Menelisik Dikala Gunung Agung Meletus Tahun 1963-2017
Jauh Sebelumnya…
“Gunung Agung ialah gunung tertinggi di Pulau Bali dengan ketinggian 3142 mdpl. Dahulu kala Gunung Agung dijadikan sentra mata angin oleh penduduk Bali sebagai arah untuk melaksanakan persembahyangan. Dalam sejarah meletusnya Gunung Agung tahun 1843, sebagian penduduk setempat melaksanakan ritual penyambutan lahar di Pura Bedag Dukuh dan Sogra (Pura di Gunung Agung) sebagai janji untuk menjaga Gunung Agung secara spiritual.”
Gunung Agung Meletus tahun 1963
Meletusnya Gunung Agung 1963, merupakan salah satu letusan gunung terdahsyat dalam sejarah Indonesia. Hal ini diperkuat alasannya minimnya isu mengenai tanda-tanda gunung meletus pada ketika itu, yang menimbulkan semakin tingginya korban jiwa dari letusan tersebut. Pada tanggal 18 Februari 1963, penduduk setempat mendengar ledakan keras, awan yang mengepul. Seluruh pulau bali menjadi gelap ketika itu. Yang merupakan salah satu mengambarkan gunung akan meletus. Dilanjutkan dengan mengalirnya lahar pada tanggal 24 Februari 1963.
Kemudian tanggal 17 Maret 1963, Gunung Agung memuntahkan puing ledakan sampai 8-10 km keatas udara. Puing-puing tersebut menimbulkan rumah-rumah penduduk hancur. Serta menewaskan sekitar 1500 orang.
Setelah Gunung Agung meletus, warga terpaksa meninggalkan kampung mereka yang masih hancur dijatuhkan puing-puing letusan.
Karena minimnya sarana transportasi pada ketika itu. Warga hanya sanggup membawa sedikit barang untuk dibawa ke daerah pengungsian.
Dapat diketahui dari National Geographic, penduduk setempat memperoleh isu yang minim ketika terjadinya Gunung Agung meletus. Namun, dibalik hal tersebut ternyata bebarapa masyarakat disana memang melaksanakan tradisi menyambut lahar – Kusumadinata (1963) dan tidak mau mengungsi.
Tradisi menyambut lahar dilakukan di Pura Bedag Dukuh dan Sogra sampai pura tersebut hancur akhir letusan Gunung Agung tahun 1963 beserta warga yang melaksanakan tradisi itu. Menurut catatan Kusumadinata (1963), awan panas pagi itu telah menewaskan 109 warga Badeg Dukuh dan 102 warga Sogra.
Berdasarkan isu dari Cok Sawitri, Budayawan yang berasal dari Karangasem ini pernah bertemu dengan saksi mata yang mengevakuasi korban awan panas di Badeg Dukuh. ”Mereka bilang, di pura itu ibarat upacara penyambutan, semacam odalan. Saat ditemukan, para korban dalam posisi duduk menabuh gamelan. Kepala dukuh duduk dengan genta masih di tangan. Dia berdoa,” katanya.
Informasi Cok Sawitri ini diperkuat pada hasil penelitian Thomas A Reuter dalam Custodians of the Sacred Mountains (2002) yang menyebutkan bahwa orang-orang Bali di pegunungan merasa mempunyai kewajiban suci melindungi gunung itu. Reuter mengutip pernyataan Jero Tongkong, tetua Bali Aga – sebutan orang luar terhadap masyarakat Bali pegunungan – yang mengatakan, ”Kami menjaga pegunungan kehidupan ini, akal-akalan asal-usul Bali: kami ialah dahan renta yang mendukung ujung yang segar. Jika kami mengabaikan kiprah (ritual) kami, dunia akan berguncang dan seluruh penduduknya akan hancur lebur.”
Letusan Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, pada tahun 1963 tercatat menurunkan suhu bumi sebesar 0,4 derajat celcius. Hal itu terjadi alasannya material vulkanik berupa aerosol sulfat dari gunung Agung, terbang sampai jarak 14.400 kilometer dan melapisi atmosfer Bumi. Ini berdampak positif untuk menurunkan potensi Global Warming di dunia dengan sangat cepat ketika itu.
Gunung Agung Meletus Tahun 2017
Gunung Agung kembali memperlihatkan aktivitasnya semenjak November 2017. Gunung Agung terus mengeluarkan asap dan beberapa kali disertai dengan gempa seismik. Hingga tanggal 21 November, Gunung Agung melaksanakan erupsi yang pertama di tahun 2017. BMKG terus menawarkan isu terupdate mengenai acara Gunung Agung serta peramalan aktivitasnya. Dari isu BMKG, bulan Desember 2017 merupakan acara Gunung Agung yang paling reaktif sampai menyentuh level IV.
Warga setempat dihimbau untuk melaksanakan pengungsian sedini mungkin. Hal ini terlihat dengan banyaknya daerah pengungsian di setiap kebupaten di Bali. Disisi lain, acara Gunung Agung menguji kemanusiaan masyarakat Bali terkait kepedulian dengan sesama. Hal ini sanggup kita lihat dengan banyaknya acara untuk membantu pengungsi. Baik yang dilakukan oleh forum formal maupun informal.
Wilayah Karangasem merupakan wilayah utama yang memproduksi pasir dan koral di Provinsi Bali. Karena sebagian besar warga Karangasem mengungsi, produksi pasir dan koral di Bali mengalami penurunan. Selain itu, kualitas pasir yang dihasilkan ialah yang terbaik. Dilansir dari Bali Post, harga pasir per truk sebelum erupsi Gunung Agung ialah 1,5 juta lalu berangsur naik sampai 2,5 juta per truk. Disisi lain erupsi Gunung Agung menghasilkan materi baku pasir gres dengan kualitas terbaik.
Walaupun sebaran wisatawan di Kabupaten Karangasem masih sangat sedikit, dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali. Tetap saja, acara Gunung Agung sangat mempengaruhi sektor pariwisata di Provinsi Bali. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kunjungan pariwisata di bulan November ialah -12,64% dari tahun sebelumnya. Dan pada bulan Desember dengan cepat menurun -28,66% dari tahun sebelumnya. Hal ini sangat kuat terhadap pendapatan sebagian masyarakat di Provinsi Bali.
Di tahun 2018 acara Gunung Agung masih berlanjut diiringi gempa seismik dan erupsi bubuk vulkanik.
Kenangan penulis bersama UKM Generasi Bidik Misi Universitas Udayana
Referensi :
Disperda Provinsi Bali, National Geographic, dan Bali Post.
Sumber https://www.advernesia.com/
0 Response to "Menelisik Dikala Gunung Agung Meletus Tahun 1963-2017"
Posting Komentar