Perbandingan Metode Fifo, Lifo, Dan Biaya Rata-Rata, Mana Terbaik?
Daftar isi
Aplikasi faktual metode evaluasi persediaan pada sebuah bisnis yakni sebagai berikut:
Setiap kendaraan beroda empat mempunyai nomer seri yang unik, sehingga sebuah diler kendaraan beroda empat sanggup menghitung biaya unit yang terjual melalui metode identifikasi spesifik.
Metode ini sanggup juga dipakai untuk toko komplemen dan galeri seni.
Namun, untuk banyak perusahaan, unit yang identik tidak sanggup dikenali secara terpisah, sehingga suatu perkiraan arus biaya perlu dibuat.
Unit mana saja yang telah dijual dan unit mana saja yang masih berada dalam persediaan harus diasumsikan dengan menggunakan metode evaluasi persediaan FIFO (firs-in, first-out), LIFO (last-in, first-out), atau metode biaya rata-rata.
Saat sistem persediaan periodik digunakan, maka hanya pendapatan yang dicatat setiap kali terjadi penjualan.
Tidak ada ayat jurnal yang dibentuk pada ketika penjualan untuk mencatat harga pokok penjualan (HPP).
Pada tamat periode akuntansi, perhitungan fisik persediaan dilakukan untuk menghitung biaya persediaan dan HPP.
01. Metode Penilaian Persediaan FIFO
Sebagai gambaran mengenai metode evaluasi persediaan FIFO dalam sistem persediaan periodik, saya sajikan rujukan ayat jurnal persediaan awal dan pembelian barang pada bulan Januari 2018 berikut ini :
Perhitungan fisik pada tanggal 31 Januari 2018 terdapat sisa persediaan sebanyak 150 unit.
Dengan memakai metode FIFO, biaya sisa persediaan pada tamat periode berasal dari biaya perolehan paling akhir.
Biaya 150 unit dalam persediaan tamat pada tanggal 31 Januari 2018 dihitung sebagai berikut :
Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000 dari biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan harga pokok penjualan sebesar Rp 2.630.000.
Sebagaimana ditunjukkan mirip berikut ini :
Persediaan tamat 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.250.000 berasal dari biaya perolehan paling akhir.
HPP sebesar Rp 2.630.000 berasal dari biaya persediaan awal dan biaya paling awal.
Dan untuk menggambarkan korelasi antara harga pokok penjualan (HPP) untuk bulan Januari 2018 dan persediaan tamat per 31 Januari 2018, saya sajikan sebuah gambar.
Perhatikan gambar gambaran berikut ini:
A. Penggunaan Metode Penilaian Persediaan FIFO
Ketika metode evaluasi persediaan FIFO dipakai selama periode inflasi atau kenaikan harga-harga secara umum, biaya unit yang lebih awal akan lebih rendah dibandingkan dengan biaya unit paling akhir, mirip ditunjukkan dalam rujukan di atas.
Oleh alasannya yakni itu metode FIFO akan menghasilkan laba kotor yang lebih tinggi.
Akan tetapi, persediaan perlu diganti dengan harga yang lebih tinggi daripada yang ditunjukkan oleh HPP (harga pokok penjualan).
Kenyataannya, neraca akan melaporkan persediaan tamat pada nilai yang kurang lebih sama dengan biaya penggantian atau biaya untuk membeli barang persediaan sejenis ketika ini.
Ketika tingkat inflasi mencapai dua digit, mirip yang pernah terjadi pada tahun 1970 an di Amerika Serikat, keuntungan kotor yang tinggi yang dihasilkan dari penggunaan metode FIFO sering disebut keuntungan persediaan atau keuntungan ilusi.
Sebaliknya, selama periode deflasi atau penurunan harga-harga secara umum, pengaruhnya yakni kebalikannya.
02. Metode Penilaian Persediaan LIFO
Saat metode evaluasi persediaan LIFO digunakan, sisa biaya persediaan pada tamat periode berasal dari biaya perolehan paling awal.
Berdasarkan data mirip yang sama dengan rujukan metode FIFO, biaya 150 unit dalam persediaan tamat per 31 Januari 2018 dihitung sebagai berikut :
Mengurangkan biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000 dari biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.830.000
Perhatikan mirip ditunjukkan berikut ini :
Persediaan tamat per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.050.000 berasal dari biaya perolehan paling awal.
HPP (harga pokok penjualan) sebesar Rp 2.830.000 berasal dari biaya persediaan paling akhir.
Hubungan harga pokok penjualan untuk bulan Januari 2018 dan persediaan tamat per 31 Januari 2018 sanggup dilihat pada gambar gambaran berikut ini :
A. Penggunaan Metode Penilaian Persediaan LIFO
Saat metode LIFO dipakai selama periode inflasi atau kenaikan harga-harga risikonya yakni kebalikan dengan dua metode yang lain.
Seperti ditunjukkan dalam rujukan di atas, metode LIFO akan menghasilkan jumlah yang lebih tinggi untuk HPP (Harga Pokok Penjualan).
Dan jumlah yang lebih rendah untuk keuntungan kotor dan jumlah yang lebih rendah untuk persediaan akhir, dibandingkan dengan metode yang lain.
Alasan imbas ini yakni biaya peroehan unit yang paling tamat kurang lebih sama dengan biaya penggantiannya.
Dalam periode inflasi, biaya unit yang lebih gres akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga unit yang lebih awal.
Oleh alasannya yakni itu, sanggup dikatakan bahwa metode LIFO nyaris berhasil membandingkan biaya ketika ini dengan pendapataan ketika ini (matching current costs against current revenues).
Selama periode kenaikan harga-harga, metode LIFO memperlihatkan penghematan dalam pajak penghasilan.
Karena melaporkan jumlah keuntungan higienis yang lebih rendah dibandingkan metode FIFO dan biaya rata-rata.
Pada ketika inflasi dua digit tahun 1970-an di AS, banyak perusahaan beralih dari metode FIFO menjadi LIFO untuk menghemat pembayaran pajak.
Tapi, persediaan tamat dalam neraca sanggup berbeda dari biaya penggantian ketika ini.
Dalam kasus mirip ini, Laporan Keuangan biasanya memasukkan catatan yang menyebutkan selisih yang diperkirakan antara persediaan LIFO dan persediaan FIFO.
Dan perlu disadari bahwa pada ketika deflasi, atau secara umum terjadi penurunan harga-harga, maka pengaruhnya sebaliknya.
03. Metode Penilaian Persediaan Biaya Rata-rata
Metode biaya rata-rata disebut juga dengan metode biaya rata-rata tertimbang (weighted average method).
Ketika metode ini dipakai biaya dipadankan terhadap pendapatan sesuai dengan rata-rata biaya unit yang terjual.
Biaya unit rata-rata tertimbang yang sama dipakai dalam menghitung biaya persediaan pada tamat periode.
Untuk perusahaan yang mempunyai barang penjualan yang terdiri dari banyak sekali pembelian unit yang identik, penerapan metode biaya rata-rata hampir ibarat arus fisik barang.
Biaya unit rata-rata tertimbang dihitung dengan membagi jumlah biaya unit setiap barang yang tersedia untuk dijual selama periode tertentu dengan jumlah unit barang terkait.
Dengan memakai data biaya yang sama dengan rujukan metode FIFO dan LIFO, biaya rata-rata 280 unit yakni sebesar Rp 21.000, dan biaya 150 unit dalam persediaan akhir, dihitung sebagai berikut :
Biaya unit rata-rata : Rp 5. 880.000 /280 unit = Rp 21.000
Persediaan 31 Januari 2018, 150 unit dengan biaya Rp 21.000 per unit = Rp 3.150.000
Mengurangi biaya persediaan per 31 Januari 2018 sebesar Rp 3.150.000 dari biaya barang tersedia untuk dijual sebesar Rp 5.880.000 akan menghasilkan harga pokok penjualan (HPP) sebesar Rp 2.730.000, mirip ditunjukkan berikut ini :
A. Penggunaan Metode Penilaian Persediaan Biaya Rata – rata
Metode biaya rata-rata yakni hasil kompromi antara metode FIFO dan LIFO. Pengaruh kecenderungan harga diambil rata-ratanya dalam menghitung HPP (Harga Pokok Penjualan) dan persediaan akhir.
Untuk serangkaian pembeliaan, biaya rata-rata akan tetap sama, tanpa memperhatikan arah kecenderungan harga.
Sebagai contoh, urutan biaya unit yang secara keseluruhan dibalik dengan biaya unit mirip disajikan dalam rujukan di atas, tidak akan kuat terhadap harga pokok penjualan (HPP), keuntungan kotor atau persediaan tamat yang dilaporkan.
Untuk me-refresh kembali, kini ada satu rujukan lagi perhitungan biaya persediaan.
Perhatikan Contoh soal berikut ini:
PT MK Network mempunyai data-data unit suatu barang yang tersedia untuk dijual selama tahun berjalan yakni sebagai berikut :
Terdapat 16 unit barang dalam penghitungan fisik persediaan per 31 Desember. Menggunakan sistem periodik dalam memilih persediaan.
Hitunglah biaya persediaan menggunakan:
- 1) metode FIFO,
- 2) Metode LIFO, dan
- 3) Metode biaya rata-rata.
Jawaban :
#1. Metode FIFO
= 16 unit X Rp 62.000 = Rp 992.000
#2. Metode LIFO
= (6 unit X Rp 50.000) + (10 unit X Rp. 55.000)
= Rp 850.000
#3. Metode Biaya Rata-rata
= Rp 2.310.000 / 40 = Rp 57.750
= 16 unit X Rp. 57.750 = Rp 924.000
04. Kesimpulan
Dari pembahasan ketiga metode di atas, arus biaya yang berbeda diasumsikan untuk masing-masing dari tiga metode alternatif biaya persediaan.
Perhatikan bahwa kalau biaya unit tetap stabil, seluruh metode akan mendapat hasil yang sama.
Akan tetapi alasannya yakni harga berubah-ubah, tiga metode tersebut biasanya akan menghasilkan jumlah yang berbeda untuk :
- Harga pokok penjualan (HPP) untuk periode berjalan
- Laba kotor dan keuntungan higienis untuk periode tersebut
- Persediaan akhir
Dengan memakai contoh, contohnya penjualan sebesar Rp 3.900.000, hasil dari perhitungan 130 unit x Rp 30.000, penggalan laporan keuntungan rugi berikut ini memperlihatkan imbas setiap metode ketika harga naik.
Perhatikan laporan keuntungan rugi sebagian di atas, metode FIFO menghasilkan jumlah paling rendah untuk HPP (Harga Pokok Penjualan)
Dan jumlah paling tinggi untuk keuntungan kotor dan keuntungan higienis dan juga persediaan akhir.
Di satu sisi, metode evaluasi persediaan LIFO menghasilkan jumlah paling tinggi untuk HPP (harga pokok penjualan).
Dan jumlah paling rendah untuk keuntungan kotor dan keuntungan bersih, dan juga persediaan akhir.
Metode evaluasi persediaan biaya rata-rata menghasilkan jumlah di antara yang dihasilkan FIFO dan LIFO.
***
Sumber https://manajemenkeuangan.net
0 Response to "Perbandingan Metode Fifo, Lifo, Dan Biaya Rata-Rata, Mana Terbaik?"
Posting Komentar