Lima Faktor Sumber Kesulitan Berguru (Matematika) Siswa
Ada beberapa sumber atau faktor yang patut diduga sebagai penyebab utama kesulitan berguru siswa. Sumber itu sanggup berasal dari dalam diri siswa sendiri maupun dari luar diri siswa. Dari dalam diri siswa sanggup disebabkan oleh faktor biologis maupun psikologis. Dari luar diri siswa, kesulitan berguru sanggup bersumber dari keluarga [pendidikan orang tua, kekerabatan dengan keluarga, keteladanan keluarga dan sebagainya], keadaan lingkungan dan masyarakat secara umum.
Kesulitan berguru tidak dialami hanya oleh siswa yang berkemampuan di bawah rata-rata atau yang dikenal sungguh mempunyai learning difficulties, tetapi sanggup dialami oleh siswa dengan tingkat kemampuan manapun dari kalangan atau kelompok manapun. Tingkat dan jenis sumber kesulitannya beragam. Mengutip Brueckner dan Bond, Cooney, Davis, dan Henderson [1975] mengelompokkan sumber kesulitan itu menjadi lima faktor, yaitu:
Hal yang serupa juga terjadi pada siswa yang mempunyai gangguan neurologis [sistem syaraf]. Sistem koordinasi sistem syaraf yang terganggu merupakan hambatan dalam siswa belajar. Dalam hubungannya dengan faktor-faktor di atas, umumnya guru matematika tidak mempunyai kemampuan atau kompetensi yang memadai untuk mengatasinya. Yang sanggup dilakukan guru hanyalah menawarkan kesempatan kepada siswa yang mempunyai gangguan dalam penglihatan atau indera pendengaran tersebut untuk duduk lebih akrab ke meja guru. Selebihnya, hambatan berguru tersebut hendaknya diatasi melalui kerjasama dengan pihak yang mempunyai kompetensi [bimbingan dan konseling contohnya sehingga sanggup menanganinya lebih baik.
Tetapi kalau seorang ayah sering mengatakan: “Saya dulu tidak pernah memperoleh nilai hitam dalam ilmu niscaya [matematika], tetapi toh berhasil juga menjadi ’orang’, kaya lagi!” maka hal tersebut merupakan ungkapan yang sanggup menurunkan motivasi siswa berguru matematika.
Hal itu sanggup berlanjut kepada anaknya yang menyampaikan kepada orang tuanya: “Kalau begitu saya lebih baik melanjutkan sekolah yang tidak ada matematikanya saja, ya Pak?” Sebaliknya kalau bapak itu menyampaikan ”Saya tidak pernah memperoleh nilai hitam dalam matematika, tetapi saya banyak berguru cara berpikir matematika dan ternyata sanggup menjadi orang”, maka pernyataan Bapak yang tidak menguasai matematika dengan baik itu masih merupakan dorongan manis bagi siswa untuk mau berguru matematika. Hal senada mestinya juga dilakukan oleh guru dalam memotivasi siswanya berguru matematika.
Hubungan orang renta dengan anak, dan tingkat kepedulian orang renta ihwal dilema belajarnya di sekolah, merupakan faktor yang sanggup menawarkan kemudahan, atau sebaliknya menjadi faktor hambatan bahkan penambah kesulitan berguru siswa. Termasuk sanggup menawarkan fasilitas antara lain: kasih sayang, pengertian, dan perhatian atau kepedulian [misalnya “menyertai” anaknya belajar, dan tersedianya daerah berguru yang kondusif].
Di samping itu ekonomipun merupakan faktor, baik positif maupun negatif. Siswa yang mengalami dilema sosial di rumahnya biasanya dari kalangan keluarga yang kurang menaruh perhatian pada perkembangan anaknya. Hal ini mungkin akhir dari kepedulian yang rendah terhadap berguru anak/siswa, permasalahan tersebut sanggup terjadi baik dari kalangan yang ekonominya sudah mapan maupun ekonominya masih lemah.
Keluarga yang mempunyai fasilitas dalam menawarkan alat permainan dan bacaan edukatif kepada anaknya yang masih berguru di tingkat pendidikan dasar, menawarkan kesempatan lebih baik bagi anak-anaknya untuk berkembang dan mengatasi kesulitan mereka di kelas.
Usaha-usaha yang dilakukan melalui permainan manipulatif berdiri datar, berdiri ruang dan permainan manipulatif lainnya memberikan
tantangan yang sanggup menyebarkan alternatif dalam mengatasi kesulitan belajar. Faktor sosial di dalam dan di luar kelas dalam lingkungan sekolah juga kuat terhadap kelancaran atau kesulitan berguru siswa. Siswa yang kurang sanggup bergaul atau menyesuaikan dengan situasi kelas oleh banyak sekali alasannya yang menjadikan ia merasa terpencil, terhina atau senantiasa menjadi materi olok-olokan atau olokan, merupakan faktor penghambat, meskipun bagi sebagian siswa yang biasa mengatasi dilema hal itu sanggup dipakai sebagai pemacu untuk memperlihatkan eksistensinya.
Interaksi antar siswa yang kurang dibiasakan dalam acara di kelas sanggup menjadikan dilema sosial. Anak yang merasa kurang
semakin menyendiri, sebaliknya dengan kebiasaan lainnya di rumah ia sanggup mengalihkannya dengan minta perhatian guru. Secara umum siswa yang terlalu tertutup atau terlalu terbuka mungkin ialah siswa yang mengalami dilema sosial di rumah atau tekanan dari teman atau mungkin orang tuanya.
Makara lingkungan berguru di sekolah juga merupakan salah satu faktor sosial kesulitan berguru siswa. Masalahnya perlu dikaji dan penyelesaiannya mungkin memerlukan sumbangan wali kelas, guru bimbingan atau pihak luar yang lebih memahami dilema siswa tersebut.
Mengutip Teaching About Drug Abuse [1972:22-26], Cooney dkk [1975] dinyatakan bahwa siswa yang mengkonsumsi pil ekstasi kemalasannya naik luar biasa, adakala memperlihatkan perangai yang tidak rasional, depresi, tak sadar, atau sebaliknya: tertawa-tawa. Tampilannya berubah tiba-tiba, kesehatan menurun. Akibatnya siswa akan kurang menaruh perhatian terhadap pelajaran, atau gampang mengalami depresi mental, emosional, kurang ada minat membaca buku maupun menuntaskan pekerjaan rumah. Siswa yang terkena narkoba biasanya daya ingatnya menurun. Penanganan kesulitan berguru yang disebabkan oleh hal-hal di atas sebaiknya dilakukan oleh orang yang mempunyai kompetensi, baik psikologis, medis maupun agamis.
Misalnya guru masih kurang memperhatikan kemampuan awal yang dimiliki siswa, guru eksklusif masuk ke materi baru. Ketika terbentur kesulitan siswa dalam pemahaman, guru mengulang pengetahuan dasar yang diperlukan. Kemudian melanjutkan lagi materi gres yang pembelajarannya terpenggal. Jika ini berlangsung dan bahkan tidak hanya sekali dalam suatu tatap muka, maka akan muncul kesulitan umum yaitu kebingungan lantaran tidak terstrukturnya materi asuh yang mendukung tercapainya suatu kompetensi.
Ketika menandakan bagian-bagian materi asuh yang menunjang tercapainya suatu kompetensi bisa saja sudah jelas, namun kalau secara keseluruhan tidak dikemas dalam suatu struktur pembelajaran yang baik, maka kompetensi dasar dalam penguasaan materi dan penerapannya tidak selalu sanggup diharapkan berhasil. Dengan kata lain, struktur pelajaran yang tertata secara baik akan memudahkan siswa, paling tidak mengurangi kesulitan berguru siswa.
Kejadian yang dialami siswa dan sering muncul berdasarkan guru adalah: “Ketika dijelaskan mengerti, ketika mengerjakan sendiri tidak bisa”. Jika guru menanggapinya hanya dengan menyatakan: memang hal itu yang sering dikemukakan siswa kepada saya, berarti guru tersebut tidak merasa tertantang profesionalismenya untuk mencari penyebab utama, menemukannya, dan mengatasi masalahnya.
Kesulitan itu sanggup terjadi lantaran guru kurang menawarkan latihan yang cukup di kelas dan menawarkan sumbangan kepada yang memerlukan, meskipun ia sudah berusaha keras menjelaskan materinya. Hal ini terjadi lantaran guru belum menerapkan hakekat berguru matematika, yaitu bahwa berguru matematika hakekatnya berpikir dan mengerjakan matematika. Berpikir ketika mendengarkan klarifikasi guru, mempunyai implikasi bahwa tanya jawab merupakan salah satu kepingan penting dalam berguru matematika. Dengan tanya jawab ini proses diagnosis telah diawali. Ini berarti diagnostic teaching, pembelajaran dengan senantiasa sambil mengatasi kesulitan siswa telah dilaksanakan dan hal ini yang dianjurkan.
Secara umum, cara guru menentukan metode, pendekatan dan taktik dalam pembelajaran akan kuat terhadap fasilitas atau kesulitan siswa dalam berguru siswa. Perasaan lega atau bahkan sorak sorai pada dikala bel berbunyi pada selesai jam pelajaran matematika ialah salah satu indikasi adanya beban atau kesulitan siswa yang tak tertahankan. Jika demikian maka guru perlu introspeksi pada sistem pembelajaran yang dijalankannya. [Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika]
Video pilihan khusus untuk Anda 😊 mari kita lihat kreativitas siswa ini, menciptakan lagu dengan matematika;
Sumber http://www.defantri.com
Kesulitan berguru tidak dialami hanya oleh siswa yang berkemampuan di bawah rata-rata atau yang dikenal sungguh mempunyai learning difficulties, tetapi sanggup dialami oleh siswa dengan tingkat kemampuan manapun dari kalangan atau kelompok manapun. Tingkat dan jenis sumber kesulitannya beragam. Mengutip Brueckner dan Bond, Cooney, Davis, dan Henderson [1975] mengelompokkan sumber kesulitan itu menjadi lima faktor, yaitu:
1. Faktor Fisiologis
Kesulitan berguru siswa sanggup ditimbulkan oleh faktor fisiologis. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh kenyataan bahwa persentase kesulitan berguru siswa yang mempunyai gangguan penglihatan lebih dari pada yang tidak mengalaminya. Demikian pula kesulitan siswa yang mempunyai gangguan indera pendengaran lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya.Hal yang serupa juga terjadi pada siswa yang mempunyai gangguan neurologis [sistem syaraf]. Sistem koordinasi sistem syaraf yang terganggu merupakan hambatan dalam siswa belajar. Dalam hubungannya dengan faktor-faktor di atas, umumnya guru matematika tidak mempunyai kemampuan atau kompetensi yang memadai untuk mengatasinya. Yang sanggup dilakukan guru hanyalah menawarkan kesempatan kepada siswa yang mempunyai gangguan dalam penglihatan atau indera pendengaran tersebut untuk duduk lebih akrab ke meja guru. Selebihnya, hambatan berguru tersebut hendaknya diatasi melalui kerjasama dengan pihak yang mempunyai kompetensi [bimbingan dan konseling contohnya sehingga sanggup menanganinya lebih baik.
2. Faktor Sosial
Jika sepulang dari sekolah seorang siswa senantiasa ditanya ibunya ihwal keadaan acara belajarnya di sekolah, kemudian menawarkan dorongan positif atas kekurangberhasilan atau keberhasilan anaknya, maka perhatian ibu itu akan sanggup mendorong siswa untuk senantiasa berusaha belajar.Tetapi kalau seorang ayah sering mengatakan: “Saya dulu tidak pernah memperoleh nilai hitam dalam ilmu niscaya [matematika], tetapi toh berhasil juga menjadi ’orang’, kaya lagi!” maka hal tersebut merupakan ungkapan yang sanggup menurunkan motivasi siswa berguru matematika.
Hal itu sanggup berlanjut kepada anaknya yang menyampaikan kepada orang tuanya: “Kalau begitu saya lebih baik melanjutkan sekolah yang tidak ada matematikanya saja, ya Pak?” Sebaliknya kalau bapak itu menyampaikan ”Saya tidak pernah memperoleh nilai hitam dalam matematika, tetapi saya banyak berguru cara berpikir matematika dan ternyata sanggup menjadi orang”, maka pernyataan Bapak yang tidak menguasai matematika dengan baik itu masih merupakan dorongan manis bagi siswa untuk mau berguru matematika. Hal senada mestinya juga dilakukan oleh guru dalam memotivasi siswanya berguru matematika.
Hubungan orang renta dengan anak, dan tingkat kepedulian orang renta ihwal dilema belajarnya di sekolah, merupakan faktor yang sanggup menawarkan kemudahan, atau sebaliknya menjadi faktor hambatan bahkan penambah kesulitan berguru siswa. Termasuk sanggup menawarkan fasilitas antara lain: kasih sayang, pengertian, dan perhatian atau kepedulian [misalnya “menyertai” anaknya belajar, dan tersedianya daerah berguru yang kondusif].
Di samping itu ekonomipun merupakan faktor, baik positif maupun negatif. Siswa yang mengalami dilema sosial di rumahnya biasanya dari kalangan keluarga yang kurang menaruh perhatian pada perkembangan anaknya. Hal ini mungkin akhir dari kepedulian yang rendah terhadap berguru anak/siswa, permasalahan tersebut sanggup terjadi baik dari kalangan yang ekonominya sudah mapan maupun ekonominya masih lemah.
Keluarga yang mempunyai fasilitas dalam menawarkan alat permainan dan bacaan edukatif kepada anaknya yang masih berguru di tingkat pendidikan dasar, menawarkan kesempatan lebih baik bagi anak-anaknya untuk berkembang dan mengatasi kesulitan mereka di kelas.
Usaha-usaha yang dilakukan melalui permainan manipulatif berdiri datar, berdiri ruang dan permainan manipulatif lainnya memberikan
tantangan yang sanggup menyebarkan alternatif dalam mengatasi kesulitan belajar. Faktor sosial di dalam dan di luar kelas dalam lingkungan sekolah juga kuat terhadap kelancaran atau kesulitan berguru siswa. Siswa yang kurang sanggup bergaul atau menyesuaikan dengan situasi kelas oleh banyak sekali alasannya yang menjadikan ia merasa terpencil, terhina atau senantiasa menjadi materi olok-olokan atau olokan, merupakan faktor penghambat, meskipun bagi sebagian siswa yang biasa mengatasi dilema hal itu sanggup dipakai sebagai pemacu untuk memperlihatkan eksistensinya.
Interaksi antar siswa yang kurang dibiasakan dalam acara di kelas sanggup menjadikan dilema sosial. Anak yang merasa kurang
semakin menyendiri, sebaliknya dengan kebiasaan lainnya di rumah ia sanggup mengalihkannya dengan minta perhatian guru. Secara umum siswa yang terlalu tertutup atau terlalu terbuka mungkin ialah siswa yang mengalami dilema sosial di rumah atau tekanan dari teman atau mungkin orang tuanya.
Makara lingkungan berguru di sekolah juga merupakan salah satu faktor sosial kesulitan berguru siswa. Masalahnya perlu dikaji dan penyelesaiannya mungkin memerlukan sumbangan wali kelas, guru bimbingan atau pihak luar yang lebih memahami dilema siswa tersebut.
3. Faktor Emosional
Siswa yang sering gagal dalam matematika lebih gampang berpikir tidak rasional, takut, cemas, benci pada matematika. Jika demikian maka hambatan itu sanggup “melekat” pada diri anak/siswa. Masalah siswa yang termasuk dalam faktor emosional sanggup disebabkan oleh:- Obat-obatan tertentu, menyerupai obat penenang, ekstasi, dan obat lain yang sejenis,
- Kurang tidur,
- Diet yang tidak tepat,
- Hubungan yang renggang dengan teman terdekat
- Masalah tekanan dari situasi keluarganya di rumah
Mengutip Teaching About Drug Abuse [1972:22-26], Cooney dkk [1975] dinyatakan bahwa siswa yang mengkonsumsi pil ekstasi kemalasannya naik luar biasa, adakala memperlihatkan perangai yang tidak rasional, depresi, tak sadar, atau sebaliknya: tertawa-tawa. Tampilannya berubah tiba-tiba, kesehatan menurun. Akibatnya siswa akan kurang menaruh perhatian terhadap pelajaran, atau gampang mengalami depresi mental, emosional, kurang ada minat membaca buku maupun menuntaskan pekerjaan rumah. Siswa yang terkena narkoba biasanya daya ingatnya menurun. Penanganan kesulitan berguru yang disebabkan oleh hal-hal di atas sebaiknya dilakukan oleh orang yang mempunyai kompetensi, baik psikologis, medis maupun agamis.
4. Faktor Intelektual
Siswa yang mengalami kesulitan berguru disebabkan oleh faktor intelektual, umumnya kurang berhasil dalam menguasai konsep, prinsip, atau algoritma, walaupun telah berusaha mempelajarinya. Siswa yang mengalami kesulitan mengabstraksi, menggeneralisasi, berpikir deduktif dan mengingat konsep-konsep maupun prinsip-prinsip biasanya akan selalu merasa bahwa matematika itu sulit. Siswa demikian biasanya juga mengalami kesulitan dalam memecahkan dilema terapan atau soal cerita. Ada juga siswa yang kesulitannya terbatas dalam materi tertentu, tetapi merasa gampang dalam materi lain.5. Faktor Pedagogis
Di antara penyebab kesulitan berguru siswa yang sering dijumpai ialah faktor kurang tepatnya guru mengelola pembelajaran dan menerapkan metodologi.Misalnya guru masih kurang memperhatikan kemampuan awal yang dimiliki siswa, guru eksklusif masuk ke materi baru. Ketika terbentur kesulitan siswa dalam pemahaman, guru mengulang pengetahuan dasar yang diperlukan. Kemudian melanjutkan lagi materi gres yang pembelajarannya terpenggal. Jika ini berlangsung dan bahkan tidak hanya sekali dalam suatu tatap muka, maka akan muncul kesulitan umum yaitu kebingungan lantaran tidak terstrukturnya materi asuh yang mendukung tercapainya suatu kompetensi.
Ketika menandakan bagian-bagian materi asuh yang menunjang tercapainya suatu kompetensi bisa saja sudah jelas, namun kalau secara keseluruhan tidak dikemas dalam suatu struktur pembelajaran yang baik, maka kompetensi dasar dalam penguasaan materi dan penerapannya tidak selalu sanggup diharapkan berhasil. Dengan kata lain, struktur pelajaran yang tertata secara baik akan memudahkan siswa, paling tidak mengurangi kesulitan berguru siswa.
Kejadian yang dialami siswa dan sering muncul berdasarkan guru adalah: “Ketika dijelaskan mengerti, ketika mengerjakan sendiri tidak bisa”. Jika guru menanggapinya hanya dengan menyatakan: memang hal itu yang sering dikemukakan siswa kepada saya, berarti guru tersebut tidak merasa tertantang profesionalismenya untuk mencari penyebab utama, menemukannya, dan mengatasi masalahnya.
Kesulitan itu sanggup terjadi lantaran guru kurang menawarkan latihan yang cukup di kelas dan menawarkan sumbangan kepada yang memerlukan, meskipun ia sudah berusaha keras menjelaskan materinya. Hal ini terjadi lantaran guru belum menerapkan hakekat berguru matematika, yaitu bahwa berguru matematika hakekatnya berpikir dan mengerjakan matematika. Berpikir ketika mendengarkan klarifikasi guru, mempunyai implikasi bahwa tanya jawab merupakan salah satu kepingan penting dalam berguru matematika. Dengan tanya jawab ini proses diagnosis telah diawali. Ini berarti diagnostic teaching, pembelajaran dengan senantiasa sambil mengatasi kesulitan siswa telah dilaksanakan dan hal ini yang dianjurkan.
Secara umum, cara guru menentukan metode, pendekatan dan taktik dalam pembelajaran akan kuat terhadap fasilitas atau kesulitan siswa dalam berguru siswa. Perasaan lega atau bahkan sorak sorai pada dikala bel berbunyi pada selesai jam pelajaran matematika ialah salah satu indikasi adanya beban atau kesulitan siswa yang tak tertahankan. Jika demikian maka guru perlu introspeksi pada sistem pembelajaran yang dijalankannya. [Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika]
Video pilihan khusus untuk Anda 😊 mari kita lihat kreativitas siswa ini, menciptakan lagu dengan matematika;
0 Response to "Lima Faktor Sumber Kesulitan Berguru (Matematika) Siswa"
Posting Komentar