijalankan juga sebatas memenuhi ukuran formal  dan kemudian yang  terjadi yaitu serba formalitas. Inilah satu di antara problem perguruan tinggi.
Problem lainnya yaitu menyangkut keterbatasan daya dukung untuk mengembangkan perguruan tinggi yang seharusnya sudah berorientasi pada kualitas. Sekalipun jumlah perguruan tinggi  sudah sedemikian banyak, namun gres beberapa saja yang masuk ranking dunia.  Ranking itupun juga masih berada  di urutan akhir, contohnya 400 an ke atas dari 500 perguruan tinggi besar di dunia.  Prestasi  itupun hanya diraih oleh beberapa perguruan tinggi besar, menyerupai UI, ITB, UGM, ITS dan lainnya yang jumlahnya beberapa saja. 
Berdasarkan  data itu menggambarkan bahwa Indonesia belum mempunyai perguruan tinggi yang  patut dibanggakan untuk ukuran dunia.  Perguruan tinggi di Indonesia belum dijadikan daerah tujuan belajar  bagi bangsa-bangsa lain,  tidak terkecuali oleh bangsa yang masih berkembang sekalipun.  Bahkan bawah umur Indonesia sendiri masih harus pergi ke negara-negara lain, untuk mencari forum pendidikan tinggi yang dianggap berkualitas. Hanya beberapa perguruan tinggi saja yang telah kedatangan bawah umur asing.
Problem utama perguruan tinggi di Indonesia, bukan terletak pada kuantitas, melainkan pada  kualitasnya.  Selama ini yang dirasakan yaitu sama, daya dukung yang tersedia masih terbatas. Para dosen atau guru besar yang akan melaksanakan penelitian,  selain  keterbatasan dana juga terbatas pula dalam hal lainnya, contohnya laboratorium,jurnal ilmiah sebagai referensi maupun literatur di perpustakaan.  Akibatnya, kegiatan penelitian di kampus-kampus sangat terbatas jumlahnya dan tentu hal itu juga besar lengan berkuasa terhadap kualitas pembelajaran,  dan juga lulusan yang dihasilkan.
Terkait dengan kualitas lulusan perguruan tinggi, pada akhir-akhir ini terdengar bunyi yang menyedihkan. Bahwa,  pengangguran di negeri ini ternyata juga terdiri atas para sarjana. Jumlah pengangguran sarjana itu sudah  sedemikian besar,  hingga bunyi wacana sarjana menganggur sudah sanggup didengarkan di mana-mana. Entah benar atau tidak, ada informasi bahwa,  banyak tukang ojek di kota-kota besar,  ternyata  bergelar sarjana.  Jika informasi itu betul,  maka perhatian pemerintah terhadap kualitas perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta,  sudah sangat mendesak untuk diberikan.
Namun di balik itu, juga terdapat bunyi keras menuntut semoga perguruan tinggi membuka peluang kepada siapapun  yang ingin memasukinya. Perguruan tinggi dihentikan hanya dinikmati oleh orang-orang yang mempunyai uang,  dan sebaliknya  mengabaikan  mereka yang tidak berkecukupan. Perguruan tinggi, terutama yang berstatus negeri,  diharuskan mau menampung bagi siapapun yang berkeinginan dan mempunyai kemampuan intelektual cukup, sekalipun mereka terbatas dari aspek finansialnya.
Tuntutan tersebut sebenarnya  terasa rasional, akan tetapi jelas  akan membebani  perguruan tinggi yang diperlukan bisa mengejar ketertinggalan dari perguruan tinggi lainnya di dunia. Tanpa dibebani pun, perguruan tinggi yang diperlukan bisa berpacu dimaksud  sudah sedemikian berat lantaran keterbatasannya, tatkala  dukungan dari pemerintah belum tentu mencukupi.  Jika demikian itu gambarannya,  maka keinginan menjadikan Indonesia mempunyai perguruan tinggi kelas dunia pada ranking atau urutan awal  akan semakin jauh.
Oleh lantaran itu,  manakala bangsa ini ingin dihargai, mempunyai harkat dan martabat tinggi di tengah-tengah persaingan dunia, maka harus ada skala prioritas yang lebih dikedepankan. Beberapa perguruan tinggi harus didorong untuk maju,  agar mereka bisa mengejar ketertinggalannya dari  kemajuan perguruan  tinggi kelas dunia. Sementara itu  lainnya mendapat mandat untuk memenuhi tuntutan pemerataan. 
Dalam bahasa sederhana, perlu dilakukan pembagian kiprah di antara perguruan tinggi yang ada. Beberapa di antaranya dipersilahkan bersaing dengan perguruan tinggi kelas dunia, dan  sebagian lain diberi mandat untuk melayani masyarakat yang menginginkan mencar ilmu hingga perguruan  tinggi. Prioritas terhadap kualitas dan kuantitas semoga bisa berjalan gotong royong dengan cara pembagian  tugas itu. Jika demikian, maka tuntutan tersebut akan sama-sama terpenuhi dan problem perguruan tinggi sedikit banyak terselesaikan.
PENUTUP                                                                                            
Dari pemaparan tersebut di atas sanggup penulis memperlihatkan kesimpulan bahwa pendidikan tinggi dikala ini sudah berkembang dengan pesat, ini tidak terlepas dari manajemen dan kepemimpinan dan kerjasama pihak yang berwewenang dari segala sisi yang dimaksud adalah. Dosen, Mahasiswa, Tenaga non edukatif, Lembaga penyelenggara, Pemerintah, Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya), Alumni, Lembaga lain, Masyarakat.
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari banyak sekali problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, mencakup infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.





DAFTAR PUSTAKA

Yukl Gary. 1994. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta. Prenhallindo.
Rinda Hedwig, dkk. 2006, Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Graha Ilmu,
Marno dan Triyo Supriyatno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam.. Malang. Refika Aditama.
Hamalik, Oemar. 2008, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Fattah, 2004,Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
R. Djokopranoto & R. Eko Indrajit, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset, 2006,
Furchan, Arief, 2004. Transformasi di Indonesia.Yogyakarta: Gama   Media.
Indrajit, R. Eko. 2006, Manajemen Perguruan Tinggi Modern (Yogyakarta: Andi Offset.
Jurnal, Manajemen Usahawan Indonesia.vol.40.Februari 2011. Tentang Pola interaksi Guru-siswa dan pengaruhnya terhadap kepuasaan siswa dalam belajar.oleh Agus Prianto. Dosen Pend.Ekonami STKIP PGRI Jombang.




[2]. Rinda Hedwig, dkk., Model Sistem Penjaminan Mutu dan Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006, hlm. 48
[3] . Gary Yukl. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta. Prenhallindo. 1994. Hlm 2
[4].  Ibid.
[5].  Marno dan Triyo Supriyatno. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam. 2008. Malang. Refika Aditama. Hlm 22.
[6]. Ibid,
[7].  Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008) hlm. 28
[9].  Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hlm. 2
[10]. R. Eko Indrajit & R. Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset,  2006, hlm. 28.
[11] . Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3859, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 60 Tahun 1999 wacana Pendidikan Tinggi, Jakarta: 1999
[12] Ibid., hlm. 57-60
[13] . Arief Furchan, Transformasi di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2004),hal 177.
[14] . Jurnal, Manajemen Usahawan Indonesia.vol.40.Februari 2011. Tentang Pola interaksi Guru-siswa dan pengaruhnya terhadap kepuasaan siswa dalam belajar.oleh Agus Prianto. Dosen Pend.Ekonami STKIP PGRI Jombang.
[15] . R. Eko Indrajit, ..............hal 6.
[16] . www.beritamakasar.com. juga baca di, http://alumnigontor.blogspot.com/2008/06/problematika-ptais

Sumber http://sunardins.blogspot.com

Related Posts

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "✔ Analisis Administrasi Dan Kepemimpinan Sekolah Tinggi Tinggi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel