Banyak Bermunculan Duduk Kasus Yang Amat Mencemaskan Pendidikan Negeri Ini
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF Al-QUR’AN
Sunardin. M. Pd.I
Universitas Attahiriyah Jakarta
Email : bima.sunardin@yahoo.com
ABSTRAK
Dewasa ini, banyak bermunculan kasus yang amat mencemaskan pendidikan negeri ini, ibarat tawuran antar pelajar, tawuran antar kampung, peredaran narkoba, sec bebas, dan kasus utama yang mengegerkan masyarakat Indonesia ialah terlibatnya banyak pejabat pemerintahan dalam korupsi. Tindakan kejahatan tersebut tidak terlepas dari dunia pendidikan. Sebab, paling tidak mereka pernah sekolah, bahkan diantara mereka ada yang sarjana. Fenomena ini menggambarkan kegagalan dunia pendidikan, formal maupun non formal untuk menanamkan moral dan karakter terhadap peserta didik. Dalam hal ini, sudah saatnya lembaga pendidikan kembali mengikuti pola, model, dan pendekatan-pendekatan yang di tawarkan kitab Suci Al-Qur‟an. Al-Qur‟an memandang bahwa pendidikan merupakan kasus pertama dan utama dalam membangun dan memperbaiki kondisi dan karakter umat insan di muka bumi ini, pedoman berupa aqidah tauhid, akhlak, dan aturan-aturan mengenai hubungan vertikal dan harizontal ditanamkannya melalui pendidikan. Hasil penelitian ditemukan bahwa dalam Al-Qur’an surah AL-Furqan:63-75. Disebutkan wacana karakter insan yang ‘Ibadur Ramn. Dan siapakah insan yang ‘Ibadur Ramn itu? Dalam penelitian ini ditemukan 12 karakter yang dimiliki insan yang ‘Ibadur Ramn tersebut.
Kata Kunci:
Pendidikan, Karakter, Tafsr Al-Mishb , Al-Qur’an Surah Al-Furqan (25): 63-75.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu hal yang paling utama bagi warga negara, lantaran kemajuan dan keterbelakangan suatu negara akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat pendidikan warga negaranya. Bahkan, peradaban dan kebudayaan umat insan tidak akan pernah muncul tanpa ada lembaga yang mengarahkan manusia. Karena insan terlahir ke dunia tidak mempunyai daya dan ilmu yang sanggup membuatnya berkembang lebih maju, hanya potensi yang ada, maka pendidikanlah yang membangun daya dan pengetahuan tersebut dalam jiwa (Kadar M. Yusuf, 2012:v).
Kajian wacana pendidikan ialah sebuah kajian yang tidak pernah selesai untuk dibahas, sebuah perubahan apapun bentuknya, senantiasa akan mengacu pada sistem pendidikan yang berkembang di negara tersebut. Karena itu, pendidikan harus meliputi pertumbuhan insan dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa, karakter, baik secara individu maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan (Syamsul Nizar, 2011: 43).
Pendidikan diakui menyimpan kekuatan luar biasa, sebagai salah satu penentu nasib insan sebagai individu, umat maupun bangsa. Atas dasar itu, perkembangan pemikiran wacana pendidikan yang menjadi dasar terbentuknya pendidikan berkualitas, perlu terus digalakkan biar pendidikan sanggup mengemban fungsi dan kiprahnya secara maksimal dalam membangun insan berkualitas dan untuk memenuhi impian keluarga, umat, dan bangsa (Tobroni, 2008: Xiii).
Masalah pendidikan memang tidak pernah selesai dibicarakan, hal ini setidaknya didasarkan pada beberapa alasan (Muhaimin, 2009: 3). Pertama, merupakan fitrah setiap orang bahwa mereka menginginkan pendidikan yang lebih baik. Oleh lantaran itu, sudah menjadi taqdir-Nya pendidikan itu tidak akan pernah selesai. Kedua, teori pendidikan akan selalu ketinggalan zaman, lantaran ia dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat yang selalu berubah pada tiap daerah dan waktu. Karena adanya perubahan itu, masyarakat tidak pernah puas dengan teori pendidikan yang ada. Ketiga, perubahan pandangan hidup juga ikut besar lengan berkuasa terhadap kepuasaan seseorang dengan keadaan pendidikan.
Untuk menghasilkan akseptor didik yang unggul, proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah satu upaya perbaikan pendidikan ialah munculnya gagasan mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, gagasan ini muncul lantaran proses pendidikan selama ini dilakukan belum sepenuhnya berhasil dalam membangun Indonesia yang berkarakter. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan Indonesia gagal membentuk insan yang berkarakter. (Muhaimin Azzet, 2011:9).
Membicarakan pendidikan karakter merupakan hal sangat penting dan mendasar. Karakter ialah mustika hidup yang membedakan insan dengan binatang. Manusia tanpa karakter ialah insan yang sudah “membinatang”. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah meraka yang mempunyai akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya pendidikan karakter, maka institusi pendidikan mempunyai tanggung jawab untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran (Zubaedi, 2011:2).
Pendidikan karakter harus berkelanjutan dan tak pernah berakhir (never anding process), sebagai potongan terpadu untuk menyiapkan generasi bangsa, yang diadaptasi dengan sosok insan masa depan, berakar filosofi dan nilai kultural religius bangsa Indonesia. Pendidikan karakter harus menumbuh kembangkan filosofi dan pengamalan atas keseluruhan karakter bangsa ini secara utuh, dan menyeluruh (kffah) karakter bangsa mengandung perekat budaya dan kultural yang harus terwujud dalam kesadaran kultural (cultural awarness) dan kecerdasan kultural (cultural intellegence) setiap warga negara (Mulyasa, 2011: 3).
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, lantaran pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan kasus benar dan salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habituation) wacana hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga akseptor didik mempunyai kesadaran, kepekaan, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa orang-orang berkarakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui sikap baik, jujur ikhlas, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain dan nilai-nilai karakter mulia lainnya.
Melalui revitalisasi dan pementingan karakter diberbagai lembaga pendidikan, baik informal, formal, nonformal, diharapkan pendidikan di Indonesia ini bisa menjawab aneka macam tantangan dan permasalahan yang semakin rumit dan kompleks. Hal ini penting, lantaran dalam era globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berlangsung begitu pesat. Berbagai permasalahan dan tantangan tiba silih berganti dalam era globalisasi mustahil dihindari, lantaran meskipun insan menutup pintu, imbas globalisasi akan masuk lewat jendela atau merasuk lewat aneka macam cara. Pendidikan Indonesia harus masuk dalam perubahan tersebut, dan ikut bermain dalam arus globalisasi, bahkan harus bisa mangambil peluang biar sanggup memanfaatkannya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan (Mulyasa, 2011: 3).
Penguatan pendidikan karakter dalam konteks kini sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara kita. Diakui atau tidak, ketika ini terjadi krisis yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak didik kita. Persoalan budaya dan karakter bangsa ini menjadi sorotan tajam masyarakat, sorotan itu mengenai aneka macam aspek kehidupan, tertuang dalam aneka macam goresan pena media cetak, wawancara, obrolan dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai pendidikan karakter di aneka macam lembaga dan seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional (Kementrian Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010: 2).
Berbagai pengalaman menunjukan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa hingga ketika ini. Banyak orang dan pihak bertanya-tanya, ”apa yang salah dengan pendidikan bangsa ini?” dalam aneka macam perspektif, banyak orang memberikan hipotesis wacana problem pendidikan ketika ini. Sejenak mari melihat beberapa indikasi wacana apa yang salah dengan bangsa ini? Berbagai pengalaman menunjukan bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang unik. Unik merujuk pada kondisi yang dialami bangsa hingga ketika sekarang. Banyak orang dan pihak bertanya-tanya, ”apa yang salah dengan pendidikan bangsa ini?” dalam aneka macam perspektif, banyak orang memberikan hipotesis wacana problem pendidikan. Sejenak mari melihat beberapa indikasi wacana apa yang salah dengan bangsa ini? a). Kondisi moral/akhlak generasi muda yang rusak/hancur. Hal ini, ditandai dengan maraknya sec bebas dikalangan dewasa (generasi muda), peredaran narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, peredaran foto dan vidio p0rn* pada kalangan pelajar, dan sebagainya. Data hasil survey mengenai sec bebas di kalangan dewasa Indonesia menunjukan 63% dewasa Indonesia melaksanakan sec bebas. Karena sudah ada penelitian dan alhasil dikemukakan oleh Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M. Masri Muadz bahwa 63% dewasa usia SMP Sekolah Menengan Atas di 33 propinsi di Indonesia telah berzina. Penelitian di Bandung memperlihatkan remajanya 56% telah berzina. Ini sangat memprihatinkan. Betapa rusaknya moral bangsa Indonesia ini, dan telah merambah hingga ke bawah umur SMP sudah berbuat mesum, bahkan sebagian jadi pelacur beramai-ramai. Itu di antaranya lantaran mengejar hidup yummy sesuai nafsu yang istilahnya hedonisme
b). Pengangguran terdidik yang menghawatirkan (Lulusan SMA, Sekolah Menengah kejuruan dan perguruan tinggi). Data Badan Pusat Statistik atau BPS menyebutkan, lulusan Sekolah Menengah kejuruan tetinggi yakni 17,26%, disusul tamatan Sekolah Menengan Atas 14,26%, lulusan Universitas 12,59%, serta Diploma I/II/III 11,21%, Tamatan SD kebawah justru paling sedikit menganggur yakni 4,57 persen dan SMP 9,39%, Sekolah Menengan Atas 9, 43% jiwa. c). Rusaknya moral bangsa dan menjadi akut (korupsi, asusila, kejahatan, tindakan kriminal pada semua sektor pembangunan dll). Korupsi semakin bertambah merajalela. Bencana yang sering/terus berulang dialami oleh bangsa Indonesia (dapat diduga sebagai adzab atau kebodohan ini dalam memecahkan kasus lingkungan, ibarat banjir, longsor, kebakaran).Wilayah Indonesia dilanda 6.632 kali tragedi selama kurun waktu 13 tahun. Kemiskinan yang mencapai 40 juta dan terus bertambah. d). Daya komptetif yang rendah, sehingga banyak produk dalam negeri dan sumberdaya insan yang digantikan oleh produk dan sumber luar negeri, negeri tetangga. Biaya pendidikan yang semakin tinggi/tidak menentu, di perparah lagi dengan kualitas mutu pendidikan yang rendah (Dharma Kesuma, 2011:2-4).
Di sisi lain kasus yang terjadi di Indonesia tidaklah sederhana, tapi bertali-temali dengan masalah-masalah krusial lainnya. Tapi, jikalau dicari akar permasalahannya, sanggup diduga bahwa semua kejadian yang tidak diinginkan itu. Merupakan akhir dari proses perubahan yang berjalan seiring dengan pembagunan di Indonesia, sosial masyarakat kurang kokoh, ketiadaan visi yang terang dan praksis pembangunan yang kini sudah memasuki setengah masa lebih, lantaran itu proses menuju Indonesia yang diimpikan masih sering dalam bentuk trial and error, sehingga bukan kemajuan substansial yang dihasilkan, sebaliknya malah proses-proses kesejarahan yang selalu putus-putus akhir sosial yang merugikan (Syamsul Arifin, 2000: 90).
Betapa tidak, sebuah bangsa yang populer religius dari segi kehidupan keagamaan, dan bangsa yang populer dengan kekayaan kearifan tradisional (tradisional wisdom), tiba-tiba berubah begitu drastis menjadi bangsa yang drakula (nation of vampire). Dari sudut pandang manapun, tindakan kekerasan dan lainnya, yang dilakukan secara sengaja, terpola, terorganisir, dan siapapun serta apapun alasannya, terang dikategorikan sebagai tindakan yang biadab, tak bermoral, dan tidak manusiawi (Syamsul Arifin, 2000:92).
Banyak alternatif yang dikemukakan untuk mengatasi aneka macam problem tersebut, paling tidak mengurangi, kasus budaya dan karakter bangsa dibicarakan itu ialah lewat pendidikan, lantaran Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat prefentif. Pendidikan diharapkan sanggup membuatkan kualitas generasi muda bangsa dalam aneka macam kasus budaya dan karakter bangsa.
Kondisi krisis dan dekadensi moral ini pertanda bahwa seluruh pengetahuan agama dan nilai-nilai moral yang didapatkannya di dingklik sekolah, ternyata tidak berdampak terhadap perubahan sikap insan Indonesia. Bahkan yang terlihat ialah begitu banyaknya insan Indonesia yang tidak konsisten, lain dibicarakan, lain pula yang dilakukan. Problem tersebut terjadi lantaran proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral budi pekerti sebatas teks, kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Oleh lantaran itu, pendidikan karakter yang sesungguhnya paling besar menawarkan bantuan terhadap situasi ini.
Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya lantaran pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skils atau non-akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, ibarat Ujian Sekolah (UAS) dan Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan (Zubaedi,2011:3-4).
Keberhasilan suatu bangsa dalam memperoleh tujuannya, tidak hanya ditentukan oleh melimpah ruahnya sumberdaya alam, tetapi sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM). Bahkan, ada yang mengatakan, “Bangsa yang besar sanggup dilihat dari kualitas/karakter bangsa (manusia) itu sendiri (Majid & Dian Andayani, 2011: 2). Sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates, telah berkata bahwa tujuan paling fundamental dari pendidikan ialah untuk menjadikan insan good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1400 Tahun yang lalu, Nabi Muhammad SAW (Hasan Ibrahim, 2002: 141), Sang Nabi terkhir dalam pedoman Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik insan ialah untuk menyempurnakan watak dan mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character).
Dalam perspektif Islam, pendidikan karakter secara teoritik bahwasanya telah ada semenjak Islam diturunkan di dunia, seiring dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, untuk memperbaiki atau menyempurnakan watak (karakter) manusia. Ajaran Islam sendiri mengandung sistematika pedoman yang tidak hanya menekankan pada aspek keimanan, ibadah, mu’amalah, tetapi juga akhlak/karakter. Pengamalan Islam secara utuh (kffah) merupakan model karakter seorang muslim, bahkan dipersonifikasikan dengan model karakter Nabi Muhammad SAW, yang memiliki sifat Shidiq, Tabligh, Amanah, Fathonah (STAF).
Islam begitu menjunjung tinggi nilai harkat dan martabat manusia. Proses pembentukan karakter sudah mulai semenjak dini/sejak lahir bahkan semenjak dalam kandungan melalui teladan dan teladan yang ditunjukan oleh orang tua. Dalam Al-Qur’an juga digambarkan begitu indahnya akhlak/karakter Rasulullah, disebutkan dalam Al-Qur’an: “Wainnakala l khuluqin dzm” Sesungguhnya engkau ya Muhammad, benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (Kementrian Agama RI, 2010), Surah Al-Qalam: 68 ayat 4, hal. 1125). Implementasi karakter dalam Islam tersimpul dalam watak pribadi Rasulullah SAW. Dalam pribadi Rasul bersamai nilai-nilai watak yang mulia dan agung. Allah berfirman dalam Al-Qur’an : “Laqad Kna Raslillhi Uswatun asanatullimangkn Yarzllah Walyaumal khir Wadz4ka4rallaha Katsran”. Artinya:“Sungguh, telah ada pada diri Rasulullahi SAW, itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari simpulan zaman dan yang banyak mengingat Allah” (Kementrian Agama RI, 2010), Surah Al-Qalam: 68 ayat 4, hal. 1125).
Dalam Islam, watak menempati kedudukan penting dan dianggap mempunyai fungsi yang vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur an: Artinya: ”Sesungguhnya Allah menyuruh kau berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi dukungan kepada kaum kerabat, dan dia melarang melaksanakan perbuatan keji, kemungkaran, dan bermusuhan. Dia memberimu pelajaran biar kau mengambil pelajaran ”(Kementrian Agama RI, 2010), Surah Al-Qalam: 68 ayat 4, hal. 1125).
Mengenai hal ini, Al-Qur’an memandang bahwa pendidikan merupakan kasus pertama dan utama dalam membangun dan memperbaiki kondisi umat insan di muka bumi ini, pedoman yang terkandung didalamnya berupa iman tauhid, akhlak, karakter dan aturan-aturan mengenai hubungan vertikal dan harizontal ditanamkannya melalui pendidikan tersebut. Hal ini sesuai dengan gagasan awal Al-Qur’an mengenai pendobrakan terhadap tabir kebodohan dan keterbelakangan melalui perintah Allah kepada Rasul-Nya untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam dan menjadi uswatun hasanah bagi seluruh umat manusia. Mengenai konteks pendidikan karakter dalam Al-Qur’an, sesungguhnya dalam Tafsr Al-Mishb, surah Al-Furqan ayat 63-75, dalam ayat tersebut dibahas mengenai siapa dan apa ciri-ciri orang-orang yang berkarakter mulia itu.
Dengan melihat fenomena-fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji kasus pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an. Dengan judul “Pendidikan Karakter dalam Perspektif Al-Qur’an, Telaah Tafsr Al-Mishbsurah Al-Furqan: 63-75 ”. Berdasarkan latar belakang kasus tersebut, maka fokus kasus penelitian ini ialah sebagai berikut : a). Bagaimana proses pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an, yang dikembangkan dalam Tafsr Al-Mishbsurah Al-Furqan: 63-75? b). Apa saja nilai-nilai pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an, dalam Tafsr Al-Mishb surah Al-Furqan: 63-75? Penelitian ini diharapkan sanggup memberi sumbangan pemikiran pendidikan Islam sehingga tercipta pendidikan Islam yang maju. Selain itu penelitian ini diharapkan sanggup dijadikan materi informasi, materi kajian untuk penelitian lebih lanjut, khususnya dalam penelitian yang bekerjasama dengan pendidikan karakter dalam bingkai pendidikan Islam.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini, memakai penelitian pustaka (library research). Menurut M. Nazir, studi kepustakaan ialah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan kasus yang dipecahkan (M. Nazir, 2003: 111). Peneliti memakai pendekatan analisis wacana kritis hermeneutic.[1] Menurut M. Hilaly Basya, dalam buku Kembali ke Al-Qur’an, Suara Kaum Muda Muhammadiyah, hermeneutik ialah ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata, teks atau kejadian dalam waktu dan budaya lampau sanggup dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Hermeneutika bertugas menjembatani jurang antara masa kemudian dan masa kini, maksudnya biar makna teks akhir dinamika dan perubahan sosial sanggup tetap terjaga relevansinya. Hermeneutika intinya tidak mempermasalahkan/memperdebatkan hakikat Al-Qur’an di dalamnya, melainkan kiprah dan cara memahminya yang di persoalkan (Perdana Boy ZTF & Hilmy Faiq, 2004:61).
Sedangkan metode yang dipakai dalam Tafsr al-Mishb sendiri adalah metode tahliliy (analistis), dan metode mawdhu’iy (tematik), sedangkan corak yang dipakai corak tafsir al-Adabi al-Ijtima`I (adalah tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural).
DEFINISI ISTILAH
Pendidikan karakter berdasarkan Ratna Megawangi (Ratna Megawangi, 2004: 94), ialah “Usaha untuk mendidik bawah umur biar sanggup mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka sanggup menawarkan bantuan yang positif kepada lingkungannya”. Definisi lain dikemukakan oleh Fakry Gaffar Pendidikan karakter ialah sebuah transformasi nilai-nilai kehidupan untuk menumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam sikap kehidupan orang itu (Kesuma dkk, 2011: 5). Pendidikan karakter mengantarkan siswa untuk berguru mengenai kearifan, mengenalkan kearifan berarti berarti mencoba menjadikan siswa sebagai sosok Luqman dan insan berkarakter hebat lainnya (Hamdani Bakran, 2006: 146).
Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” (M.Quraish Shihab, 1998: 3) secara universal ialah kalam Allah yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad Saw, melalui Malaikat-Nya Jibril a.s. secara sedikit demi sedikit selama 23 Tahun (Hamdani Bakran A, 2006: 146). Turun selama 20 Tahun 22 Bulan 22 hari lamanya, sebanyak 77.439 kata (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh Sembilan kata), jumlah abjad 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas), Pendapat lain Al-Qur’an ialah kitab suci yang berisi firman-firman Allah SWT, yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Pemakaian nama Al-Qur‘an dinukilkan dari surah Al- Qiyamah ayat 17 dan 18. ”Sesungguhnya kami mengumpulkan Al-Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu), itu ialah tanggungan kami, jikalau kami telah membacakannya, hendaklah kau ikuti bacaannya”( Syamsul Rijal Hamid, 2005: 150) Juga disebut dengan dalam surah Al-Baqarah ayat 2: “Kitab Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Surah Al-Furqan artinya pembedah surah ke-25, surah Makiyyah, berjumlah 77 ayat. Surah ini diapit oleh surah An-Nuur dan Surah Asy-Syu’araa. Penamaan “Al-Furqan (pembeda)”, diambil dari kata “Al-Furqan” yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Yang dimaksud dengan Al-Furqan dalam ayat ini ialah Al Qur’an lantaran membedakan antara yang hak dan dengan yang batil. Maka pada surat ini pun terdapat ayat-ayat yang membedakan antara kebenaran ke-Esa-an Allah SWT dengan kebatilan kepercayaan syirik (Syamsul Rijal Hamid, 2005:166).
Tafsr Al-Mishb adalah karya monumental Muhammad Quraish Shihab, dan diterbitkan oleh Lentera Hati. Tafsr Al-Mishb adalah sebuah tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz. M. Quraish Shihab, memulai dengan menjelaskan wacana maksud-maksud firman Allah SWT sesuai kemampuan insan dalam menafsirkan sesuai dengan keberadaan seseorang pada lingkungan budaya dan kondisi sosial dan perkambangan ilmu dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an (http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_).
Karakter dalam perspektif Al-Qur’an ialah tidak terlepas dari tujuan Allah SWT membuat insan itu sendiri, yaitu pendidikan penyerahan diri secara tulus kepada sang Khalik yang mengarah pada tercapainya kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat, "bahwa tujuan pendidikan karakter dalam Al-Qur’an ialah membina insan secara pribadi dan kelompok, sehingga bisa menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah SWT; juga sebagai khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang diciptakan Allah".
HASIL PENELITIAN
Pendidikan dalam Al-Qur’an, menuntut bersatunya kata dengan sikap. Karena itu, keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat merupakan salah satu andalannya. Al-Qur’an mewajibkan anak menghormati orang-tuanya, ketika itu pula mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya, pada ketika yang sama masyarakat diwajibkan taat pada Rasul dan para pemimpin, sebaliknya para pemimpin diperintahkan menunaikan amanah, mencintai yang dipimpin dan bermusyawarah dengan mereka (M.Quraish Shihab, 1998: 11).
Al-Qur’an menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat dan pemerintah. Tidak mungkin pendidikan karakter berhasil tanpa keterpaduan, tidak akan berhasil jikalau pendidikan karakter itu dipikul oleh satu pihak, atau hanya ditangani oleh guru dan dosen tertentu tanpa melibatkan unsur tertentu pendidikan (Kadar M. Yusuf, 2012:v-vii).
Tujuan pendidikan dalam Al-Qur’an ialah “membina insan secara pribadi dan kelompok, sehingga bisa menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya” (M. Quraish Shihab, 1999: 172). Al-Qur’an mengarahkan pendidikannya kepada manusia, memandang, menghadapi, dan memperlakukan makhluk tersebut sejalan dengan unsur pencipta-annya; jasmani logika jiwa, atau dengan kata lain mengarahkan insan seutuhnya, materi-materi pendidikan yang disajikan oleh Al-Qur’an selalu mengarah kepada jiwa Dan raga insan (M. Quraish Shihab, 1999: 175). Bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh Al-Qur’an ialah membina insan guna bisa menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina ialah makhluk yang mempunyai unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa), training logika menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwa menghasilkan kesucian dan etika/karakter, sedangkan Pembinaan jasmani menghasilkan keterampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwidimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman, itulah sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah adab al din dan adab al-dunya.
Pendidikan karakter dalam Al-Qur’an juga mempunyai keterpaduan antara jasmani dan rohani, sehingga sehat jiwa dan raganya lantaran bisa mengolah pikirannya, olah hatinya, olah raganya, dan olah perasaannya (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012: 25).
Berbicara pendidikan dalam perspektif Al-Qur’an, diantaranya surah Al-Furqan ialah salah satu surat yang berbicara wacana sifat karakter orang-orang beriman, Surah Al-Furqan ayat 63-75, telah berbicara panjang lebar wacana sifat ( Wa‘Ibadur Ramn. (Hamba-hamba Tuhan yang Pengasih) yang hakiki dan penjabaran-penjabaran norma yang wajib mereka laksanakan oleh hamba Allah yang ‘Ibadur Ramn tersebut. Menjadi hamba Allah yang tepat ialah dambaan semua insan bukan hanya secara lahiriah saja namun juga dalam hal keimanan, menjadi tepat bukan berarti tanpa cacat namun juga bukan asal sempurna, ada proses panjang yang harus dijalani oleh setiap insan yang menghendakinya, namun hanya hamba-hamba Allah yang terpilih yang bisa menapaki jalan menuju tingkatan paling sempurna. Dimana Allah akan menghapus setiap keburukan yang telah dilakukannya di masa lampau dengan kabaikan yang sangat berlimpah ruah. Menurut Hujjatul Islam Imam Ghazli (M. Quraish Shihab, 2005: 145). buah yang dihasilkan oleh peneladan sifat ar-Ramn pada diri seseorang akan menjadikannya memercikkan rahmat dan kasih sayang kepada hamba-hamba Allah yang lengah, lantaran itu, mengantarkan mereka dari jalan kelengahan menuju jalan Allah dengan memberinya pesan tersirat secara lemah lembut, tidak dengan kekerasan.
‘Ibadur Ramn ialah citra yang tepat yang dijanjikan oleh Allah sebagai hamba pilihan, citra sifat-sifat mereka terekam dalam surah (Al-Furqan 25:63-75). Betapa indah dan mulia sifat-sifat dan karakter yang mereka miliki. Karena‘Ibadur Ramn itu tidak hanya menyeruh kecuali pada kebaikan. Satu hal yang menjadi perhatian penting dalam surah Al-Furqan Juz’ ke 19 ialah mulai dari ayat-ayat 63 hingga pada 75. Yaitu dengan cara teratur Tuhan memberi petunjuk siapakah yang patut di sebut ( ‘Ibadur Ramn (Hamba-hamba Allah yang Pengasih). Dalam ayat-ayat itu di tunjukan (beberapa sifat-sifat) yang insan berusaha memenuhinya, kumpulan di antara sifat-sifat yang terpuji yang akan insan isi dan sifat yang tercela yang akan di jauhi. Kesemuanya akan tepat pada diri insan ini janji Tuhan (Hamka, 1984: 2-3).
M.Quraish Shihab, beropini “bdur Ramn” itu yaitu mereka yang taat dan dipilihan yang berzikir, bersyukur, membedakan yang ha dan yang batil (M. Quraish Shihab, 2005: 143). Betapa Indah panggilan ( “bdur Ramn” itu, betapa mulai orang yang di panggilnya dengan gelar tersebut, kemudian bagaimana ciri dari mereka? Siapa saja mereka? Dan bagaimana hubungan mereka dengan Rabbnya? antar lain adalah: Hamba-hamba yang tawadhu’, senantiasa membalas kejelekan dengan kebaikan, mengisi keheningan malam dengan bersujud kepada Allah lantaran takutnya dengan adzab Neraka Jahannam, dan sifat-sifat lain hingga Allah menganugerahi sebutan (“bdur Ramn” (Hamba-hamba Allah yang Pengasih). Hamba-hamba “ar-Ramn” yang dimaksud ialah sahabat-sahabat Nabi SAW, bahkan sanggup meliputi semua semua orang mukmin, kepada dan dimana saja selama mereka menyandang sifat-sifat yang diuraikan oleh kelompok ayat ini dan ayat-ayat berikutnya (M. Quraish Shihab, 2005: 144). Adapun sifat-sifat dan karakter tersebut adalah:
a. Karakter ‘Ibdurramn pertama: Tawadhu’
“Alladzna Yamsyna lal ardi Haunan………” Artinya….Ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati… (Al-Furqan 25: 63)
Sifat dan karakteristik pertama dari ‘Ibdurramn ialah mereka yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati, lantaran mereka ialah orang yang Tawadhu’ (Shafwat Jaudat Ahmad, 2009: 27). Tawadhu’ ialah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam ialah tidak melihat diri kita mempunyai nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Sehingga orang yang tawadhu senantiasa menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari orang lain. Dengan demikian orang yang tawadhu mau mendapatkan kebenaran, apapun bentuknya dan dari siapapun asalnya. Ketika melaksanakan suatu kesalahan dan diingatkan, maka orang yang tawadhu segera mengakuinya serta berterima kasih kepada orang yang mengingatkan.
Dijelaskan bahwa sifat-sifat mereka merupakan sifat yang paling utama, Allah menyifati mereka dengan ungkapan “Yamsyu na lal ardi auna” (berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati) maksudnya, dengan tenang, merendahkan diri kepada Allah dan pada manusia. Ini ialah pesan yang tersirat dan tawadhu’ (merendahkan diri) kepada Allah dan kepada Manusia (Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, 2012:227).
Tanda orang yang tawadhu’ ialah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayang-Nya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama.
Makna dari “Yamsyu na lal ardi auna”, (Orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati) Haunan, adalah gaya berjalan seseorang sesuai dengan karakter aslinya, tidak akal-akalan dan pula sombong, sedangkan gaya jalan yang sombong sangat dibenci kecuali perang di jalan Allah M. Quraish Shihab (M. Quraish Shihab,2005:146). Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Iyadh ra.berkata Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Allah ta’ala telah menurunkan wahyu kepadaku biar kalian senantiasa tawadhu, sehingga tidak ada seorangpun yang membanggakan diri kepada orang lain, dan biar tidak seorangpun yang berbuat lalim terhadap orang lain” (HR. Muslim). Kata Haunan, ialah ketenangan, kewibawaan. Inilah Rasulullah, dia ialah insan yang apabila berjalan paling cepat, paling baik dan paling tenang.
Pendidikan karakter mestinya didasarkan pada prinsip kelembutan. Artinya, proses pembelajaran, system yang berlaku pada lembaga sekolah, dan pergaulan guru dan murid semestinya penuh penuh dengan kelembutan, tidak ada kekerasan dalam pendidikan. Guru ialah pendidik ialah harus mempunyai tenggang rasa dengan akseptor didik. Jika guru menawarkan eksekusi kepada akseptor didik lantaran pelanggaran disiplin, maka aturan itu mesti dimaknai dalam rangka pemberian kasih sayang (rahmah) baik terhadap siswa yang melanggar maupun yang tidak, pemberian eksekusi bukan lantaran dendam tetapi lantaran cinta terhadapnya, justru itu, pihak pendidik harus mencari eksekusi educatif (Kadar M. Yusuf, 2012:65).
b. Karakter ‘Ibdurramn kedua adalah: Al-fwu (Pemaaf)
Sifat dan karakteristik kedua “bdurramn” ialah menjelaskan sikap dan karakter mereka terhadap orang lain yaitu sifat dan karakter al-fwu. Kata al-fwu, berarti terhapus atau menghapus. Jadi, memaafkan mengandung pengertian menghapus luka atau bekas-bekas luka yang terdapat dalam hati. Memaafkan kesalahan orang lain berarti bekerjasama antara mereka yang bermasalah kembali baik dan serasi lantaran luka yang ada di dalam hati mereka. Sedangkan membalas kejahatan orang atau menanggapainya sama dengan membuahi indung telur itu dengan seperma. pertemuan keduanya melahirkan anak atau kalimat gres yang beranak cucu. Ini melahirkan perang kata-kata yang mengakibatkan putusnya hubungan atau lahirnya kerusuhan dan perkelahian, atau paling tidak habisnya waktu dan terbuangnya energi secara sia-sia. Tetapi, bila tidak dijawab dan dibiarkan berlalu, itu berarti ia tidak dibuahi dan, dengan demikian, indung telur menjadi sia-sia persis ibarat haidh menjijikan (M. Quraish Shihab, 2005: 148).
Islam mendorong Muslim untuk mempunyai sikap pemaaf. Sifat ini muncul lantaran keimanan, ketakwaan, pengetahuan dan wawasan mendalam seorang Muslim wacana Islam. Seorang Muslim menyadari bahwa sikap pemaaf menguntungkan, terutama membuat hati lapang dan tidak dendam terhadap orang yang berbuat salah kepadanya, sehingga jiwanya menjadi damai dan tentram. Apabila ia bukan pemaaf, tentu akan menjadi orang pendendam. Dendam yang tidak terbalas menjadi beban bagi dirinya. Ini penyakit berbahaya lantaran selalu membawa kegelisahan dan tekanan negatif bagi orang yang bersangkutan. Hanya orang-orang bodoh yang tidak mempunyai sikap pemaaf.
Karakter dari “bdurramn” itu ialah dalam berinteraksi dengan siapapun, selalu mengucapkan kata-kata yang mengandung kebaikan/keselamatan. Mengenai hal ini, M. Quraish Shihab, menafsirkan Kata “Salman” terambil dari kata “Salima” yang maknanya berkisar pada keselamatan dan kehadiran dari segala yang tercela. Menurut Al-Biq’I keselamatan ialah batasan antara keharmonisan/kedekatan dan perpisahan serta batas antara rahmat dan siksaan. Dengan demikian, ini berarti bahwa hamba-hamba “Ar-Ramn” itu, bila di sapa oleh orang-orang jahil, mereka meninggalkan daerah menuju daerah yang lain di mana mereka tidak berinteraksi dengan sang jahil itu.
“......Waidza Khathabahumul Jhilna Ql Salma“…Dan apa bila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”(Al-Furqan: 25: 63) Maknanya, jikalau orang bodoh bertindak bodoh terhadap mereka dengan ucapan yang buruk, mereka tidak membalasnya dengan hal yang serupa, bahkan mereka memaafkan dan membiarkan serta tidak menyatakan kepadanya kecuali ucapan yang baik, sebagaimana kondisi Rasulullah saw, kekerasan orang yang bodoh tidak menambah pada diri dia kecuali kelemah lembutannya. Al-Jahilu bentuk plural dari Al-jahlu, bodoh, tolol, kurang etika.
Kata“Waidz Khthabahumul Jhiln”, dan apa bila orang-orang jahil menyapa mereka. Dengan sapaan jahil/sapaan yang mengandung kejahatan, mereka mengucapkan kataQl slman, niscaya mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan. Maksudnya mereka menjawab sapaan dengan sapaan yang selamat dari dosa di dalamnya, dan mereka selamat dari tanggapan orang jahil dengan kejahilannya. Ini, ialah kebanggaan dari mereka lantaran sikap santun mereka yang luar biasa, dan membalas orang yang jahat dengan kebaikan dan pemberian maaf terhadap si jahil, dan kematangan logika mereka yang telah mengantar mereka kepada tingkatan ini (Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, 2012:227).
Kata “Ql slman”, ada beberapa pendapat dalam memaknai kata “lman”. a). Tidak bertindak bodoh kepada seorangpun, dan jikalau ada yang bertindak bodoh kepada mereka. Mereka akan berlemah lembut kepadanya. b). Mereka berkata dengan perkataan yang benar, tidak menyakiti dan tidak mengandung dosa. c). Ada yang berpendapat, jikalau orang-orang tolol mengarahkan kepada mereka ucapan yang buruk dan perkataan yang keji, mereka menyampaikan kepada orang-orang tersebut, “lman” yaitu ucapan keselamatan, ucapan salam perpisahan, bukan penghormatan. Dalam melaksanakan kiprah mulianya seorang guru harus membuat interaksi yang menyenangkan dan komunikasi yang baik dengan akseptor didik. Hal ini sangat diharapkan oleh sorang guru, biar akseptor didik sanggup mendapatkan pelajaran dengan rela hati dan senang, Inilah sikap Rasul dalam mendidik para sahabat. Sikap Rasul itu mesti pula menjadi sikap para guru dalam mendidik murid-murid mereka, kerena memang kiprah keguruan itu merupakan warisan kiprah kenabian.
c. Karakter‘Ibdurramn ketiga: Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
“Walladzna Yabitna Lirabbihim Sujjadauwaqiym” “Dan mereka yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka” ((Al-Furqan: 25 (Pembeda) : 64).
Merupakan sifat dan karakter ‘Ibdurramn terhadap pencipta mereka, interaksi mereka bersama Rabb mereka adalah. Sujjada (menggambarkan mereka pada malam itu, yaitu dalam keadaan bersujud), Penghusyusan waktu malam dalam ayat di atas dikarenakan ibadah pada waktu malam lebih menghadirkan kekhusyukan dan lebih menjauhkan dari sifat riya, inilah ciri-ciri ibadah yang benar (Shahihul Ibadah). M.Quraish Shihab, menjelaskan bahwa, ‘Ibad ar-Ramn itu juga ialah mereka yang senantiasa ketika memasuki malam hari beribadah secara tulus-demi untuk Tuhan Pemiliharaan mereka tanpa pamrih-dalam keadaan sujud dan berdiri yakni shalat (M. Quraish Shihab, 2005:148)
Waktu malam merupakan waktu yang tepat untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah swt, lantaran ketika itu jiwa sedang tentram, hati sedang tenang, damai dari gaduhnya kehidupan serta hiruk-pikuk orang-orang yang hidup pada waktu siang hari. Sungguh Al-Qur’an telah menyebutkan kasus ibadah pada waktu malam dan apa-apa yang akan didapatkan oleh orang-orang yang beribadah pada waktu tersebut berupa keridhoan Allah (Al-Furqan: 25 (Pembeda) : 64).
z`ÏBur È@ø©9$# ô¤fygtFsù ¾ÏmÎ/ \'s#Ïù$tR y7©9 #Ó|¤tã br& y7sWyèö7t y7/u $YB$s)tB #YqßJøt¤C ÇÐÒÈ
Artinya: Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kau sebagai suatu ibadah pemanis bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kau ke daerah yang Terpuji (QS. Al-Isra: 79).
Sifat dan karakter ‘Ibdurramn yang diterangkan dalam Tafsir Al-Azhar, disebutkan yaitu kesukaannya bergadang, tidak banyak tidur diwaktu malam, lantaran ia hendak melaksanakan sujud dan berdiri, tegasnya sembahyang mengingat Tuhan dan melaksanakan kontak batin dengan Tuhan. Jiwanya laksana dinamo yang terus diisi dengan kekuatan yang baru, hampir setiap malam. Pada sembahyang malam itulah sumber kekuatannya ia mengenal Tuhan demi melihat bekas Rahman-Nya, alasannya ialah itulah ia mendekatkan diri pada Tuhannya. Lantaran itu pula, maka jiwanya yang tadinya tidak berdaya (laa haula) dan tidak berupaya (L quwwata), dengan alasannya ialah Tahajjud (sembahyang malam), dia berdaya dan diapun berupaya (Hamka, 1984: 46).
Pendidikan karakter hendaknya berkisar antara dua dimensi nilai, yakni nilai-nilai Ilahiyah dan nilai-nilai Insaniyah. Bagi umat Islam, berdasarkan tema-tema Al-Qur’an sendiri, penanaman nilai Ilahiyah sebagai dimensi pertama hidup ini mulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama berupa ibadah-ibadah. Dan pelaksanaan itu harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna-makna ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritus normal belaka, melainkan dengan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita. Penanaman nilai-nilai Ilahiyah itu kemudian sanggup di kembangkan dengan menghayati pesan yang tersirat dan kebesaranTuhan lewat perhatian kepada ibadah-ibadah Nfilah (sunnah) (Majid & Dian Andayani, 2011:92).
Bukunya Mohammad Sholeh yang berjudul "Terapi Shalat Tahajjud" (http:walisongo.ac.id), telah diketahui bahwa shalat tahajjud (qiyamullail) yang dilakukan dengan tulus lagi khusyu dan kontinu, akan menumbuhkan ketenangan dan ketentraman jiwa serta batin seseorang, sehingga membuat si pengamal shalat tahajud sehat fisik maupun mentalnya. Melalui shalat yang tulus lagi khusyu, hati seseorang akan bisa dekat dengan Tuhan. Jika hati insan mendekat kepada Tuhan, yang mencipta penyakit dan obatnya, yang memerintah dunia sesuai dengan kehendaknya. Maka baginya akan tersedia obat-obatan bagi penyakitnya. Hal demikian tidak bisa dialami oleh orang yang tidak beriman dan buta hatinya. Telah terbukti bahwa jikalau ruh insan menjadi kuat, maka menguat pula jiwa dan tubuhnya. Ketiganya akan saling bekerjasama untuk mengusir dan mengatasi penyakit.
Antara qiyamullail dengan pendidikan kesehatan mental satu sama lain saling berhubungan, lantaran qiyamullail sangat bermanfaat terutama dalam membentuk dan membina diri sendiri mempunyai mental yang sehat. Ciri orang yang bermental sehat ialah selalu mengikuti aturan-aturan yang ada di masyarakat dan terhindar dari penyakit hati ibarat ghibah, namimah, ujub, takabur, sum'ah, dan hasad serta selalu bersikap yang jujur, optimis, dan tidak putus asa inilah nilai-nilai karakter itu. Sedangkan nilai-nilai pendidikan mental yang terkandung di dalam qiyamullail di antaranya yaitu: kesehatan fisik dan mental, ketenangan dan ketentraman jiwa, terhindar dari penyakit hati, dan akan senantiasa mengikuti aturan agama dan masyarakat sehingga terbentuklah nilai Ilahiyah dan nilai Insaniyah dalam pribadi yang senantiasa Tahajjud.
d. Karakter ‘Ibdurramn keempat: Istiqomah (Komitmen/Konsisten).
“Walladzna Yaqluna Rabbanasrif nna dzba jahannam. Inna dzabahakna gharama, Innaha Satmustaqarrau Wamuqman”. Artinya: Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, Sesungguhnya azabnya itu ialah kebinasaan yang kekal" Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk daerah menetap dan daerah kediaman.
Merupakan sifat dan karakter ‘Ibdurramn selanjutnya adalah, Istiqomah (Komitmen/Konsisten), terhadap perintah dan larangan agama, dan juga Al-Khauf [2] adalah ketakutan mereka dari adzab Allah, sesudah Allah swt, memuji hamba-hambanya dengan sifat selalu mengerjakan qiyamullail dan sujud kepada-Nya, juga disebut wacana ketakutan dan kekhawatiran mereka terhadap siksa Allah swt, sehingga mereka tidak pernah malas-malasan dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya, mereka tidak menganggap ibadah mereka sebagai sebabab masuknya mereka ke dalam surga, akan tetapi mereka memandang bahwa keselamatan hanya bisa diraih dengan keutamaan dan rahmat Allah.
Makna umum dari ayat di atas ialah sesungguhnya mereka beribadah kepada Rabb mereka. Mereka takut terhadap terhadap siksa-Nya, sesungguhnya adzab Rabb mereka, tidak ada yang merasa kondusif dari kedatangannya, sehingga diantara mereka senantiasa mengharapkan rahmat dari Allah, berada dalam ketakutan, dan kekhawatiran terhadap adzab serta siksaan-Nya, begitupula keadaan orang-orang yang beriman kepada Allah, mereka tidak pernah frustasi dari memohon kepada Allah, dan tidak pernah merasa damai akan siksa-Nya. Dalam hal ini, lahir/tumbuhlah generasi yang taat terhadap perintah Tuhannya, melaui contoh-contoh dan pembiasaan-pembiasaan dari orang tua, masyarakat,guru, dan pemimpin Bangsa. Inilah karakter yang dicontohkan oleh para Rasul Allah melalui uswatun hasanah untuk menjadi pribadi muslim yang taat sehingga lahirlah manusia-manusia yang berkarakter.
e. Karakter ‘Ibdurramn kelima adalah: Tawazun (Seimbang)
“Walladzna Idz Anfaku Lam Yusrif Walam Yaqtur Wakna Baina Dzlika Qawman”. Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan ialah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Bahasa “isrf” berasal dari kata “Sarafa, yasrafu, isrfa” yang artinya membuang-buang, melampaui batas atau berlebih-lebihan. Secara istilah Isrf ialah melaksanakan suatu perbuatan yang melampaui batas atau ukuran yang sebenarnya. Isrf juga sanggup diartikan sebagai suatu sikap jiwa yang memperturutkan keinginan yang melebihi semestinya. Seperti makan terlalu kenyang dll, “Isrf” menekankan pada berlebih-lebihannya”. Sifat ini tidak mencerminkan sikap Tawazun (Seimbang) dalam memakai harta.
Kata “Walladzna Idz Anfaku” “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan”. Yaitu nafkah wajib dan sunnah, “Lam Yusrif”mereka tidak berlebihan”, tidak melebihi batas, sehingga akan berakibat akan termasuk ke dalam perbuatan tabziir (menghambur-hambur), “Walam Yaqtur”dan tidak pula kikir”, sehingga bisa mengakibatkan mereka terjerumus ke dalam sifat-sifat kikir dan pelit serta mengabaikan hak-hak yang wajib, “Wakna”dan ia adalah”, pembelanjaan itu “Baina Dzlika” antara yang demikian”, antara sikap berlebihan dan kikir, “Qawman”ditengah-tengah”, mereka mengeluarkan dalam hal yang wajib, ibarat zakat, kaffarat (bayar denda), dan aneka macam belanja wajib dalam hal-hal yang pantas, dengan cara yang pantas pula tanpa menimbulkan kasus bagi diri sendiri dan orang lain. Ini merupakan sikap keseimbangan dan kesederhanaan mereka (Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, 2012:229).
Harta hanyalah sebagai sarana dan bukan tujuan, sedangkan maksud dan tujuan mengumpulkan harta ialah untuk diinfakkan dalam kebaikan, dipakai dalam hal-hal yang bermanfaat untuk pemiliknya, dan manfaat itu akan kembali pada semua manusia, maka Allah mengharamkan harta untuk ditimbun dan disia-siakan. Allah menawarkan tanggapan kepada orang-orang yang menimbun harta dengan ancaman yang sangat keras. “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Qs. At-Taubah (Pengampunan) 9: 34).
Para Ulama berselisih pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan “menimbun” Abu Dzar berkata, “menimbun ialah menyimpan barang yang lebih dibutuhkan, meskipun hanya sedikit”(Hasan Al-Banna, 2007: 306). Imam Malik, As-Syafi’I, Ibnu Abi Syaibah berkata, “Harta yang ditunaikan zakatnya, maka bukanlah “al-kanz” (timbunan), meskipun ia berada dibawah tujuh lapis bumi, sedang semua yang tidak ditunaikan zakatnya, maka ia adalah al-kanz meskipun barangnya terlihat (Hasan Al-Banna, 2007: 306).
“Al-Isrf” artinya melampui batas, “At-Taqtir” artinya mempersempit dan menahan harta dibawah batas yang dituntut. “Kaina” artinya infak, “Qawwma” artinya pertengahan antara israf dan taqtir. Bahwa sifat ‘Ibdurramn ialah senantiasa bersikap pertengahan dalam infaq, sehingga mereka tidak isrf dan melampui batas yang telah di syari’atkan Allah dan tidak mereka bakhil, lebih-lebih taqtir dan mempersempitkan sehingga di bawah batasan. Sesungguhnya mereka adil dan tengah-tengah dalam melakukannya lantaran mengetahui bahwa sebaik-baik urusan ialah pertengahan, sehingga di dalam kehidupan mereka ialah tauladan yang sanggup ditiru di dalam sikap hemat dan pertengahan serta seimbang.
Hal itu dikarenakan, sifat isrf dan taqtir akan merusak kehidupan, baik individu, kelompok, ataupun seluruh umat manusia, lantaran isrf merupakan hal penyia-nyiaan harta bukan pada tempatnya, dan taqtir ialah pengumpulan harta untuk dirinya sendiri. Adapun sifat-sifat pertengahan dan seimbang dalam menginfakkan harta merupakan kepribadian orang-orang yang berakal, dimana kemajuan umat dan kebahagiaan individu serta komunitas ada di atas punggung mereka.
Untuk mendidik karakter Islami seorang anak ialah dengan menjaga asupan masakan keluarga. Menjaga kehalalan masakan dan minuman yang dikonsumsi. Begitu pula dengan kehalalan pakaian yang dikenakan. Arti halal di sini tidak hanya halal dari segi zat masakan itu sendiri yang bebas dari najis, tetapi juga halal dalam cara perolehan masakan itu. Mungkin memang masakan itu diperoleh dengan cara dibeli, tetapi lihat bagaimana kondisi harta yang dipakai untuk membeli? Bagaimana mungkin anak akan gampang menyerap kebaikan dan melaksanakan amal sholeh jikalau darah yang mengalir di tubuhnya, energi yang dipakai untuk aktivitasnya berasal dari harta yang tidak halal? Bunda sekalian, anak kita akan sulit mendapatkan cahaya kebaikan jikalau asupan sehari-harinya berasal dari harta yang tak halal.
f. Karakter ‘Ibdurramn yang keenam adalah: Salimul Aqidah (Memiliki Aqidah yang Bersih)
“ Walladzna Lyadna Mallahi Ilhan khar Walyaznn” Artinya: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah.
Aqidah yang higienis (salimul aqidah) merupakan sesuatu yang sepatutnya ada pada hamba Allah yang ‘Ibdurramn. Dengan aqidah yang bersih, seorang muslim akan mempunyai ikatan yang kuat kepada Allah Swt dan dengan ikatan yang kuat itu dia tidak akan menyimpang dari jalan dan ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kebersihan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam' (Q.S. 6:162).
Menurut perspektif Al-Qur’an, tauhid ialah merupakan akar utama yang harus menawarkan energy kepada pokok, dahan, dan daun kehidupan. Atau ia merupakan hulu yang harus memilih gerak dan kualitas air sebuah sungai kehidupan. Semua aktivitas kehidupan mestilah berangkat dari tauhid tersebut, termasuk kegiatan dan penyelanggaraan pendidikan.
Komponen pendidikan yang juga amat penting dibangun atas prinsip tauhid ialah kurikulum. Kurikulum yang antara lain mencukupi materi, metode, dan alokasi waktu hendaknya dibangun atas pertimbangan pedoman tauhid. Materi pelajaran contohnya , ditetapkan berlandaskan Al-Qur’an dan Asssunnah serta berorientasi kepada penanaman kesadaran diri sebagai makhluk Allah, bukan semata-mata penanaman ilmu. Ilmu mestinya dilihat sebagai sarana yang menjembatani akseptor didik untuk mencapai ketauhidan yang hakiki yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.
g. Karakter ‘Ibdurramn yang ketujuh adalah:(Tasamuh) “Toleransi/Saling Menghargai”
“ Wal Yaqtulnannsallati arramallhu Illbilhaq” Artinya: dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar.
Sifat-sifat yang di sandang oleh ‘Ibad ar-Ramn, selanjutnya ialah tidak membunuh, Pembunuhan dengan sengaja, dalam bahasa Arab, disebut “qatlu al-‘amd”. Secara etimologi bahasa Arab, kata “qatlu al-‘amd” tersusun dari dua kata, yaitu al-qatlu dan al-‘amd. Kata “al-qatlu” artinya “perbuatan yang sanggup menghilangkan jiwa”, sedangkan kata “al-‘amd” artinya “sengaja dan berniat”. Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja di sini ialah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh jiwa yang terlindungi darahnya, dengan cara dan alat yang biasanya sanggup membunuh. seperti Ayat diatas bermakna bahwa mereka tidak akan membunuh satu jiwapun yang telah diharamkan Allah, lantaran alasannya ialah apapun kecuali dengan alasannya ialah kebenaran yang meghilangkan keterlindungan dan kehormatannya ibarat kufur sesudah dia beriman, berzina sesudah menikah, membunuh insan tanpa dosa.
Sesungguhnya Allah telah menjadikan orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sayang, kelembutan, dan persatuan mereka ibarat tubuh, jikalau ada satu organ yang merasa sakit, maka potongan jasad lainnya akan merasa kesakitan. Jika pembunuh itu menghancurkan salah satu potongan dari satu jasad, maka sesungguhnya ia telah menghancurkan salah satu potongan dari satu jasad, maka sesungguhnya ia telah menghancurkan satu jiwa secara keseluruhan, sehingga seluruh jasad merasa kesakitan, maka barang siapa yang menyakiti seorang mukmin sesungguhnya ia telah menyakiti seluruh mukminin, maka sama halnya menyakiti insan seluruhnya.
h. Karakter ‘Ibdurramn yang kedelapan adalah: Iffah (Menjaga Kesucian Diri)
Secara etimologis, iffah ialah bentuk masdar dari affa-ya’iffu-‘iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Dan juga berarti kesucian tubuh. Secara terminologis, iffah ialah memelihara kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. Dalam hal ini, Allah berfirman “Walyaznn…..” …Tidak berzina (Al-Furqan 25:69).
Seorang hamba Allah sejati tidak melaksanakan perbatan zina. Zina ialah hubungan setubuh di luar nikah, atau yang tidak sah nikah. Karena maksud kedatangan agama ialah guna mengatur keturunan. Kelahiran ke dunia ialah registrasi yang sah. Jelas hendaknya bahwa si anu ialah anak si Fulan. hubungan kelamin pria dengan wanita ialah termasuk keperluan dan hajat hidupnya. Tidak melakukan perzinaan dan pelecehan secual tetapi mereka mencukupkan diri dalam menyelalurkan kebutuhan biologisnya melalui janji nikah yang sah semata-mata (M. Quraish Shihab, 2005:153). Agama mengatur hubungan kelamin itu dengan nikah-kawin dan ditentukan pula perkawinan yang terlarang yaitu yang disebut mahram, sebagai mana disebutkan di surat Al-Imran 4: 23-24 (Hamka, 1984: 46). Kerusakan yang diakibatkan zina merupakan salah satu kerusakan yang besar, yaitu menghilangkan kemaslahatan aturan alam di dalam menjaga keturunan, dan melindungi kemaluan serta melindungi kehormatan dan menghindarkan sesuatu yang menimbulkan permusuhan. Juga merupakan kebencian yang paling besar diantara manusia, berupa kerusakan yang dilakukan masing-masing dari mereka terhadap isteri temannya, saudarinya, atau ibunya, maka dalam perbuatan itu sanggup mengakibatkan kehancuran alam ibarat akhir dari perubahan.
Mengenai hal ini sebagai epilog pembahasan wacana orang-orang yang berzina dan problemnya, bahwa kekekalan bagi pembunuh dan pelaku zina di dalam adzab, maka sesungguhnya ”kekekalan itu” itu tidak mencakupnya, alasannya ialah banyak dalil-dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjelaskan bahwa seluruh orang mukmin akan keluar dari neraka, tidak ada orang mukmin yang kekal didalamnya, sekalipun dia telah melaksanakan kemaksiatan apa saja, Allah mencatat tiga dosa besar itu (syirik, membunuh, berzina), syirik mengandung kerusakan pada agama, membunuh mengandung pengerusakan terhadap jasad, sedangkan zina mengandung pengrusakan terhadap kehormatan. (Shafwat Jaudat Ahmad, 2009: 74).
Kata“Illmantba” kecuali orang-orang yang bertaubat, dari kemaksitan-kemaksiatan, dengan cara meninggalkannya sama sekali ketika itu juga, meratapi perbuatannya yang telah lalu, dan bertekad dengan sunguh-sungguh untuk tidak akan mengulanginya kembali, “Wamin” “dan beriman” kepada Allah dengan iman yang benar yang menuntut untuk meninggalkan segala maksiat dan mengerjakan aneka macam ketaatan, “Wamilan Shkihah” “dan mengerjakan amal shaleh” dari amal yang di perintahkan oleh dan Rasul-Nya bila diniatkan mengharap keridhoan Allah.
i. Karakter ‘Ibdurramn yang kesembilan: Shiddiq (Benar dalam berkata dan benar dalam perbuatan)
“Walyakhsyalladzna Lautarak Minkhalfihim dzurriyyatan Difan Khfu laihim Falyattaqullaha Walyaqlu Qaulansaddan” Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka bawah umur yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh alasannya ialah itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Qaulan Saddan berdasarkan pemaparan atau arti dari surat di atas yaitu suatu pembicaraan, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau memberikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dalam aneka macam literatur wacana komunikasi Islam, kita sanggup menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan yaitu:
Diantara sifat-sifat dan karakter Ibdurramn, ialah Qaulan Sadda (Mengucapkan Kata-Kata yang Benar), tidak menghukumi sesuatu dengan kecuali dengan apa yang mereka lihat dan dalam hal itu tidak takut terhadap celaan orang yang mencela. Allah telah menyebutkan dua dosa yang dijauhi orang yang beriman dan di hindari oleh Ibdurramn, sesudah menyebutkan aturan taubat dari banyak kejahatan, dan Allah telah memfokuskan kepada kesaksian palsu lantaran banyak hokum-hukum syar’i yang membutuhkan pada kesaksian, ibarat zina, pembunuhan, pencurian, dan lain sebagainya. Ayat tersebut diatas juga memfokuskan wacana perbuatan sia-sia yang masuk di dalamnya ibarat berbohong, perkataan kotor, dan pelanggaran kehormatan muslimin.
“Walladzna Lyasyhadnazzr” Artinya: Dan orang-orang yang tidak menawarkan persakian palsu....(Al-Furqan25:69)
Sebagai lanjutan penegasan dari sifat-sifat Ibdurramn yaitu orang-orang yang tidak suka menawarkan kesaksian palsu atau mengarang-ngarang dongeng dusta untuk menjahannamkan orang lain. Dan mereka itu, apabila berjalan di hadapan orang yang sedang berbicara hal yang sia-sia, membicarakan hal yang tidak tentu ujung pangkal, perkataan yang tidak bias di pertanggung jawabkan, maka orang yang disebut Ibdurramn itu berlalu begitu saja dengan baik, ia menjaga biar dirinya tidak termasuk dan terikat ke dalam suasana yang tidak berfaedah. Usia insan ialah terlalu singkat untuk di buang-buang untuk mengerjakan yang tidak berfaedah, dan ia keluar dari daerah itu dengan sikap yang mulia dan tau harga diri, sehingga sikapnya yang demikian meninggalkan kesan yang baik, karakter yang mulia, sehingga bisa mendidik, menjadi contah teladan bagi orang berdusta, bersumpah palsu tersebut.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan bawah umur kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang sepertinya relevan dalam membuatkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogik pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang bisa mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak daerah anak yang baik malah termakan menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi lantaran kultur kejujuran yang ingin dibuat tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa termakan menjadi pencuri jikalau ada kesempatan.
Dalam konteks ini, taktik yang memungkin pendidikan karakter bisa berjalan sesuai sasaran setidaknya meliputi tiga hal (Zubaedi, 2011:114-115):
a. Menggunakan prinsip keteladanan dari semua pihak, baik orang tua, guru, masyarakat maupun pemimpinnya.
b. Menggunakan prinsip kontinuitas/rutinitas (pembiasaan dalam segala aspek kehidupan).
c. Menggunakan prinsip kesadaran untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti ibarat kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain. Sebagai basis pendidikan karakter, sekolah harus berkomitmen untuk membuatkan karakter akseptor didik berdasarkan nilai-nilai yang dimaksud, didefinisikan sikap yang sanggup di amati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, harus mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikan, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antar manusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat.
j. Karakter‘Ibdurramn yang kesebelas: Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
“Walladzna Yaqluna Rabban Hablan Wadzurriyyatina Qurrata Ayuni Wazlna Lilmuttaqna Imman…..” Artinya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (Al-Furqan 25 (Pembeda): 74).
Kata Qurrata Ayuni (pengejuk mata) sesuatu yang sanggup menyenangkan pandangan ketika melihatnya dan menyenangkan mata seorang yang memberi petenjuk lagi tenang, inilah hakikat daripada Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain). Adapun orang yang lagi gelisah, maka matanya akan selalu bergerak dan melotot serta tidak tenang. Imam Qurthubi, menjelaskan makna kata Qurrata Ayuni, sesungguhnya insan diberi berkah dalam harta dan anaknya, maka matanya menunjukan kebahagiaan lantaran keluarga dan kerabatnya, sehingga ketika ia mempunyai seorang istri, pasti ia berkumpul di dalam dirinya angan-angan kepada istri: kecantikan, harga diri, pandangan dan kewaspadaan, atau jikalau mempunyai keturunan yang senantiasa menjaga ketaatan dan membantunya dalam menunaikan tugas-tugas agama dan keduniaan serta tidak berpaling kepada suami yang lain, dan tidak pula anak yang lain, sehingga matanya menjadi damai dan tidak berpaling kepada lainnya, maka itulah kebahagiaan mata dan ketenangan jiwa. Dan senantiasa memohon kebahagiaan untuk generasi selanjutnya.
Merupakan sifat dan karakter ‘Ibdurramn selanjutnya ialah senantiasa memohon kepada Tuhannya biar isteri-isteri mereka dan bawah umur mereka dijadikan buah hati permainan mata, obat, pelarai demam, menghilangkan segala luka dalam jiwa, penawar segala kekecewaan hati dalam hidup. Betapapun shaleh dan hidup beragama seorang ayah, belumlah ia merasa senang menutup mata kalau kehidupan anaknya tidak menuruti lembaga yang dituangkannya, seorang suami demikian pula. Betapapun condong hati seorang suami mendirikan kebajikan, kalau tidak ada sambutan dalam rumahtangga ialah kesatuan haluan dan tujuan. Hidup Muslim ialah hidup berjama’ah, bukan hidup yang nafsi-nafsi (Hamka, 1984: 48).
Kata (Min azwazna Wadzurriyatina), (istri-istri dan keturunan kami) yaitu yang akan menjadikan mata senang dan jiwa kami damai dengan melihat mereka, lantaran hati tentram dan damai dengan keberadaan mereka, mereka ialah orang-orang yang bertaqwa lagi mendapatkan hidayah (Shafwat Jaudat Ahmad, 2009: 113). Sebagai epilog dari doa itu, momohon kepada Allah biar dijadikan Imam daripada orang-orang yang bertakwa, sesudah berdoa kepada Allah biar isteri dan anak menjadi buah hati, kerena beriman kepada Allah, permainan mata lantaran takwa kepada Allah. Maka ayah atau suami sebagai penanggungjwab menuntun isteri-isteri dan bawah umur menempuh jalan itu, dia mendoakan dirinya sendiri biar menjadi imam, berjalan di depan untuk selalu menenuntun mereka menuju jalan Allah.
Pendidikan ialah suatu proses enkultrasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa kemudian kegenerasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebangaan dan bangsa menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan pendidikan juga masa kemudian yang menjadi nilai-nilai budaya dan perstasi masa kemudian itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta membuatkan prestasi gres yang menjadi karakter gres bangsa. Oleh lantaran itu, pendidika karakter merupakan inti dari suatu proses pendidikan.
Atas dasar ini, fungsi dan kiprah sekolah, orang bau tanah menjadi taktik dalam membangun karakter biar anak didik mempunyai pemahaman, penghayatan, komitmen, dan loyalitas terhadap standar sikap yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai kebaikan. Karakter yang baik meliputi pengertian, kepedulian dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karena itu, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk membuatkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan sikap dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati sikap model dan mempraktekkan pemecahan kasus yang melibatkan nilai-nilai karakter (Zubaedi, 2011:117).
k. Keduabelas: Mendapat martabat dan daerah yang mulia lantaran kesabarannya.
“Ulika Yazzanal Gurfata Bimshabaru Wayulaqqauna Fha Thiyyatan Wassalman”
Artinya:. Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya.
Setelah menyebut sifat-sifat hamba-hamba-Nya yang beriman dengan sifat-sifat yang indah dan ucapan serta perbuatannya yang agung, kemudian dalam ayat berikutnya disebutkan oleh Allah SWT. Melalui firman-Nya. “Ulika” Mereka itulah (Al-Furqan 25:75) Yakni orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang disebut sebagai Ibdurramn “Yazzanal Gurfata” Orang-orang yang menerima martabat yang tinggi (Al-Furqan 25:75) Artinya kelak dihari simpulan zaman akan dibalas dengan mendapatkan surga, Abu Ja’far Al-Baqir, Sa’id Ibnu Jubair, Ad-Dhhak, dan As-Saddi menyampaikan bahwa nirwana dinamakan gurfah karena letaknya yang tinggi “Bimshabaru” Dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya lantaran kesabaran mereka. (Al-Furqan 25:75) .Sesungguhnya para Malaikat masuk menemui mereka dari setiap pintu nirwana seraya mengucapkan “Keselamatan atas kalian lantaran kesabaran kalian, maka sebaik-baik daerah tinggal ialah di akhirat” (Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, 2007: 103-104). Oleh lantaran itu, disini Allah berfirman “Wayulaqqauna Fha Thiyyatan Wassalman” dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat didalamnya, dari Tuhan mereka dan dari para Malaikat-Nya yang mulia dan dari sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan mereka selamat dari segala yang sanggup mencemarkan dan mengotori (Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, 2012:235).
Kenapa disebut kesabaran? (Hamka, 1984: 50-52) Sebab masing-masing orang yang berjalan menegakkan kebenaran, menyusun kekuatan diri dan melatih batin menjadi Ibdurramn. Hamba Tuhan yang Pemurah, akan merasa bahwasannya menyusun acara apa yang harus ditempuh ialah mudah, tetapi menjalankannya amatlah sukar, setiap segi tanda hidup ini seorang yang beriman itu meminta percobaan, meminta pengorbanan dan adakala meminta aliran darah dan airmata. Kesabaran berjuang menegakkan kepribadian sebagai muslim, sebagai hamba Allah yang sadar, mengakibatkan kebahagiaan jiwa, lantaran menerima Syurga Jannatun na’im, daerah tinggal yang tentram, kediaman yang disenangi dan tenang, disambut oleh Malaikat-Malaikat Tuhan dengan ucapan Tahiyyat (selamat) dan salam bahagia.
PENUTUPAN
Sebagai simpulan dari uraian data yang telah dipaparkan, maka sanggup diambil suatu kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Bahwa proses pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an, yang dikembangkan dalam Tafsr Al-Mishbsurah Al-Furqan: 63-75, karya M. Quraish Shihab yaitu Al-Qur’an memandang bahwa pendidikan merupakan kasus pertama dan utama dalam membangun dan memperbaiki kondisi umat insan di muka bumi ini. Sebutkan bahwa, Al-Qur’an tidak hanya menekankan pentingnya belajar, namun juga Pentingnya mengajar, ditegaskan dalam Surah Al’ashr bahwa semua orang merugi kecuali yang melaksanakan empat hal. Salah satunya ialah saling wasiat-mewasiati (ajar-mengajar) wacana al-haqq (kebenaran), ilmu pengetahuan ialah kebenaran. Rugilah orang yang tidak mengajarkan kebenaran yang diketahuinya. Bahwa proses pendidikan dalam Al-Qur’an berdasarkan M. Quraish Shihab, ialah didasarkan pada nilai-nilai Rabbanyi/Ilahiyah dan nilai Insaniyah, sedangkan tujuannya ialah “membina insan secara pribadi dan kelompok, sehingga bisa menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah-Nya, guna membangun Dunia ini sesuai dengan konsep yang diciptakan Allah". Allah ialah Maha Guru, mengajarkan insan bagaimana menjadi hamba-hamba pilihan, sudah saatnya, lembaga pendidikan mengikuti pola, model, dan pendekatan-pendekatan dalam pendidikan yang ditawarkan kitab Suci Al-Qur’an. Pandangan Al-Qur’an, wacana pendididkan sanggup membentuk sikap atau sifat-sifat karakter manusia. Juga ditemukan bahwa pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an ialah pendidikan didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan.
Kedua ditemukan bahwa, nilai-nilai karakter dalam perspektif Al-Qur’an, dalam Tafsr Al-Mishb surah Al-Furqan: 63-75 ialah salah satu surat yang berbicara wacana sifat karakter orang-orang beriman, Surah Al-Furqan ayat 63-75, telah dikembangkan dalam Tafsr Al-Misb telah dijelaksan panjang lebar wacana sifat ( ‘Ibadur Ramn. (Hamba-hamba Tuhan yang Pengasih). Betapa Indah panggilan ( ‘Ibadur Ramn itu, betapa mulai orang yang di panggil-Nya dengan gelar tersebut, ‘Ibadur Ramn itu adalah: hamba-hamba Tuhan yang pengasih itu ialah Manusia yang: Tawadhu’. Al-fwu (Pemaaf). Shahihul Ibadah (Ibadah yang Benar). Istiqomah (Komitmen). Tawazun (Seimbang). Salimul Aqidah (Memiliki Aqidah yang Bersih. Tasamuh “Toleransi/Saling Menghargai”. Iffah (Menjaga Kesucian Diri), Shiddiq (Benar Dalam Berkata Dan Benar Dalam perbuatan). Nafi’un Lighoirihi (Bermanfaat Bagi Orang Lain). Mendapat Martabat Dan Tempat Kang Mulia Karena Kesabarannya.
Tabel: Pendidikan Karakter dalam Pesrpektif Al-Qur’an yang Dikembangkan Dalam Tafsr Al-Mishb Surah Al-Furqan (Pembeda)25: 63-75.
Karakter‘Ibdurramn pertama: Tawadhu’ | ßÇúïÏ%©!$# tbqà±ôJt n?tã ÇÚöF{$# $ZRöqyd.... ÇÏÌÈ | ...Ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati… (Al-Furqan 25: 63) |
Karakter ‘Ibdurramn kedua adalah: Al-fwu (Pemaaf) | $VJ»n=y#qä9$s%ãcqè=Îg»yfø9$#Nßgt6sÛ%s{#sÎ)ur | “…Dan apa bila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (Al-Furqan: 25: 63) |
Karakter‘Ibdurramn ketiga: Shahihul Ibadah (ibadah yang benar) | $VJ»uÏ%urzó #Y¤fß OÎgÎn/tÏ9 cqçGÎ6t `Ï%©!$#ur | “Dan mereka yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka” (Al-Furqan: 25: 64) |
Karakter ‘Ibdurramn keempat: Istiqomah (Komitmen/Konsisten). | zbqä9qà)túïÏ%©!$#ur tL©èygy_ô>#xtã $¨Ytã $ÎñÀ$#t $uZ/u | Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami. (Al-Furqan: 25: 74) |
Karakter ‘Ibdurramn kelima adalah: Tawazun (Seimbang) | #qà)xÿRr&#sÎ)ûïÏ%©!$#ur ö (#rçäIø)t(Ns9ur ö#qèùÌó¡çNs9 | Artinya: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan ialah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan: 25: 74) |
Karakter ‘Ibdurramn yang keenam adalah: Salimul Aqidah (Memiliki Aqidah yang Bersih) | $·g»s9Î)y «!$# ìtB cqããôt wûïÏ%©!$#ur yz#uä | Artinya: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah . (Al-Furqan: 25: ….) |
Karakter ‘Ibdurramn yang ketujuh adalah: Tasamuh“Toleransi/Saling Menghargai” | t§øÿ¨Z9$#bqè=çFø)t wur ,ysø9$$Î/wÎ)t ª!$# P§ym} ÓÉL©9$# | Artinya: Dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,…… |
Sifat-sifat kedelapan: Iffah (Menjaga Kesucian Diri) | cqçR÷twur | …Tidak berzina (Al-Furqan 25:69) |
Karakter ‘Ibdurramn yang kesembilan: Shiddiq (Benar dalam berkata dan benar dalam perbuatan) | úïÏ%©!$#ur r9$#crßygô±ow | Artinya: Dan orang-orang yang tidak menawarkan persakian palsu.... (Al-Furqan25:69) |
Karakter‘Ibdurramn yang kesebelas: Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain) | ô`ÏBó $oYs9 =yd $oY/u cqä9qà)t tûïÏ%©!$#ur &$oYù=yèô_#urúãüôãr& no§è%$oYÏG»Íhèur$$uZÅ_ºurør& $·B$tBÎ) úüÉ)FßJù=Ï9 | Artinya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. |
Keduabelas: Mendapat martabat dan daerah yang mulia lantaran kesabarannya. | s (#rçy9|¹$yJÎ/psùöäóø9$#c÷rtøgäÍ´¯»s9'ré& $¸J»n=yur Zp¨ÏtrB$ygÏùcöq¤)n=ãur ÇÐÎÈ | Artinya:. Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya. |
Daftar Pustaka
Al-Banna, Hasan.( 2007). Tafsir Al-Banna. Surakarta: Aulia Press Solo.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. (2012). Shahi Tafsir Ibnu Kasir, Pengesahan Hadist Berdasarkan Kitab-kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Abani r.a. dan Ulama Ahli Hadits Lainnya disertai Pembahasan yang Rinci dan Praktis Difahami. Jilid 7. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
Al-Qattan, Manna Khalil. (2004). Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: PLAN.
Arifin, Syamsul. (2000). Merambah Jalan Baru Dalam Beragama, Rekonstruksi Kearifan Perenial Agama Dalam Masyarakat Madani dan Pluralitas Bangsa. Jogyakarta: ITTAQA Press.
Asmaun & Angga. (2011). Desain Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Azra, Azyumardi. (2002). Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana ilmu.
Azzet, Muhaimin. (2011). Urgensi Pendidikan Karakter Di Indonesia. Jogjakarta.AR Ruz Media.
Bakran A, Hamdani. (2006). Kecerdasan Kenabian Prophetic Intelegence, Mengembangkan Potensi Robbani Melalui Peningkatan Kesehatan Ruhani. Yogyakarta: PustakaAl Furqan.
Ibrahim, Hasan. 2002. Sejarah Kebudayaan Islam. (Terj.) H.A. Bahuddin. Jakarta: kalam Mulia.
Elmubarok, Zaim.(2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Al Fabeta.
J. Lexy, Moleong. (1998). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
John. M. Echols & Hassan Shadly. (2006). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Kementrian Agama RI. (2010). Syaamil Al- Qur’an. Miracle The Reference, 22 Keunggulan Yang Memudahkan Dalam 1 Al-Qur’an Dengan Referensi Yang Sahih, lengkap, dan Komprensif. Bandung: Sygma Publishing.
Kesuma dkk. (2011). Pendidikan Karakter, Kajian Teori dan Praktik Di Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya .
Perdana Boy ZTF & Hilmy Faiq. (2004). Kembali ke Al-Qur’an Menafsir Makna Zaman, Suara Kaum Muda Muhammadiyah. Malang: UMM Press.
Salim Bahreisy & Said Bahreisy. (2006). Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6. Surabaya: Bina Ilmu Offset.
Shihab, M. Quraish. (2005). Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 9. Jakarta: Lentera Hati.
_________(1999). Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
_________(1998). Wawasan Al-Qur’an,Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
_________(2006). Menabur Pesan Ilahi, Al-Qur' dan Dinamika Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Lentera Hati.
Shafiyyurrahman, Syaikh. (2012). Shahi Tafsir Ibnu Kasir, Pengesahan Hadist Berdasarkan Kitab-kitab Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Abani r.a. dan Ulama Ahli Hadits Lainnya disertai Pembahasan yang Rinci dan Praktis Difahami. Jilid 7. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir.
Jaudat Ahmad, Shafwat. (2009). Menggapai Sifat Ibadurrahman, Menjadi Hamba Pilihan di Mata Allah dan Rasul-Nya. Surakarta: Ciputat, Insan Kamil.
Syamsul Rijal Hamid. (2005). Buku Pintar Agama Islam. Jakarta: cahaya Islam. Tobroni. (2008). Pendidikan Islam, Paradigma teologis Filosofis dan Spirituslitas. Malang: UUM Pr ess.
__________. (2010). The Spiritual leadership. Malang: UMM Press.
Hamka. (1984). Tafsir Al-Azhar Juzu ke XIX. Jakarta: Pustaka Pinjamas.
Majid & Dian Andayani. (2011). Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Off set.
Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan karakter, solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundation.
Muchlas Samani & Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Rasda Karya.
Muhktar. (2009). Bimbingan Skripsi, Tesis dan Artikel Ilmiah, Panduan Berbasis Penelitian Kualitatif Lapangan dan perpustakaan. Jakarta: Gaung Persada Press.
Muhaimin. (2009). Rekonstruksi Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Mulyasa. (2011). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara. 161
M. Yusuf, Kadar. (2012). Tafsir Tarbawi. Yogyakarta: Zanafa Publishing. Cet ke 2.
Nashir As-Sa’di, Syeikh Abdurrahman bin. (2012). Tafsir Al-Qur’an, Jilid. Jakarta: Pustaka Syifa.
Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.ke-5.
Zed, Mestika. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter, Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Pernada Media Group.
Rujukan Website
UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Dalam Pasal 1.
Adian Husaini, Pendidikan Karakter : Penting, tapi Tida Cukup (http://www.insistnet.com). Diakses 23 November 2012.
Marzuki, Meneladani Nabi , Muhammad SAW dalam Kehidupan Sehari-hari. Jurnal Humanika Vol. 8 No. 1. Maret 2008, Hal 1. http://uny.ac.id. Diakses pada tanggal 21 maret 2012.
Kementrian Pendidikan Nasional . Pengembangan Pendidikan Budaya, dan Karakter Bangsa Pedoman Sekolah, Jakarta : Puskur Balitbang Kemendiknas.
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan, hal 5. http:/puskurbuk. net. Diakses pada tanggal 22 Maret 2012..........
Kementrian Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta : 2010.
Akhmad Sudrajat “Konsep Pendidikan Karakter”,dalam Akhmadsudrajat. wordprees.com 15 September 2012. http:// akhmadsudrajat. wordperss. com/2010/09/15. konsep-pendidikan-karakter. dan baca Kemendiknas, Pembinaan Karakter dalam Sekolah Menengah Pertama, (Jakarta 2010).
[1].Hermeneutika ialah upaya rasional mencari dan menemukan makna dari sebuah teks (realitas). Menurut Ricour, hermeneutika ialah “the theory of operations of understanding in their relation to the interpretation of text. Dengan kata yang sederhana sanggup disebutkan bahwa metode filsafat hermenutika ialah: kegiatan olah pikir yang menafsirkan dan memahami makna suatu teks (realitas) secara rasional untuk mencari/menemukan hakikatnya. Bahasa teknis-ilmiah disebut sebagai “true conditions”. Lihat Ricour. 1991. From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Illionis: Northwestern University Press. Hal. 53. Dalam http://masri-sareb.blogspot.com. Diakses 1 Januari 2013.
[2]. Secara etimologi, khauf berasal dari bahasa arab yang berarti ketakutan. Adapun secara terminologi, khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah lantaran kurang tepat pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Khauf timbul lantaran pengenalan dan cinta kepada Allah yang mendalam sehingga ia merasa khawatir kalau Allah melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
Menurut Imam Qusyairy, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-Nya. Menurutnya khauf adalah kasus yang berkaitan dengan kejadian yang akan datang, alasannya ialah seseorang hanya merasa takut jikalau apa yang dibenci tiba dan yang dicintai sirna. Dan realita demikian hanya terjadi di masa depan.
Menurut Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi, khauf adalah: “Suatu keadaan yang menggambarkan resahnya hati lantaran menunggu sesuatu yang tidak disukai yang diyakini akan terjadi dikemudian hari.” Ibn Jalla’ berkata bahwa orang tidak dikatakan takut lantaran menangis dan megusap air matanya, tetapi lantaran takut melaksanakan sesuatu yang mengakibatkan ia disiksa karenanya. Ibnu Khabiq berkata, “Makna khauf menurutku ialah berdasarkan waktunya, yaitu takut yang tetap ada pada Allah ketika ia dalam keadaan aman.” Menurutnya, orang yang takut ialah seorang yang lebih takut akan dirinya sendiri dari pada hal-hal yang ditakutkan syaitan.
Dalam al-Quran, kata khauf diulang sebanyak seratus dua puluh kali. Diantaranya ialah dalam surah al-Qasas ayat 21; “Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdoa: "Ya Tuhanku, selamatkanlah Aku dari orang-orang yang zalim itu". Ayat yang serupa dengan ayat tersebut yaitu surah An-Naml ayat 10 dan surah Al-Qasas ayat 33. Ayat wacana khauf yang lain diantaranya dalam surah az-Zumar ayat 13, al-Nur ayat 37, al-Insan ayat 10, yang memperlihatkan ketakutan pada siksaan hari akhir. Sedang khauf dalam surah Asy-Syuara’ ayat 14, memperlihatkan ketakutan terhadap bahaya. Ayat-ayat wacana khauf ini, khauf bermakna ketakutan yang diikuti dengan perasaan cemas atau khawatir akan sesuatu. (www.referensimakalah.com/20/4/2013).
0 Response to "Banyak Bermunculan Duduk Kasus Yang Amat Mencemaskan Pendidikan Negeri Ini"
Posting Komentar