Jurnal Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan [Teori Dan Pola Penerapan]
Daftar isi
- 01. Struktur Modal dalam Pasar Persaingan Sempurna dan Tidak Ada Pajak
- 02. Struktur Modal dalam Pasar Persaingan Sempurna dan Ada pajak
- 03. Struktur Modal dan Leverage: Mengapa Tidak Menggunakan Extrem Leverage?
- 04. Personal Tax dalam Struktur Modal Manajemen Keuangan
- 05. Pecking Order Theory dalam Struktur Modal Manajemen Keuangan
- 06. Kesimpulan
Struktur Modal [capital structure] ialah materi administrasi keuangan yang penting untuk dipelajari dan dipahami, berkaitan dengan bagaimana administrasi perusahaan meracik struktur modal efektif dan optimal.
Struktur modal besar lengan berkuasa terhadap nilai perusahaan
Apakah ada imbas struktur modal terhadap nilai perusahaan, bila investasi dan dividen konstan?
Jika perubahan komponen struktur modal tidak merubah nilai perusahaan berarti bahwa tidak ada struktur modal yang terbaik.
Semua struktur modal ialah baik, sehingga bila dengan merubah struktur modal ternyata nilai perusahaan berubah, maka akan diperoleh rasio struktur modal optimal.
Struktur modal yang sanggup memaksimumkan nilai perusahaan atau harga saham ialah strukur modal yang TERBAIK.
Agar semakin terang , yuk segera dimulai pembahasan teori struktur modal…
01. Struktur Modal dalam Pasar Persaingan Sempurna dan Tidak Ada Pajak
Sengaja saya sajikan pembahasan dimulai dari keadaan yang ekstrem, yaitu pada kondisi pasar persaingan tepat dan tidak ada pajak.
Kondisi ibarat ini tidak kita jumpai di dunia nyata. Tapi pembahasan sengaja dimulai dari kondisi yang ekstrem tersebut, untuk kemudian diperlonggar satu demi satu perkiraan yang mendasarinya.
Apa pengertian pasar modal sempurna?
Definisi pasar modal tepat ialah pasar modal yang kompetitif. Di mana dalam pasar tersebut tidak dikenal biaya kebangkrutan, tidak ada biaya transaksi, bunga simpanan dan santunan sama yang berlaku untuk semua.
Sebagai tambahan, diasumsikan tidak ada pajak penghasilan (income tax)
Asumsi-asumsi lain untuk mempermudah analisis ialah sebagai berikut:
- Laba operasi yang diperoleh setiap tahunnya dianggap konstan. Ini berarti bahwa perusahaan tidak merubah keputusan investasinya.
- Semua keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham dibagikan sebagai dividen. Ini berarti kita tidak memasukkan kerumitan faktor kebijakan dividen.
- Hutang yang dipakai bersifat permanen. Ini berarti bahwa hutang yang jatuh tempo akan diperpanjang lagi. Asumsi ini hanya untuk mempermudah perhitungan biaya hutang (cost of debt) dan menciptakan hutang dan modal sendiri comparable.
- Pergantian struktur hutang dilakukan secara langsung. Artinya, bila perusahaan menambah hutang, maka modal sendiri dikurangi, dan sebaliknya.
Analisis korelasi struktur modal dengan nilai perusahaan bisa dilakukan dengan melihat pada nilai perusahaan atau harga saham.
Analisis yang sama juga bisa dilakukan dengan melihat biaya modal perusahaan. Bila tujuan kita ialah untuk meningkatkan nilai perusahaan, maka tujuan ini analog dengan menurunkan biaya modal perusahaan.
A. Struktur Modal Pendekatan Tradisional
Mereka yang menganut pendekatan tradisional beropini bahwa dalam pasar modal yang tepat dan tidak ada pajak, nilai perusahaan atau biaya modal perusahaan bisa dirubah dengan cara merubah struktur modalnya.
Pendapat ini mayoritas hingga dengan awal tahun 1950-an. Berikut ini ilustrasi yang memperlihatkan pedoman mereka.
Perhatikan pola soal struktur modal administrasi keuangan berikut:
PT A mempunyai 100% modal sendiri, dan diharapkan memperoleh keuntungan higienis setiap tahunya sebesar Rp 10 juta.
Jika tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemilik modal sendiri ialah 20%, maka nilai perusahaan dan biaya modal perusahaan sanggup dihitung sebagai berikut:
Biaya modal perusahaan juga bisa dihitung dengan rumus struktur modal:
= Laba Operasi/Nilai Perusahaan.
= 10 juta/50 juta = 0.20
Sekarang perhatikan imbas struktur modal terhadap harga saham:
Misalkan PT A akan mengganti sebagian modal sendiri dengan hutang. Biaya hutang, atau tingkat keuntungan yang diminta oleh kreditur, contohnya 16%.
Untuk memakai hutang tersebut perusahaan harus membayar bunga setiap tahunnya sebesar Rp 4 juta.
Dengan memakai hutang perusahaan menjadi lebih beresiko, dan karenanya didanai modal sendiri naik menjadi, contohnya 22%.
Kalau keuntungan operasi higienis tidak berubah (asumsi #1), maka keadaan perusahaan menjadi lebih baik sesudah perusahaan memakai utang, lantaran nilai perusahaan meningkat atau biaya modal perusahaan menurun.
Jika misalkan sebelum perusahaan memakai hutang perusahaan, mempunyai jumlah lembar saham sebanyak 1.000 lembar, maka harga sahamnya ialah Rp 50.000 per lembar.
Setelah perusahaan mengganti sebagian saham dengan hutang [yang diganti ialah sebesar Rp 25 juta atau 500 lembar saham], maka nilai sahamnya naik menjadi Rp 27,27 juta/500 = Rp 54.540.
B. Pendekatan Modigliani dan Miller
Modigliani dan Miller [MM] beropini bahwa struktur modal pendekatan tradisional ialah tidak benar.
Mereka memperlihatkan kemungkinan munculnya proses arbitrage yang akan menciptakan harga saham atau nilai perusahaan yang tidak memakai hutang maupun yang memakai hutang akhirnya sama.
Proses arbitrage muncul lantaran investor selalu lebih menyukai investasi yang memerlukan dana yang lebih sedikit tapi mengatakan penghasilan higienis yang sama dengan risiko yang sama pula.
Dalam pola di atas, pemodal bisa memperoleh keuntungan yang sama tapi dengan investasi yang lebih kecil, bila mempunyai saham PT A yang tidak mempunyai hutang.
Misalkan Budi mempunyai 20% saham PT A yang memakai hutang. Dengan demikian maka nilai kekayaannya ialah sebesar 0,20 x Rp 27,27 juta = Rp 5,45 juta.
Sekarang misalkan terdapat PT B yang identik dengan PT A yang tidak mempunyai hutang. Untuk itu proses arbitrage akan dilakukan sebagai berikut:
- Jual saham PT A memperoleh dana sebesar Rp 5,45 juta
- Pinjam sebesar Rp 5 juta. Nilai santunan ini ialah sebesar 20% dari nilai utang PT A.
- Beli 20% saham PT B, yaitu perusahaan yang identik dengan PT A pada waktu tidak mempunyai utang, senilai 0,20 x Rp 50 juta = Rp 10 juta.
- Dengan demikian Budi sanggup menghemat investasi senilai Rp 0,45 juta
Pada waktu Budi masih mempunyai 20% saham PT A yang memakai hutang. Ia mengharapkan untuk memperoleh keuntungan sebesar:
=0,20 X Rp 6 juta = Rp 1,2 juta
Pada waktu ia mempunyai 20% saham PT B dan mempunyai hutang sebesar Rp 10 juta, maka keuntungan yang diharapkan adalah:
#1: Keuntungan dari saham PT B:
= 0,20 X Rp 10 Juta = Rp 2 juta
#2: Bunga yang dibayar:
= 0,16 X Rp 5 juta = Rp 0,8 juta
#3: Keuntungan bersih:
= Rp 2 juta + Rp 0,8 = Rp 2,8 juta
Hal ini berarti Budi sanggup mengharapkan untuk memperoleh keuntungan yang sama [Rp 1,20 juta], menanggung risiko yang sama lantaran proporsi hutang yang ditanggung sama. Tapi dengan investasi yang lebih kecil sebesar Rp 0,45 juta.
Bila hal ini disadari oleh semua pemodal, maka mereka akan menjiplak apa yang dilakukan oleh Budi.
Dengan demikian maka semua orang akan menjual saham PT A [harga akan turun] dan membeli saham PT B [harga akan naik].
Proses arbitrage tersebut akan berhenti sesudah pemodal tidak sanggup lagi menghemat investasi dari penjualan saham PT A dan pembelian saham B.
Sebenarnya bila kita amati proses penggantian modal sendiri dengan hutang yang dilakukan oleh PT A segera bisa dijumpai adanya kejanggalan.
Di atas disebutkan bahwa PT A mengganti modal sendiri dengan hutang sebesar Rp 25 juta, bila sebelum memakai hutang nilai modal sendiri ialah Rp 50 juta, maka sesudah diganti dengan hutang sebesar Rp 25 juta, nilainya tentu tinggal Rp 25 juta.
Tidak mungkin menjadi Rp 27,27 juta sebagaimana diungkapkan oleh pendekatan tradisional .
Jika nilai modal sendiri menjadi Rp 25 juta, maka mestinya biaya modal sendiri sesudah memakai hutang menjadi:
= Rp 6 juta/Rp 25 juta = 24%
Dengan biaya modal perusahaan 16%, maka biaya modal perusahaan sesudah memakai hutang adalah:
= 24% [25/50] + 16% [25/50]
= 20%
Ini berarti bahwa biaya modal perusahaan atau nilai perusahaan tidak beruba, baik perusahaan memakai hutang atau tidak.
Karena pada pendekatan tradisional diasumsikan biaya modal sendiri meningkat tetapi hanya menjadi 22%.
Maka perusahaan yang memakai hutang menjadi lebih tinggi nilainya dari perusahaan yang tidak memakai hutang.
Perhatikan pola soal teori MM tanpa pajak berikut ini:
Biaya modal sendiri PT A sesudah memakai hutang adalah:
= 20% + (20% – 16%)(25/25)
= 24%
Kita memperoleh angka yang sama dengan cara perhitungan di atas.
MM memperlihatkan bahwa dalam keadaan pasar persaingan tepat dan tanpa ada pajak, keputusan pendanaan (financing decision) menjadi tidak relevan.
Artinya penggunaan hutang ataukah modal sendiri akan memberi dampak yang sama bagi kemakmuran pemilik perusahaan.
02. Struktur Modal dalam Pasar Persaingan Sempurna dan Ada pajak
Dalam keadaan ada pajak, MM beropini bahwa keputusan pendanaan menjadi relevan.
Hal ini disebabkan oleh lantaran pada umumnya bunga yang dibayarkan lantaran memakai hutang bisa dipergunakan untuk mengurangi penghasilan yang dikenakan pajak (tax deductible).
Dengan kata lain, bila ada dua perusahaan yang memperoleh keuntungan operasi yang sama, tapi yang satu memakai hutang dan membayar bunga.
Sedangkan satunya tidak, maka perusahaan yang membayar bunga akan membayar pajak penghasilan [income tax] yang lebih kecil.
Karena menghemat membayar pajak merupakan manfaat bagi pemilik perusahaan, maka tentunya nilai perusahaan yang memakai hutang akan lebih besar dari nilai perusahaan yang tidak memakai hutang.
Perhatikan pola berikut:
Dari pola di atas terlihat bahwa PT E yang memakai hutang dan membayar bunga, membayar pajak lebih kecil.
PT E membayar pajak Rp 1 juta lebih kecil dari PT D.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah, apakah penghematan pajak ini merupakan manfaat?
Jawabannya ialah “ya”.
Karena itu, MM beropini bahwa nilai perusahaan yang memakai hutang akan lebih besar dari pada nilai perusahaan yang tidak memakai utang.
03. Struktur Modal dan Leverage: Mengapa Tidak Menggunakan Extrem Leverage?
Adanya ketidak sempurnaan pasar modal menimbulkan pemilik perusahaan atau pemegang saham keberatan untuk memakai leverage yang ektrem lantaran akan menurunkan nilai perusahaan.
Bila pasar modal tidak sempurna, salah satu kemungkinannnya ialah munculnya biaya kebangkrutan yang cukup tinggi.
Biaya kebangkrutan antara lain:
- Legal fee: ialah biaya yang harus dibayar kepada para andal aturan untuk menuntaskan claim.
- Distress price: kekayaan perusahaan terpaksa dijual dengan harga murah sewaktu perusahaan dinyatakan bangkrut.
Semakin besar kemungkinan terjadi kebangkrutan, dan semakin besar biaya semakin tidak menarik penggunaan hutang.
Dalam keadaan di-introdusir adanya biaya kebangkrutan, biaya modal sendiri akan naik dengan tingkat yang makin cepat.
Pertimbangan lainnya mengapa perusahaan jarang perusahaan yang memakai leverage yang ekstrem?
Hal itu dikarenakan kreditur enggan untuk mengatakan kredit yang terlalu besar.
04. Personal Tax dalam Struktur Modal Manajemen Keuangan
Penjelasan materi struktur modal manajemen keuangan di atas hanya memperhatikan faktor pajak dari sisi pajak penghasilan yang ditanggung oleh perusahaan.
Bagi pemodal, penghasilan higienis yang mereka terima dari investasi yang mereka lakukan merupakan pembayaran dari perusahaan dalam bentuk pembayaran dividen atau bunga obligasi.
Dan hasil penjualan investasi mereka yaitu penjualan saham atau obligasi yang dimiliki sesudah dikurangi pajak pribadi (personal tax).
Personal tax ini yang kini akan kita bahas…
Perhatikan pola berikut:
Misalkan personal tak ialah sebesar 25%. Dengan demikian bagi para pemegang saham PT E, bila keuntungan yang diperoleh dibagikan seluruhnya sebagai dividen, maka mereka tidak akan mendapatkan secara keseluruhan sejumlah Rp 4,5 juta, tapi hanya sebesar:
= (1-0,25) (Rp 4,5 juta)
= Rp 3,375 juta
Demikian juga bila pemodal mempunyai obligasi PT E. Saat PT E membayar bunga obligasi sebesar Rp 4 juta, penghasilan higienis yang diterima oleh pemilik obligasi adalah:
= (1-0,25) (Rp 4 juta)
= Rp 3 juta
Contoh ini memperlihatkan tarif personal tax yang sama (baik untuk pembayaran dividen maupun bunga obligasi) dan semua keuntungan dibagikan sebagai dividen.
Dalam keadaan ini, maka preferensi atas penggunaan hutang tetaplah berlaku.
Masalahnya ialah bahwa:
- #1: keuntungan mungkin saja tidak seluruhnya dibagikan sebagai dividen
- #2: mungkin tarif pajak utuk capital gains lebih kecil daripada tarif pajak untuk dividen.
Bila dua hal tersebut terjadi, maka preferensi atas hutang mungkin tidak selalu berlaku. Jika pemegang saham akan mendapatkan penghasilan higienis yang lebih besar bila mereka mempunyai saham.
Maka mereka akan lebih menyukai membeli saham dibandingkan dengan obligasi.
Bila hal ini terjadi, maka perusahaan akan lebih gampang menerbitkan saham dan bukan obligasi.
Bahkan dalam keadaan tarif personal tax sama untuk capital gains maupun dividen, para pemegang saham sanggup menunda pembayaran pajak mereka, sedangkan pemilikan obligasi tidak memungkinkan.
Karena penundaan pembayaran pajak selalu menguntungkan (seperti konsep nilai waktu uang), maka diantara pemodal mungkin ada yang lebih menyukai membeli saham bila dibandingkan dengan obligasi.
Mereka yang menyukai penundaan pembayaran pajak ialah para pemodal yang sudah berada pada tarif pajak yang tinggi.
Sebagai contoh, besaran tarif pajak ialah 15%, 25%, dan 35%.
Mereka yang sudah berada dalam tarif pajak 35%, akan lebih beruntung bila sanggup menunda pembayaran pajak mereka.
Karena itu, dlam dunia bisnis, kita akan menjumpai sekelompok pemodal yang lebih menyukai membeli saham yang tidak membagi dividen terlalu besar.
Mereka lebih menyukai untuk memperoleh pelengkap kekayaan dalam bentuk capital gains, lantaran pembayaran pajak gres dilakukan sesudah gains tersebut direalisir.
Dengan demikian, di pasar modal tetap akan dijumpai sekelompok investor yang menentukan untuk membeli saham, dan sekelompok investor yang lebih menyukai membeli obligasi.
05. Pecking Order Theory dalam Struktur Modal Manajemen Keuangan
Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan mengapa suatu perusahaan akhirnya menentukan struktur modal tertentu seperti:
- Coprporate tax
- Biaya kebangkrutan, dan
- Personal tax
Penjelasan 3 faktor ini termasuk dalam lingkup balancing theories. Esensi balancing theories ialah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akhir penggunaan hutang.
Sejauh manfaat masih lebih besar, hutang akan ditambah. Tapi bila pengorbanan lantaran memakai hutang sudah lebih besar, maka hutang dilarang lagi ditambah.
Ada lagi teori struktur modal yang dirumuskan oleh Myers dan Mjluf, yaitu pecking order theory.
Apa itu pecking order theory?
Packing order theory ialah teori yang menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai.
Teori ini mendasarkan diri atas informasi asimetri [asymmetric information] ialah suatu istilah yang memperlihatkan bahwa administrasi mempunyai informasi yang lebih banyak perihal prospek, risiko dan nilai perusahaan daripada pemodal publik.
Manajemen perusahaan mempunyai informasi yang lebih banyak dari pemodal karena:
- merekalah yang mengambil keputusan-keputusan keuangan
- yang menyusun banyak sekali rencana perusahaan
- dan kebijakn perusahaan lainnya
Kondisi ini sanggup dilihat dari reaksi harga saham pada waktu administrasi mengumumkan sesuatu [seperti peningkatan pembayaran dividen].
Informasi asimetrik ini menghipnotis pilihan antara struktur modal internal dan eksternal.
Sumber dana internal, yaitu dana dari hasil operasi perusahaan, ataukah eksternal, dan antara penerbitan hutang baru, ataukah ekuitas baru.
Karena itu, teori ini disebut sebagai pecking order theory.
Disebut pecking order theory lantaran teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hirarki sumber dana yang paling disukai.
Sesuai dengan teori ini maka investasi akan dibayar dengan dana internal terlebih dahulu, yaitu keuntungan ditahan.
Kemudian gres diikuti dengan penerbitan hutang baru, dan akhirnya dengan penerbitan ekuitas baru.
Dan berikut ini dijelaskan alasan mengapa perusahaan lebih menyukai penerbitan hutang daripada ekuitas baru.
Perhatikan pola #2 perusahaan berikut ini:
PT A dan PT B ketika ini mempunyai harga saham masing-masing di bursa imbas ialah sebesar Rp 10.000.
Meskipun demikian, nilai bergotong-royong [true value] saham-saham tersebut mungkin lebih besar atau lebih kecil dari Rp 10.000.
Kemungkinan bahwa true value bisa lebih besar atau lebih kecil dari harga di bursa imbas ketika ini semata-mata mencerminkan ketidakpastian yang dihadapi para pemodal.
Misalnya, pengharapan para pemodal di waktu kemudian sering meleset, yakni realisasi bisa lebih besar atau lebih kecil dari yang diharapkan.
Sedangkan harga di bursa ketika ini tidak lain ialah taksiran terbaik para pemodal menurut atas informasi yang mereka miliki atas perusahaan-perusahaan tersebut.
Misalkan situasi kedua perusahaan tersebut ialah sebagai berikut:
Misalnya kedua perusahaan tersebut perlu menghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai suatu investasi.
Mereka sanggup menghimpun dana dengan menghimpun utang dengan menerbitkan obligasi atau menghimpun ekuitas dengan menerbitkan saham baru.
Bagaiman pilihan terbaik, menerbitkan saham atau obligasi?
A. Pemegang kebijakan struktur modal administrasi keuangan perusahaan A mempunyai pertimbangan sebagai berikut:
“Kalau harga saham di bursa saham ketika ini ialah Rp 10.000, maka bila perusahaan menerbitkan saham baru, maka saham tersebut harus ditawarkan dengan harga Rp 10.000 juga.
Padahal perusahaan ialah perusahaan yang sangat baik, prospek perusahaan sangat cerah, sehingga harga saham di bursa saham ketika ini bergotong-royong sangat rendah.
Harga yang masuk akal mestinya Rp 12.000.
Karena perusahaan mustahil menerbitkan saham gres dengan harga Rp 12.000, maka lebih baik perusahaan menerbitkan hutang saja [menerbitkan obligasi] daripada harus menjual saham gres dengan harga terlalu rendah.”
B. Pemegang kebijakan struktur modal administrasi keuangan perusahaan B mungkin mempunyai pertimbangan ibarat berikut:
“ Perusahaan ini memang mencatat hasil operasi yang cukup baik dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dengan demikian maka harga saham ketika ini tercatat di bursa saham sebesar Rp 10.000.
Sayangnya, perusahaan tidak melihat kondisi akan berlanjut terus di masa datang. Persaingan akan makin ketat, sehingga hasil operasi perusahaan akan menurun.
Saat ini nampaknya para pemodal memang belum menyadari situasi ini, sehingga harga saham masih bertahan pada harga Rp 10.000.
Dengan demikian, apakah tidak sebaiknya perusahaan menerbitkan saham gres dengan harga RP 10.000?”
Yang menjadi duduk kasus ialah bila perusahaan memperlihatkan saham gres dengan harga Rp 10.000, pemodal bisa saja menyadari bahwa harga saham ketika ini yaitu Rp 10.000 bergotong-royong terlalu tinggi.
Sebagai akhirnya para pemodal hanya bersedia membayar dengan harga Rp 8.000 dan harga saham usang pun ikut turun menjadi Rp 8.000.
Bila para pemegang kebijakan keuangan menyadari hal ini, maka ia justeru tidak ingin menerbitkan saham gres yang sanggup dipergunakan sebagai signal bahwa harga saham ketika ini sudah terlalu tinggi, dan kemudian lebih menentukan menerbitkan obligasi.
Sebagai akibatnya, maka baik situasi harga saham ketika ini cenderung undervalue [terlalu murah] ataukah overvalue [terlalu tinggi] akan mengakibatkan perusahaan menentukan menerbitkan obligasi.
Dengan istilah lain, asimetrik informasi akan menciptakan menentukan menerbitkan obligasi dari pada saham baru.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa setiap kali perusahaan memerlukan pendanaan eksternal, perusahaan akan menerbitkan obligasi dan bukan saham baru.
Alasannya adalah:
- asimetrik informasi tidak terlalu penting
- terdapat faktor-faktor lain yang menghipnotis pilihan struktur modal.
♣
Sebagai pola bila salah satu perusahaan tersebut sudah memakai hutang yang terlalu besar denga mempunyai rasio hutang yang tinggi, maka pendanaan eksternal ditarik dalam bentuk saham baru.
Pengumuman penerbitan saham gres tersabut memang akan mengakibatkan harga usang bisa sedikit turun, tapi penurunan tersebut masih dinilai masuk akal atau lebih baik dibandingkan dengan penurunan harga saham bila perusahaan bersikukuh menerbitkan obligasi.
Dengan adanya asimetrik informasi tersebut juga akan menimbulkan perusahaan lebih suka memakai pendanaan internal daripada eksternal.
Penggunaan dana internal tidak mengharuskan perusahaan mengungkapkan informasi gres kepada pemodal sehingga sanggup menurunkan harga saham.
Dan secara ringkas teori pecking order tersebut menyatakan sebagai berikut:
#1: Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal
#2: perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio struktur modal kebijakan dividen dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melaksanakan perubahan pembayaran dividen yang terlalu besar.
#3: Pembayaran dividen yang cenderung konstan dan fluktuasi keuntungan yang diperoleh menimbulkan dana internal adakala berlebih ataupun kurang untuk investasi.
#4: Bila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling kondusif terlebih dahulu.
Penerbitan sekuritas akan dimulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi yang sanggup dikonversikan menjadi modal sendiri, selanjutnya menerbitkan saham baru.
Sesuai dengan teori ini, tidak ada sasaran rasio hutang, lantaran ada 2 jenis modal sendiri yang preferensinya berbeda, yaitu:
- Laba ditahan yang dipilih lebih dulu
- Penerbitan saham gres dipilih paling akhir
Rasio hutang setiap perusahaan akan dipengaruhi oleh kebutuhan dana untuk investasi.
Lalu mana diantara dua teori tersebut dianut oleh perusahaan?
Pengamatan terhadap beberapa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia menerangkan bahwa penggunaan modal sendiri yang sebesar-besarnya juga dipandang bukan keputusan yang terbaik, lantaran kan membayar pajak penghasilan yang besar.
Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa perusahaan juga menganut balancing theories.
Sebaliknya, kecenderungan perusahaan untuk menentukan pendanaan internal bila dihadapkan pada kesempatan investasi yang menguntungkan, sehingga pembayaran dividen dijadikan variabel pasif.
Hal ini memperlihatkan diterapkannya pecking order theory.
Penelitian Bayles and Diltz memperlihatkan bahwa pengujian balancing theories harus dilakukan dalam jangka panjang, dan balancing theories lebih bisa menjelaskan keputusan struktur modal yang dianut oleh banyak sekali perusahaan.
06. Kesimpulan
Teori struktur modal perusahaan menjelaskan apakah perubahan komposisi pendanaan akan menghipnotis nilai perusahaan, bila keputusan investasi dan kebijkan dividen dipegang konstan.
Struktur modal dalam pasar persaingan tepat dan tidak ada pajak penghasilan, MM memperlihatkan bahwa struktur modal tidak menghipnotis nilai perusahaan.
Proses arbitrage akan memaksa nilai perusahaan yang memakai hutang sama dengan nilai perusahaan yang tidak memakai hutang.
Sebaliknya, bila mulai dipertimbangkan adanya faktor pajak, maka MM memperlihatkan bahwa penggunaan hutang akan selalu lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan penggunaan modal sendiri.
Hal ini disebabkan oleh sifat tax deductibility of interest payment.
Sebagai akibatnya, bila pasar modal persaingan tepat dan ada pajak, maka struktur modal optimal ialah struktur modal yang memakai hutang sebesar-besarnya.
Tentu saja pernyataan tersebut mengundang banyak ketidaksepakatan. Ketidaksepakatan itu bergotong-royong berpusat pada asumsi-asumsi yang dipergunakan.
Diakui bahwa bila dimasukkan faktor ketidaksempurnaan pajak, maka struktur modal dengan memakai hutang sebanyak-banyaknya tidaklah merupakan struktur modal optimal.
Demikian juga faktor keengganan kreditur untuk mengatakan kredit yang makin banyak akan menciptakan perusahaan sulit untuk bekerja dengan extrem leverage.
Akhirnya, faktor personal tax juga akan menghipnotis apakah sumber dana yang dipergunakan akan berbentuk modal sendiri ataukah hutang.
Bila pemodal lebih menyukai membeli saham, maka bagi perusahaan tentu akan lebih gampang untuk menerbitkan saham.
Sekelompok pemodal mungkin lebih memimilih saham, lantaran mereka sanggup menunda pembayaran personal tax mereka.
Myer dan Majlu [MM] mengemukakan teori struktur modal yang didasarkan atas asimetri informasi.
Terori tersebut disebut sebagai pecking order theory. Teori tersebut menjelaskan mengapa perusahaan menyukai internal financing dari pada external financing.
Jika perusahaan akan memakai external financing, maka perusahaan akan menentukan memakai hutang terlebih dahulu. Dan ekuitas akan menjadi pilihan alternatif paling akhir.
Dan untuk melengkapi klarifikasi makalah struktur modal ini, berikut saya sajikan video singkatnya…
Demikian materi yang sanggup saya sampaikan, biar bermanfaat dan terima kasih.
***
Sumber https://manajemenkeuangan.net
0 Response to "Jurnal Struktur Modal Terhadap Nilai Perusahaan [Teori Dan Pola Penerapan]"
Posting Komentar