Iwan Pranoto: Hak Belajar, Bukan Wajib Belajar
Tulisan usang dari salah satu Matematikawan Indonesia Bapak Iwan Pranoto. Tulisan ini sudah pernah terbit di harian kompas tanggal 4 Oktober 2004. Harian Kompas pada masa 2000-an masih tergolong bacaan kaum menengah keatas alasannya harganya yang sudah tidak mengecewakan mahal pada zamannya dan bahan informasi juga tidak lagi "berita murahan" untuk istilah para pembaca. Karena belum banyak yang membaca goresan pena keren dari bapak profesor ini, jadi ada baiknya goresan pena ini kita simpan dengan baik.
Tulisan ini juga menjadi catatan penting bagi saya sebagai seorang guru dan sebagai orang bau tanah 😊
Di Republik ini, hak bagi warganya seringkali kehilangan makna dalam praktik kehidupan sehari-hari. Entah dengan sengaja atau tidak, suatu hak seringkali bergeser menjadi kewajiban.
Misalnya, hak menentukan dalam Pemilu. Setiap kali akan dilangsungkan Pemilu, bangsa ini senantiasa berdebat kembali dengan pertanyaan seputar wajibkah setiap warga negara ikut serta sebagai pemilih. Bolehkah menjadi seseorang yang secara sadar tidak ikut memilih? Makna hak untuk menentukan menjadi kabur. Hal yang analog dengan Pemilu ini sepertinya sedang terjadi dengan makna belajar.
Saat ini, Peraturan Pemerintah [PP] ihwal pendidikan sedang digodog pemerintah dan banyak sekali elemen. Salah satu PP tersebut yaitu WAJAR atau Wajib Belajar.
Jika diamati dengan secama, gagasan wajib berguru merupakan suatu absurditas atau kontradiksi.
Pertama, proses berguru tak mungkin pernah berjalan efektif jikalau ada suatu pemaksaan pada diri pemelajar. Gagasan student centeredness atau pendidikan yang berpusat pada siswa senantiasa mengedepankan dan mengharuskan pemelajar menyadari serta bertanggung jawab atas proses belajar yang dijalaninya. Ini didasarkan pada prinsip bahwa dorongan atau impian berguru dari diri sendiri merupakan unsur utama dalam proses belajar. Kecuali itu, proses berguru yang dipaksakan tidak akan pernah sustained atau berkelanjutan.
Kedua, wajib berguru sepertinya telah rancu dengan wajib sekolah. Wajib sekolah memang gampang sekali mengamatinya. Seorang siswa atau siswi yang tak pergi ke sekolah pada ketika jam sekolah, terang menyalahi wajib sekolah. Sangat terang dan gampang menentukan seseorang melanggar wajib sekolah atau tidak. Namun, bagaimana dengan wajib belajar?
Jika berguru suatu kewajiban...,
Bagaimana operasi pelaksanaan pengamatannya nanti?
Bagaimana menentukan seseorang sedang berguru atau tidak?
Seorang anak yang bermain di pematang sawah atau tepi pantai apakah sedang tidak belajar?
Seorang anak yang membantu ibunya berjualan di pasar apakah sedang tidak belajar?
Seseorang anak berumur 10 tahun yang sedang melongo di bawah pohon pada pinggiran sungai pada pukul 8 pagi, misalnya, apakah sedang melanggar kewajiban belajarnya? Memang kewajiban sekolah mungkin dilanggarnya, tetapi kewajiban belajar? Kalau beliau ditanya, beliau mungkin menjawab bahwa beliau sedang berguru berpikir.
Oleh karenanya, terang sekali bahwa wajib berguru merupakan suatu gagasan yang kontradiktif dan sangat tidak operasional.
Namun demikian, kita sadar bahwa yang paling utama menentukan terjadi tidaknya proses berguru yaitu siswa sendiri. Kita, orang bau tanah mau pun guru, bukan pelaku utama dalam proses berguru bawah umur kita. Jika kita sudah sering berwacana gagasan siswa sebagai subjek dalam proses pendidikan, maka mengembalikan tanggungjawab berguru pada siswa merupakan suatu aktualisasi dan penerapan gagasan tersebut. Ini juga merupakan realisasi pemberdayaan siswa melalui proses belajar.
Cara pandang di atas sangat sejalan dengan makna berguru sebagai hak setiap manusia untuk berbagi dirinya. Jadi, akan lebih sempurna jikalau Pemerintah Pusat beserta Pemda wajib menyediakan aktivitas sekolah 9 tahun yang terjangkau atau, jikalau mungkin, gratis bagi warganya. Artinya, pemerintah wajib untuk menyediakan pendidikan sekolah bagi warganya. Adalah hak warga negara untuk memanfaatkan penyediaan aktivitas pendidikan tersebut. Adalah hak warga negara untuk berguru dalam aktivitas yang disediakan pemerintah.
Belajar merupakan kegiatan yang sanggup berjalan efektif melalui institusi formal menyerupai sekolah maupun tak formal. Seorang anak berguru tidak hanya di dalam kelas sewaktu berinteraksi dengan gurunya, melainkan terjadi pula pada ketika beliau bermain dengan temannya atau pada saaat bekerja membantu orang tuanya menjahit, misalnya. Prinsip bahwa berguru tidak perlu melalui institusi formal juga harus diyakini pembuat kebijakan pendidikan nasional.
Namun, jikalau kita melihat kegiatan warga negara melalui kacamata kekuasaan, yakni dari arah atas ke bawah, maka memang gagasan wajib berguru cocok dengan nuansa arahan atau perintah. Belajar perlu diperintah. Mungkin dianggapnya, warga negara tidak mau berguru jikalau tidak diwajibkan. Tetapi, jikalau kita mau memposisikan setiap warga negara sebagai pelaku utama dalam proses belajar, maka hak berguru akan jauh lebih cerdas dan efektif daripada wajib belajar.
*) Iwan Pranoto - Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung.
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Pianist cilik ini memperlihatkan salah satu pola dari hasil belajar;
Sumber http://www.defantri.com
Tulisan ini juga menjadi catatan penting bagi saya sebagai seorang guru dan sebagai orang bau tanah 😊
Di Republik ini, hak bagi warganya seringkali kehilangan makna dalam praktik kehidupan sehari-hari. Entah dengan sengaja atau tidak, suatu hak seringkali bergeser menjadi kewajiban.
Misalnya, hak menentukan dalam Pemilu. Setiap kali akan dilangsungkan Pemilu, bangsa ini senantiasa berdebat kembali dengan pertanyaan seputar wajibkah setiap warga negara ikut serta sebagai pemilih. Bolehkah menjadi seseorang yang secara sadar tidak ikut memilih? Makna hak untuk menentukan menjadi kabur. Hal yang analog dengan Pemilu ini sepertinya sedang terjadi dengan makna belajar.
Saat ini, Peraturan Pemerintah [PP] ihwal pendidikan sedang digodog pemerintah dan banyak sekali elemen. Salah satu PP tersebut yaitu WAJAR atau Wajib Belajar.
Jika diamati dengan secama, gagasan wajib berguru merupakan suatu absurditas atau kontradiksi.
Pertama, proses berguru tak mungkin pernah berjalan efektif jikalau ada suatu pemaksaan pada diri pemelajar. Gagasan student centeredness atau pendidikan yang berpusat pada siswa senantiasa mengedepankan dan mengharuskan pemelajar menyadari serta bertanggung jawab atas proses belajar yang dijalaninya. Ini didasarkan pada prinsip bahwa dorongan atau impian berguru dari diri sendiri merupakan unsur utama dalam proses belajar. Kecuali itu, proses berguru yang dipaksakan tidak akan pernah sustained atau berkelanjutan.
Kedua, wajib berguru sepertinya telah rancu dengan wajib sekolah. Wajib sekolah memang gampang sekali mengamatinya. Seorang siswa atau siswi yang tak pergi ke sekolah pada ketika jam sekolah, terang menyalahi wajib sekolah. Sangat terang dan gampang menentukan seseorang melanggar wajib sekolah atau tidak. Namun, bagaimana dengan wajib belajar?
Jika berguru suatu kewajiban...,
Bagaimana operasi pelaksanaan pengamatannya nanti?
Bagaimana menentukan seseorang sedang berguru atau tidak?
Seorang anak yang bermain di pematang sawah atau tepi pantai apakah sedang tidak belajar?
Seorang anak yang membantu ibunya berjualan di pasar apakah sedang tidak belajar?
Seseorang anak berumur 10 tahun yang sedang melongo di bawah pohon pada pinggiran sungai pada pukul 8 pagi, misalnya, apakah sedang melanggar kewajiban belajarnya? Memang kewajiban sekolah mungkin dilanggarnya, tetapi kewajiban belajar? Kalau beliau ditanya, beliau mungkin menjawab bahwa beliau sedang berguru berpikir.
Oleh karenanya, terang sekali bahwa wajib berguru merupakan suatu gagasan yang kontradiktif dan sangat tidak operasional.
😊😊😊
Jika kita ingin menerapkan gagasan student centeredness, kita harus memperlihatkan tanggungjawab berguru pada siswa. Jelas sekali bahwa ini tidak berarti bahwa kita boleh membiarkan anak atau murid kita tidak belajar. Justru sebaliknya, kita guru dan orang bau tanah perlu menyadarkan atau mencerahkan bawah umur kita akan pentingnya berguru bagi kehidupan mereka. Kita perlu terus menerus menyadarkan bawah umur kita atas hak belajarnya. Kita perlu senantiasa berupaya menyuburkan bertumbuhkembangnya motivasi berguru bawah umur kita. Namun demikian, kita sadar bahwa yang paling utama menentukan terjadi tidaknya proses berguru yaitu siswa sendiri. Kita, orang bau tanah mau pun guru, bukan pelaku utama dalam proses berguru bawah umur kita. Jika kita sudah sering berwacana gagasan siswa sebagai subjek dalam proses pendidikan, maka mengembalikan tanggungjawab berguru pada siswa merupakan suatu aktualisasi dan penerapan gagasan tersebut. Ini juga merupakan realisasi pemberdayaan siswa melalui proses belajar.
Cara pandang di atas sangat sejalan dengan makna berguru sebagai hak setiap manusia untuk berbagi dirinya. Jadi, akan lebih sempurna jikalau Pemerintah Pusat beserta Pemda wajib menyediakan aktivitas sekolah 9 tahun yang terjangkau atau, jikalau mungkin, gratis bagi warganya. Artinya, pemerintah wajib untuk menyediakan pendidikan sekolah bagi warganya. Adalah hak warga negara untuk memanfaatkan penyediaan aktivitas pendidikan tersebut. Adalah hak warga negara untuk berguru dalam aktivitas yang disediakan pemerintah.
Belajar merupakan kegiatan yang sanggup berjalan efektif melalui institusi formal menyerupai sekolah maupun tak formal. Seorang anak berguru tidak hanya di dalam kelas sewaktu berinteraksi dengan gurunya, melainkan terjadi pula pada ketika beliau bermain dengan temannya atau pada saaat bekerja membantu orang tuanya menjahit, misalnya. Prinsip bahwa berguru tidak perlu melalui institusi formal juga harus diyakini pembuat kebijakan pendidikan nasional.
Namun, jikalau kita melihat kegiatan warga negara melalui kacamata kekuasaan, yakni dari arah atas ke bawah, maka memang gagasan wajib berguru cocok dengan nuansa arahan atau perintah. Belajar perlu diperintah. Mungkin dianggapnya, warga negara tidak mau berguru jikalau tidak diwajibkan. Tetapi, jikalau kita mau memposisikan setiap warga negara sebagai pelaku utama dalam proses belajar, maka hak berguru akan jauh lebih cerdas dan efektif daripada wajib belajar.
*) Iwan Pranoto - Guru Besar Matematika Institut Teknologi Bandung.
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Pianist cilik ini memperlihatkan salah satu pola dari hasil belajar;
0 Response to "Iwan Pranoto: Hak Belajar, Bukan Wajib Belajar"
Posting Komentar