iklan

Materi Bahtsul Masail Munas & Konbes Nahdlatul Ulama 27 Februari – 1 Maret 2019 Di Kota Banjar, Jawa Barat





MATERI BAHTSUL MASAIL
MUNAS & KONBES
NAHDLATUL ULAMA

27 FEBRUARI – 1 MARET 2019
Di Kota Banjar, Jawa Barat


PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
TAHUN 2019 
 
DAFTAR ISI


Kata Pengantar
Komisi Bahtsul Masail Waqiiyyah
A.   Bahaya Sampah Plastik
B.    Perusahaan AMDK yang Menyebabkan Sumur Warga Kering
C.   Masalah Niaga Perkapalan
D.   Bisnis Money Game
E.    Legalitas Syariat Bagi Peran Pemerintah

Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah
A.   Negara, Kewarganegaraan, dan Hukum Negara
B.   Konsep Islam Nusantara

Komisi Bahtsul Masail Qanuniyyah
A.   RUU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
B.   RUU Penghapusan Kekerasan Seksual     
        
MATERI BAHTSUL MA SAIL
KOMISI QONUNIYAH MUNAS 2019 DI BANJAR

1.    TELAAH RUU ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
Deskripsi Masalah:     
Sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan kita bernegara yaitu untuk “memajukan kesejahteraan umum”. Sementara itu, untuk menjalankan kewenangannya dalam mengatur perekonomian masyarakat, maka negara diberikan mandat oleh konstitusi untuk menjalankan asas “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Negara diberikan kewenangan untuk mengatur perekonomian supaya tidak terjadi monopoli dalam perdagangan dan penguasaan kekayaan oleh segelintir orang.
Atas dasar konstitusi tersebut, dan untuk menumbuhkan perekonomian yang sehat, maka pada tahun 1999 (pasca krisis ekonomi dan moneter), Pemerintah dan dewan perwakilan rakyat menerbitkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang  Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat. Dalam UU ini dikatakan bahwa Tujuan pembentukan undang-undang ini yaitu untuk: menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim perjuangan yang aman melalui pengaturan persaingan perjuangan yang sehat, serta mencegah praktek monopoli dan atau persaingan perjuangan tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
Untuk mengawasi pelaksanaan UU tersebut, dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang diberikan wewenang untuk mendapatkan laporan, melaksanakan penelitian, penyelidikan dan atau pemeriksaan, memanggil pelaku perjuangan yang diduga telah melaksanakan pelanggaran, memutuskan dan memutuskan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku perjuangan lain atau masyarakat, serta memberikakn hukuman manajemen kepada pelaku perjuangan yang melanggar ketentuan UU.
Namun demikian, praktik-praktik perjuangan yang tidak sehat masih saja merajalela, ibarat melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran (monopoli), menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal (monopsoni), penguasaan pasar (baik sendiri maupun bersama pelaku perjuangan lain), serta persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau memilih pemenang tender. Banyak faktor yang melatar belakanginya, mulai dari kolusi antara pengusaha dengan pejabat, masih maraknya praktik suap, dan budi amis antar pengusaha. Hal inilah yang mendasari pemerintah dan dewan perwakilan rakyat pada tahun 2018 berinisiatif untuk mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) untuk mengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 perihal Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut. Karena UU ini dirasakan masih belum sanggup menampung dinamika dan kebutuhan aturan masyarakat.
Kerangka Konseptual:
Terdapat tujuh substansi gres dalam RUU tersebut sebagai perubahan UU No. 5 Tahun 1999 perihal Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pertama, memperluas cakupan definisi pelaku usaha. Artinya, ekspansi tersebut sanggup menjangkau pelaku perjuangan yang berdomisili di luar wilayah Indonesia. Seperti diketahui, dengan perkembangan abad teknologi, pelaku perjuangan sanggup memakai sistem e-commerce yang tak dibatasi ruang dan waktu. UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebelumnya belum menjangkau pelaku perjuangan yang berada di luar wilayah Indonesia. Dengan RUU terbaru ini, nantinya sanggup pula menjangkau sikap anti persaingan dalam platform bisnis gres berbasis digital seperti e-commerce, e-procurement, e-payment, dan bisnis berbasis online lain.
Kedua, mengubah notifikasi merger dari kewajiban untuk  memberitahukan setelah merger menjadi kewajiban pemberitahuan sebelum merger alias pre merger notification.
Ketiga, mengubah besaran sanksi. Selama ini hukuman yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1999 hanya memakai nilai nominal besaran tertinggi dalam rupiah. Tetapi RUU ini sanksinya sekurang-kurangnya hanya 5 persen, sedangkan setinggi-tingginya 30 persen dari nilai penjualan dalam kurun waktu pelanggaran terjadi.
Keempat, terkait dengan mekanisme pengaturan pengampunan dan/atau pengurangan eksekusi atau lazim disebut leniency program. Aturan tersebut sebagai taktik efektif dalam membongkar kartel dan persaingan perjuangan yang tidak sehat dalam kurun waktu jangka panjang.
Kelima, membuat aturan pasal yang mengatur penyalahgunaan posisi tawar yang secara umum dikuasai terhadap penjanjian kemitraan. Pengaturan itu sebagai instrumen aturan terhadap proteksi pelaksanaan kemitraan yang melibatkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). 
Keenam, peningkatan pelaksanaan fungsi penegakan aturan yang dilakukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam RUU tersebut mengatur ketentuan yang memungkinkan KPPU meminta dukungan pihak kepolisian. Tujuannya, dalam rangka menghadirkan pelaku perjuangan yang dinilai tidak kooperatif dalam persidangan di KPPU. Efektivitas putusan KPPU dalam RUU tersebut mengatur kewenangan menjatuhkan hukuman administratif. Yakni berupa rekomendasi pencabutan izin perjuangan terhadap pelaku perjuangan yang dinilai terbukti melanggar larangan praktik monopoli dan persaingan perjuangan tidak sehat. Sedangkan terhadap putusan KPPU berupa denda yang telah berkekuatan aturan tetap, namun tak diindahkan para pihak menjadi piutang negara. Dalam RUU tersebut mengatur pula ketentuan forum piutang negara berkewajiban menuntaskan pelaksanaan putusan KPPU tersebut.
Ketujuh, dalam rangka aneka macam kiprah dan kewenangan KPPU ke depannya, maka diharapkan penguatan terhadap forum KPPU. Selain itu, mesti menempatkan KPPU dalam sistem ketatanegaraan yang sejajar dengan forum negara lain. Penguatan KPPU mesti didukung pula dengan kesekretariatan jenderal (Kesekjenan) yang terintegrasi dengan tata kelola pemerintahan, sehingga bisa menawarkan dukungan pelaksanaan kiprah Anggota KPPU baik secara substansi maupun dalam pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBN.
Masalah Pokok/Krusail
Dalam revisi UU No. 5 Tahun 1999  ini terdapat beberapa masalah pokok pembahasan yang menjadi perdebatan, antara lain:
1.      Pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Kelompok pelaku perjuangan menganggap bahwa yang sangat krusial dan menjadi kunci dari hampir seluruh pasal-pasal dalam RUU ini yaitu ketentuan yang bersifat rule of reason dan sangat sedikit yang bersifat perse ellegal yaitu dipersyaratkan perihal terjadinya praktek monopoli atau persaingan perjuangan tidak sehat. Bahwa pelaku perjuangan dinyatakan bersalah melanggar pasal-pasal dalam UU ini apabila pelaku perjuangan terbukti melaksanakan Praktek Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat. Mereka melihat pasal ini akan menjadikan ketidakpastian aturan lantaran menjadikan multi tafsir.
Menurut definisi tersebut pengertian Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjadi kabur dan tidak ada tolok ukur yang tegas, lantaran ujung-ujungnya yaitu perbuatan tidak jujur dan melawan hukum, sehingga pengertian tersebut telah diartikan sebagai pasal karet, atau dengan kata lain tidak terdapat standar pembuktian yang terang atas terjadinya suatu pelanggaran. Baik KPPU maupun pelaku perjuangan tidak mempunyai batasan baku perihal tindakan apa yang disebut pelanggaran dan apa yang tidak melanggar, yang kuncinya harus dibuktikan telah terjadi Praktek Monopoli atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
2.      Kelembagaan dan kewenangan KPPU
Dalam RUU ini, berkenaan dengan aturan kelembagaan KPPU, dinilai oleh aneka macam pihak bersifat “super body”. Beberapa kalangan mempersoalkan aturan tersebut dimana KPPU yaitu sebagai :
a.       Pelapor
b.      Pemeriksa (investigator)
c.       Penuntut (jaksa)
d.      Pemutus (hakim)
3.      Persoalan denda dan hukuman
Denda eksekusi dalam RUU ini akan ditingkatkan dari Rp 25 Milyar menjadi 25% dari omset. Ini pecahan yang paling dipersoalkan oleh pelaku usaha. Mereka beropini bahwa denda atau penalti seharusnya dihitung berdasarkan illegal profit yaitu keuntungan yang diperoleh oleh pelaku perjuangan dari sikap tidak sehat atau sikap anti persaingan atau praktek monopoli (illegal business practice) ibarat kartel, penyalahgunaan posisi dominan, perjanjian tertutup, integrasi vertikal yang merugikan dan atau praktek bisnis tidak sehat lainnya. Konsep denda dalam RUU ini dianggap akan sangat fatal terutama terhadap sektor perbankan dan sektor lain yang perputaran uangnya sangat besar. Denda sebesar 10% s/d 30% omzet tahunan bank atau asuransi contohnya akan pribadi mempailitkan bank atau asuransi tersebut dengan dampak sistemik terhadap ekonomi yang luar biasa.
4.      Definisi/batasan terlapor
Dalam ketentuan umum terdapat pendefinisian perihal Terlapor, bahwa Terlapor yaitu Pelaku Usaha dan atau Pihak Lain yang diduga melaksanakan pelanggaran. Dalam UU yang lama, UU No 5 Tahun 1999 definisi Terlapor hanyalah pelaku usaha. Dalam draft RUU bahwa Terlapor yaitu Pelaku Usaha dan Pihak Lain. Yang menjadi pertanyaan yaitu siapa yang dimaksud Pihak Lain? Dalam arti selain pelaku usaha, siapa saja bisa menjadi Terlapor yaitu sebagai Pihak Lain. Sedangkan obyek dari aturan persaingan perjuangan terbatas hanya pada pelaku usaha. Unsur pihak lain ini menjadi pasal karet yang akan menyasar siapa saja, bisa pejabat pemerintah secara individu, bisa pejabat negara, anggota dewan perwakilan rakyat yang dianggap memfasilitasi persekongkolan monopoli, bisa individu-individu direksi perusahaan, bisa individu-individu asosiasi atau siapa saja yang tersasar oleh implementasi RUU ini.
5.      Keharusan Membayar Denda / Penalti Di Muka, Hukuman Rp 2 Trilyun Dan Pidana
Terdapat ajuan bahwa terlapor jikalau akan melaksanakan upaya aturan keberatan atau banding harus membayar dimuka denda sebesar 10% (seperti pengadilan pajak). Bagi pelaku usaha, hal ini dianggap akan menyulitkan saat terlapor dinyatakan tidak bersalah. Bagaimana menarik kembali uang yang sudah terlanjur masuk ke kas negara? Selain itu, besaran 10% dari denda yang berdasar omset perjuangan bisa sangat mengganggu cash flow perusahaan (bisa gagal operasi jikalau perusahaan itu perbankan). Mereka menganggap, hal ini melanggar prinsip yang fundamental dalam aturan yaitu azas praduga tidak bersalah, sebelum sebuah keputusan aturan mempunyai kekuatan aturan tetap. Seharusnya denda dibayar sesudah putusan mempunyai kekuatan aturan tetap. Dalam RUU juga terdapat ancaman eksekusi pidana denda hingga Rp. 2 triliun atau pidana kurungan selama-lamanya 2 tahun. Hal ini membuat syok pelaku perjuangan sehingga demotivated dalam berinvestasi.
6.      Kode Etik dan Dewan Pengawas
Dunia perjuangan menekankan pentingnya Kode Etik dan Dewan Pengawas KPPU yang tidak bersifat Ad Hoc untuk penanganan abuse of power atau moral hazard atau bentuk kesewenangan terhadap terlapor yang diperlakukan tidak wajar. Adanya argumen yang menyatakan bahwa terlapor sanggup mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri kurang tepat lantaran hal itu merupakan mekanisme peradilan yang biasa saja; yang dipersoalkan yaitu terjadinya abuse of power atau moral hazard atau bentuk kesewenangan lain yang bukan merupakan pokok perkara. Ini dipersoalkan kalangan pelaku perjuangan yang beropini bahwa ketentuan mengenai isyarat etik dan Dewan Pengawas harus dirumuskan terang dan tegas di dalam RUU dan bukan diserahkan kepada KPPU untuk mengaturnya.
7.      Penafsiran & Pengaturan Lebih Lanjut Pasal-Pasal RUU
Dalam draft rancangan amandemen UU No 5/1999 ini terdapat banyak sekali pasal yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini ditentukan oleh KPPU. Aturan lebih lanjut perihal UU umumnya berbentuk Peraturan Pemerintah. Menyerahkan kewenangan tersebut kepada KPPU akan menjadikan dilema conflict of interest, dan menawarkan kewenangan berlebih hak monopoli tafsir atas UU kepada KPPU. Hal ini sanggup menimbulan ketidakadilan dalam implementasinya.

Rekomendasi dan Landasan Keagamaan
Rekomendasi:
1.      Menyetujui rencana perbaikan perangkat aturan yang mengatur persaingan usaha, mengingat pada waktu penerbitan UU No. 5/1999 di waktu sebelumnya diperoleh kesan penyusunan yang tergesa-gesa.
2.      Menyetujui revisi UU untuk:
a.       Memperkuat kelembagaan KPPU supaya lebih optimal dalam melaksanakan kiprah pokok dan fungsinya.
b.      Memperluas kewenangan KPPU untuk bertindak sebagai penyelidik (termasuk penggeledah atau dalam kondisi tertentu melaksanakan penyadapan), penyidik, penuntut, dan sekaligus pemutus kasus dalam kewenangan KPPU.
3.      Untuk keperluan pembuktian semua instansi pemerintah maupun swasta diwajibkan menawarkan kanal data dan informasi yang diharapkan oleh KPPU dalam penanganan masalah persaingan usaha.
4.      Memperkuat dibentuknya dewan pengawas atau dewan etik yang independen dengan melibatkan komponen masyarakat termasuk para hebat agama.
5.      Perlu perbaikan mengenai substansi, struktur pasal-pasal, dan redaksi muatan-muatan gres yang diharapkan supaya kepentingan umum sanggup dikedepankan guna mencapai efisiensi dan kemakmuran rakyat.
6.      Mendukung ditetapkannya besaran denda dan eksekusi bagi pelaku perjuangan yang melanggar aturan sesuai RUU ini yaitu maksimal 30% dari omzet selama melaksanakan pelanggaran dan dalam kondisi tertentu merekomendasikan dicabutnya izin usaha.
7.      Apabila diharapkan pengaturan turunan dari Undang-undang yang berlaku maka diatur lewat peraturan KPPU dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8.      Terkait dengan kemungkinan adanya agresi korporasi berupa merger dan akuisisi yang dilakukan perusahaan melalui Penanaman Modal Asing (PMA), RUU harus menawarkan proteksi bagi pelaku perjuangan dalam negeri dari praktek monopoli atau persaingan perjuangan tidak sehat yang diakibatkan oleh agresi korporasi pelaku perjuangan modal gila tersebut.
9.      Mendorong dewan perwakilan rakyat bersama Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU larangan praktek Monopoli dan persaingan perjuangan tidak sehat supaya iklim persaingan perjuangan yang sehat lebih terjamin.
Landasan Keagamaan:
1.    يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا ٢٩
2.    السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي اْلأَرْضِ يَأْوِي إلَيْهِ كُلُّ مَظْلُوْمٍ
3.    تَصَرُّفُ اِلامَامِ عَلَى الرَّعِيّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَة
4.    من احتكر حكرة يريد أن يغلى بها على المسلمين فهو خاطئ وقد برئت منه ذمة الله ورسوله" رواه أحمد والحاكم عن أبى هريرة في روايات في النهى عن الاحتكار.
5.    قال عمر: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: من احتكر على المسلمين طعامهم ضربه الله بالإفلاس أو بجذام
6.    الأصل في النهي حرام إلا ما دل الدليل على خلافه
7.    لا شك أن أحاديث الباب تنهض بمجموعها للإستدلال على عدم جواز الإحتكار
8.    غلا السعبر على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالوا يارسول الله لوسعرت؟ فقال: إن الله هو القابض الباسط الرزاق المسعر، وإني لأرجو أن ألقى الله عز وجل ولايطلبني احد بمظلمة ظلمتها اياه في دم ولامال رواه الخمسة الا النسائي وصححه الترمذي 
9.    التسعير سبب الغلاء، لأن الجالبين إذا بلغهم ذلك لم يقدموا بسلعهم بلداً يكرهون على بيعها فيه بغير ما يريدون، ومن عنده البضاعة يمتنع من بيعها ويكتمها، ويطلبها أهل الحاجة إليها فلا يجدونها إلا قليلاً، فيرفعون في ثمنها ليصلوا إليها، فتغلو الأسعار ويحصل الإضرار بالجانبين: جانب المُلاك، في منعهم من بيع أملاكهم، وجانب المشتري في منعه من الوصول إلى غرضه، فيكون حراماً



RUMUSAN KOMISI QANÛNIYAH
RANCANGAN UU PENCEGAHAN KEKERASAN SEKSUAL
MUNAS DAN KONBES NU 2019
LBM NU PWNU JAWA TIMUR
1.      Mengingat:
a.       Telah banyak terjadi tindak pidana kekerasan secual sehingga dirasa perlu untuk memprioritasikan sebuah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019 yang disusun sebagai upaya pemenuhan rasa aman dan bebas dari segala bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran dan kejahatan HAM berbasis secual, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indinesia 1945.
b.      Berdasar data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 13.602 masalah kekerasan terhadap perempuan pada 2016. Dari segala jenis kekerasan, ada sebanyak 3.495 masalah kekerasan secual di rumah tangga dan 2.290 masalah kekerasan secual di komunitas atau daerah kerja.
c.       Kekerasan secual menjadikan dampak luar biasa kepada korban, mencakup penderitaan psikis, kesehatan, ekonomi, dan sosial hingga politik. Dampak kekerasan secual sangat mempengaruhi hidup korban. Dampak semakin menguat saat korban yaitu pecahan dari masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial dan politik, ataupun mereka yang mempunyai kebutuhan khusus, ibarat orang dengan disabilitas dan anak.
d.      RUU-Penghapusan kekerasan secual sendiri disususun berdasarkan data-data pemantauan komnas perempuan, pengaduan kepada komnas perempuan, data-data Lembaga kawan Komnas perempuan dan bersumber dari media yang telah diklarifikasi. Dari kajian Komnas Perempuan semenjak sepuluh tahun terahir ditemukan 15 Jenis kekerasan terhadap perempuan yaitu: [1] perkosaan, [2] intimidasi, [3] pelecehan secual, [4] eksploitasi secual, [5] perdagangan Perempuan untuk tujuan secual, [6] prostitusi paksa, [7] perbudakan secual, [8] pemaksaan perkawinan, [9] pemanksaan kehamilan, [10] pemaksaan aborsi, [11] kontarsepsi/sterilpaksa, [12] peyiksaan secual, [13] penghukuman tidak manusiawi dan bernuasa secual, [14] praktek atau tradisi bernuansa secual yang membahayakan dan menndiskriminasi Perempuan dan [15]  kontrol secual. Namun dari 15 jenis kekerasan secual itu, 9 (sembilan) jenis yang sanggup dikategorikan sebagai tidak pidana yaitu (1) Pelecehan Seksual, (2) Eksploitasi Seksual, (3) Pemaksaan Kontrasepsi, (4) Pemaksaan Aborsi, (5) Perkosaan, (6) Pemaksaan Perkawinan, (7) Pemaksaan Pelacuran, (8) Perbudakan Seksual, Dan (9) Penyiksaan Seksual.
e.       Pengaturan 9 (sembilan) jenis kekerasan secual bekerjsama merupakan solusi terhadap aturan positif yang belum bisa menanggulangi kerugian korban dan melindungi hak-hak korban, menangani masalah secara komprehensif, dan mencegah keberulangan terjadinya kejahatan secual. Padahal ada dampak yang mengekor dari seorang korban pelecehan secual. Selain menanggung aib dan trauma, perempuan kerap dikucilkan lantaran dianggap sebagai penggoda. Di ranah hukum, pembuktian pelecehan secual juga bukan hal yang mudah. Umumnya, polisi meminta bukti dan saksi yang sering kali tidak ada.
2.      Memperhatikan:
a.       Kebutuhan mengetahui jenis-jenis kekerasan berdasarkan literatur Fiqih
b.      Kebutuhan mengetahui pandangan fiqih terhadap jenis-jenis kekerasan secual itu
c.       Kebutuhan mengetahui siapa yang disebut pelaku dan korban kekerasan secual serta hierarki eksekusi bagi pelaku kekerasan secual
d.      Mengetahui pandangan fiqih terhadap hak pemulihan korban kekerasan secual, antara lain 1) pembebasan dari hukuman, 2) pemulihan fisik, psikis, 3) pemulihan nama baik (rehabilitasi)  dan 4) pemulihan segi ekonomi (restitusi-kompensasi)
e.       Kebutuhan mengetahui pandangan Fiqih  tentang sikap masyarakat yang menstigma (pandangan negatif, membulliy, dan tidak melaksanakan penerimaan) terhadap pelaku dan korban kekerasan secual
f.       Mengetahui aturan menyebarluaskan, mengumumkan ke publik pelaku ataupun korban Kekerasan secual, khususnya perzinahan

3.      Menimbang:
1.      Definisi kekerasan dalam syariat
a.      Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Abû Tsa’labah:
عن أبي ثعلبة الخشني جرثوم بن ناشر رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إن الله فرض فرائض فلا تضيعوها، وحد حدوداً فلا تعتدوها، وحرم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها) حديث حسن رواه الدارقطني وغيره(
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memutuskan faraidl (kewajiban-kewajiban), maka jangan sia-siakan! Allah juga telah memutuskan batasan-batasan, maka jangan melampauinya! Allah telah haramkan suatu perkara, maka jangan melanggarnya! Dan Allah telah mendiamkan kasus lainnya sebagai rahmat bagi kalian dan bukan lantaran lupa, maka jangan mengorek-ngoreknya!” HR Al-Dâraquthny dan lainnya.

Arti definisi kekerasan yaitu melampaui batas batas yang telah ditetapkan oleh syara’

b.      Rasûlullah SAW bersabda:
وعن ابن عمر رضي الله عنهما قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته والأمام راع ومسئول عن رعيته والرجل راع في أهله ومسئول عن رعيته والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها والخادم راع في مال سيده ومسئول عن رعيته فكلكم راع ومسئول عن رعيته. متفق عليه
“Dari Ibn ‘Umar ra. Dia berkata: saya mendengar Rasûlullâh saw. Bersabda: setiap diri kalian yaitu pemimpin dan akan diminta pertanggunganjawaban perihal kepemimpinannya, seoarang imam yaitu pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyatnya, seorang pria yaitu pemimpin dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya, seorang perempuan yaitu penjaga dalam rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas penjagaannya, dan seorang pembantu yaitu penjaga terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepenjagaannya itu. Setiap kalian yaitu pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu.”( HR. Bukhari-Muslim)

Berdasarkan hadits ini maka yang dimaksud dengan kekerasan yaitu segala kasus yang keluar dari hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang telah ditetapkan oleh syara’ mengenai pembagian-pembagiannya.

c.       Rasulullah SAW bersabda:
وعن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا أولادكم بالصلاة وهم أبناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم أبناء عشر وفرقوا بينهم في المضاجع حديث حسن رواه أبو داود بإسناد حسن
Dari ‘Amr ibn syua’ib dari bapaknya dari kakekknya, dia bersabda: Bersabda Rasûlullâh saw. Perintahkan belum dewasa kalian untuk mengerjakan shalât ketika  sudah berumur tujuh tahun dan pukullah mereka apabila meninggalkan shalât saat sudah berumur sepuluh tahun. Dan pisahkanlah daerah tidur mereka (yang pria dan perempuan).(HR. Abû Dâwud dengan sanad yang baik)

Pemukulan yang dilakukan oleh orang bau tanah terhadap anak untuk kasus yang baik tidak disebut sebagai kekerasan

d.      Rasulullah SAW bersabda
عن عمرو ابن الاحوص انه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ... الى ان قال : فإن فعلن فاهجروهن في المضاجع واضربوهن ضربا غير مبرح فإن اطعنكم فلا تجعلوا عليهن سبيلا ..... رواه الترمذي وقال حديث حسن صحيح .
Dari ‘Amr ibn al- Ahwash, ia mendengar Rasûlullâh saw., bersabda…: Apabila ia (istri) tersebut nusyûs maka tinggalkanlah di daerah tidur dan pukullah dengan pukulan yang tidak melukai, apabila ia sudah taat kepada kalian, maka janganlah kalian mencari jalan untuk aniaya kepadanya. (HR.al-Turmudzî)

Pemukulan suami terhadap istri yang tidak melukai tidak disebut sebagai kekerasan.

Kesimpulan:
Berdasarkan dasar keterangan di atas, maka yang dimaksud dengan kekerasan dalam syariat yaitu suatu unsur tindakan yang bersifat melukai baik secara fisik, psikis maupun mental, yang dilakukan oleh pihak / pelaku (dhâlim) yang tidak mempunyai hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap korban (al-madhlûm) sehingga berujung pada perbuatan dhalim / aniaya dan melanggar batas ketentuan syariat.

2.      Jenis-jenis kekerasan secual berdasarkan Syariat.
a.      Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kau mendekati zina; sesungguhnya zina itu yaitu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra: 32)

Berdasarkan ayat ini, maka termasuk jenis kekerasan secual yaitu perbuatan yang sanggup mengantar pada perbuatan zina, atau perbuatan fahisyah (tabu)

b.      Allah SWT berfirman:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang pria yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu yaitu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS An-Nur ayat 30)

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan katakanlah kepada perempuan beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki mereka, atau putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan –pelayan pria yang tidak mempunyai impian (terhadap wanita) atau belum dewasa yang belum mengerti perihal aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya supaya diketahui tambahan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kau sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kau beruntung.” (QS An-Nur ayat 31)

Pengertian dari ayat di atas oleh al-Thabary dalam Kitab Tafsir Jâmi’u al-Bayân li Ayi al-Qurân: 353 ditafsirkan sebagai:
يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: (قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ) بالله وبك يا محمد (يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ) يقول: يكفوا من نظرهم إلى ما يشتهون النظر إليه، مما قد نهاهم الله عن النظر إليه ( وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ) أن يراها من لا يحلّ له رؤيتها، بلبس ما يسترها عن أبصارهم (ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ) يقول: فإن غضها من النظر عما لا يحلّ النظر إليه، وحفظ الفرج عن أن يظهر لأبصار الناظرين؛ أطهر لهم عند الله وأفضل ( إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ ) يقول: إن الله ذو خبرة بما تصنعون أيها الناس فيما أمركم به من غض أبصاركم عما أمركم بالغضّ عنه، وحفظ فروجكم عن إظهارها لمن نهاكم عن إظهارها له

Mafhum mukhalafah dari penafsiran ini adalah, bahwa tindakan yang termasuk pelecehan secual adalah: pandangan pribadi baik terhadap lawan jenis atau sejenisnya tanpa mediator media dengan niat melecehkan

c.       Allah SWT dalam QS. Al-Mukminun: 5-7
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَىَٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ فمن ابتغي ورآء ذلك فأولئك هم العادون
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari dibalik itu, maka mereka yaitu orang-orang yang melampaui batas.

Di dalam Tafsir Al-Qurthuby, halaman 342 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ابتغي adalah:
(ابتغى) أي من طلب سوى الأزواج والولائد المملوكة له
Adapun yang dimaksud dengan العادون adalah:
 فأولئك هم العادون أي المجاوزون الحد ؛ من عدا أي جاوز الحد وجازه
Berdasarkan keterangan di atas, maka yang termasuk kekerasan secual, adalah:
segala tindakan yang melampaui batas syariat yang dilakukan terhadap: 1) orang yang menjadi hak dan tanggung dari pelaku, dan 2) perzinahan dengan orang lain yang disertai “ancaman”, dan 3) persetubuhan yang dilakukan tidak pada “Miss V”-nya dengan dasar paksaan

Kesimpulan:
Termasuk jenis-jenis kekerasan secual dalam pandangan syariat, yaitu meliputi:
a.       Segala perbuatan yang sanggup mengantar pada perbuatan zina, atau perbuatan fâhisyah (tabu)
b.      Pandangan pribadi baik terhadap lawan jenis atau sejenisnya tanpa mediator media dengan niat melecehkan
c.       Segala tindakan yang melampaui batas syariat yang dilakukan terhadap:
1)      orang yang menjadi hak dan tanggung dari pelaku
2)      perzinahan dengan orang lain yang disertai “ancaman”, dan
3)      persetubuhan yang dilakukan tidak dilakukan pada “Miss V” yang disertai dengan adanya unsur paksaan
d.      Adakalanya kejahatan merupakan hasil kombinasi antara tindakan pelecehan seksual yang disertai dengan pembunuhan, atau penghilangan fungsi anggota tubuh.

3.      Pelaku dan korban kekerasan secual serta hierarki eksekusi baginya
a.      Pelaku dan korban kekerasan secual
1)      Allah SWT berfirman
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan pria yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kau (menjalankan) agama Allah jikalau kau beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah (pelaksanaan) eksekusi mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nur: 2)

Ayat ini menerima penafsiran dari Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya, halaman: 350 sebagai berikut:
يعني هذه الآية الكريمة فيها حكم الزاني في الحد وللعلماء فيه تفصيل، فإن الزاني لا يخلو إما أن يكون بكراً وهو الذي لم يتزوج، أو محصنًا وهو الذي وطئ في نكاح صحيح وهو حر بالغ عاقل، فأما إذا كان بكراً لم يتزوج فإن حده مائة جلدة كما في الآية، ويزاد على ذلك إما أن يغرب عاماً عن بلده عند جمهور العلماء، خلافاً لأبي حنيفة رحمه اللّه فإن عنده أن التغريب إلى رأي الإمام إن شاء غرّب وإن شاء لم يغرب، وحجة الجمهور في ذلك ما ثبت في الصحيحين في الأعرابيين اللذين أتيا رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فقال أحدهما: يا رسول اللّه إن ابن هذا كان عسيفاً - يعني أجيراً - على هذا، فزنى بامرأته، فافتديت ابني منه بمائة شاة ووليدة، فسألت أهل العلم فأخبروني أن على ابني جلد مائة وتغريب عام وأن على امرأة هذا الرجم، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: (والذي نفسي بيده لأقضين بينكما بكتاب اللّه تعالى: الوليدة والغنم ردٌّ عليك، وعلى ابنك مائة جلدة وتغريب عام، واغد يا أنيس - لرجل من أسلم - إلى امرأة هذا، فإن اعترفت فارجمها) فغدا عليها فاعترفت فرجمها ""أخرجاه في الصحيحين عن أبي هريرة 
Berdasarkan keterangan di atas, maka pelaku kekerasan secual dikategori sebagai pelaku zina dengan catatan, apabila tindakan tersebut dilakukan oleh pelaku, yang memenuhi syarat:
a)      Merdeka
b)      Baligh
c)      Berakal
d)      Terjadi masalah perzinaan dan
e)      Adanya saksi dan bukti

Adapun untuk korban tidak berlaku syarat-syarat di atas melainkan ia berkewajiban memberikan saksi sesuai dengan kategori zina (apabila ada kekerasan)

2)      Hadits Rasulillah SAW
الحديث الأول عن عبد الله بن عباس قال ما رأيت شيئاً أشبه باللمم مما قال أبو هريرة إن النبي {صلى الله عليه وسلم} قال إن الله كتب على ابن آدم حظه من الزنا أدرك ذلك لا محالة فزنا العينين النظر وزنا اللسان النطق والنفس تمنى وتشتهي والفرج يصدق ذلك أو يكذبه
Artinya, “Hadits pertama dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata bahwa saya tidak melihat sesuatu yang lebih ibarat dengan ‘kesalahan kecil’ daripada hadits riwayat Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina yang akan dialaminya, bukan mustahil. Zina kedua mata yaitu melihat. Zina lisan yaitu berkata. Zina hati yaitu berharap dan berkeinginan. Sedangkan alat kelamin itu membuktikannya atau mendustakannya,’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud)

Hadits ini menjelaskan bahwa ada kalanya zina yang dilakukan bukan termasuk dosa besar tapi memenuhi unsur fâhisyah. Zina semacam ini disebut zina majazi.

Imam Al-Suyûthy menjelaskan:
إن الله سبحانه تعالى كتب على بن آدم حظه من الزنى الحديث معناه أن بن آدم قدر عليه نصيب من الزنى فمنهم من يكون زناه حقيقيا بإدخال الفرج في الفرج الحرام ومنهم من يكون زناه مجازا) بالنظر الحرام ونحوه من المذكورات فكلها أنواع من الزنى المجازي والفرج يصدق ذلك أو يكذبه أي إما أن يحقق الزنى بالفرج أو لا يحققه بأن لا يولج وإن قارب ذلك وجعل بن عباس هذه الأمور وهي الصغائر تفسيرا للمم فإن في قوله تعالى الذين يجتنبون كبائر الإثم والفواحش إلا اللمم النجم عمر فتغفر باجتناب الكبائر

Artinya, “Maksud hadits ‘Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina’ yaitu bahwa setiap anak Adam ditakdirkan melaksanakan sebagian dari zina. Sebagian dari mereka ada yang berzina hakiki dengan memasukkan alat kelamin ke dalam kelamin yang diharamkan. Sebagian lainnya berzina secara majazi, yaitu memandang yang diharamkan atau semisalnya yang tersebut dalam hadits. Semua yang tersebut itu merupakan zina majazi. Sedangkan alat kelamin menunjukan (membenarkannya) atau mendustakannya, bisa jadi dengan merealisasikan zina dengan alat kelamin atau tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan alat kelaminnya meski hanya mendekati. Ibnu Abbas memahami tindakan itu semua sebagai dosa kecil sebagai tafsiran atas kata ‘al-lamam’ atau kesalahan kecil. Allah berfirman, ‘Orang yang menjauhi dosa besar dan perbuatan keji selain kesalahan kecil,’ pada surat An-Najm. Kesalahan kecil itu sanggup diampuni dengan menjauhi dosa besar,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Ad-Dibaj, [Saudi, Daru Ibni Affan: 1996 M/1416 H], juz VI, halaman 20

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pelaku kekerasan secual yang bernuansa pelecehan masuk dalam kategori pezina majazy.

3)      Hadits Rasulullah SAW yang disampaikan Syeikh Abd al-Rahmân al-Mubarakfury dalam Kitab Tuhfatu al-Ahwadzy: 14
حدثنا علي بن حجر حدثنا معمر بن سليمان الرقي عن الحجاج بن أرطاة عن عبد الجبار بن وائل بن حجر عن أبيه قال استكرهت امرأة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فدرأ عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم الحد وأقامه على الذي أصابها ولم يذكر أنه جعل لها مهرا قال أبو عيسى هذا حديث غريب وليس إسناده بمتصل وقد روي هذا الحديث من غير هذا الوجه قال: سمعت محمدا يقول عبد الجبار بن وائل بن حجر لم يسمع من أبيه ولا أدركه يقال إنه ولد بعد موت أبيه بأشهر والعمل على هذا عند أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم أن ليس على المستكرهة حد
Berdasarkan hadits ini, sanggup disimpulkan bahwa tindakan kekerasan secual harus disertai dengan adanya unsur pemaksaan. Dengan demikian, maka pelaku masuk kategori mukrih/mukrihah, sementara korban yaitu mustakrah atau mukrah. Karena setiap kekerasan yaitu disertai dengan perbuatan aniaya (dhulm), maka pelaku juga bisa disebut dhâlim/dhalimah, sementara korban disebut sebagai madhlûm atau madhlûmah

Kesimpulan hukum:
Pelaku kekerasan secual dalam pandangan fikih, disebut sebagai
1) mukrih/mukrihah dan
2) al zâni/zâniyah (haqiqy dan majazy).
3) al-Jâny / Al-Janiyah

Akan tetapi, khusus untuk kategori terakhir ada syarat yang berlaku yaitu:
1)      Apabila dilakukan oleh orang yang: merdeka, âqil dan baligh.
2)      Apabila disertai tindakan pemaksaan atau ancaman penganiayaan

Sementara itu korban kekerasan secual disebut sebagai:
1)      Mukrah / mukrahah atau mustakrah/mustakrahah
2)      Madhlum / madhlumah

b.      Hierarki eksekusi bagi pelaku tindak kekerasan secual
1.      Klasifikasi aturan bagi pelaku kekerasan secual
Ada 4 pembagian terstruktur mengenai jenis kekerasan secual berdasarkan syariat, antara lain:
a)      Perbuatan yang sanggup mengantar pada perbuatan zina, atau perbuatan fâhisyah (tabu)
b)      Pandangan pribadi baik terhadap lawan jenis atau sejenisnya tanpa mediator media dengan niat melecehkan
c)      Segala tindakan yang melampaui batas syariat yang dilakukan terhadap:
1)      orang yang menjadi hak dan tanggung dari pelaku
2)      perzinahan dengan orang lain yang disertai “ancaman”, dan
3)      persetubuhan yang dilakukan tidak dilakukan pada “Miss V” yang disertai dengan adanya unsur paksaan
d)      Adakalanya kejahatan merupakan hasil kombinasi antara tindakan pelecehan seksual yang disertai dengan pembunuhan, atau penghilangan fungsi anggota tubuh.

Maka, berdasarkan tipe “kekerasan secual” tersebut, secara umum aturan yang berlaku secara syariat dikelompokkan menjadi 4 (secara berturut-turut) sebagai berikut sesuai dengan kelompoknya, yaitu:
a.       Tindakan pelecehan secual secara visual (meminta maaf atau ta’zir)
b.      Tindakan pelecehan yang disertai fisik (ta’zir dan had jariimah)
c.       Menzinai / Pemerkosaan (had zina)
d.      Tindakan menzinai dengan disertai pembunuhan masuk had jinayah)

2.      Pelecehan secual secara visual tanpa kekerasan fisik
(a)   Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Nûr : 31-32
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى (31) الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى (32
Artinya, “Hanya milik Allah apa yang ada di langit dan di bumi supaya Ia membalas orang yang berbuat jahat atas apa yang mereka kerjakan dan membalas orang yang berbuat baik (31). Mereka (yang berbuat baik) itu yaitu orang yang menjauhi dosa besar dan perbuatan keji selain kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu maha luas ampunannya, Dia yang lebih tahu perihal dirimu saat Dia menciptakanmu dari tanah dan saat kau sebagai janin di dalam perut ibumu. Janganlah kau menyucikan diri lantaran Dia lebih tahu siapa yang lebih bertakwa di antara kau (32),” (Surat An-Najm ayat 31-32)

(b)   Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim-nya.
واما قول بن عباس ما رايت شيئا اشبه باللمم مما قال ابو هريرة فمعناه تفسير قوله تعالى الذين يجتنبون كبائر الاثم والفواحش إلا اللمم إن ربك واسع المغفرة ومعنى الآية والله اعلم الذين يجتنبون المعاصي غير اللمم يغفر لهم اللمم كما في قوله تعالى إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم فمعنى الآيتين أن اجتناب الكبائر يسقط الصغائر وهي اللمم وفسره بن عباس بما في هذا الحديث من النظر واللمس ونحوهما وهو كما قال هذا هو الصحيح في تفسير اللمم وقيل ان يلم بالشئ ولا يفعله وقيل الميل إلى الذنب ولا يصر عليه وقيل غير ذلك مما ليس بظاهر واصل اللمم والالمام الميل إلى الشئ وطلبه من غير مداومة والله اعلم

Artinya, “Adapun pengertian dari ucapan Ibnu Abbas RA, ‘aku tidak melihat sesuatu yang lebih ibarat dengan ‘kesalahan kecil’ daripada hadits riwayat Abu Hurairah RA’ yaitu tafsir dari Orang yang menjauhi dosa besar dan perbuatan keji selain kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu maha luas ampunan. pengertian ayat ‘Orang yang menjauhi maksiat selain kesalahan kecil’, orang yang melaksanakan kesalahan kecil akan diampuni sebagaimana dalam ayat ‘Jika kalian menjauhi dosa besar yang dilarang, maka Kami akan mengampuni kesalahan kecilmu.’ Pengertian dua ayat ini yaitu bahwa penjauhan diri dari dosa besar menggugurkan dosa kecil, yaitu kesalahan kecil. Kata ‘kesalahan kecil’ ini ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan pandangan, sentuhan, atau sejenisnya sebagaimana dikatakannya yaitu shahih terkait tafsir kata ‘al-lamam’ atau kesalahan kecil. Ada yang menafsirkan, seseorang melaksanakan dosa kecil, tetapi tidak melaksanakan dosa besar. Ada lagi yang menafsirkan bahwa kesalahan kecil itu yaitu impian hati yang kuat, tetapi tidak terus-menerus. Ada lagi yang menafsirkan selain dari itu semua, yang tidak secara zhahir. Sementara asal kata al-lamam atau ilmam yaitu kecenderungan dan impian terhadap sesuatu yang tidak terus-menerus. Wallahu a‘lam,” (Lihat An-Nawawi, Syarah Muslim, [Mesir, M Muhammad Abdul Lathif: 1930 M/1349 H], cetakan pertama, juz XVI, halaman 205).

(c)    Allah SWT berfirman di dalam QS. Al-Anfaal : 25
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Al-Thabary memberi penafsiran terhadap maksud الذين ظلموا di dalam Kitab Jâmi’u al-Bayan fi ayi Al-Qurân, sebagai berikut:
وهم الذين فعلوا ما ليس لهم فعله, إما أجْرام أصابوها، وذنوب بينهم وبين الله ركبوها. يحذرهم جل ثناؤه أن يركبوا له معصية، أو يأتوا مأثمًا يستحقون بذلك منه عقوبة
Kesimpulan hukum:
Hukum yang berlaku untuk pelaku pelecehan secual kelompok ini adalah:
(a)    Cukup dengan meminta maaf
(b)   Ada kemungkinan untuk melaksanakan ta’zir ringan, ibarat tidak bergaul dengan pelaku diindikasi belum meratapi perbuatannya

3.      “Pelecehan Seksual” yang disertai fisik
(a)    Maksud dari “pelecehan” yang disertai fisik adalah, seperti: mencium, tindakan meraba, atau lainnya yang memperlihatkan pengertian mendekati
(b)   Rasulullah SAW bersabda:

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ :الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ (رواه البخاري ومسلم)
(c)    Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah Juz 8 halaman 181-182
اتّفق الحنفيّة، والحنابلة، والشّافعيّة في الأصحّ عندهم على أنّ الزّوج إذا تعمّد إزالة بكارة زوجته بغير جماعٍ، كأصبعٍ، لا شيء عليه‏.‏ ووجهه عند الحنفيّة‏:‏ أنّه لا فرق بين آلةٍ وآلةٍ في هذه الإزالة‏.‏ وورد في أحكام الصّغار في الجنايات‏:‏ أنّ الزّوج لو أزال عذرتها بالأصبع لا يضمن، ويعزّر، ومقتضاه أنّه مكروه فقط‏.‏ وقال الحنابلة‏:‏ إنّه أتلف ما يستحقّ إتلافه بالعقد، فلا يضمن بغيره‏.‏ وأمّا الشّافعيّة فقالوا‏:‏ إنّ الإزالة من استحقاق الزّوج‏.‏ والقول الثّاني لهم‏:‏ إن أزال بغير ذكرٍ فأرش‏.‏ وقال المالكيّة‏:‏ إذا أزال الزّوج بكارة زوجته بأصبعه تعمّداً، يلزمه حكومة عدلٍ ‏(‏أرش‏)‏ يقدّره القاضي، وإزالة البكارة بالأصبع حرام، ويؤدّب الزّوج عليه‏.‏ والتّفصيل يكون في مصطلح ‏(‏نكاح ودية‏(
 يرى الحنفيّة أنّ الزّوج إذا أزال بكارة زوجته بغير جماعٍ، ثمّ طلّقها قبل المسيس، وجب لها جميع مهرها، إن كان مسمًّى ولم يقبض، وباقيه إن قبض بعضه، لأنّ إزالة البكارة بأصبعٍ ونحوه لا يكون إلاّ في خلوةٍ‏.‏ وقال المالكيّة‏:‏ لو فعل الزّوج ما ذكر لزمه أرش البكارة الّتي أزالها بأصبعه، مع نصف صداقها‏.‏ وقال الشّافعيّة والحنابلة‏:‏ يحكم لها بنصف صداقها، لمفهوم قوله تعالى‏:‏ ‏{‏وإن طلّقتموهنّ من قبل أن تمسّوهنّ وقد فرضتم لهنّ فريضةً فنصف ما فرضتم‏}‏ إذ المراد بالمسّ‏:‏ الجماع، ولا يستقرّ المهر باستمتاعٍ وإزالة بكارةٍ بلا آلةٍ، فإن طلّقها وجب لها الشّطر دون أرش البكارة، وعلّل الحنابلة زيادةً على الآية بأنّ هذه مطلّقة قبل المسيس والخلوة، فلم يكن لها سوى نصف الصّداق المسمّى، ولأنّه أتلف ما يستحقّ إتلافه بالعقد، فلا يضمنه بغيره‏
Kesimpulan hukum:
Pelecehan secual yang disertai dengan fisik (meraba, mencium, menghilangkan keperawanan (baik dengan alat sec atau dengan jari) dengan tangan dan bukan dz4ka4r) dan semacamnya maka yang berlaku yaitu penjatuhan sangsi berupa:
1.      Ganti rugi / denda (Arsyun) yang ditetapkan oleh hakim
2.      Ta’zir (bila dilakukan oleh suami) bila dijumpai ada unsur kekerasan/mendhalimi
3.      Untuk kekerasan sehingga menghilangkan fungsi anggota badan yang lain, maka ada kewajiban membayar diyat

4.      Pemerkosaan
(a)    Ghairu Muhshan
Hukuman:
-          Taghrib selama 1 tahun
-          Arsyun
(b)   Muhshan
-          Arsyun
-          Rajam (Hukuman Mati
5.      Pemerkosaaan dengan disertai pembunuhan
-          Rajam

4.      Pandangan fiqih terhadap hak pemulihan korban kekerasan secual, antara lain 1) pembebasan dari hukuman, 2) pemulihan fisik, psikis, 3) pemulihan nama baik (rehabilitasi)  dan 4) pemulihan segi ekonomi (restitusi-kompensasi)
a)      Korban tidak berhak mendapatkan sangsi eksekusi apapun
b)      Korban mempunyai hak untuk memakai hak materiilnya dengan menuntut ganti rugi / arsyun kepada pelaku, atau menuntut denda alasannya yaitu penghilangan fungsi fisik
c)      Korban juga berhak untuk tidak memakai hak materiilnya dengan pertimbangan bahwa unsur pelecehan / kekerasan secual masih bisa ditolerir

5.      Pandangan Fiqih  tentang sikap masyarakat yang menstigma (pandangan negatif, membulliy, dan tidak melaksanakan penerimaan) terhadap pelaku dan korban kekerasan secual
a)      Perspektif Pelaku :
1)      Hukuman bagi pelaku pelecehan dan kekerasan secual, ditentukan oleh hakim dengan mempertimbangkan tingkat pelecehan dengan kekerasan secual yang telah dilakukan dan faktor usia pelaku yang juga bisa dijadikan pertimbangan, mengingat syarat disebut pezina yaitu harus ‘aqil, baligh, merdeka (tidak dibawah tekanan)
2)      Boleh bagi masyarakat melaksanakan stigma terhadap pelaku pelecehan dan kekerasan secual dengan alasan: a) pembelajaran, dan b) sangsi sosial
(a)    Rasulullah SAW bersabda
عن أبي عبد الرحمن عبد الله بن مسعود رضي الله عنـه قال حدثنه رسول الله صلى الله عليه وآله وهو الصادق المصدوق ( إن أحدكم يجمع في بطن أمه أربعين يوماً نطفه ثم يكون علقه مثل ذلك ثم يكون مضغه مثل ذلك ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح ويؤمر بأربع كلمات بكتب رزقه وٍأجله وعمله وشقي أم سعيد فو الله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار فيدخلها وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة فيدخلها ) رواه البخاري بصراحـة أجد نوعا من التحبيط أني قد أعمل بعمل أهل الجنة ومكتوب أني من أهل النار ، وأرجو من فضيلتكم الإجابـة مأجورين ومشكورين على جهودكم ، والله يجعلها في ميزان حسناتكم (متفق عليه)
(b)   Rasulullah SAW juga bersabda:
عنْ سَهْلٍ قَالَ الْتَقَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُشْرِكُونَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَاقْتَتَلُوا فَمَالَ كُلُّ قَوْمٍ إِلَى عَسْكَرِهِمْ وَفِي الْمُسْلِمِينَ رَجُلٌ لَا يَدَعُ مِنْ الْمُشْرِكِينَ شَاذَّةً وَلَا فَاذَّةً إِلَّا اتَّبَعَهَا فَضَرَبَهَا بِسَيْفِهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَجْزَأَ أَحَدٌ مَا أَجْزَأَ فُلَانٌ فَقَالَ إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَقَالُوا أَيُّنَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ إِنْ كَانَ هَذَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ لَأَتَّبِعَنَّهُ فَإِذَا أَسْرَعَ وَأَبْطَأَ كُنْتُ مَعَهُ حَتَّى جُرِحَ فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ فَوَضَعَ نِصَابَ سَيْفِهِ بِالْأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَجَاءَ الرَّجُلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ : ( إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَإِنَّهُ لَمِنْ أَهْلِ النَّارِ وَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ )
(c)    Allah SWT berfirman:
(يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ ) إبراهيم/27
3)      Tidak boleh membully pelaku sebagaimana kandungan dari hadits dan ayat di atas
b)      Perspektif Korban
-          Korban layak menerima pendampingan
-          Tidak boleh membully korban

6.      Hukum menyebarluaskan, mengumumkan ke publik pelaku ataupun korban Kekerasan secual, khususnya perzinahan
a)      Perspektif pelaku
Pemerintah boleh mengumumkan pelaku kekerasan selama hal itu memenuhi prinsip kehati-hatian dan atas dasar pertimbangan maslahah supaya masyarakat berhati-hati (sadd al-dzarî’ah) dan kemungkinan untuk mendapatkan ratifikasi korban lainnya.

b)     Perspektif korban
Tidak boleh mengumumkan korban kekerasan secual selagi tidak ada pertimbangan mashlahah yang besar

4.      Merekomendasikan:

a.       Mendukung diterbitkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, namun demikian musyawirin mengusulkan perubahan judul menjadi RUU Pencegahan Kekerasan Seksual.

b.      Mendorong adanya pendalaman kembali terhadap 15 jenis kekerasan secual sebagaimana diatur didalam fikih. Terkait pemaksaan perkawinan eksistensi Wali Mujbir didudukkan sesuai dengan fiqih, yaitu ayah kandung dan kakek dari ayah mempunyai hak memilih kesepakatan nikah (ijbar) lantaran kesempurnaan kasih sayang yang dimiliki mereka, apalagi untuk melaksanakan ijbar (bukan ikrah) harus terpenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Tidak terdapat perselisihan yang aktual antara wali dan anak, calon suami dengan calon istri,
2.      Calon suami yaitu setara (kufu) dengan anak
3.      Menggunakan mahar mitsil
4.      Tidak berpotensi merugikan/membahayakan/menyengsarakan si anak.
Bahkan disunahkan bermusyawarah dengan anak saat hendak menikahkannya.

c.       Terkait dengan Publikasi pada korban kekerasan secual, musyawirin setuju untuk  dilarang sama sekali. Karena merupakan bentuk dari kekerasan psikis (idza’). Sedangkan publikasi pelaku kekerasan secual dilakukan sesudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan aturan tetap (inkracht) dan dilakukan hanya oleh pihak yang berwenang. Publikasi dilakukan dengan tujuan untuk memberi imbas jera pada pelaku dan sekaligus peringatan pada masyarakat untuk tidak melaksanakan hal yang sama. Setelah pelaku menjalani hukuman pidana dan publikasi, masyarakat tidak dibenarkan secara terus menerus menyebar luaskannya tanpa alasan syar’i.
d.      Perlunya ada harmonisasi RUU PKS dengan undang-undang terkait lainnya (seperti UU PKDRT, UU Pornografi, KUHP, UU Perlindungan anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang)
e.       Mendukung tahapan-tahapan pemidanaan yang telah disebutkan didalam RUU PKS.
f.       Merekomendasikan kepada LBM PBNU untuk menyesuaikan hasil rumusan ini dengan sistematika manhaj Bahtsul masail qanuniyah yang ditetapkan di Munas Lombok.
g.      Mendorong dewan perwakilan rakyat bersama Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS dengan memperhatikan keputusan dan rekomendasi Munas NU Tahun 2019.


Mengetahui
       Pimpinan Sidang                                                              Sekertaris



KH. Sholahudin Al-Aiyub                                                Imam Nafi’ Junaidi          

Tim Perumus               :
1.      KH. Muhammad Syamsuddin (LBM PWNU Jawa Timur)
2.      KH. Umar Farouq (LBM PWNU Jawa Tengah)
3.      KH. Nurohman (LBM PWNU Jawa Barat)
4.      KH. Firmansyah (LBM PBNU)
5.      Dr. Hj. Sri Mulyati (PP Muslimat NU)
6.      Ai Maryati Sholihah, MSi (PP Fatayat)



Sumber http://kertajaticintaaulia.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Materi Bahtsul Masail Munas & Konbes Nahdlatul Ulama 27 Februari – 1 Maret 2019 Di Kota Banjar, Jawa Barat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel