Pembelajaran Matematika Yang Efektif By astagadragon Minggu, 18 November 2018 Add Comment Edit Pembelajaran Matematika yang Kreatif, alasannya post ini yaitu kelanjutannya. 1. Resep Pembelajaran EfektifKanold (dalam Suryanto,1999) mengemukakan resep pembelajaran efektif, yang mencakup perencanaan, penyajian, dan penutupan pembelajaran sebagai berikut : a. Perencanaan 1) Memulai pertemuan dengan tinjauan singkat atau dengan persoalan pembuka selera; 2) Memulai pelajaran dengan pemberitahuan tujuan dan alasan, secara singkat; 3) Menyajikan materi pelajaran gres sedikit demi sedikit, dan di antara bagian‐bagian penyajian yang sedikit itu memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk memahami, mencobakan, bertanya, dan sebagainya; 4) Memberikan petunjuk yang rinci untuk setiap kiprah bagi siswa; 5) Memeriksa pemahaman siswa dengan jalan mengajukan banyak pertanyaan dan memperlihatkan latihan yang cukup banyak; 6) Membolehkan siswa bekerjasama hingga pada tingkat siswa sanggup mengerjakan kiprah secara mandiri. b. Penyajian 1) Pemeriksaan pemahaman oleh siswa dilakukan dengan pemberian kiprah kepada siswa. Guru memperlihatkan penjelasan pembuka jalan, kemudian siswa memyelesaikan kiprah itu, kemudian guru berkeliling menilik hasil pembelajaran,memberi bantuan, siswa membuat ringkasan proses langkah‐langkah penyelesaian kiprah tersebut. 2) Pertanyaan diajukan kepada seluruh siswa; siswa diberi waktu cukup untuk menemukan jawaban; gres kemudian salah seorang siswa ditunjuk secara acak untuk menjawab pertanyaan tadi; alhasil balasan ditawarkan kepada siswa lain untuk menilai kebenaran atau ketepatannya. 3) Pada pembelajaran perihal konsep atau prosedur, siswa mengerjakan latihan terbimbing. Guru membimbing dengan menugasi siswa bekerja berkelompok kecil atau berpasangan untuk "merumuskan balasan atas latihan itu", "menyelidiki contoh yang mungkin ada", "menyusun taktik yang diharapkan dalam mengerjakan latihan itu", dan sebagainya. c. Penutup pertemuan Agar selama proses pembelajaran kondisi menyenangkan tetap terpelihara, maka penutupan dengan inti berupa refleksi ini, guru tidak lupa memberi penghargaan sekurang‐kurangnya memberi kebanggaan kepada siswa yang telah berani memamparkan hasil diskusinya dan tidak lupa memberi penghargaan kepada kelompok ataupun siswa yang memperlihatkan masukan yang baik. Mengingat penugasan untuk menuntaskan suatu soal yang menantang merupakan salah satu motivasi yang kuat, maka: 1) Jika sisa waktu tinggal sedikit, dipakai untuk membuat ringkasan dari pelajaran yang gres saja selesai. 2) Jika sisa waktu agak banyak, dipakai untuk membicarakan langkah awal dari penyelesaian kiprah yang harus dikerjakan di rumah. 2. Cooperative Learning sebagai Suatu Pendekatan dalam Strategi Pembelajaran EfektifHasil dari beberapa penelitian memperlihatkan bahwa berguru kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran yang efektif untuk semua jenjang sekolah dan untuk banyak sekali mata pelajaran, termasuk pelajaran matematika (Suryanto, 1999) Pada pembelajaran matematika di kelas, berguru matematika dengan pembelajaran kooperatif yaitu kelompok kerja yang kooperatif, yang lebih dari sekedar kompetitif. Pada kegiatan ini sekelompok siswa berguru dengan niscaya atau mendiskusikan tugas‐tugas matematika yang diberikan gurunya, saling membantu menuntaskan kiprah atau memecahkan masalah. Slavin (1995) menyatakan bahwa wangsit yang melatar belakangi pembelajaran kooperatif yaitu bahwa kalau seseorang menghendaki sukses sebagai suatu tim, maka mereka harus memberi semangat kepada anggota tim yang lain supaya menyempurnakan pemahamannya dan akan membantu mereka untuk berbuat. Dewasa ini penelitian‐penelitian di Amerika Serikat dan beberapa kawasan telah disusun secara sistematis dan simpel perihal cooperative learning, telah didokumentasikan beberapa dampak dari taktik ini dan telah diaplikasikan secara luas ke dalam perbagai pembelajaran pada perbagai lingkup kurikulumnya. Metode‐metode ini secara luas dan ekstensif telah dipakai pada hampir semua subyek dan semua jenjang pendidikan mulai dari taman kanak‐kanak hingga sekolah tinggi tinggi, pada semua jenis sekolah di seluruh dunia (Slavin:1995). Hasil yang sanggup dipetik lewat pembelajaran kooperatif ini, sebagaimana yang berhasil ditangkap oleh para peneliti, memperlihatkan hasil yang positif, baik yang menyangkut perilaku sosial, maupun meningkatknya hasil belajar. Dikenal beberapa macam pembelajarn kooperatif, di antaranya : (1) Circle of Learning (2) Group Investigation, (3) Coop coop, (4) Jigsaw I dan II (5) Numbered Heads Together, (6) Student TeamsAchievement Division (STAD), (7) Team Accelarated Instruction (TAI), Team Games Tournament (TGT), yang sudah barang tentu tidak semua jenis kegiatan kelompok ini cocok untuk semua materi pembelajaran. Di bawah ini sekilas diuraikan beberapa teknik pembelajaran kooperatif tersebut, yang di antaranya : a. Circle of Learning (Learning together, berguru bersama) Penerapan dari berguru berkooperatif ini sangat umum. Yang dipentingkan kerja bersama, bukan sekedar beberapa orang berkumpul. Banyak anggotanya 5 – 6 orang dengan kemampuan yang bermacam-macam (mixed abilities groupy) Mereka menyebarkan pengalaman dan sharing pendapat dan saling membantu dengan kewajiban setiap anggota sungguh memahami balasan atau penyelesaian kiprah yang diberikan kepada kelompok tersebut. Pertanyaan atau undangan sumbangan kepada guru dilakukan hanya kalau mereka sungguh sudah kehabisan akal. Yang dianggap juga penting dalam model ini adanya saling ketergantungan dalam arti positif, adanya interaksi tatap muka di antara anggota, keterlibatan anggota sungguh diperhitungkan, dan selain memakai keterampilan pribadi juga mengembangkan keterampilan kelompok. b. Grup Penyelidikan (Group Investigation) Model ini menyiapkan siswa dengan lingkup studi yang luas dan banyak sekali pengalaman berguru untuk memperlihatkan tekanan pada aktifitas positif para siswa. Ada empat karakteristik pada model ini: 1) Kelas dibagi ke dalam sejumlah kelompok (grup) 2) Kelompok siswa dihadapkan pada topik dengan banyak sekali aspek untuk meningkatkan daya kuriositas (keingintahuan) dan saling keter‐gantungan yang positif antara mereka. 3) Di dalam kelompoknya siswa terlibat dalam komunikasi aktif untuk meningkatkan keterampilan cara belajar. 4) Guru bertindak selaku nara sumber dan fasilitator serta sumber berguru dan sebagai pimpinan tak langsung, memperlihatkan arah dan penjelasan hanya kalau diperlukan, dan membuat lingkungan berguru yang kondusif. Keterlibatan siswa di sini dalam setiap kegiatan : 1) mengidentifikasi topik dan mengorganisasi “kelompok peneliti” 2) merencanakan tugas‐tugas yang harus dipelajari 3) melakukan investigasi 4) menyiapkan laporan akhir 5) memberikan laporan akhir, dan 6) penilaian proses dan hasilnya. c. Jigsaw (gigi gergaji) Pada model ini, kelas dibagi menjadi beberapa kelompok dengan 4 – 6 orang. Setiap kelompok dinamai kelompok Jigsaw atau biasa juga kita sebut kelompok asal. Materi pelajaran dibagi dalam beberapa bagian/seci sehingga setiap siswa mempelajari salah satu bab pelajaran tersebut. Semua siswa dengan bab pelajaran yang sama berguru bersama salam sebuah kelompok, dan dikenal sebagai “counterpart group” (CG) atau expert group (EG) yang kalau di Indonesia biasa kita namai kelompok ahli. Setiap siswa CG berdikusi dan mengklarifikasi materi pelajaran dan menyusun sebuah planning bagaimana cara mereka mengajar kepada sahabat mereka dari kelompok CG yang lain. Jika sudah siap siswa kembali ke kelompok Jigsaw mereka, dan mengajarkan bab yang dipelajari masing‐masing kepada temannya dalam kelompok jigsaw tersebut. Hal ini memperlihatkan kemungkinan siswa terlibat aktif dalam diskusi dan saling komunikasi baik di dalam grup Jigsaw maupun CG. Keterampilan bekerja dan berguru secara kooperatif dipelajari pribadi di dalam kegiatan pada kedua jenis pengelompokan. Siswa juga diberikan motivasi untuk selalu mengevaluasi proses pembelajaran mereka. d. Student TeamsAchievement Division (STAD) Secara prinsip model pendekatan kooperatif dengan tipe STAD ini yaitu bagaimana memotivasi siswa supaya berani dan saling membantu satu dengan lainnya untuk meningkatkan pemahaman materi yang disampaikan guru. Bagian yang paling esensial dari model ini yaitu adanya kerjasama anggota kelompok dan kompetisi antar kelompok. Siswa bekerja di kelompok untuk berguru dari temannya serta “mengajar” temannya. Sehingga secara garis besar langkah‐ langkah dari tipe ini adalah: 1)Langkah ke 1: Secara klasikal guru memberikan materi pembelajaran. Agar tetap dipenuhi acara yang cukup tinggi, maka setidak‐ tidaknya dipakai teknik bertanya. 2)Langkah ke 2: Guru membagi siswa dalam kelompok‐kelompok yang beranggotakan 3 hingga 5 siswa, yang kemudian dilanjutkan diskusi kelompok untuk penguatan materi di mana siswa saling bantu membantu memperdalam materi yang sudah diberikan. 3)Langkah ke 3: Kegiatan pada langkah ini yaitu diskusi kelompok untuk penguatan materi, siswa saling membantu untuk memperdalam materi yang gres saja diberikan guru. 4)Langkah ke 4: Guru memperlihatkan tes yang sifatnya individual, masing‐masng siswa mengerjakan tes, dengan tak boleh saling membantu di antara anggota kelompok. 5)Langkah ke 5: Guru memberi penghargaan pada pada kelompok menurut perolehan nilai peningkatan individual dari skor dasar ke skor kuis. Skor dasar dalam penilaian ini diberikan secara individual oleh guru sanggup berupa tes awal, skor ulangan sebelumnya atau bahkan sanggup juga diambil dari nilai rapor sebelumnya. e. Team Assisted Individualization atau Team Accelerated Instruction (TAI) Model yang dikembangkan oleh Slavin (1985) ini dengan beberapa alasan. Pertama model ini mengkombinasikan keampuhan kooperatif dan jadwal pengajaran individual. Kedua, model ini memperlihatkan tekanan pada imbas social dari berguru kooperatif. Ketiga, TAI disusun untuk memecahkan persoalan dalam jadwal pengajaran, contohnya dalam hal kesulitan berguru siswa secara individual. Model ini juga merupakan model kelompok berkemampuan heterogen. Setiap siswa berguru pada aspek khusus pembelajaran secara individual. Anggota tim memakai lembar jawab yang dipakai untuk saling menilik balasan sahabat satu tim, dan semua bertanggung jawab atas keseluruhan balasan pada tamat kegiatan sebagai tanggung jawab bersama. Diskusi terjadi pada ketika siswa saling mempertanyakan balasan yang dikerjakan sahabat se‐tim‐nya. 3. Pembelajaran Bermakna dan Kontekstual sebagai suatu Pembelajaran Efektif dalam Strategi PAKEMRanah kognitif yang didasarkan atas taksonomi Gagne (dalam Skemp,1985) menempatkan obyek pembelajaran matematika sanggup berupa fakta, konsep, prinsip dan skill yang pada umumnya abstrak, sehingga perlu dipilih taktik pembelajaran sedemikian hingga terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan ketrampilan menuntaskan soal serta pemecahan masalah. Pengajaran hendaknya dimulai dari hal yang gampang gres beranjak ke hal yang sukar, dan dari hal yang sederhana beranjak ke hal yang kompleks. Mengacu pada Permendiknas nomor 22 tahun 2006 perihal Standar Isi ini, terang tersirat bahwa kita di dalam setiap kesempatan hendaknya memulai dengan pengenalan persoalan yang sesuai dengan situasi (contextual problem) sejalan dengan itu maka pendekatan kontekstual ataupun pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu pendekatan yang perlu menerima perhatian secukupnya. Belajar dan mengajar kontekstual, perkiraan bahwa berguru yaitu merepresentasikan suatu konsep yang mengkaitkan mata pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks di mana materi tersebut dipakai serta berafiliasi dengan bagaimana seseorang berguru atau cara siswa belajar. Konteks memperlihatkan arti, relevansi dan manfaat penuh terhadap belajar. Rustana (2001) menyatakan bilamana siswa mempelajari sesuatu yang berarti, dan pada kondisi terbaiknya akan dikatakan bahwa siswa berguru materi pelajaran yang bermakna dalam kehidupannya. Dan akan tambah berarti kalau siswa berguru materi pelajaran yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka dan mereka menemukan arti dalam di dalam proses pembelajaran, dan akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. The Northwest Regional Education Laboratory (dalam Rustana,2001) mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari Belajar dan Mengajar Kontekstual, sebagai berikut : a. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi, dan penilaian pribadi di mana seorang siswa berkepentingan dengan isi materi pelajaran yang harus dipelajarinya. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan kasatmata atau dengan kata lain siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, sehingga merasa berkepentingan untuk berguru demi kehidupan di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan konsep pembelajaran bermakna (meaningful learning) dari Ausuble. b. Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa kini atau di masa depan. c. Berfikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir kritis dan berfikir kreatifnya dalam mengumpulkan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah. d. Kurikulum yang dikembangkan menurut standar: isi pembelajaran dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dunia kerja. e. Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, mitra sekolah dan masyarakat kawasan ia dididik. Ragam individu dan budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan kuat terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada 4 hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual yaitu individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah dan besarnya tatanan komunitas kelas. f. Penilaian autentik: penggunaan banyak sekali taktik penilaian (misalnya penilaian proyek, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi, dan sebagainya) yang akan merefleksikan hasil berguru sesungguhnya. Sementara itu Center for Occupational Research and Development (CORD) memberikan 5(lima)strategi bagi pendidikan dalam rangka penerapan Belajar dan Mengajar Kontekstual, yang disingkat dengan REAC (dalam Rustana, 2001) sebagai berikut : a. Relating: Belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupannya. b. Experiencing: Belajar ditekankan kepada penggalian (eksplorasi), inovasi (discovery), dan penciptaan (invention). c. Applying: Belajar bilamana pengetahuan dipresentasikan di dalam konteks pemanfaatan. d. Cooperating: Belajar melalui konteks komunikasi interpersonal, dan pemakaian bersama, dan sebagainya. e. Transferring: Belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi atau konteks baru. Dalam rangka pelaksanaan Belajar dan Mengajar Kontekstual diharapkan banyak sekali strategi, antara lain : a. Menekankan pada pemecahan masalah/problem. b. Mengakui kebutuhan berguru dan mengajar untuk terjadi di banyak sekali konteks contohnya rumah, masyarakat dan lokasi sekolah. c. Mengajar siswa untuk mengkontrol dan mengarahkan pembelajarannya, sehingga mereka menjadi pembelajar yang berdikari (selfregulated learners). d. Bermuara pada mengajar siswa yang mempunyai keragaman konteks hidup. e. Mendorong siswa untuk berguru dari sesamanya dan bersama‐sama atau memakai grup berguru interdependen (interdependent learning group). f. Menggunakan penilaian autentik (authentic assessment). Usaha yang tak kenal lelah dan terus menerus dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, dan salah satu terobosan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional yaitu pengembangan Belajar dan Mengajar Kontekstual yang sanggup menunjang pembelajaran matematika yang efektif. [Strategi Pembelajaran Matematika Sekolah Menengan Atas oleh:Drs. Setiawan, M.Pd] Contoh Proses Belajar Mengajar yang dianjurkan pada Kurikulum 2013, mungkin video berikut sanggup membantu kita dalam penerapan kurikulum 2013; Sumber http://www.defantri.com Share this post Berlangganan update artikel terbaru via email:
0 Response to "Pembelajaran Matematika Yang Efektif"
Posting Komentar