Restrukturisasi, Reorganisasi, Dan Likuidasi [+Contoh Riil]
Daftar isi
Restrukturisasi, Likuidasi dan Reorganisasi ialah dua pendekatan yang seringkali digunakan untuk melaksanakan tindakan terhadap perusahaan yang kinerjanya kurang bagus.
Kesulitan timbul sebab berkaitan dengan jenis perjuangan yang sangat beraneka ragam, sanggup juga sebab problem trade-off antara kecepatan pengambilan keputusan dan pengendalian.
Faktor kombinasi sanggup juga menimbulkan kesulitan keuangan bagi perusahaan.
Dan Blog Manajemen Keuangan kali ini membahas analisis keuangan untuk situasi tersebut, bagaimana keputusan yang perlu diambil, dan konsekuensi bagi pihak-pihak yang menanamkan dananya di perusahaan tersebut.
Mari segera dimulai…
01. Restrukturisasi Perusahaan
Pengertian restrukturisasi ialah acara untuk merubah struktur perusahaan.
Dengan demikian, pengertian restrukturisasi sebetulnya dalam artian makin membesar atau makin ramping.
Bila diartikan dalam pengertian yang pertama, maka restrukturisasi perusahaan merger akuisisi juga merupakan upaya untuk melaksanakan restrukturisasi.
Perusahaan bisa berkembang menjadi korporasi (corporation), yaitu perusahaan yang mempunyai banyak unit kegiatan.
Unit-unit acara tersebut ialah suatu divisi yang relatif independen, tapi mungkin juga merupakan suatu potongan yang hanya sebagai pelaksana keputusan-keputusan kantor pusat.
Apapun tingkat kebebasan (degree of independence) dari unit-unit tersebut, perusahaan mungkin suatu ketika menghadapi kesulitan dalam mengendalikan unit-unit tersebut.
Masalah-masalah ini bisa menimbulkan korporasi melaksanakan restrukturisasi.
Demikian juga dalam operasinya perusahaan tidak selalu bisa berkembang dengan baik.
Kadang-kadang perusahaan terpaksa ‘memperkecil diri’ supaya bisa bertahan, atau bahkan terpaksa bahkan memubarkan diri sebab kerugian terus menerus yang diderita dan juga alasan keuangan.
Alasan pertama, perusahaan menanggung biaya operasi yang lebih dari penghasilan operasinya.
Kedua, perusahaan menghadapi kesulitan keuangan sebab beban keuangan tetap yang terlalu besar.
Bisa jadi, dari sisi operasional masih menghasilkan keuntungan operasi, tapi keuntungan operasi tersebut tidak bisa untuk memenuhi kewajiban finansialnya.
Perusahaan yang melaksanakan integrasi vertikal, terperinci melaksanakan restrukturisasi bisnisnya.
Dengan cara tersebut restrukturisasi perseroan terbatas (perusahaan) sanggup mengamankan sumber materi baku, dan atau distribusi hasil produksinya.
Restrukturisasi perusahaan ataupun restrukturisasi organisasi sanggup dilakukan dengan:
- melakukan penjualan unit-unit acara (sell off)
- pemisahan unit-unit acara dan acara korporasi (spin-off)
A. Sell-off
Korporasi yang mempunyai unit acara yang sangat beraneka ragam, mungkin suatu ketika merasa bahwa di antara unit-unit tersebut ada yang tidak bekerja secara ekonomis.
Penyebabnya sanggup beraneka ragam, salah satunya ialah tingkat kegiatannya terlalu rendah sehingga sulit mencapai economies of scale-nya.
Penyebab lainnya sebab bukan berada pada core bisnisnya, korporasi kemudian kurang memperhatikan unit tersebut.
Bila unit acara ini dirasa membebani korporasi, maka unti tersebut sanggup dijual baik secara tunai maupun pembayaran saham.
Contoh restrukturisasi:
Misalkan, PT MK Network beropini bahwa di antara unit produksi pengalengan ikannya di Sidoarjo ternyata tidak menguntungkan.
Suatu perusahaan yang mempunyai bisnis dalam budidaya ikan lele ternyata berminat membeli unit produksi tersebut.
Bila disepakati, maka unit acara tersebut sanggup dijual ke perusahaan budidaya ikan lele tersebut. Pembayaran sanggup dilakukan secara tunai atau ditukar dengan saham.
Bila cara terakhir ini yang dipergunakan, maka PT MK Network akan mempunyai saham perusahaan budidaya ikan lele tersebut.
B. Spin-off
Cara spin-off dilakukan bila unit acara tersebut kemudian dipisahkan dari korporasi dan bangkit sebagai suatu perusahaan yang terpisah.
Dengan demikian, perusahaan tersebut akan mempunyai direksi sendiri, dan independen dalam mengambil keputusan.
Kepemilikan perusahaan gres tersebut berada di tangan para pemilik (pemegang saham) korporasi, dan proporsi kepemilikan dilakukan secara pro-rata.
Misalnya, unit acara dari PT MK Network tersebut akan di spin-off.
Sebagai perusahaan gres yang terpisah dari PT MK Network, bekas unit perusahaan tersebut contohnya menerbitkan saham sebanyak 10 juta lembar.
Bila seorang pemegang saham PT MK Network mempunyai 10% saham PT MK Network, maka kini ia juga mempunyai 10% saham perusahaan gres tersebut atau sebanyak 1 juta lembar.
Perusahaan ini lebih dimaksudkan supaya unit acara tersebut akan sanggup mengambil keputusan yang lebih cepat, lebih efisien, dan ada yang secara khusus bertanggungjawab.
C. Going Private
Beberapa perusahaan beropini bahwa go public dinilai membebani perusahaan dan direksi.
Mereka beropini bahwa biaya untuk listing di suatu bursa dirasa terlalu berat. Keharusan memenuhi banyak sekali ketentuan dan peraturan tubuh pengawas pasar modal dirasa merepotkan dan memberatkan.
Direksi kemudian cenderung sangat memperhatikan kinerja keuangan triwulan depan, semester depan, atau tahun depan, supaya harga saham tidak turun.
Dengan demikian perhatian akan laba jangka panjang sebagai hasil riset dan pengembangan produk terabaikan.
Direksi tidak mempunyai kebebasan terhadap penggunaan keuntungan yang diperoleh, sebab tubuh pengawas pasar modal akan mengingatkan pembayaran dividen sesuai dengan kesepakatan dalam prospektus.
Sebagai akibatnya, beberapa perusahaan memutuskan untuk going private. Perusahaan yang semula telah terdaftar di bursa, kemudian saham-sahamnya dibeli oleh direksi dan koleganya.
Dan perusahaan kemudian tidak lagi terdaftar di bursa. Salah satu pola perusahaan yang going private ialah Levi Strauss.
D. Leverage buy-out
Untuk membeli kembali saham-saham yang semula dimilki oleh para anggota masyarakat, [ara direksi yang memutuskan akan go private bisa memakai pertolongan dana pihak ketiga.
Bila cara ini ditempuh, maka dilakukan apa yang disebut dengan leverage buy-out. Ini berarti bahwa saham-saham tersebut dibeli dengan uang pinjaman.
Pinjaman tersebut dijamin oleh aktiva dan arus kasa perusahaan, sehingga sesudah leverage buy-out, perusahaan akan mempunyai hutang.
Sebagai pola restrukturisasi kredit:
Misalnya, PT MK Network mempunyai 10 juta lembar saham. Harga saham ketika ini ialah Rp 5.000 per lembar.
Dengan demikian bila seluruh saham akan dibeli maka calon pembeli harus menyediakan dana sebesar Rp 50 miliar.
Misalnya para dieksi PT MK Network telah mempunyai dana sebesar Rp 10 miliar. Berarti untuk membeli seluruh saham perusahaan, mereka harus mencari pelengkap dana sebesar Rp 40 milar,
Suatu bank bersedia memberi pinjaman sebesar Rp 40 miliar dengan bunga 18% per tahun. Jaminannya ialah PT MK Network tersebut.
Ini berarti bahwa bila PT MK Network tidak bisa membayar kewajiban finansialnya, maka PT MK Network akan beralih kepemilikannya, menjadi dimiliki oleh bank tersebut.
Setelah deal tersebut, tentu saja hutang PT MK Network akan membengkak dengan Rp 40 miliar.
Bank bersedia mengatakan kredit tersebut bila diperkirakan arus kas perusahaan cukup aman.
Cara lain ialah para direksi akan menerbitkan obligasi yang mempunyai coupon rate tinggi.
Obligasi ini disebut sebagai junk bonds, sebab default risk-nya tinggi. Default risk yang tinggi, sanggup dipahami sebab perusahaan akan memakai hutang dalam proporsi yang cukup tinggi juga (DER 9 – 10x).
Pihak pembeli bersedia membeli junk bonds tersebut sebab mereka mengharapkan untuk memperoleh tingkat bunga yang tinggi.
Di AS, obligasi yang ‘normal’ mengatakan coupon rate 9 – 10%, tapi junk bond bisa mengatakan coupon rate hingga 17%
Dan konsep risk and return relationship tetap mendasari penentuan harga obligasi tipe ini.
02. Reorganisasi Perusahaan
Reorganisasi perusahaan ialah upaya yang dilakukan perusahaan untuk supaya kinerjanya tidak semakin menurun sebab suatu hal.
Dalam situasi ekonomi dan bisnis yang tidak menggembirakan, perusahaan seiring terpaksa harus bertahan dengan apa yang telah ada, atau memperkecil diri, supaya tidak mengalami kesulitan yang makin parah.
Reorganisasi dalam aspek finansial dilakukan untuk memperkecil beban finansial yang tetap sifatnya.
Dengan demikian asumsinya ialah bahwa perusahaan masih mempunyai kemampuan operasional yang baik. Ini berarti bahwa acara operasi masih bisa menutup biaya-biaya operasi.
Bila biaya operasi variabel sudah lebih besar dari penghasilan, maka situasi sudah sangat parah.
Reorganisasi finansial tidak akan cukup untuk menolong perusahaan. Perusahaan perlu melaksanakan reorganisasi operasional.
Hal ini berarti bahwa perusahaan perlu mengganti mesin-mesin dengan jenis yang lebih efisien, mengurangi tenaga kerja, dan memotong banyak sekali biaya yang mungkin dipotong.
Sayangnya, keputusan-keputusan tersebut akan menimbulan kebutuhan dana yang cukup besar pada tahap-tahap awal.
Seringkali dana pihak ketiga diharapkan atau perlu pelengkap modal sendiri.
Kebutuhan dana yang cukup besar tersebut akan dipergunakan untuk mengganti mesin usang dengan mesin gres yang lebih efisien.
Selain itu akan dipergunakan untuk biaya pengurangan jumlah tenaga kerja dengan uang pesangonnya.
Contoh reorganisasi:
Harga mesin gres ialah Rp 2 miliar. Untuk pesangon diharapkan dana sebanyak Rp 800 juta. Mesin usang dijual dan laris seharga Rp 400 juta.
Dengan demikian pada awal periode sudah diharapkan dana sebesar Rp 2,4 miliar.
Apakah pengeluaran ini sanggup dibenarkan secara ekonomis?
Untuk menentukan layak atau tidaknya pengeluaran ini, maka tergantung pada analisis terhadap manfaat di masa yang akan datang.
Bila diharapkan present value [PV] manfaat tersebut lebih besar dari Rp 2,4 miiar, maka pengeluaran tersebut sanggup dibenarkan.
Tentu saja dalam analisis investasi tersebut tidak sanggup dilepaskan unsur risiko. Meskipun analisis terhadap rencana tersebut, contohnya dinilai menguntungkan. Dalam pelaksanaannya sanggup saja terjadi penyimpangan.
Misalnya, muncul kompetitor baru, muncul mesin dengan teknologi lebih baik lagi, kebijakan pemerintah dalam menentukan upah minimun yang tidak sesuai dengan asumsi perusahaan.
Bila penyimpangan ternyata menimbulkan penurunan manfaat, maka investasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki situasi sanggup berubah bahkan memperburuk situasi.
Dengan demikian problem sebetulnya adalah:
- Jika kita tidak melaksanakan tindakan apa-apa, ampir sanggup dipastikan kondisi perusahaan akan makin memburuk.
- Jika kita mencoba memperbaiki efisiensi, ada kemungkinan bahwa situasi perusahaan akan tertolong, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa perusahaan justeru akan makin memburuk kondisinya.
Sedangkan perusahaan melaksanakan reorganisasi finansial bila dinilai bahwa prospek perusahaan masih baik, sehingga sanggup tertolong.
Untuk menyelamatkan perusahaan diharapkan pengorbanan semua pihak, pemilik, kreditur, karyawan, supplier, dan pemerintah, meskipun pemiliklah yang bertanggung jawab terakhir.
Kreditur mungkin terpaksa kehilangan sebagian tagihannya, bisa jadi harus merubah kreditnya menjadi penyertaan.
Pemilik modal sendiri mungkin harus kehilangan kepemilikannya atas perusahaan tersebut.
Secara keseluruhan para kreditur mungkin harus bersedia mendapatkan jumlah yang lebih sedikit daripada tagihan semula.
Cara semacam ini dipilih bila dinilai lebih baik dari pada lewat proses likuidasi.
Jika dalam restrukturisasi perusahaan kita mengenal 3 pilar restrukturisasi kredit, maka dalam melaksanakan reorganisasi finansial, kita juga mengenal 2 (tiga) langkah yang perlu ditempuh, yaitu:
- Menaksir nilai perusahaan
- Menentukan struktur pendanaan yang dipandang cukup aman
- Menentukan nilai sekuritas-sekuritas yang baru.
Langkah yang pertama merupakan langkah yang paling sulit, tapi paling PENTING. Sulit sebab memerlukan estimasi dan judgement. Penting sebab akan menentukan nilai sekuritas-sekuritas yang baru.
Perhatikan pola reorganisasi berikut ini:
Misalnya, ditaksir keuntungan sesudah pajak sesudah reorganisasi finansial pada tahun depan ialah Rp 150 juta.
Dari setiap rupiah keuntungan yang diinvestasikan diharapkan sanggup mengatakan return on equity (ROE) sebesar 20%.
Perusahaan memutuskan hanya akan membagi 20% sebagai dividen. Bila dipergunakan model pertumbuhan konstan, maka pertumbuhan per tahun diperkirakan:
= (0,8 x 20%)
= 16%
Bila ditaksir biaya modal sendiri ialah 18%, maka taksiran nilai perusahaan bila tidak memakai hutang adalah:
= Rp 30 juta/(0,18 – 0,16)
= Rp 1,5 miliar
Nilai ini yang dipergunakan sebagai pegangan untuk menentukan nilai sekuritas-sekuritas yang baru.
Misalkan struktur modal sebelum reorganisasi finansial ialah sebagai berikut:
Setelah reorganisasi, nilai ini akan menjelma hanya Rp 1,5 miliar. Bila sesudah reorganisasi perusahaan akan bekerja dengan memakai modal sendiri sepenuhnya maka struktur modal yang gres adalah
Dengan demikian maka pemilik obligasi mengubah obligasinya menjadi penyertaan modal, sedangkan pemilik perusahan lama, mengurangi kepemilikannya.
Pemilik yang usang menentukan alternatif ini, artinya mereka kini hanya mempunyai sepertiga dari perusahaan.
Bila mereka berpikir bahwa alternatif likuidasi mungkin akan menciptakan mereka kehilangan perusahaan seluruhnya.
Dalam reorganisasi finansial sering dibarengi dengan konslidasi, yaitu menciptakan perusahaan lebih ramping secara operasional.
Reorganisasi dan konsolidasi dilakukan dengan cara:
- Melakukan penghematan biaya. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu ditunda atau dibatalkan.
- Menjual aktiva-aktiva yang tidak diperlukan.
- Divisi (unit bisnis) yang tidak mengntungkan dihilangkan atau digabung
- Menunda rencana perluasan hingga situasi dinilai telah menguntungkan.
- Memanfaatkan kas yang ada, tidak menambah hutang (kalau sanggup dikurangi dari hasil penjualan aktiva yang tidak diperlukan) dan menjaga likuiditas.
Dalam jangka pendek mungkin profitabilitas dikorbankan (profitabilitas terpaksa negatif).
03. Likuidasi Perusahaan
Apa itu likuidasi?
Pengertian berdasarkan para ahli, likuidasi ialah proses tamat ketika komplotan tidak lagi melaksanakan bisnis (source: Principles of Accounting – James M Reeve)
Likuidasi ditempuh bila kreditur beropini bahwa prospek perusahaan tidak lagi menguntungkan.
Kalaupun ditambah modal, atau merubah kredit menjadi penyertaan, tidak terlihat membaiknya kondisi perusahaan.
Dalam keadaan menyerupai ini, para kreditur lebih menyukai untuk meminta perusahaan di-likuidir.
Kadang-kadang sebelum para kreditur memutuskan untuk meminta perusahaan dilikuidasi, mereka bersedia menuntaskan sukarela.
Dalam hal ini mereka setuju untuk menunda tagihan mereka, baik atas bunga maupun pokok pinjaman.
Cara ini hanya akan ditempuh jikalau para kreditur beropini bahwa perusahaan memang masih akan bisa memenuhi kewajiban finansial di masa yang akan datang.
Bila perusahaan dinilai tidak punya prospek lagi, para kreditur juga bersedia menempuh cara composition dalam penyelesaian kewajiban finansial perusahaan.
Contoh likuidasi perusahaan cara composition:
Cara composition berarti bahwa setiap tagihan sebesar Rp 100 hanya akan dilunasi sebesar kurang dari Rp 100, contohnya Rp 75.
Cara ini dipilih para kreditur bila proses likuidasi diperkirakan akan memakan waktu yang usang dan biaya yang sangat besar.
Dalam keadaan menyerupai itu, penyelesaian dengan cara composition dinilai lebih menguntungkan.
Satu hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa dalam bencana likuidasi akan memakan waktu yang lama, dan aktiva terpaksa dijual dengan harga murah (distress price).
Di samping itu, perusahan harus melunasi kewajiban tertentu terlebih dulu, yaitu kewajiban terhadap para karyawan (gaji yang belum dibayarkan) dan pemerintah (pajak yang belum dibayar).
Dengan demikian sanggup terjadi bahwa akhirnya kreditur akan mendapatkan jumlah yang relatif sangat kecil, hasil penjualan aktiva perusahaan.
Untuk menghindari kesalahan dalam proses likuidasi persekutuan, likuidasi umumnya dilakukan dengan prioritas sebagai berikut:
- Prioritas #1: Kewajiban terhadap para karyawan (hutang upah dan gaji) dipenuhi terlebih dahulu.
- Prioritas #2: Kemudian kewajiban terhadap pemerintah (hutang pajak) dipenuhi.
- Prioritas #3: Setelah itu, aktiva-aktiva yang diagunkan dijual dan digunakan untuk melunasi hutang yang dijamin dengan agunan tersebut.
Bila hasil penjualan aktiva ini mencukupi, maka sisanya sanggup dipergunakan untuk melunasi kreditur umum.
Sebaliknya, bila tidak mencukupi, kekurangannya menjadi kreditur umum.
Contoh likuidasi persekutuan:
Misalnya, hutang yang dijamin dengan aktiva tertenti sebesar Rp 3 miliar. Hasil penjualan aktiva tersebut hanya menghasilkan uang sebesar Rp 2 miliar.
Dengan demikian sisa hutang sebesar Rp 1 miliar statusnya menjadi kreditur umum.
Bila jumlah kreditur umum lainnya (artinya kreditur yang tidak dijamin dengan agunan apapun) ialah Rp 4 miliar, maka jumlah kreditur umum kini ialah Rp 5 miliar.
Misalnya, hasil penjualan aktiva-aktiva lainnya hanya berhasil menghasilkan uang sebanyak Rp 3 miliar.
Dengan demikian maka setiap kreditur umum akan mendapatkan 60% dari nilai kredit yang mereka berikan kepada perusahaan.
Jika para kreditur umum tidak sanggup terbayar sepenuhnya, maka para pemilik modal sendiri tidak akan mendapatkan satu rupiah pun.
Umumnya kesulitan keuangan perusahaan tidaklah tiba dalam waktu tiba-tiba, melainkan merupakan cerminan dan serangkaian keputusan yang tidak benar.
Kondisi perusahaan yang memburuk nampak dari perkembangan indikator keuangan dari waktu ke waktu.
Rasio keuangan dalam bentuk debt to equity ratio (DER) akan cenderung makin meningkat untuk perusahaan yang akan bangkrut, bila dibandingkan dengan perusahaan yang survive.
Rasio rentabilitas modal sendiri akan makin buruk bahkan negatif untuk perusahaan yang akan bangkrut.
Bila tahun 0 ialah tahun terjadinya kebangkrutan tahun 1 memperlihatkan setahun sebelum terjadinya kebangkrutan.
Tahun 2 memperlihatkan dua tahun sebelum kebangkrutan, dan seterusnya.
Maka penggambaran rasio-rasio keuangan tersebut, untuk perusahaan yang gulung tikar dan survive akan nampak sebagai berikut:
Perbandingan satu indikator (rasio keuangan) antara perusahaan yang gulung tikar dan yang survive disebut sebagai univariate model.
Pemikirannya ialah bahwa mestinya mestinya terdapat sikap yang berbeda antara perusahaan yang gulung tikar dan yang survive.
Gambar tersebut memperlihatkan bahwa sebetulnya kemungkinan kebangkrutan sanggup diprediksi dengan mengamati memburuknya rasio keuangan dari tahun ke tahun.
Dengan demikian maka pemanfaatan rasio keuangan menjadi lebih luas, tidak hanya sekedar untuk menilai kesehatan perusahaan, tapi juga sanggup untuk memperkirakan kemungkinan kebangkrutan suatu perusahaan.
Altman menggabungkan banyak sekali rasio keuangan tersebut ke dalam suatu model untuk memprediksi apakah suatu perusahaan akan gulung tikar atukah tidak.
Model yang digunakan ialah dengan memakai teknik diskriminasi.
Karena model tersebut memakai beberapa rasio keuangan sekaligus, maka model tersebut disebut sebagai multivariable model.
04. Kesimpulan
Dalam menjalankan operasinya perusahaan sanggup menjadi besar sehingga terkadang menimbulkan kesulitan dalam pengelolaannya.
Bila problem ini dirasakan tidak menguntungkan, maka perusahaan terkadang ingin memperkecil diri.
Unit-unit acara dipisahkan dan bangkit sendiri sebagai perusahaan yang independen (spin-off) atau unit-unit tersebut dijual (sell-off).
Perusahaan sanggup juga berbalik dari go public menjadi go private.
Hal ini berarti bahwa saham-saham perusahaan yang semula dimiliki masyarakat kini dimiliki oleh beberapa orang (biasanya direksi).
Dan pemilik yang gres memutuskan untuk tidak mendaftarkan perusahaan di bursa.
Pertimbangannya seringkali ialah untuk memperoleh kebebasan yang lebih besar.
Perusahaan juga sanggup mengalami kesulitan dalam beroperasinya. Kesulitan sanggup terjadi sebab problem operasional, atau sanggup juga sebab problem pembiayaan.
Kesulitan yang pertama akan memaksa perusahaan melaksanakan reorganisasi operasional, dan yang kedua dengan reorganisasi reorganisasi finansial.
Pemilihan cara tersebut dilakukan bila dipandang bahwa prospek bisnis memang masih baik. Bila tidak, perusahaan lebih baik dilikuidasi.
Reorganisasi finansial dilakukan dengan maksud supaya perusahaan sanggup beroperasi dengan lebih ‘lega’. Karena tidak mempunyai beban finansial yang terlalu tinggi.
Dalam reorganisasi, kreditur perusahaan akan melaksanakan perundingan dengan administrasi wacana persyaratan-persyaratan dari kemungkinan reorganisasi tersebut.
Rencana reorganisasi mengharuskan dilakukannya restrukturisasi utang.
Dalam rekstrukturisasi hal-hal yang akan dilakukan antara lain:
- Tingkat bunga akan diturunkan
- Jangka waktu jatuh temponya diperpanjang
- Atau sebagian utang ditukar dengan ekuitas
Dalam bencana ini pemilik perusahaan yang usang biasanya minimal akan berkurang proporsi kepemilikannya.
Sebagian kredit, akan dirubah menjadi penyertaan, sehingga kreditur menjelma pemegang saham.
Dalam bencana likuidasi, umumnya semua pemberi dana akan mengalami kerugian. Seringkali pemilik perusahaan tidak mendapatkan apapun juga pada bencana likuidasi.
Sedangkan para kreditur mendapatkan jumlah yang lebih kecil dari yang diserahkan ke perusahaan.
Reorganisasi pemegang saham biasanya umumnya hanya mendapatkan dalam jumlah kecil dan sama sekali tidak mendapatkan likuidasi sebab aset biasanya mempunyai nilai lebih kecil dibandingkan jumlah utang yang masih belum dibayar.
Pemegang saham biasa juga harus dipangkas, di mana posisi mereka biasanya akan terdilusi sebagai jawaban dari diberikannya pelengkap saham kepada pemegang obligasi sebab mendapatkan pengurangan jumlah bunga dan pokok pinjaman.
Sampai disni, maka berkahir juga topik yang saya sampaikan mengenai restrukturisai, reorganisasi, dan likuidasi.
Semoga bermanfaat.
Terima kasih
***
Sumber https://manajemenkeuangan.net
0 Response to "Restrukturisasi, Reorganisasi, Dan Likuidasi [+Contoh Riil]"
Posting Komentar