Cerpen
Oleh: Lutfita Vionna A. G.
Kokok ayam yang berasal dari pekarangan rumah cukup untuk memecah kesunyian, suaranya hingga ke telingaku yang masih saja menggeliat malas di atas daerah tidur. Selang beberapa menit, bunyi tangga yang berderit menandakan bunda menuju ke lantai atas, lantai kamarku. Bunda memang selalu mengetuk pelan pintu kamarku untuk memastikan saya telah bangun, kemudian jikalau saya sudah menyahut dengan bunyi “Hmm,” maka ia akan kembali lagi ke dapur untuk memasak sarapan. Kebiasaan menyerupai itu telah berlangsung dari saya masih kecil hingga diriku yang sudah menginjak kelas 3 Sekolah Menengan Atas menyerupai sekarang.
Aku yang berjuang mengumpulkan nyawa dan akhirnya bangkit, berjalan pelan ke arah jendela lalu menyingkap selambunya. Butuh beberapa ketika supaya kesadaranku kembali sepenuhnya hingga akhirnya saya membuka jendela dan memandang ke arah luar menyerupai biasa. Semburat matahari belum terlalu jelas, agaknya ia aib menampakkan dirinya dan masih bersembunyi di balik arakan awan tebal. Cuaca yang cocok untuk melanjutkan tidur. Kalau saja pagi ini saya bisa memilih, saya niscaya akan menentukan untuk tetap bergumul dengan selimut hingga nanti bulan telah kembali menggantikan kiprah matahari. Bukan lantaran apa-apa, melainkan disebabkan oleh jadwal pengumuman nilai ujian yang terus membebani pikiranku selama seminggu ini. Aku memang bukan anak yang pandai, bukan pula anak yang memprioritaskan nilai di atas segalanya. Namun seruan ayah seminggu yang kemudian supaya saya bisa masuk universitas terkemuka dan melanjutkan jejaknya sungguh sangat membuatku khawatir. Baru kali ini ayah memintaku, gres pertama ini ia menginginkan sesuatu dariku. Jika saya tak bisa menawarkan yang terbaik, entahlah anak macam apa saya ini.
Di tengah lamunanku yang terus menjadi, bunyi pintu kamar yang terbuka membuatku menoleh. Ternyata bunda tetapkan untuk kembali lagi ke lantai atas.
“Aduh Ra, kau belum mandi? Nanti bisa telat, ini sudah jam enam lebih” tegur bunda begitu melangkah masuk.
“Eh, iya ini saya mau mandi kok, Bun,” jawabku dengan tergagap seraya menyambar handuk yang terletak di bersahabat pintu kamar mandiku.
“Yasudah, sesudah mandi eksklusif turun ya, sarapannya ada di ruang makan,” kata bunda sambil keluar dari kamarku.
Setengah jam kemudian saya telah siap dengan seragam sekolahku. Seperti gadis lain, saya juga menyempatkan mematut diri di depan kaca. Di ketika yang bersamaan, sebuah bunyi dari belakang punggung mengagetkanku.
“Ra, kau usang banget sih. Aku udah nungguin daritadi.”
Mendengar bunyi tersebut, refleks saya menolehkan kepalaku ke arah pintu. Ternyata sahabatku Elena sudah berdiri dengan tak sabar di sana. “Loh, tumben udah di sini. Ini bukannya masih pagi banget, El?” sahutku dengan dingin kemudian bergegas mengambil tas di atas meja belajar.
“Untuk informasi aja ya, saya udah nunggu kau selama sepuluh menit, Ra. Masih mau bilang saya kepagian? Kamu kenapa sih, jadi banyak nggak fokusnya akhir-akhir ini.”
“Masa sih? Maaf deh, mungkin saya lagi kurang minum Aqua,” kataku asal. “Yaudah ayo turun sekarang, nanti kita bisa beneran telat. Hari ini kan ada pengumuman hasil ujian.”
“Sierra, saya jadi sobat kau udah sepuluh tahun. Mana mungkin saya nggak bisa tahu kalau kau lagi bohong sekarang? Udah ngaku aja, bekerjsama ada apa? Masih ada lima belas menit kok sebelum kita benar-benar telat.”
“Aku bohong? Mana pernah sih, El? Jangan ngarang,” sahutku sekenanya. Kali ini jawabanku bersamaan dengan kakiku yang siap melangkah menuju keluar. Entah mengapa saya masih tidak ingin menceritakan mengenai kekhawatiranku itu kepada siapapun. Aku hanya ingin memendamnya sendiri, dan jikalau memang bisa saya ingin menyelesaikannya sendiri. Entah bagaimana caranya.
Namun bukannya mengalah dan mengikutiku keluar kamar, Elena malah menahanku dengan tangannya. Saat itu juga dia dengan impulsif menyampaikan hal yang membuatku tertegun, “Ra, jangan sekali-kali kau silau oleh lampu. Jangan pula kau nggak bisa bedain mana pemandangan yang berkabut dan beling yang bening di depan kamu.”
Mendengarnya saya eksklusif terpaku. Entah Elena mengatakannya dengan maksud apa namun kalimat itu sudah cukup membuat ulu hatiku nyeri lantaran memikirkannya.
Hingga sepersekian detik berikutnya saya hanya diam dan tidak bergerak dari tempatku berdiri, tiba-tiba Elena menyadarkanku lagi dengan menepuk bahuku, “Lah, dinasehatin malah ngelamun. Kamu ini gimana sih, Ra?”
“Eh maaf, saya kurang konsen. Lagipula kau sok bijak banget ngasih kata-kata mutiara,” jawabku beralasan.
“Ya kau kan tahu sendiri. Aku ini pintar balig cukup akal yang sudah matang sebelum usia melenggang.” Elena menjawab dengan santai, kemudian ikut melangkahkan kaki keluar kamar bersamaku.
Saat sudah hingga di lantai bawah, bunda telah berdiri menunggu di depan pintu dengan dua buah bekal di tangannya. “Kalian selalu saja. Bukannya cepat turun dan sarapan, malah ngobrol di kamar. Bunda bawakan bekal ya, harus dimakan,” ujar ia seraya menyerahkan dua kotak makan berukuran sedang padaku dan Elena.
Elena menerimanya dengan tersenyum lebar, kemudian berkata dengan nada khasnya yang manja, “Makasih banyak ya, Tante. Tahu aja kalau saya belum sarapan.”
Bunda hanya tersenyum menanggapinya. Kemudian ia memandangku sambil bertanya memastikan, “Kamu kenapa, Ra? Sakit? Kok murung terus wajahnya?”
Belum sempat saya mengeluarkan bunyi dan menjawab, Elena sudah lebih dulu menyampaikan opininya mengenai kondisiku pagi ini. “Mungkin Ra lagi capek. Atau mungkin Ra malas masuk sekolah. Yang terang Ra daritadi ngelamun terus, Tan,” lapornya pada bundaku dengan sangat meyakinkan.
“Benar itu, Ra? Kamu nggak mau dongeng ke bunda atau Elena dulu?” tanya bunda lagi memastikan untuk kedua kali.
“Aku baik kok, Bun. Elena aja yang suka mendramatisir keadaan. Aku sama El berangkat dulu ya, Bun. Ini hampir jam tujuh, nanti kita berdua bisa telat,” kataku kemudian, berusaha mengakhiri bermacam-macam pertanyaan sebelum semakin menjadi.
“Yasudah,” ujar bunda sambil mengelus kepalaku, “Kalian berdua hati-hati di jalan. Kalau sudah waktunya pulang, jangan mampir main kemana-mana lagi ya.”
“Iya, Bun,” sahutku dengan mengangguk kemudian mencium tangannya.
“Kami berangkat dulu ya, Tante” timpal Elena seraya ikut mencium tangan bunda dan mengikutiku keluar rumah.
Aku dan Elena kemudian berjalan menuju sekolah. Kami menyusuri jalan-jalan yang di kiri dan kanannya masih banyak terdapat pohon dan flora bunga yang sengaja dipelihara sebagai penghias. Bahkan di beberapa sudut ada pula pohon beringin yang mungkin sudah berusia puluhan tahun dan masih berdiri dengan kokohnya diantara bangunan-bangunan. Kota tempatku tinggal memang bukan kota metropolitan. Jarak dari rumah ke sekolah pun tidak terlalu jauh, bisa ditempuh dengan jalan kaki atau bersepeda tanpa harus naik angkot maupun angkutan umum lain.
Di tengah perjalanan, kata-kata Elena ketika di kamarku tadi masih saja terngiang di telingaku. Entah mengapa sulit sekali melupakan setiap aksara yang ia telah utarakan. Aku yang masih saja ingin tau dengan alasannya menyampaikan hal tersebut, akhirnya memberanikan diri bertanya, “El, maksud kata-kata kau tadi apa?”
Elena yang fokus dengan jalan di samping kirinya, secara otomatis menolehkan pandangan kepadaku. “Kata-kata yang mana?” sahutnya singkat.
Aku menepuk jidat. Sungguh, di ketika saya ingin serius menyerupai ini, sahabatku itu malah membuatku merasa geram. Namun saya masih bisa menahan rasa gemas dan geramku itu dan akhirnya mulai bertanya lagi dengan jelas, “Tadi, waktu kau bilang saya harus bisa bedain mana beling yang bening dan mana pemandangan yang berkabut. Setelah saya pikir kau niscaya punya alasan bicara menyerupai itu.”
“Oh yang itu,” serunya dengan sedikit melengking. “Aku kira kau nggak dengerin nasehatku menyerupai biasanya, eh nggak tahunya kali ini malah kau pikirin.”
Aku tertawa beberapa ketika mendengar jawabannya. Jika ditinjau lagi sahabatku yang satu ini memang sering sekali menyampaikan hal-hal tidak masuk akal, dan saya niscaya hanya menganggapnya angin lalu. Tapi tidak tahu kenapa, beda dengan kata-katanya tadi di depan pintu kamarku.
“Kok malah ketawa?” protesnya sambil sedikit mendorongku ke samping. “Sebenernya saya nggak punya alasan apa-apa sih ngomong menyerupai itu. Tapi lantaran saya lihat kau terus-terusan ngelamun dan memikirkan sesuatu yang kayaknya berat banget, akhirnya keluar deh kalimat yang tadi”
“Emang kelihatan ya kalau saya lagi punya masalah?” tanyaku memastikan.
“Aku kan udah jadi sahabatmu dari dulu, jadi ya kelihatan lah meskipun kau nggak mau cerita.”
“Bukannya nggak mau cerita, tapi emang lagi bimbang aja,” jawabku mencari pembelaan.
“Ra, kau itu terlalu pemikir jadi orang. Hal yang seharusnya sederhana dan bisa diselesaikan dengan gampang, selalu kau bawa berat. Akhirnya malah kau sendiri yang rugi,” ujar El kepadaku. Kali ini nada suaranya menyerupai seorang guru yang menasehati muridnya. Namun tak tahu kenapa saya berdasarkan saja mendengarkannya.
“Jangan terlalu khawatir sama apapun. Inget, semua udah ada yang ngatur. Kalau kau terlalu khawatir dan berpikir negatif, kesudahannya kau akan salah pilih. Seperti kata-kataku tadi. Jangan hingga kau salah menentukan jalan hidup lantaran kau terlalu khawatir sama hasilnya. Yang kelihatannya baik, belum tentu akan cocok buat kamu. Mirip dengan kaca, kelihatannya aja bening dan bersih, eh ternyata malah bisa buat kau kebentur. Dan juga yang kelihatannya buruk, belum tentu akan buat kau kecewa. Sama menyerupai pemandangan yang berkabut, awalnya emang absurd, nggak jelas, tapi sesudah kau melewati semua itu kau akan ketemu sama pemandangan yang terang dan terang kan? Mending mana dibanding kebentur beling tadi?” tuturnya dengan panjang lebar.
Aku hanya mengangguk menurut. Jika dipikir memang benar apa yang dikatakannya. Terlalu mengkhawatirkan segala sesuatu malah akan membuatku salah menentukan pilihan. Kelihatannya hal tersebut juga sejalan dengan pengumuman hasil ujian dan seruan ayahku. Kalau saya terlalu khawatir dan bimbang karenanya, bisa jadi saya akan salah menentukan jalan hidupku.
“Terus kalau seumpama saya khawatirnya sama nilai ujian nanti, gimana solusinya?” tanyaku padanya.
“Jangan terlalu khawatir dan menuntut. Seandainya hasilnya baik, kau harus bersyukur, lantaran mungkin itu mengambarkan kalau pemandangan berkabut udah selesai kau lewatin selama ini. Dan kalau seandainya pun hasilnya kurang memuaskan, jangan cepat putus asa, siapa tahu ternyata itu masih sebagian dari rangkaian pemandangan berkabut lain yang harus kau lewatin.”
“Tapi, saya takut mengecewakan banyak orang, El,” kataku tiba-tiba. Entah angin darimana yang akhirnya membuatku menyampaikan hal itu pada Elena.
“Sierra, dengerin saya ya,” kata Elena menjawabku. Kali ini ia menaruh kedua tangannya di pipiku dan mengarahkan pandanganku sempurna ke matanya, “Hidup itu nggak melulu benar adanya. Ada kalanya kita mengecewakan orang. Ada kalanya pula kita membuat murung hati orang. Tapi, kita insan kan? Dan semua itu menurutku masih proses yang masuk akal dari serentetan pengalaman hidup. Orang yang sayang sama kamu, entah itu orang renta kau sendiri atau mungkin sobat kamu, harusnya bisa mendapatkan kau apa adanya, apapun yang pernah kau lakukan. Bukannya menghakimi kamu, semestinya mereka akan berusaha supaya kau mau memperbaiki diri lagi menjadi lebih baik.”
“Meskipun nantinya saya buat mereka aib lantaran hasil ujianku yang jelek? Atau meskipun nanti saya buat mereka menyesal punya anak sepertiku yang bahkan nggak bisa masuk universitas ternama?” tanyaku lagi dengan bunyi yang sudah hampir tidak terdengar. Kurasakan mataku sudah mulai menghangat, siap menumpahkan cairannya. Mungkin wajahku kini sudah terlihat sangat memelas di depan Elena.
Mendengar pertanyaanku itu, Elena dengan tegas eksklusif menggeleng. “Nggak ada orang renta yang menyesal sama kondisi anaknya, Ra.”
“Tapi, ayahku sendiri yang minta saya buat nerusin pendidikan sesuai jejaknya, El. Kalau saya nggak mampu, dengan cara apa lagi saya bisa memperlihatkan kasih sayangku ke orang tuaku dan membuat mereka bangga?”
“Cara membanggakan orang renta itu nggak cuma lewat pendidikan, Ra. Kamu bisa membuat hati mereka bahagia dengan hal lain, yang meskipun kelihatannya sederhana tapi bekerjsama sangat berharga. Lagipula, sebelum kau punya pikiran menyerupai itu, coba kau ingat lagi ke belakang ketika ayah kau nyuruh kau nerusin jejaknya. Apa ia memaksa kamu? Nggak, kan? Apa ia mendikte kau supaya kau melaksanakan acara A, atau tindakan B, atau mungkin langkah C, dan seterusnya? Aku yakin sepenuhnya ia waktu itu hanya menyarankan yang terbaik buat kamu. Kamu aja yang mungkin terlalu menaruh serius terhadap hal tesebut. Kamu juga yang membuat delusi bahwa kau akan gagal, bahwa kau akan mengecewakan dan membuat aib mereka. Itu semua cuma sugesti kau lantaran kau terlalu khawatir dengan semua hal, Ra,” terang Elena dengan begitu lembut hingga membuatku terpaku lagi untuk beberapa saat. Semua yang dikatannya barusan memang benar adanya. Dan saya gres menyadarinya sekarang.
“Makasih ya, El, kau buat saya sadar akan banyak hal,” ucapku dengan ikhlas sambil memeluknya.
“Aduh, sama-sama Sierra. Kamu pakai program peluk segala. Kan saya jadi terharu,” katanya dengan sedikit tertawa seraya membalas pelukanku erat.
“Ah, masih aja bercanda di ketika kayak gini,” jawabku bersamaan dengan melepas pelukanku.
“Hehe, supaya kau nggak murung lagi, Ra. Setiap kau sedang dalam masalah, inget satu mantra ini ya, dan ucapin dalam hati kamu, Hakuna Matata,” katanya dengan sedikit berbisik di telingaku.
“Hakuna Matata?” tanyaku dengan mengulang perkataannya.
“Iya, artinya jangan khawatir. Itu kan ada di film The King Lion, Ra,” tambahnya diikuti cekikikannya lagi.
“Oh pantes pernah denger, kau kebanyakan nonton film kartun sih makanya hafal banget sama kata-kata itu,” ujarku juga diiringi dengan bunyi tawa.
“Atau mungkin diganti dengan kata mujarab All izz well?” usul Elena tiba-tiba.
“Tambah ngawur kamu, El. Itu sih kau kebanyakan nonton film india,” sahutku seraya mengapit tangannya dan mengajaknya kembali meneruskan berjalan ke sekolah.
“Tapi bagus, kan?” jawab Elena lagi masih tak mau mengalah. Ia juga mengapit tanganku dan kemudian berjalan bersama di sampingku.
Kami pun berjalan lagi menuju sekolah. Menguatkan hati masing-masing untuk mendapatkan apapun yang terjadi, apapun yang sudah ditakdirkan oleh Sang Empunya Hidup. Aku sudah tidak terlalu ragu lagi mengenai hal-hal yang hanya ada di dalam pikiranku sendiri. Meskipun mungkin masih terbesit sedikit ketakutan dan kekhawatiran dalam hati kecilku, namun bukankah itu juga hal yang masuk akal dirasakan oleh setiap manusia? Hanya bergantung bagaimana kita menyikapinya. Mengkhawatirkan hal yang sudah niscaya dan membuat kita kehilangan ketenangan ialah kesalahan berganda. Maka dari itu, saya mulai melangkahkan kaki dengan beberapa keyakinan yang tertumpuk. Setidaknya hingga nanti datang waktunya ketika saya melihat hasil ujianku.
Sumber http://santikajeng.blogspot.com/
0 Response to "Cerpen"
Posting Komentar