✔ Gender Dalam Ham Dan Syari’Ah
GENDER DALAM HAM DAN SYARI’AH[1]
Oleh : Sunardin , M.Pd.I
A. PENDAHULUAN
“Perempuan ialah penyangga peradaban bangsa”. Sayyid Kuthub (w.1966), dalam menyikapi kiprah perempuan kontemporer Mahatma Gandhi (w.1948) menyatakan, ”Banyaklah sudah pergerakan kandas tengah jalan, lantaran kita mengabaikan potensi dan eksistensi kaum perempuan” maka, berbicara soal eksistensi kiprah perempuan sejatinya ialah membicarakan duduk kasus peradaban masa depan suatu bangsa. Apalah artinya pembangunan dan modernisasi suatu masyarakat jikalau tidak melibatkan kiprah serta perempuan[2].
Sangat terasa bahwa dalam beberapa tahun terakhir belakangan ini terjadi hiruk-pikuk perbincangan perihal perempuan, termasuk hak-hak dasar mereka (fundamental right) yang selama ini terabaikan, terpinggirkan, atau tertindas oleh sistem kehidupan patriarkis. Ada ketidakadilan terhadap mereka[3]. Banyak kekerasan diantara mereka. Sejumlah kajian, diskusi, dan seminar digelar dimana-mana dengan intensif untuk mencari jawaban mengapa terjadi ketidakadilan terhadap perempuan? Sungguh mencengangkan sekaligus menarik ketika diketahui bahwa ”agama” telah terlibat dalam arus besar budaya yang tidak bersikap adil terhadap kaum perempuan. Tanpa disadari pula bahwa ternyata telah terjadi tarik-menarik yang sulit di pisahkan antara sistem budaya dan “agama” yang menawarkan kekuatan besar bagi terciptanya subordinasi dan ketertindasan kaum perempuan tersebut.
Ada kesenjangan dan ketimpangan antara idealitas agama dan realitas sosial, ketika idelitas agama menawarkan kiprah dan aktualisasi atas hak-hak dasar kaum perempuan, menyerupai yang diberikannya kepada kaum laki-laki, realitas sosial justru membatasi dan membelenggunya, kesenjangan menyerupai ini tentu saja perlu dihilangkan melalui upaya-upaya intelektual yang kritis dan menerobos terhadap teks-teks keagamaan yang dijadikan pedoman. Dalam istilah yang lebih terkenal kita perlu melaksanakan reinterpretasi dan rekonstruksi terhadap bangunan pikiran keagamaan (fiqh) dalam konteks sosial sekarang. Ini harus dilakukan jikalau hendak melihat idealitas agama berjalan dalam realitas sosial atau sebaliknya.
Keberadaan kaum perempuan di Indonesia hingga kini masih di landa krisis, kekerasan demi kekerasan yang dialami perempuan Indonesia semakin kompleks dan kian memperihatinkan, kekerasan tidak hanya mencakup fisik, tetapi juga kekerasan secual dan emosional (psikis) dalam rumah tangga[4], kekerasan juga dialami oleh perempuan dalam banyak sekali strata sosial, tingkat sosial, ekonomi, umur. Pendidikan bukanlah suatu jaminan seseorang terhindar dari tindak kekerasan dalam rumahtangga.[5]
Masalah kekerasan terhadap perempuan sulit terdeteksi lantaran pada umumnya hal itu terkait dengan pola korelasi kekuasaan, menyerupai lebih renta dalam keluarga, jabatan yang lebih tinggi, majikan dll. Dalam hal ini, kekerasan dalam rumah tangga dianggap bukan sebagai sebuah kejahatan, melainkan sebuah teguran, pendidikan atau pengajaran. Selain itu kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dianggap sebagai persolan individual yang tidak boleh diintervensi oleh pihak luar, sehingga tidak banyak pihak (korban) yang mau bicara terbuka dengan masalah yang di alaminya[6].
Padahal, kekerasan terhadap perempuan, baik dari ranah domestik ataupun publik, merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai hak asasi insan (HAM), sekaligus penyingkaran terhadap eksistensi perempuan sebagai makhluk yang mempunyai kesetaraan dengan pria dimata Tuhan.
Berdasarkan problem tersebut diatas, maka dalam paper ini penulis membahas masalah gender dan problemnya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
B. PENGERTIAN GENDER
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti "jenis kelamin" Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara pria dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Di dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender ialah suatu konsep kultural yang berupaya menciptakan pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara pria dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap pria dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, menyerupai Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai pria atau perempuan ialah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).
H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan imbas faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan pria dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan pria dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita sanggup menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu (Gender is an analityc concept whose meanings we work to elucidate, and a subject matter we proceed to study as we try to define it).
Gender berdasarkan tesis Faucault (Michael Faucault, 1978:77) dikutip oleh Ajat Sudrajat dkk. Dalam bukunya Din-Al-Islam,(2008:161).memberikan pengertian perihal gender sebagai sifat yang menempel pada kaum pria dan kaum perempuan yang di konstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu terkenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara pria dianggap kuat, rasional, jantan perkasa. Begitu juga dengan peranan perempuan dalam rumah tangga ialah menjalankan tugas-tugas domestik menyerupai menyapu, memasak, basuh piring dll, sementera pria berpengeran sebagai pencari nafkah, pengambil keputusan dan mengerjakan pekerjaan lain yang berafiliasi dengan aktifitas laki-laki, menyerupai memperbaiki kendaraaan, membenarkan genting, mengecet dinding dll.
Dari banyak sekali definisi di atas sanggup disimpulkan bahwa gender ialah suatu konsep yang dipakai untuk mengidentifikasi perbedaan pria dan perempuan dilihat dari segi imbas sosial budaya. Gender dalam arti ini ialah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
C. Gender Dalam Islam
Kedudukan perempuan sebelum datangnya Islam[7].
a. Pembunuhan bayi perempuan
Salah satu praktik yang dilakukan oleh masyarakat Arab pra Islam yang sangat tidak menghargai eksistensi perempuan ialah tindakan mengubur bayi perempuan. Disebutkan dalam al qur an bahwa bangsa Arab pra Islam biasa mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Hal ini bisa jadi lantaran beberapa faktor antara lain, ketakutan akan kehadiran anak perempuan yang hanya akan menambah beban ekonomi, terlebih anak perempuan tidak bisa di libatkan dalam peperangan, belum lagi kalau nanti anak perempuan ditawan dan dijadikan budak oleh musuh hal ini hanya akan menciptakan aib keluarga yang mengakibatkan kebangaan para musuh. Akhirnya perasaan aib dan maupun sedih dengan kehadiran perempuan ini, pada balasannya membawa pada satu keputusan, mengubur atau membunuh bayi hidup-hidup.
Disisi lain pembunuhan bayi dilakukan lantaran masyarakat Arab pra Islam dipicu lantaran biasanya masyarakat Arab pra Islam menggantungkan hidup mereka pada sumberdaya alam yang terbatas, pembunuhan bayi ini biasanya dilakukan untuk mengontrol keseimbangan jumlah penduduk, juga dilaukan dalam upaya mencegah kemerosotan standart hidup.
Kondisis tersebut banyak digambarkan oleh Al Qur’an dalam beberapa ayatnya yaitu :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِٱلۡأُنثَىٰ ظَلَّ وَجۡهُهُۥ مُسۡوَدّٗا وَهُوَ كَظِيمٞ ٥٨
يَتَوَٰرَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ مِن سُوٓءِ مَا بُشِّرَ بِهِۦٓۚ أَيُمۡسِكُهُۥ عَلَىٰ هُونٍ أَمۡ يَدُسُّهُۥ فِي ٱلتُّرَابِۗ أَلَا سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ٥٩
Artinya: Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan beliau sangat murka . Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya informasi yang disampaikan kepadanya. apakah beliau akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka menetapkan itu. (QS.An-nahl 16 : 58- 59).
Disebutkan juga dalam surah at-takwir 81: 7-9
#sÎ)ur â¨qàÿZ9$# ôMy_Íirã ÇÐÈ #sÎ)ur äoy¼âäöqyJø9$# ôMn=Í´ß ÇÑÈ Ädr'Î/ 5=/Rs ôMn=ÏGè% ÇÒÈ
Artinya: Dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh). Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,. Karena dosa apakah beliau dibunuh.
#sÎ)ur uÅe³ç0 Nèdßymr& $yJÎ/ z>uÑ Ç`»uH÷q§=Ï9 WxsVtB ¨@sß ¼çmßgô_ur #tuqó¡ãB uqèdur íOÏàx.
Artinya: Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar bangga dengan apa[8]
yang dijadikan sebagai misal bagi Allah yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang beliau amat menahan sedih[9]. (Az-Zuhkruf 43:17)
Islam secara tegas tidak menyetujui tindakan yang menjadikan teraniyaya salah satu pihak. Disamping citra perihal pembunuhan bayi perempuan sebagaimana tersebutkan surat An-nahl, At takwir dan Az-zukhruf juga ditegaskan dalam surah (Al an’am 6 : 151).
ö ۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١
Artinya: Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kau oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kau mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat oke terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kau membunuh bawah umur kau Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kau mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kau membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kau memahami(nya).
(QS.Al an’am 6 : 151).
Nabi bersabda : Barang siapa yang di karunia anak perempuan dan tidak dikubur hidup-hidup, tidak menghinakannya tidak merendahkannya dari pria maka Alla akan memasukannya dalam surga.
Berdasarkan al qur an dan hadist tersebut diatas merupakan revolusi positif bagi peningkatan harkat martabat perempuan, adanya penyingkaran terhadap eksistensi perempuan atau anggapan kaum pria bahwa perempuan tidak sanggup berperan dalam banyak sekali sektor kehidupan masyarakat, perlahan-lahan mulai terkikis atas hadirnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
b. Tidak adanya pembatasan jumlah isteri
Pada periode ini seorang pria pada umumnya bisa mempunyai istri lebih dari satu, terutama pemimpin atau pemuka masyarakat. Aliansi politik yang dilakukan perkawinanb ini memperaktekkan dalam masyarakat feodal dengan skala yang sangat besar. Seorang anggota suku Quraisyi rata-rata mengawini empat, lima, enam atau bahkan sepuluh istri.
Sistem perkawinan tersebut sama sekali tidak mencerminkan keadilan dan kesetaraan, perempuan tidak memperoleh hak-haknya secara adil dan manusiawi, sementara pria atau suami menanamkan benih ketundukan, kepasrahan, ketaatan dan kerelaan para istri untuk menjalankan tugasnya melayani suami merawat anak-anak. Perkawinan tidak dipahami sebagai praktik spiritualitas dan religius menjalankan perintah Tuhan, membangun peradaban, dan membagi kasih sayang antara pria dan perempuan dalam forum kesepakatan nikah yang monogami.
Kondisi tersebut berjalan bertahun-tahun tanpa ada aturan (wahyu) yang mengatur pembatasannya. Sampai turun surat An-Nisa ayat 3, yang selain membatasi jumlah perempuan yang dinikahi, juga menyarankan untuk bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya. Bila kemungkinan berbuat adil itu tidak bisa diwujudkan, al qur an menyarankan biar beristri seorang saja.
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès?
Artinya: Dan jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jikalau kau takut tidak akan sanggup berlaku adil[10], Maka (kawinilah) seorang saja[11], atau budak-budak yang kau miliki. yang demikian itu ialah lebih bersahabat kepada tidak berbuat aniaya.
Melihat konteks turunnya, ayat ini turun sehubungan dengan masalah harta anak yatim yang diselewengkan oleh apara walinya, Al Qur an menindaklanjuti dengan usulan biar para wali tersebut menikahinya hingga maksimal empat orang, supaya terhindar dari penyelewengan harta bendanya.
Namun yang sering dipahami oleh masyarakat, bahwa ayat tersebut dianggap sebagai ratifikasi poligami dalam islam.
c. Perkawinan dengan sistem di wariskan.
Masyarakat Arab pra Islam, perempuan tidak hanya di perbudak dan diperjualbelikan, tetapi juga diwariskan. Apabila ada seorang pria meniggal dunia, putranya yang lebih renta atau anggota keluarganya yang lain mempunyai hak untuk mengawini janda-jandanya tanpa menawarkan mas kawin, itupun bila mereka suka, bila tidak, boleh mengawinkan dengan orang lain, atau melarangnya sama sekali untuk nikah lagi.
Tindakan tersebut benar-benar memposisikan perempuan sebagai benda mati yang tidak diberi hak untuk menentukan pilihan, model perkawinan seorang anak yang menikahi perempuan yang pernah dinikahi ayahnya, selain merendahkan martabat kaum perempuan juga akan merusak sistem kekerabatan tanggapan percampuran korelasi darah yang begitu dekat.
Tindakan tersebut dihentikan Al qur an, menyerupai disebutkan dalam (QS. An-Nisa ayat 22)
wur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä ÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ
Artinya: Dan janganlah kau kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Juga disebutkan dalam surah yang sama ayat 23-24.
d. Perkawinan dengan sistem kontrak
Perkawinan ini juga disebut perkawinan mut’ah, merupakan perkawinan sementara yang masa berlakunya sudah ditentukan, dan dengan sendirinya di anggap bubar bila sudah selesai masa yang sudah di tentukan/ masa yang di sepakati habis. Anak dari hasil perkawinan tersebut biasanya akan mengikuti ibu, meskipun demikian, mereka tetap mendapatkan hak waris dari seorang ayah. Perkawinan ini biasanya dilakukan oleh para pedagang yang sering melaksanakan perjalanan jauh dalam waktu lama.
Meskipun di lakukan secara sah, dan ada kerelaan dari masing-masing pihak, namun yang terkesan ialah memperlakukan perempuan hanya sebatas keinginan untuk menikmatan sesaat, hanya sebatas obyek laki-laki, konteks perkawinan menyerupai ini intinya jauh dari tujuan perkawinan yang hakiki yaitu terwujudnya misaqan galidan atau ikatan yang berpengaruh untuk mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
e. Posisi perempuan dalam perceraian
Dalam masalah perceraian, perempuan juga tidak menerima daerah yang setara dengan laki-laki. Pada masa jahiliyah, perempuan yang di cerai tidak menerima apapun sebagai nafkahnya. Anak hanya menjadi milik ayahnya lantaran berdasarkan klaim bahwa anak tersebut miliknya.
Juga bentuk-bentuk perceraian yang sangat menyudutkan posisi perempuan yaitu Pertama. Zihar, merupakan bentuk perceraian dimana suami menyampaikan pada istrinya bahwa beliau menyerupai punggung, rahim, paha ibunya, ini sama saja memperlakukan isteri menyerupai ibunya. Hal tesebut sudah menjadi adat kebiasaan bangsa Arab jahiliyah bahwa bila suami berkata demikian, maka isterinya itu haram baginya selama-lamanya. Namun sesudah datangnya Islam, maka yang haram untuk selama-lamanya dihapuskan, dan isteri kembali halal baginya sesudah suami tersebut membayar kafarat atau denda, (lihat QS.al mujaddalah ayat 2-3 dan al ahzab ayat 4)
Kedua. Illa, ialah bentuk perceraian dimana seorang suami mengucapkan sumpah akan meninggalkan isterinya dalam jangka waktu tertentu, dalam rentang waktu tersebut, suami tidak mendekati isteri, sebagai eksekusi terhadap isteri. Dengan sumpah ini seorang isteri menderita, karean tidak didekati suami, juga tidak di ceraikan (QS. Al baqarah 226). Baru kemudian di jelaskan dalam al qur an bahwa suami diberi waku selama 4 bulan kemudian menentukan kembali kepada isteri dengan membayar denda, atau menceraikannya (QS.Al-baqarah 226- 227).
Ketiga al adl, secara harfiah mempunyai arti”memaksa perempuan biar tidak kawin” seorang pria yang mengawini seorang perempuan merdeka, dan tidak tahan dengannya, sanggup menceraikannya dengan syarat isterinya tersebut tidak kawin dengan oarang lain tanpa seizinnya[12] suami bisa menentukan menyuruh menikah lagi atau melarang mantan isterinya untuk menikah lagi.
Secara tegas al qur an melarang praktik menyerupai ini, disebutkan dalam surah (al baqarah 2 : 232).
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r& xsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Zt £`ßgy_ºurør& #sÎ) (#öq|ʺts? NæhuZ÷t/ Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 3 y7Ï9ºs àátãqã ¾ÏmÎ/ `tB tb%x. öNä3ZÏB ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 3 ö/ä3Ï9ºs 4s1ør& ö/ä3s9 ãygôÛr&ur 3 ª!$#ur ãNn=÷èt ÷LäêRr&ur w tbqßJn=÷ès? ÇËÌËÈ
Artinya: Apabila kau mentalak isteri-isterimu, kemudian habis masa iddahnya, Maka janganlah kau (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[13], apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kau kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kau tidak Mengetahui.
Keempat Iddah, yaitu masa tunggu bagi perempuan sesudah cerai atau ditinggal mati suaminya, ada perbedaan pendapat perihal ada atau tidaknya masa iddah pada zaman zahiliyah, sebagain peneliti menyampaikan bahwa masa iddah tidak ada, mereka menerima bahwa pada masa itu seorang yang ditinggal mati sama suaminya, sedang beliau dalam kondisi hamil, boleh kawin lagi, tinggal bersama dan melahirkan dirumah suami yang baru, anak yang dilahirkan merupakan anak suami yang baru, meskipun bekerjsama ialah hasil korelasi dengan suami yang lama[14]. Sedangkan pendapat yang menyampaikan iddah itu ada, menyebutkan bahwa masa iddah itu sudah ada semenjak dahulu, menyebutkan teladan bahwa pada masa jahiliyah, Iddah seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya ialah satu tahun, seorang janda biasanya dikurung dikamar kecil, dihentikan menyentuh sesuatu, tidak boleh memakai celak mata atau menyisir rambut dalam waktu yang lama, secara alamiah kondisi mereka sangat buruk, namun islam datang, mengahapus dan mengurangi masa iddah menjadi 4 bulan sepuluh hari, atau hingga melahirkan bila ia ditinggal suami dalam keadaan hamil.
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 wur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3t $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[15]. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jikalau mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jikalau mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya berdasarkan cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[16]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al baqara 2 : 228).
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya; Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[17], berdasarkan yang patut. Allah mengetahui apa yang kau perbuat. (Al baqara 2 : 234).
D. Permasalahan Gender
Perbedaan gender bekerjsama tidak menjadi masalah sepanjang tidak memunculkan ketidakadilan, wacana perihal kesetaraan gender hingga ketika ini masih tetap di gulirkan.
a. Marginalisasi
Marginalisasi kaum perempuan atau peminggiran kaum perempuan dari peranan tertentu di masyarakat sudah sering dijumpai, hal ini bisa dilihat dari banyak sekali bidang kehidupan, terutama dalam lapangan pekerjaan. Ada pelabelan terhadap profesi tertentu, yang seakan mengaharuskan masing-masing jenis kelamin menentukan profesi yang sudah disepakati, kekhususannya, pekerjaan rumah tangga ialah untuk perempuan, sedangkan profesi sopir yang gajinya lebih besar ialah untuk laki-laku. Meski tidak bisa di jadikan jaminan, bahwa menyetir kendaraan lebih berat dibandingkan memasak, mencuci, mangasuh bawah umur dll.
b. Subordinasi
Subordinasi ialah pengutamaan kiprah pria terhadap perempuan, perempuan di tempatkan sebagai ”the second level” di bawah laki-laki. ini sanggup dilihat dari beberapa masalah misalnya, perempuan sebagai buruh tani, bisa digaji lebih rendah dibanding pria dengan profesi dan volume pekerjaan yang sama. Dalam rumah tangga, perempuan di bawah kendali suaminya, begitu juga dengan kehidupan masyarakat bunyi perempuan dinomorduakan lebih-lebih dalam negara.
c. Pembentukan streotipe melalui pelabelan negatif
Banyak sekali ketidakadilan melalui penandaan (streotipe) yang di lekatkan kepada kaum perempuan. Misalnya streotipe yang berawal dari perkiraan bahwa perempuan bersolek ialah untuk memancing perhatian laki-laki. Maka setiap ada pelecehan secual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan streotipe ini, yang berakibat perempuanlah disalahkan masyarakat[18].
d. Kekerasan Terhadap Perempuan
Ketidakadilan gender tersebut pada balasannya memunculkan kekerasan terhadap perempuan baik dari segi fisik menyerupai pelecehan seksual dan pemukulan, atau di segi pshikis dalam bentuk verbal berupa bentakan maupun ucapan-ucapan bernada kotor yang melechkan perempuan.
e. Beban kerja kaum perempuan
Anggapan bahwa kaum perempuan ialah langsung yang rajin dan telaten, berakibat bahwa semua pekerjaan rumahtangga ialah tanggung jawab perempuan, maka perempuan akan diposisikan salah jikalau urusan domestic dan rumah tangga tidak beres, sementara pria tidak pernah dibebankan untuk membantu beban kerja perempuan, dan akhirnya ada pelimpahan kerja domestic worker (pekerja rumah tangga) secara umum dikuasai ialah kaum perempuan.
E. Kesetaraan gender dalam Islam
Dalam Al Qur an ada beberapa issu kontroversi yang berkaitan dengan konsep korelasi gender, antara lain, asal seruan penciptaan perempuan, konsep kewarisan, poligami, talak, serta kiprah perempuan dalam publik, secara sepintas, teks-teks tersebut mengesankan adanya bentuk ketidakadilan bagi kaum perempuan, akan tetapi, jikalau disimak lebih mendalam dengan memakai metode penafsiran yang sempurna dan memperhatikan teori asbab an nuzul, maka sanggup dipahami bahwa ayat-ayat tersebut merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraa secara konstruktif di dalam masyarakat.
Tapi tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam kurun waktu yang sangat panjang, kenyataan justru menjelaskan perihal terjadinya ketidaksesuian antara inspirasi harapan al qur an, dengan realitas sosial yang terjadi, teladan ketimpangannya ialah yang terjadi pola korelasi pria dan perempuan, baik dalam wilayah keluarga maupun wilayah publik. Lebih parahnya lagi, hal tersebut dikatakan merujuk kepada al qur an, dan hadis nabi/ hal ini terjadi lantaran pemahaman kurang sempurna terhadap ayat-ayat al qur an yang berafiliasi dengan gender atau metode yang dipakai terlalu tekstual, sehingga tidak mempertimbangkan dalam konteks bagaiman ayat tersebut diturunkan pada zamannya.
Surat An-nisa, ayat 34 merupakan salah satu ayat yang paling sering dijadikan legitimasi terjadinya adanya perbedan status maupun kiprah pria dan kiprah perempuan, bahkan sebagi legitimasi terjadinya tindakan kekerasan terhadap isteri, mengusut kembali fungsi al qur an ialah sebagai pemberi rasa keadilan, rasa aman, dan prinsip-prinsip kesetaraan yang sering tertuang adalam ayat-ayatnya, rasanya sangat sulit dupahami bahwa al qur an juga memberi pernyataan sebaliknya.
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya: Kaum pria itu ialah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. lantaran itu Maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara dir[19]i ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[20]. wanita-wanita yang kau khawatirkan nusyuznya[21], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di daerah tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jikalau mereka mentaatimu, Maka janganlah kau mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[22]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Para jago tafsir menyatakan bahwa Qawwam berarti pemimpin, penanggung jawab, pendidik. Kategori ini bekerjsama tidak bermasalah sepanjang ditempatkan secara adil dan dak disadari oleh pandangan diskriminatif, namun secara umum, para jago tafsir beropini bahwa superioritas pria tersebut ialah mutlak diciptakan ilahi dan tidak sanggup di ubah-ubah, begitu juga kelebihan pria atas perempuan ialah mutlak, sebagaimana dinukil dari kitab tafsir Ar-Razi, Husein Muhammad, menyatakan bahwa pria mempunyai kelebihan nalar pikiran kemampun fisik[23].
Sayyid Qutub, Amina Wadud, menyatakan bahwa pola korelasi suami isteri tersebut tidak terlepas dari korelasi fungsional. Tanggng jawab utama perempuan ialah melahirkan anak, ini menjadi sangat penting lantaran eksistensi insan bergantung kepadanya, maka, apa tanggungjawab pria dalam keluarga maupun dalam masyarakat umum? Disinilah pria sebagai Qawwam menyediakan segala sesuatu yang diharapkan oleh perempuan dalam menunaikan kewajiban, secara nyaman terutama pemberian fisik dan nafkah materi[24].
Pada prinsipnya dalam memahami ayat tidak terlepas dari konteks asbabun nuzul ayat, ayat ini turun sehubungan dengan masalah saan bin Rabi’ dan isterinya Habibah binti Zaid bin Abu Zuhai. Suatu saat, si isteri menentang si suami, kemudian ketika menempelengnya. Maka habibah diantar oleh ayahnya menemui Rasul, dan berkata : “di tidurinya anakku kemudian di tamparnya” dan Rasulpun menjawab “biar di ambil qisas atas suaminya” maka keduanya pergi untuk menuntut Qisas, beberpa ketika kemudian, Rasul memanggil kedunya, “kemarilah, ini jibril tiba kepadaku dan Allah menurunkan ayat ini. Kita menghendaki sesuatu namun Allah menghendaki sesuatu yang lain, dan khendak Allah itu yang lebih baik” maka dihapuslah Qisas dari suami terhadap istri[25].
Pengaduan dari seorang isteri kepada Nabi atas sikap kekerasan terhadapnya, bekerjsama merupakan tanda-tanda positif atas kesadaran kaum perempuan mempertanyakan hak-haknya. Surat Annisa 4 : 34. intinya turun untuk mengantisipasi tindak kekerasan fisik (pemukulan) yang sering terjadi pada masa itu. namun dalam perkembangannya, yang ditekankan dari ayat tersebut justru pada daraba, bukan islah yang merupakan tujuan utama diturunkan ayat. pemaknaan yang bias jender ini tentunya semakin menjauhkan pemahaman masyarakat dari pesan-pesan moral. al Qur an.
Juga beberapa ayat yang lain, Al Qur an dengan sangat terang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan, surat Al Hujurat 49 : 13. Al Ahzab 33 : 228. At Taubah 9 : 71.
F. Beberepa pendekatan
Untuk mencegah lahirnya bentuk-bentuk kekerasan dalam keluarga, khususnya terahadap perempuan perlu dilakukan semacam peningkatan sensitivitas gender dalam penegakkan aturan hukum, serta pemahaman yang dalam terhadap al qur an dan assunnah Nabi, lantaran hingga kini kecenderungan yang berpengaruh masih menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan dibanding posisi pria di depan hukum, selain itu penting diupayakan pengemabangan aspek kesadaran mayarakat melalui sosialiasi dan penerapan UU No,23/2004 perihal abolisi kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) dan UU No. 7 tahun 1984 perihal abolisi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Hukum positif kita secara terang dan tegas mengatur kekerasan dalam rumah tangga (keluarga). dalam UU PKDRT misalnya, terhadap kekerasan secual, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahundan pidana penjara paling usang 15 tahun (Pasal 47). adapun kekerasan secual yang menjadikan korban mendapatkan luka atau mengalami gangguan jiwa dipidana paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling usang 20 tahun (pasal 48).
Upaya dan kerja keras dalam rangka peningkatan harkat, martabat, dan kesejahteraan kaum perempuan menuju terciptanya kesetaraan dan keadilan gender dalam tatanan masyarakat kita, karenanya perlu ada penekanan terhadap upaya pemberdayaan perempuan, pertama, peningkatan kiprah dan kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang di emban oleh forum yang bisa memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, kedua, peningkatan kualitas kemandirian organisasi perempuan dalam melanjutkan usaha-usaha pemberdayaan perempuan, serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Selain pendekatan-pendekatan di atas, perlu kiranya dilakukan rekonstruksi pemikiran dan gerakan perempuan guna mengangkat harkat dan martabat perempuan Indonesia ketika ini, dalam hal ini, untuk membangun kesadaran perempuan Indonesia selama ini, untuk membangun kesadaran perempuan Indoenesia selama ini diharapkan sebuah konsep dan taktik yang benar-benar lahir dan berkembang dari budaya masyarakat bangsa sendiri. hal ini penting guna menumbuhkan kesadaran berabagai pihak perihal pengakuan, perlindungan, penghormatan dan penghargaan hak-hak perempuan.
Memang, perjuangan untuk membangun kesadaran perempuan di Indonesia bekerjsama sudah mulai dirintis dengan munculnya gerakan emansipasi di masa 70-an, kemudian merebaknya isu feminisme masa 80-an, dimana perempuan selama ini merasa terpinggirkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sedangkan di masa 90-an hingga masa reformas, juga muncul gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan mentut dihilangkannya bias-bias gender dalam banyak sekali lini kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Wahidi, Asbabun Nuzul, Beirut : Dar al Fikr.
Jurnal Al-Burhan, Rekonstruksi Pemikiran Dan Gerakan Kaum Perempuan Menuju Keluarga Anti Kekerasan, Oleh : Khaeron Sirin. Dosen UI Syarif Hidayatullah Jakarta. Radians Presisi Media.
Ajat Sudrajat dkk, 2008. Din Al-Islam, Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta UNY Press..
Ali Engineer, Ashghar. 1994 ., Hak-hak perempuan dalam Islam . Yogyakarta : Bentang
Muhammad, Husein. 2007. Fiqh Perempuan, LkiS. Yogyakarta
Mansur, Fakih. 2001. Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar.
Muhammad, Husen, 2001. Fiqh Perempuan, refleksi kiat atas wacana Agama dan Gander, Yogyakarta : Rahima , Lkis.
Wadud, Amina. 2001. AL Qur an berdasarkan perempuan : meluruskan bias gender dalam tradisi tafsir, jakarta serambi :
[1] . Makalah ini dipresentasikan untuk memenuhi kiprah kursus human right dan syari’ah.UMM.Pascarsarjana. dibina oleh : Prof. Dr. Syamsul Arifin M.Si. Dr. M.Nur Fuad. Dan Cekli Setya Pratiwi SH, LL.M.
[2]. Jurnal Al-Burhan, Rekonstruksi Pemikiran Dan Gerakan Kaum Perempuan Menuju Keluarga Anti Kekerasan, Oleh : Khaeron Sirin. Dosen UI Syarif Hidayatullah Jakarta.Radians Presisi Media.2007. Hal.92.
[3] . Husein Muhammad. Fiqh Perempuan, LkiS. Yogyakarta.2007. Hal. xxix
[4].Dalam UU No.23/2004 tentang abolisi kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT) dijelaskan bahwa kekerasan fisik, atau luka berat (Ps 5 jo 6) kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang menjadikan katakutan, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Ps 5 jo 7). Kekerasan secual, yaitu setip perbuatan pemaksaan korelasi secual dengan cara tidak wajar/tidak disukai, pemaksaan korelasi secual dengan orang lain untuk tujun komersial dan/atau tujuan tertentu (Ps 5 jo 8).
[5]. Kekerasan dalam rumahtangga berdasarkan UU PKDRT ialah setiap perbautan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, secual, psikologis, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan aturan dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 ayat 1).
[6] . Jurnal Al-Burhan, Rekonstruksi Pemikiran....................2007.Hal.93.
[7] . Ajat Sudrajat dkk. Din Al-Islam, Pendidikan Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta UNY Press.2008. hal 167.
[8] . Yang dimaksud dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah ialah kelahiran anak perempuan.
[9] . Maksud ayat Ini ialah bilamana beliau diberi kabar perihal kelahiran anaknya yang perempuan, mukanya menjadi merah padam Karena aib dan beliau amat marah, padahal beliau sendiri menyampaikan bahwa Allah mempunyai anak perempuan.
[10].berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri menyerupai pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[11].Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami hingga empat orang saja.
[12] . Ashghar Ali Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam . Yogyakarta : Bentang : 1994 . hal. 42
[13] . kawin lagi dengan bekas suami atau dengan pria yang lain.
[14] .Ajat Sudrajat dkk. Din Al-Islam, Pendidikan Agama Islam................hal. 176.
[15] .Quru' sanggup diartikan Suci atau haidh
[16] .hal Ini disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
[17] . Berhias, atau bepergian, atau mendapatkan pinangan. Juga disebutkan (065. Ath Thalaaq 1 - 3)
[18] . Fakih Mansur. Analisis gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar. 2001. Hal.6.
[19] . Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara diam-diam dan harta suaminya.
[20] . Maksudnya: Allah Telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[21]. Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri menyerupai meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[22] . Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari daerah tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada keuntungannya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[23] . Husen Muhammad, Fiqh Perempuan, refleksi kiat atas wacana Agama dan Gander, Yogyakarta : Rahima , Lkis.2001.Hal. 21-22.
[24] . Amina Wadud. AL Qur an berdasarkan perempuan : meluruskan bias gender dalam tradisi tafsir, jakarta serambi : 2001. Hal.133-134.
[25] . Wahidi, Asbabun Nuzul, Beirut : Dar al Fikr.
0 Response to "✔ Gender Dalam Ham Dan Syari’Ah"
Posting Komentar