Mengelola Keuangan Menghadapi Gejolak Ekonomi
Buat yang punya simpanan di saham atau Reksadana Saham saham, pasti dalam kondisi panik atau paling tidak resah, menyaksikan anjloknya harga saham di bursa dan merosotnya nilai tukar rupiah beberapa ahad ini. Khawatir harga saham yang terjun bebas akan memangkas nilai investasi yang dipakai untuk dana pendidikan anak dan dana pensiun.
Bagaimana nasib pendidikan bawah umur nanti, apakah dana pensiun akan cukup kalau nilai investasi turun terus.
Ini pertanyaan – pertanyaan yang banyak muncul. Semuanya berujung pada bagaimana mengelola keuangan dalam kondisi gejolak ekonomi?
Sebelum itu, saya ingin menekankan bahwa gejolak ekonomi yaitu sebuah keniscayaan dalam suatu perekonomian. Tidak ada ekonomi di dunia ini yang bebas atau kebal dari krisis ekonomi. Semuanya pasti pernah dan akan mengalami serangan krisis ekonomi suatu dikala nanti.
Dalam teori ekonomi makro, perekonomian dikatakan mengalami siklus. Tidak mungkin booming terus, tetapi juga mustahil krisis terus.
Indonesia paling tidak sudah dua kali mengalami krisis ekonomi, tahun 1998 dan 2008, dimana pasar saham dan nilai rupiah anjlok drastis. Namun, dalam dua periode gejolak tersebut, ekonomi kembali bangkit, tidak hanya ke titik awal (sebelum krisis) tetapi ke level yang lebih tinggi lagi.
Menghadapi Gejolak
Oleh alasannya yaitu itu, yang harus kita lakukan yaitu bagaimana mengelola keuangan semoga selalu siap menghadapi siklus dalam ekonomi. Paling tidak terdapat empat hal yang perlu diperhatikan.
1. Jangan Panik
Dalam kondisi gejolak, siapa sich yang tidak panik. Apalagi yang dipertaruhkan yaitu aset pribadi, dana pendidikan dan dana pensiun yang implikasinya amat penting buat kita dan keluarga.
Setuju, panik itu manusiawi. Tetapi, kondisi panik tidak menguntungkan alasannya yaitu keputusan yang diambil cenderung terburu-buru dan prone-error, yang justru sanggup merugikan keuangan Anda.
Supaya tidak panik, bagaimana? Anda harus melihat gejolak ekonomi dalam perspektif yang tepat. Gunakan data – data historis sebagai pijakan menganalisa krisis alasannya yaitu data relatif objektif dibandingkan persepsi dan opini yang cenderung subjektif. Dengan melihat data, kita berguru apakah tindakan yang diambil sudah sempurna atau belum.
Meskipun sudah 15 tahun yang lalu, masih segar di ingatan tahun 1998, sebagai fresh graduate dan gres bekerja, saya menyaksikan harga saham Astra Internasional (salah satu perusahaan terbesar di bursa) jatuh tanpa ampun dan menyentuh level terendah di kisaran Rp 600 sd Rp 800 per lembar.
Saat itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), indikator harga – harga saham di bursa efek, meluncur mencapai level terendah di 256.83 pada Sept 1998 atau turun 65% dari level 731,62 di awal Juli 1997.
Tahun 2008, akhir dampak dari gejolak di ekonomi Amerika Serikat, IHSG jatuh curam. Dalam waktu 10 bulan, awal Januari hingga final Oktober dalam tahun yang sama di 2008, harga – harga saham anjlok 57% dari level tertinggi IHSG 2,610 ke IHSG 1,111.
Dalam dua kejadian itu, 1998 dan 2008, yang meskipun berjarak 10 tahun lamanya, reaksi yang muncul sama. Kondisi panik muncul dimana-mana dan banyak yang tanpa pikir panjang menjual saham atau mencairkan reksadana saham dalam keadaan rugi yang tidak kecil. Melakukan apa yang disebut cut-loss. Khawatir nilai investasi sahamnya tergerus habis.
Apakah cut-loss langkah yang tepat?
Berikut data IHSG selama periode krisis di 1998, dari 1997 hingga final 2000 (sumber data IHSG: Yahoo Finance). Point A yaitu titik terendah IHSG dikala itu, kelihatan jurang yang dalam.
Namun, hanya dalam waktu tidak kurang dari 2 tahun, tepatnya di final 2000, IHSG sudah pulih ke level sebelum krisis.
Hal yang sama terjadi di krisis 2008. Dalam periode IHSG 2007 – 2010, point B yaitu titik terendah dimana banyak yang melaksanakan agresi jual atau cut-loss. Tidak hingga 2 tahun, IHSG sudah kembali bertengger di tingkat sebelum krisis, tepatnya di Januari 2010 (krisis Oktober 2008).
Kesimpulannya, kalau panik dan melaksanakan cut-loss, Anda akan mengalami kerugian yang tidak kecil.
Recovery pasar berlangsung dengan cukup cepat. IHSG berbalik nyata dalam waktu relatif pendek dan memperlihatkan reward kepada yang bertahan dengan tidak melaksanakan cut-loss.
Tidak hanya itu.
Kerugian yang jauh lebih besar menimpa Anda yang cut-loss, yaitu hilangnya kesempatan menikmati gurihnya return saham dalam jangka panjang.
Sejak Juli 1997 hingga dengan final Agustu 2013, IHSG sudah mencetak kenaikkan laba 470%. Kalau cut-loss, Anda tidak mencicipi kenaikkan nilai investasi saham hampir 5 kali lipat. Berikut perkembangan IHSG 1997 – 2013. Dengan melaksanakan cut-loss di titik A (krisis 1998) atau di titik B (krisis 2008), Anda kehilangan kesempatan menikmati rentang kenaikkan harga saham yang dicapai pada titik C.
Ini bukan isapan jempol. Saya alami sendiri.
Karena sifatnya jangka panjang, investasi saya di reksadana saham untuk dana pensiun tidak pernah diusik, apapun kondisi pasar, termasuk ketika topan 1998 dan 2008 datang. Hasilnya, dana pensiun saya menikmati kenaikkan nilai secara berlipat – lipat, jumlahnya lebih dari cukup untuk menutup kerugian harga saham di 1998 atau 2008.
Kesimpulannya apa untuk mengelola keuangan? Merujuk pada data – data historis, Anda sebaiknya tidak menjual saham atau mencairkan reksadana saham kalau investasi saham tersebut mempunyai tujuan keuangan diatas 5 tahun. Pengalaman dua krisis sebelumnya memperlihatkan harga saham pulih kurang dari 5 tahun.
Karena itu, kapan tujuan keuangan perlu dicapai menjadi hal yang penting untuk dilihat berikutnya.
2. Tujuan Investasi
Tujuan keuangan menjadi hal yang krusial alasannya yaitu dampak krisis terhadap planning keuangan Anda ditentukan oleh bagaimana kecocokan antara tujuan keuangan dan instrumen investasi yang dipilih. Menurut perencana keuangan, Ligwina Hananto, Tujuan Lo Apa!
Contohnya, kalau uang muka rumah untuk tahun depan dicapai dengan investasi di saham, sanggup dipastikan, Anda akan kalang kabut, pusing kepayang menyaksikan harga saham berguguran.
Tetapi kondisinya berbeda. Jika investasi saham dipakai untuk tujuan dana pensiun yang gres dibutuhkan 20 tahun lagi dari sekarang. Gonjang – ganjing pasar tidak akan menggoyahkan Anda untuk menjual saham.
Masalahnya dan ini problem besar dalam planning keuangan. Banyak yang tidak memperhatikan tujuan keuangan ketika melaksanakan investasi. Membeli produk investasi dahulu, gres menentukan tujuan keuangan.
Ini terjadi akhir banyak yang membeli produk keuangan alasannya yaitu di-drive oleh riuh rendahnya kondisi pasar keuangan. Ketika saham sedang naik, ikutan membeli saham. Ketika harga emas naik daun, buru – buru mengalihkan dana dari saham ke emas. Saat pasar modal anjlok, reksadana saham dicairkan dan dipindahkan ke tabungan atau deposito alasannya yaitu panik dan khawatir.
Yang harus dilakukan yaitu melihat kembali tujuan keuangan (ingat tujuan keuangan duluan), contohnya dana pensiun, dana pendidikan, uang muka rumah, dana liburan dan lain-lain, kemudian memastikan apakah instrumen investasi untuk mencapai tujuan keuangan tersebut sudah sempurna atau belum.
Kalau tujuan keuangan dibawah 5 tahun, sebaiknya jangan ditempatkan di saham, lebih baik di reksadana pendapatan tetap. Jika diharapkan tahun depan, instrumen ibarat deposito, reksadana pasar uang akan lebih tepat. Untuk investasi diatas 5 tahun, saham menjadi pilihan yang paling menarik alasannya yaitu return tinggi dengan risiko yang terkendali seiring jangka waktu investasi yang panjang.
Dengan investasi yang sesuai dengan tujuan keuangan, munculnya gejolak tidak akan menciptakan panik alasannya yaitu Anda tahu bahwa gejolak tidak akan banyak menghipnotis portfolio investasi Anda. Mengelola keuangan menjadi lebih efektif.
3. Mengendalikan Pengeluaran
Dalam kondisi ketidakpastian, Anda perlu berjaga –jaga dalam mengelola keuangan. Kenapa? Karena tidak yang tahu dengan pasti, kapan gejolak akan selesai. Yang banyak dilakukan para pengamat atau pejabat yaitu hanya memprediksi kapan gejolak selesai.
Cara yang paling efektif yaitu mengendalikan pengeluaran rumah tangga. Hal – hal yang tidak urgen dan penting, yang lebih ke harapan (‘wants’), sebaiknya dilihat kembali. Jika memungkinkan ditunda terlebih dahulu.
Uang yang ada sebaiknya disisihkan guna meningkatkan porsi dana darurat. Dana darurat yang besar lengan berkuasa akan membantu dikala investasi sedang turun. Saat butuh dana, Anda sanggup memakai dana darurat dan tidak perlu merealisasikan investasi yang pasti akan rugi.
Banyak yang mengalami kerugian dikala krisis alasannya yaitu terpaksa harus menjual instrumen investasinya disaat harga – harga sedang dibawah. Jika punya dana darurat yang cukup, Anda sanggup memakai dana darurat dan tidak perlu menjual investasi di harga sale.
4. Diversifikasi Investasi
Gejolak ini mengingatkan kembali pentingnya melaksanakan diversifikasi investasi dalam mengelola keuangan. ‘Don’t put your eggs in one basket’. Investasi disebar ke dalam beberapa instrumen dan tidak terkonsentrasi hanya pada instrumen tertentu.
Masalahnya, diversifikasi sering dilupakan. Kenapa? Karena orang sering mengejar instrumen investasi yang sedang naik daun dan menempatkan sebagian besar dana ke instrumen tersebut. Diversifikasi ditinggalkan alasannya yaitu dianggap tidak menguntungkan.
Selama ini kinerja saham sedang bagus-bagusnya. Akibatnya, banyak yang terpicu menempatkan sebagian besar investasi di dalam saham, baik melalui reksadana atau beli eksklusif di broker saham. Implikasinya tidak bagus. Konsentrasi portfolio investasi di saham menjadi membengkak. Tidak jarang saham sudah mencapai 70 sd 80% porsi portfolio kita.
Dalam kondisi pasar saham yang stabil, hal itu tidak jadi masalah. Namun, pasar saham mustahil selalu stabil, pasti ada dikala harga saham bergejolak, ibarat yang dialami beberapa ahad ini. Ketika IHSG di bursa turun, kita sanggup bayangkan apa yang terjadi dengan kekayaan yang terkonsentrasi di saham.
Sebaiknya kita meninjau kembali dan melaksanakan rebalancing investasi dengan tujuan mengurangi porsi yang sudah terlalu tinggi dan menambah porsi yang masih kurang dalam keranjang portfolio kita.
Rebalancing investasi yaitu upaya diversifikasi. Seharusnya dilakukan secara rutin dan tidak hanya dikala kondisi pasar turun saja. Kalau dilakukan secara rutin, rebalancing sanggup memproteksi portfolio terhadap gejolak ekonomi.
Demikian hal – hal yang perlu dilakukan dalam mengelola keuangan menghadapi gejolak ekonomi.
Bacaan penting lainnya yaitu Apa Reksadana Paling Aman, Alasan Kenapa Anda Harus Investasi Jika Keuangan Ingin Sehat dan Cukup 100rb Bisa Beli Reksadana.
Sumber https://duwitmu.com
0 Response to "Mengelola Keuangan Menghadapi Gejolak Ekonomi"
Posting Komentar