Materi Sumber Hukum
Pembahasan sumber-sumber Syariat Islam, termasuk masalah pokok (ushul) lantaran dari sumber-sumber itulah terpancar seluruh hukum/syariat Islam. Oleh karenanya untuk memutuskan sumber syariat Islam harus berdasarkan ketetapan yang qath’i (pasti) kebenarannya, bukan sesuatu yang bersifat dugaan (dzanni).
Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“(Dan) janganlah kau mengikuti apa yang kau tidak mempunyai ilmu tentangnya.”
(QS. Al-Israa: 36)
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إَنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun mempunyai kegunaan untuk mencapai kebenaran.”
(QS. Yunus: 36)
Masalah ini termasuk masalah pokok (ushul), alasannya ialah menjadi dasar bagi seorang Muslim untuk menarik keyakinan atas hukum-hukum amaliahnya. Apabila landasan suatu aturan sudah salah, maka seluruh hukum-hukum cabang yang dihasilkannya menjadi salah pula. Oleh alasannya ialah itu memutuskan sumber syariat Islam tidak sanggup dilakukan berdasarkan persangkaan ataupun dengan dugaan belaka.
Berdasarkan pengertian di atas maka yang memenuhi syarat untuk dipakai sebagai sumber pengambilan dalil-dalil syar’i ialah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ Shahabat dan Qiyas (yang mempunyai persamaan illat syar’i).
A. Al-Qur’an
1. Definisi Al-Qur’an
Al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat Jibril kepada Rasulullah saw dengan memakai bahasa Arab disertai kebenaran semoga dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai rasul dan semoga dijadikan sebagai aliran aturan bagi seluruh ummat manusia, di samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Al-Qur’an diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya diriwayatkan oleh orang sangat banyak sejak dari generasi shahabat ke generasinya selanjutnya secara berjamaah. Makara apa yang diriwayatkan oleh orang per orang tidak sanggup dikatakan sebagai Al-Qur’an. Orang-orang yang memusuhi Al-Qur’an dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Al-Qur’an ialah kalamullah, bukan ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw ataupun saduran dari kitab-kitab sebelumnya. Al-Qur’an tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai sumber segala sumber aturan bagi setiap bentuk kehidupan insan di dunia.
2. Kehujjahan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya merupakan dasar aturan yang wajib dipatuhi, lantaran Al-Qur’an merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan tidak sanggup diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah memperlihatkan bahwa Al-Qur’an itu tiba dari Allah dan ia merupakan mukjizat yang bisa menundukkan insan dan tidak mungkin bisa ditiru. Salah satu yang yang menjadi kemusykilan insan untuk menandingi Al-Qur’an ialah bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para andal syi’ir orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan insan apabila berkumpul untuk menciptakan yang serupa dengan Al-Qur’an ini. Pasti mereka tidak akan sanggup menciptakan yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sekalian yang lain.” (QS. Al-Israa: 88)
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ وَلَن تَفْعَلُواْ فَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“(Dan) apabila kau tetap dalam keraguan wacana Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jikalau kau orang-orang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Cukup kiranya pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di masa Rasulullah saw, spesialis syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh nabi pada awalnya berkata:
“Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menghasilkan buah. Dan insan tidak akan mungkin bisa berucap mirip Al-Qur’an.”
Selain dari bahasanya, isi Al-Qur’an sekaligus menjadi hujjah atas kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki Makkah dengan kondusif (QS. Al-Fath), juga wacana akan menangnya pasukan Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum) dan sebagainya. Selain isi Al-Qur’an memperlihatkan wacana insiden sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau dongeng wacana sebagian Iptek, contohnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya bunga-bunga oleh dukungan angin dan sebagainya. Yang pada karenanya terbukti kebenarannya. Semua itu memperlihatkan bahwa Al-Qur’an memang bukan tiba dari insan melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan kehidupan dan aturan manusia. (Lihat juga pembuktian kesahihan Al-Qur’an pada bahan “Proses Keimanan”)
3. Al Muhkamat dan Al Mutasyabihat
Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat sebagaimana firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepadamu, di antaranya (isinya) ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan lainnya (ayat-ayat) Mutasyabihat.” (QS. Ali Imran: 7)
Ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang maksudnya sanggup diketahui secara kasatmata dan tidak sanggup ditafsirkan lagi. Sedangkan ayat mutasyabihat ialah ayat yang mempunyai arti terselubung (tersembunyi) yang sanggup ditafsirkan lantaran mengandung beberapa pengertian.
Keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya nirwana dan neraka, insiden hari kiamat, diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan tugas-tugasnya, kesemuanya dijelaskan melalui ayat-ayat yang muhkamat. Termasuk dalam ayat-ayat muhkamat ialah haramnya riba dan zina dalam segala bentuknya, wajibnya aturan potong tangan bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat dengan hukum-hukum Allah dan sebagainya.
Sedangkan ayat-ayat yang mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang berbicara wacana mu’amalah mirip QS. Al Baqarah 228 (lafadz quru’ mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS. Al Baqarah 237 (lafadz yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali dari pihak istri).
4. Tafsir Al-Qur’an
Tafsir ialah membuktikan maksud pada lafadz. Misalnya firman Allah SWT ‘laa raiba fiihi’ (tidak ada keraguan di dalamnya) dijelaskan dengan lafadz lain “laa syakka fiihi” (tidak ada kebimbangan di dalamnya). Tafsir Al-Qur’an merupakan klarifikasi makna kata demi kata dalam susunan kalimatnya serta makna susunan kalimat sebagaimana adanya. Terkadang suatu ayat dijelaskan oleh ayat lainnya (tafsir ayat bi al-ayat) atau oleh hadits Rasulullah saw wacana suatu ayat (tafsir bi as-sunnah), atau klarifikasi para shahabat dan andal ilmu terhadap suatu ayat.
Penjelasan kata-kata dan susunannya itu terbatas hanya dalam bahasa Arab, sama sekali dihentikan ditafsirkan dalam bahasa lain. Selain berdasarkan kenyataannya Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang paling baik dan murni, tidak ada jalan lain dalam memahami Al-Qur’an melalui bahasa yang lain. Dengan demikian Al-Qur’an tidak bisa tidak hanya bisa ditafsirkan ke dalam bahasa Al-Qur’an itu sendiri yaitu bahasa Arab. Bertitik tolak dari suatu keyakinan sebenarnya hidup ini dihentikan diatur kecuali berdasarkan aturan Allah SWT, maka tidak ada alternatif lain bagi kita melainkan berusaha semakimal mungkin memahami Al-Qur’an, menghayati dan mengkaji isinya sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
وَكَذَلِكَ أَنزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا
“(Dan) Demikianlah Kami telah menurunkan Al-Qur’an itu sebagai peraturan yang benar dalam bahasa Arab.” (QS. Ar-Ra’du: 37)
Sesungguhnya kelalaian ummat dalam mengkaji dan menghayati isi kandungan Al-Qur’an mengakibatkan ketidakakraban dengan Al-Qur’an. Ini memperlihatkan bahwa ummat sedang berjalan menuju garis yang berada di luar jalur ketentuan Allah SWT. Hendaknya disadari bahwa melaksanakan kajian terhadap isi kandungan Al-Qur’an menuntut persyaratan-persyaratan tertentu. Disamping menuntut keikhlasan dan kesucian niat juga membutuhkan penguasaan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an. Apabila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka sanggup menjadikan pemahaman yang keliru dan merugikan. Walaupun begitu, terpenuhinya persyaratan ini pun tidaklah mutlak menjamin kebenaran hasil suatu kajian, namun begitu haruslah berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran yang dimaksud Al-Qur’an. Juga harus disadari bahwa pengkajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an bukanlah menjadi tujuan akhir. Ia hanya merupakan ‘jembatan’ untuk mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an. Sedangkan tujuan karenanya ialah perwujudan dan penerapan nilai-nilai Al-Qur’an dalam seluruh aspek kehidupan. Bila tidak demikian maka apa yang kita lakukan tidak ubahnya dengan apa yang dilakukan oleh kaum orientalis, yang memandang Al-Qur’an hanya dari segi ilmu, bukan untuk diterapkan.
B. As-Sunnah
Definisi Sunnah
Sunnah ialah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah saw terhadap sesuatu hal/perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an lantaran sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
As-Sunnah berdasarkan bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik sikap yang baik atau yang buruk.” Sedangkan berdasarkan istilah ushul fiqih sunnah Rasulullah mirip yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru besar Hadis Universitas Damascus) berarti “Segala sikap Rasulullah yang berafiliasi dengan hukum, baik berupa ucapan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), atau ratifikasi (sunnah Taqririyah).
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى(3)إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى(4)
“(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu berdasarkan kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
Makna ayat di atas bahwanya apa yang disampaikan Rasulullah saw (Al-Qur’an dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT:
قُل ...إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَا يُوحَى إِلَيَّ
“(Katakanlah Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An’am 50)
Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melaksanakan suatu tindakan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan semoga insan mengikuti apa yang disampaikannya.
Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’an, Rasulullah saw juga mendapatkan wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang pengertiannya sama dengan As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah sanggup ditemukan dalam QS. Ali Imran: 164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.
Dari klarifikasi tersebut, sanggup dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat niscaya (qath’i) kebenarannya; sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri.
C. Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an
Adapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an sanggup diuraikan sebagai berikut:
1. Menguraikan Kemujmalan (keumuman) Al-Qur’an.
Mujmal ialah suatu lafadz yang belum terang indikasinya (dalalah/penunjukannya) yaitu dalil yang belum terang maksud dan perinciannya. Misalnya perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji. Al-Qur’an hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci membuktikan tata cara pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.
Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa Abbasiyah menjelaskan:
“Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an terdapat ungkapan yang seandainya tidak ada klarifikasi lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal ini tumpuan kita hanya kepada Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh alasannya ialah itu secara niscaya wajib kembali kepada Sunnah.”
2. Pengkhususan Keumuman Al-Qur’an.
Umum (‘aam) ialah lafadz yang meliputi segala sesuatu makna yang pantas dengan satu ucapan saja. Misalnya ‘al-muslimun’ (orang-orang Islam), ‘ar-rijaalu’ (orang-orang laki-laki) dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an itu terdapat banyak lafadz yang bermakna umum kemudian Sunnah mengkhususkan keumumannya Al-Qur’an tersebut. Misalnya firman Allah SWT:
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
“Allah mewajibkan kau wacana anak-anakmu, untuk seorang anak pria ialah dua cuilan dari anak perempuan.” (QS. An-Nisaa: 11)
Menurut ayat tersebut di atas, setiap anak secara umum berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Makara setiap anak ialah pewaris ayahnya. Kemudian tiba Sunnah yang mengkhususkannya. Sabda Rasulullah saw:
“Kami seluruh Nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan ialah sedekah.” (HR. Bukhari)
“Seorang pembunuh tidak menerima warisan.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Menurut hadits di atas Nabi tidak meninggalkan warisan bagi anak-anaknya serta melarang seorang anak yang membunuh ayahnya menerima warisan dari ayahnya.
3. Taqyid (Pensyaratan) terhadap ayat Al-Qur’an yang mutlak
Mutlak ialah lafadz yang memperlihatkan sesuatu yang masih umum pada suatu jenis, contohnya lafadz budak, mukmin, kafir, dan lain-lain. Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang bersifat mutlak (tanpa memberi persyaratan). Misalnya:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri hendaklah kau potong tangan (keduanya).” (QS. Al-Maidah: 38)
Ayat ini berlaku mutlak pada setiap pencurian (baik besar maupun kecil). Kemudian Sunnah memperlihatkan persyaratan nilai barang curian itu sebanyak seperempat dinar emas ke atas. Sabda Rasulullah saw:
“Potonglah dalam pencurian seharga seperempat dinar dan janganlah dipotong yang kurang dari itu.” (HR Ahmad)
Begitu pula halnya dengan batas pemotongan tangan bagi pencuri (sebagimana ayat 38 Surat Al- Maidah), yaitu pada pergelangan tangan dan bukan dari daerah lainnya, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW.
4. Pelengkap Keterangan Sebagian dari Hukum-Hukum.
Peranan Sunnah yang lain ialah untuk memperkuat dan memutuskan apa yang telah tercantum dalam Al-Qur’an disamping melengkapi sebagian cabang-cabang aturan yang asalnya dari Al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan wacana pengharaman memperisteri dua orang sekaligus.
وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ
“(Dan diharamkan bagimu) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (QS. An-Nisaa’: 23)
Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan wacana haramnya seseorang mengumpulkan (memadu) seorang perempuan saudara ibu, atau anak perempuan dari saudara pria istri (kemenakan). Sunnah menjelaskan mengenai hal ini melalui sabda Nabi:
“Tidak boleh seseorang memadu perempuan dengan ‘ammah (saudara bapaknya), atau dengan saudara ibu (khala) atau anak perempuan dari saudara perempuannya (kemenakan) dan dihentikan memadu dengan anak perempuan saudara laki-lakinya, alasannya ialah kalau itu kalian lakukan, akan memutuskan tali persaudaraan.” (HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah)
5. Sunnah Menetapkan Hukum-hukum Baru, yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Sunnah juga berfungsi memutuskan hukum-hukum yang gres yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan bukan merupakan klasifikasi dari nash yang sudah ada dalam Al-Qur’an, akan tetapi merupakan aturan-aturan gres yang hanya terdapat dalam Sunnah. Misalnya, diharamkannya ‘keledai jinak’ untuk dimakan, setiap hewan yang bertaring, dan setiap burung yang bercakar. Begitu pula wacana keharaman memungut pajak (bea cukai), penarikan hak milik atas tanah pertanian yang selama tiga tahun berturut-turut tidak dikelola, maka diambil oleh negara, tidak bolehnya individu mempunyai kepentingan umum mirip air, rumput, api, minyak bumi, tambang emas, perak, besi, sungai, laut, daerah penggembalaan ternak dan lain-lain.
Demikian antara lain ketentuan komplemen (penyempurnaan) yang dilakukan Rasulullah saw. Maka sikap seorang Muslim terhadap hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Ucapan orang-orang beriman, manakala mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Dia memperlihatkan ketentuan aturan diantara mereka, tidak lain hanya mengatakan: Kami mendengar dan Kami mematuhinya. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia.” (QS. An-Nur: 51)
Penggunaan nash As-Sunnah untuk masalah aqidah haruslah nash yang bersifat qath’i, lantaran dihentikan adanya keraguan sedikitpun dalam masalah aqidah/i’tiqadiyah. Sedangkan untuk masalah hukum/syari’ah masih sanggup dipakai nash As-Sunnah yang mencapai derajat dzanni (prasangka berpengaruh atas kebenarannya). Hal ini lantaran dalam masalah Syari’ah tidak diharuskan suatu keyakinan yang niscaya terhadap hasil ijtihad yang akan dijadikan sumber amaliah tersebut (bukan sumber untuk masalah i’tiqadiyah).
D. Ijma’ Shahabat
Pengertian Ijma, Shahabat
Lafadz ijma’ berdasarkan bahasa bisa berarti tekad yang konsisten tehadap sesuatu atau janji suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan berdasarkan para ulama ushul fiqh, ijma’ ialah janji terhadap suatu aturan bahwa hal itu merupakan aturan syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang ijma’nya sanggup diterima sebagai sumber aturan atau dalil syar’i. Ada yang menyampaikan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu Madinah, atau ijma’ ahlul halli wal aqdi, ijma’ shahabat atau sebagainya.
Untuk memutuskan sumber pengambilan aturan bagi dalil-dalil syar’i diharapkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara banyak sekali pendapat wacana ‘siapa’ yang ijma’nya sanggup diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling memenuhi persyaratan untuk hal ini ialah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah saw.
Alasan Ijma’ Shahabat Dijadikan Sumber Hukum Islam
Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul, saling mengetahui ijma’ dan sanggup mengkoreksi bila diketahui kesalahannya, maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama, haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering dipakai untuk ‘membuat aturan pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan niscaya benarkah ijma’ mereka tersebut? Benarkah semua ‘ulama’ tadi mengetahui dan menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik atau membatalkan ijma’nya tadi hingga ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama (seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) bisa berkumpul bersama membahas suatu masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itulah, Imam Ahmad bin Hambal pernah menyatakan bahwa suatu kebohongan besar bila ada yang menyampaikan bisa terwujud ijma’ sehabis masa shahabat. Dan lantaran ketidakmungkinan itu pula yang pada karenanya muncul istilah ‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan ulama berijtihad dengan hasil serupa terhadap suatu masalah. Jumhur berbeda dengan ijma’.
Banyaknya kebanggaan kepada para Shahabat secara jama’ah, baik tercantum dalam Al-Qur’an maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Seperti tercantum dalam QS. Al-Fath: 29, QS. At-Taubah: 100, QS. Al Hasyr: 8. Begitu pula sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya saya telah menentukan para shahabat-ku atas segenap makhluk, selain para nabi.” (HR Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain)
“Para shahabatku itu mirip bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr)
Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat memperlihatkan suatu kepastian wacana kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah, maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’ shahabat sanggup dipakai sebagai dalil syara’.
Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan, menghafalkan dan memberikan Al-Qur’an beserta Sunnah pada generasi berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup semasa Rasulullah saw, hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan dengan insiden apa suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Merekalah yang mengetahui Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih baik yang pernah dilahirkan insan di muka bumi ini selain mereka (para shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?
Memang tidak tidak mungkin para shahabat pun melaksanakan kesalahan, alasannya ialah mereka pun tetap insan yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka tidak mungkin bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi kesalahan dalam ijma’ mereka wacana suatu masalah maka tentu akan terdapat kesalahan dalam Islam, dalam Al-Qur’an dan Hadits alasannya ialah merekalah yang memberikan Al-Qur’an dan menuturkan hadits Rasulullah saw pada generasi berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat ialah tidak mungkin terjadi secara syar’i.
E. Beberapa Contoh Ijma’ Shahabat
Salah satu ijma’ shahabat terpenting ialah pengumpulan Al-Qur’an menjadi mushaf. Al-Qur’an dalam bentuk kini ini merupakan hasil janji (ijma’) para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9)
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
“Yang tidak tiba kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.”
(QS. Fushilat: 42)
Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Al-Qur’an yang ada kini --yang merupakan ijma’ para shahabat-- dijamin kebenarannya. Dengan kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran Al-Qur’an. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada kemungkinan salah dalam Al-Qur’an sekarang. Padahal hal ini ialah tidak mungkin terjadi.
Dengan demikian secara syar’i tidak mungkin terjadi kesalahan dalam ijma’ shahabat. Inilah dalil yang niscaya bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i. Contoh lain yang masyhur wacana ijma’ shahabat ialah keharusan adanya seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum muslimin, melindungi, dan berbagi dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw wafat.
F. Qiyas
Pengertian Oiyas
Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu insiden yang tidak ada nashnya dengan suatu insiden yang sudah ada nash/hukumnya, lantaran disebabkan adanya kesamaan dua insiden itu dalam illat (sebab) hukumnya.
Alasan Qiyas Dijadikan Sumber Hukum
Qiyas dipakai sebagai sumber dalil syar’i lantaran dalam qiyas yang menjadi dasar pengambilan aturan ialah nash-nash syar’i yang mempunyai kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan aturan ialah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah gres dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka aturan masalah yang gres tersebut menjadi sama.
Maka bila illat yang sama terkandung dalam Al-Qur’an berarti dalil qiyas dalam hal tersebut ialah Al-Qur’an. Demikian pula apabila illat yang sama terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat maka yang menjadi dalil qiyas ialah kedua hal tersebut.
Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
“Seorang perempuan kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah saya harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Bagaimana jikalau ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kau akan membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah saw: ‘Maka puasalah untuk (memenuhi) nadzar ibumu’.”
Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Seorang pria tiba kepada Rasulullah dan menyampaikan bahwa bapaknya meninggal, sedangkan ia berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah saya harus menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jikalau bapakmu punya hutang, apakah kau harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.”
Dalam dua hadits tersebut Rasulullah mengumpamakan atau mensejajarkan masalah nadzar, haji, dengan hutang, yang sama-sama harus dipenuhi
Contoh Qiyas dan Ruang Lingkup Pembahasan Qiyas
Sebagai contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at merupakan insiden yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kau kepada mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumuah: 9)
Illat pada ayat di atas ialah lantaran hal tersebut melalaikan shalat. Oleh lantaran itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.
Berdasarkan kaidah syara: ”Sesungguhnya hukum-hukum wacana ibadah, makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak sanggup direka-reka, semua ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Makara ruang lingkup daripada qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang mempunyai kesamaaan illat di dalamnya. Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan, minuman, ibadah dan susila di dalamnya tidak mempunyai illat, lantaran masalah ini sudah terang nash syara’nya sehingga tidak bisa diqiyaskan.
Rukun Qiyas
Setiap qiyas mempunyai empat rukun:
a. Asal (pokok).
Yaitu suatu insiden yang sudah ada nashnya yang dijadikan daerah mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi daerah mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)
b. Far’u (cabang).
Yaitu insiden yang tidak ada nashnya, dan insiden itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).
c. Hukum asal.
Yaitu aturan syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk memutuskan aturan itu kepada cabangnya.
d. ‘Illat.
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu insiden yang asal. Yang lantaran sifat itu, maka insiden asal itu mempunyai suatu aturan dan oleh lantaran sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah aturan cabaang itu dengan aturan insiden asal. Rukun qiyas yang keempat ialah yang terpenting untuk dibahas, lantaran illat qiyas merupakan asasnya.
Demikianlah citra ringkas wacana qiyas. Karena pembahasan di sini hanya bersifat global maka pembaca masih sangat perlu melanjutkan kajian ini dengan kajian yang dalam dan terperinci bila ingin menerima pemahaman yang menyeluruh dan mendalam.
Perkara yang Diduga Sebagai Dalil Padahal Bukan Dalil
Istidlal menurut bahasa berasal dari wazan istaf'ala dari lafadz dalla yang berarti mencari dalil, atau jalan yang mengantarkan pada masalah yang dicari.
Perkara yang diduga sebagai dalil padahal bukan dalil ada empat macam, yaitu: syari'at umat terdahulu (syar'un man qablana), pendapat sahabat (madzhab sahabat), istihsan, dan mashalih mursalah.
1. Syari'at umat terdahulu
Sebenarnya syari'at umat terdahulu (umat nabi-nabi sebelum nabi Muhammad SAW) bukan termasuk syari'at bagi kita (umat nabi Muhammad saw), dan bukan tergolong ujjah (dalil) bagi kita. Allah berfirman yang artinya.
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
"Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) atau kerikil ujian terhadap kitab-kitab yang lain." (QS. Al-Maidah: 48)
arti dari wamuhaimina 'alaih ialah nasikhon lima sabiqohu yaitu penghapus kitab-kitab sebelumnya. Oleh lantaran itu kita tidak diseru untuk melaksanakan syari'at sebelum kita. Kita diseru hanya untuk melaksanakan syari'at Islam yang dibawa oeh nabi Muhammad SAW.
2. Madzhab Sahabat
Madzhab sahabat sebenarnya bukan merupakan dalil syara'.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jikalau kalian berbeda pendapat wacana sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (al-Qur'an) dan rasul (sunnahnya)" (QS. An-Nisa: 59).
Dalam ayat ini Allah SWT telah mewajibkan untuk mengembalikan seluruh masalah yang perselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga para sahabat telah sepakat atas kebolehan menyelisihi sahabat secara perorangan. Andaikata pendapat seorang sahabat merupakan hujjah maka niscaya setiap sahabat wajib mengikuti pendapat sahabat yang lainnya. Tetapi hal mirip ini tidak mungkin terjadi.
3. Istihsan
Secara bahasa istihsan mengikuti wazan istaf'ala dari kata al-hasan yang memandang baik suatu perkara. Lawannya disebut al-istiqbah artinya memandang jelek suatu perkara.
Secara istilah istihsan diartikan dengan dalil cacat pada benak seorang mujahid, dan tidak kuasa untuk menampakkannya lantaran tidak ada dukungan al-ibarah (redaksi) untuk mengungkapkannya.
Sebagian ulama mendefinisikannya dengan 'beralih dari konsekwensi suatu Qiyas kepada Qiyas lain. yang lebih kuat. Mereka juga menganggap termasuk cuilan dari istihsan ialah beralih dari Qiyas kepada nash, baik al-Kitab, as-Sunnah maupun adat. Begitu pula yang termasuk istihsan ialah mengalihkan suatu alasan dari suatau wacana masalah-masalah yang sejenis kepada aturan lain lantaran adanya aspek yang lebih berpengaruh yang mengharuskan peralihan tersebut.
Contohnya ialah firman Allah SWT:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
"Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang menyempurnakan penyusuan". (QS. Al-Baqarah: 233).
Apabila istihsan merupakan peralihan dari suatu dalil tanpa ada dalil yang mengharuskan maka sebenarnya istihsan bukan merupakan dalil. Karena Allah SWT berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
" Kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana suatu masalah maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasulnya." (QS. An-Nisa: 59).
4. Mashalih al-Mursalah
Para ulama penganut mashalih mursalah mendefinisikannya dengan 'kemaslahatan yang tidak dijelaskan oleh dalil khusus yang mengakuinya atau mencampakannya '. kemudian kemaslahatan tersebut diambil, padahal tidak ada nash yang mengakuinya, dengan syariat saat diambil berakibat tertolaknya suatu kesulitan.
Mereka memperlihatkan teladan dengan kasus, jikalau ada orang yang mendakwa orang lain bahwa ia mempunyai harta pada orang tersebut, sementara tidak bisa mendatangkan bukti atas dakwaannya, kemudian terdakwa dituntut untuk bersumpah berdasarkan sabda Rasulullah SAW. yang artinya:
"Bukti atas penuntut/pendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkarinya (terdakwa)."
(HR. Tirmidzi)
Mereka tidak mewajibkan sumpah pada terdakwa kecuali jikalau antara terdakwa dan pendakwa terdapat suatu hubungan. Hal ini dilakukan semoga orang-orang yang kurang cerdik tidak berai (lancing) kepada kalangan terhormat sehingga akan menyerahkan mereka kaum terhormat kepengadilan dengan dakwaan-dakwaan dusta.
Berdasarkan definisi diatas, terang sekali bahwa sebenarnya mashahih mursalah bukan termasuk dalil. Menggunakan menyalahi nash ialah tindakan batil, berdasarkan dalil berikut :
1. Firman Allah SWT:
َمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
"Tentang sesuatu apapun kau berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. ".
(QS. Asy-Syura:10)
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ
"Kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana suatu masalah maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasulnya." (QS. An-Nisa: 59)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
"Pada hari ini telah kusempurnakan agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu."
(QS. Al-Maidah: 3)
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
"Apakah insan mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?"
(QS. Al-Qiyamah:36).
2. Kemaslahatan yang sebenarnya ialah kemaslahatan berdasarkan dalil syara' dimana ada perintah syara' disitu ada kemaslahatan. Sedangkan istilah menghukumi berdasarkan mashalih mursalah ialah menghukumi yang didasarkan pada mashlahat yang tidak ditetapkan oleh syara'. Oleh lantaran mashalih mursalah bukan tergolong hujjah.
3. Membangun suatu aturan atas dasar kemaslahatan yang tidak diakui oleh syara' berari menjadikan nalar yang tidak didukung oleh dalil sebagai hakim (al-'aql al-mujarrod). Sebagai hakim, ini tidak diperbolehkan.
0 Response to "Materi Sumber Hukum"
Posting Komentar