Kisah Usaha Robinson Sinurat, Anak Petani Lulusan S2 Universitas Ternama Di As
Robinson Sinurat bersama orang tuanya ketika wisuda S2 di New York (Dok: Robinson Sinurat)Karena dongeng ini sangat baik untuk dibaca para siswa yang mempunyai mimpi berkuliah di luar negeri tetapi ekonomi orangtua tidak mendukung jadi dongeng inspiratif ini sangat baik kita simpan dan bagikan kembali disini.
Perjuangan Robinson Sinurat (Obin), anak petani di Tanjung Beringin, Sumatera Utara, berhasil menuntaskan pendidikan S2 dari universitas ternama, Columbia University, di New York, Amerika. Dengan berpegang teguh dengan pemikiran hidupnya, "Be Honest. Be Brave. Be Willing", Obin berhasil mencapai impiannya.
WASHINGTON, D.C. — Kisah usaha seorang anak dari keluarga petani asal Tanjung Beringin di Sumatera Utara untuk meraih pendidikan S2 di universitas bergengsi di Amerika Serikat merupakan sebuah bukti pencapaian sebuah impian. Robinson Sinurat yang erat dipanggil Obin berhasil lulus dari universitas prestisius, Columbia, di kota New York, NY.
"Be honest. Be brave. Be willing." Itulah moto hidup yang selalu ia tanamkan.
Gigih Berjuang Demi Pendidikan
Perjuangan gigih Obin untuk meraih pendidikan pun tidak lepas dari semangat orang tuanya yang ialah petani kopi dan sayur. Sejak kecil Obin yang ialah anak ke-5 dari tujuh bersaudara terpaksa tinggal berjauhan dari orang renta di kota Medan, demi mendapatkan pendidikan yang lebih baik
Selama bersekolah pun Obin yang punya keinginan untuk bisa masuk ke sekolah bonafit ibarat sekolah swasta berfasilitas lengkap, mengaku selalu terkendala problem keuangan, mengingat orang tuanya sudah kehabisan biaya sesudah menyekolahkan kakak-kakaknya. Namun, Obin percaya bahwa rezeki masing-masing niscaya berbeda.
“Ketika di giliran saya mau masuk ke sekolah, misalnya mau masuk SMP, mau masuk SMA, selalu terkendala dengan keuangan. Makara mereka selalu bilang coba ke negeri dulu aja, jika masuk negeri keuangan kita bisa mencukupi,” papar Obin ketika dihubungi VOA Indonesia belum usang ini.
Selagi duduk di dingklik Sekolah Menengah Pertama di Medan, ia juga sempat tinggal bersama adik-adiknya yang masih SD. Belajar, memasak, dan mencuci baju menjadi kiprah hariannya, hingga balasannya orang renta Obin memutuskan untuk memindahkan adik-adiknya ke daerah kakaknya di pulau Jawa.
Mengikuti pesan Bapak dan Mamak, begitulah Obin memanggil orang tuanya, ia selalu semangat untuk berguru hingga menjadi juara. Saat kelas 3 SMA, Bapak dan Mamak berpesan kepadanya.
“Kalo kau enggak masuk negeri kuliahnya, kita enggak sanggup biayain. Makara kau harus masuk negeri. Kalau enggak ya berguru lagi setahun lagi,” kenangnya.
Pesan itu menjadi semangat gres baginya untuk berjuang masuk ke universitas negeri. Ia mengikuti ujian SMBPTN dan mendaftar ke Universitas Padjadjaran, Bandung dan Universitas Sriwijaya, Palembang. Awalnya, ia mengira akan berakhir kuliah di Bandung. Namun, balasannya ia diterima di Universitas Sriwijaya di Palembang, jurusan Fisika, jurusan yang bukan ia inginkan.
“Menurut saya pribadi bukan problem apa pun jurusannya, tapi pola pikirnya, mindset kita itu gimana ketika kita kuliah, jauh dari orang renta juga. Makara OK ambil ajalah, yang niscaya masuk sekolah tinggi tinggi negeri, orang renta sanggup membayar,” kata laki-laki kelahiran tahun 1990 ini.
Namun, ketika sudah diterima, Obin kembali dihadapi hambatan biaya. Orang renta Obin menyampaikan tidak ada biaya dan menganjurkannya untuk mencoba lagi tahun depan. Mengingat banyak belum dewasa Indonesia yang bercita-cita masuk ke sekolah tinggi tinggi negeri tetapi tidak lolos, Obin menganggap ini merupakan kesempatan berharga baginya. Ia pun memutuskan untuk meminjam uang tiga juta rupiah ke sobat dekatnya, untuk membayar uang registrasi sekitar 2,4 juta rupiah dan tiket naik bis dari Bandung ke Palembang.
Awal Baru di Kampus Sriwijaya
Setibanya ia di kampus Universitas Sriwijaya, ia pun harus memikirkan cara untuk membayar uang kos dengan sisa uangnya yang tinggal sekitar 250 ribu rupiah. Siapa yang menyangka ketika menemani temannya mencari rumah kos, ia kemudian ditawari untuk tinggal bersama salah seorang penjaga kos di salah satu daerah yang mereka datangi.
“Kalau memang kau mau, kau tinggal sama saya aja, tapi ya namanya juga kamar penjaga kos-an ya, enggak ada apa-apa, dan sempit. Nanti kau bayarnya terserah aja berapa dan kapan. Kalau kau ada uang aja dibayar, tapi jika uang listrik bayarlah ya, maksudnya paling cuman 10 apa 20 puluh ribu per bulan gitu,” katanya.
Satu problem selesai, ia pun harus memikirkan uang untuk membayar buku praktikum dan biaya hidup, khususnya untuk makan. Untuk menyiasati hal ini, Obin menciptakan seni administrasi hanya makan satu kali sehari di kantin kampus di waktu sore hari, biar bisa mengganjal rasa lapar hingga keesokan harinya. Untuk sepiring nasi dengan lauknya, Obin harus membayar sekitar 6-7 ribu rupiah.
“Jadi dulu itu strateginya ialah saya beli nasi banyak, sepiring gede terus pakai sayur, pakai ikan atau daging apa gitu bayarnya kan cuman itu doang,” jelasnya.
Untuk mengatasi rasa lapar yang biasa melanda di tengah malam, Obin menyimpan biskuit kelapa di kamarnya.
“Aku ambil 1-3 biji, makan, sambil nangis,” kenangnya.
“Aku enggak pernah kasih tahu (orang tua), jika saya itu nggak makan. Tapi jika yang bahagia-bahagianya saya kasih tahu. Karena jika berdasarkan aku, kalaupun saya kasih tahu saya susah segala macam, toh memang kalo mereka enggak ada (biaya) ya mau gimana, kan?” lanjutnya.
Agar bisa meneruskan kuliah, Obin kemudian dianjurkan oleh dosen pembimbing dan dekan untuk mendaftar beasiswa dari PPA (Peningkatan Prestasi Akdemik) dan BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa). Nilainya yang selalu cantik semenjak Sekolah Menengan Atas serta doa orang renta membuahkan beasiswa di semester dua hingga lulus. Untuk bertahan hidup, ia pun mencari peruntungan kerja dengan mengajar fisika di sekolah bimbingan berguru di sentra kota Palembang, yang berjarak sekitar satu jam dari kampusnya. Pernah satu kali ia mengirimkan batik untuk orang tuanya dari hasil kerjanya.
“Mereka terharu dong,” ujar laki-laki yang hobi jogging dan berenang ini.
Terjun ke Bidang Sosial di Palembang
Minat Obin di bidang sosial tumbuh ketika tinggal di Palembang. Obin yang supel dikenal sangat aktif berorganisasi. Ia tergabung di Youth Interfaith Community, American Association of Petroleum Geologist, menjadi ketua perkumpulan warga Batak, dan mendirikan organisasi kampus, Himpunan Mahasiswa Geofisika.
Setelah lulus, ia pindah ke Jakarta untuk mendapatkan proposal kerja sebagai koordinator kegiatan di bidang kepemudaan di Global Peace Foundation. Setelah itu di Jakarta ia juga pernah bekerja di kementerian PU (Pekerjaan Umum) sebagai seorang konsultan. Kerap kali ia mengikuti konferensi-konferensi baik di tingkat nasional maupun internasional yang pernah membawanya hingga ke Malaysia.
Mengejar Impian Hingga ke Negeri Paman Sam
Obin kemudian mempunyai harapan yang baru, yaitu pergi ke Amerika untuk menempuh pendidikan. Setelah empat kali mencoba mendaftar beasiswa untuk kegiatan Young Southeast Asian Leaders Initiative dari pemerintah Amerika Serikat, ia kemudian berhasil memperolehnya. Selama lima ahad ia digodok di University of Nebraska di kota Omaha, untuk berguru mengenai pengembangan keterlibatan warga (Civic Engagement) dan kepemimpinan.
“Yang pertama itu sih saya merasa bangga, sebab saya pola pikirnya berubah, lebih baik, terus leadership skils-nya juga, dan public speaking juga, sebab harus ngomong di depan teman-teman dan yang paling pentingnya lagi ialah saya harus practice bahasa inggris setiap hari sama teman-teman yang lain,” dongeng Obin yang pernah bertemu dengan mantan presiden Amerika, Barack Obama ketika mengikuti konferensi di Malaysia.
Tahun 2015 Obin kemudian terpilih untuk mengikuti kegiatan dari Kemenristekdikti (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI) untuk pergi ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Dari 45 ribu orang yang mendaftar hanya 33 yang terpilih, termasuk dirinya. Kunjungannya ke Ende kemudian mendatangkan gagasan untuk menciptakan perpustakaan untuk belum dewasa SD, SMP, dan Sekolah Menengan Atas di Ende.
Sesuai dengan rencananya, tak usang kemudian Obin memutuskan untuk mendaftar beasiswa untuk studi S2.
“Karena saya dulu waktu pertama kerja saya udah menciptakan semacam goal satu target, dalam waktu dua tahun saya mau lanjut lagi s2 di bidang sosial, sebab pekerjaan saya selama ini sosial tapi sebab background saya itu fisika kadang orang merasa jika saya prakteknya udah banyak, cuman di teori enggak ada. Nggak ada degreenya di teorinya,” terperinci Obin yang juga pernah bekerja untuk organisasi nirlaba American Voices di Indonesia dan mengikuti kegiatan Rumah Perubahan Rhenald Kasali.
Melalui beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Pendidikan), Obin berhasil diterima di banyak sekali universitas di Amerika Serikat, Australia, Belanda dan Inggris.
"(Mamak) jika enggak salah lagi metik cabe, terus katanya ia eksklusif kayak berlutut gitu, ucapan syukur gitu lho. Di deket pohon cabe,” kenangnya sambil tertawa.
“Terus ia nangislah, (katanya) ‘selamat ya nak’,” lanjutnya.
Dari seluruh universitas yang menerimanya, Obin memutuskan untuk menentukan Columbia University, sebuah universitas prestisius atau Ivy League di New York. Jurusan 'social work' (pekerjaan sosial) menjadi pilihannya.
“Yang lucunya saya dongeng ke orang tua, ke Bapak sama Mamak kan, saya lolos Columbia University di Amerika. Terus kata mereka, bukannya di ucapin selamat, ini enggak. ‘Loh kenapa ke Amerika lagi? Bukannya kemaren mau ke inggris?” ungkapnya lagi sambil tertawa.
Robinson Sinurat bersama orang tuanya di depan Gedung Putih, Washington, D.C. (Dok: Robinson Sinurat)Sesampainya di Amerika Serikat dan memulai kuliah di tahun 2016, Obin mendapat tantangan baru. Bacaan yang banyak dan kiprah yang menumpuk sempat membuatnya patah semangat dan ‘badan kurus kerempeng.’ Tetapi, dengan kemampuan bahasa Inggris yang menurutnya masih menjadi kendala, ia tetap berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus Amerika. Kali ini strateginya ialah mempersiapkan diri dan berpartisipasi di dalam kelas.
“Aku udah targetin, setiap mata kuliah itu saya at least nanya satu atau jawab satu. Kalau memang bisa lebih lebih bagus, tapi at least satu,” jawabnya.
Robinson Sinurat lulusan Columbia University di AS (Dok: Robinson Sinurat)
Menurutnya dosen di Amerika Serikat sudah ibarat sobat sendiri. Jika ada pertanyaan, boleh eksklusif mengirim e-mail atau tiba ke kantornya di ketika jam kerja.
Seperti ketika kuliah di Universitas Sriwijiaya dulu, Obin kembali aktif di kampus. Ia menjadi salah satu tim pemasaran untuk PERMIAS (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) dan mendirikan International Student Caucus di kampus bersama teman-temannya.
Cita-cita Obin untuk lulus S2 pun tercapai di tahun 2018. Impian lainnya? Mendatangkan Bapak dan Mamak ke Amerika untuk wisudanya, dengan hasil tabungannya selama ini.
“Akhirnya tercapailah mimpi saya itu. Aku bilang harus berdua, sebab waktu S1 kan cuman (Mamak). Makara jika kali ini harus berdua,” paparnya.
Robinson Sinurat bersama artis Tasya Kamila (tengah) dan Kania (kanan) ketika wisuda S2 (Dok: Obin)
Lulus dari Columbia University, Obin sekarang bekerja di forum nirlaba, Queens Community House di New York, sebagai Counseling Specialist.
Pencapaian Obin selama ini kembali lagi kepada pemikiran hidupnya. “Be honest. Be brave. Be willing.” Jujur. Berani. Mau berjuang.
“Kita harus jujur sama diri kita sendiri, let’s say jika ada sesuatu yang memang kita enggak sanggup, ya bilang enggak sanggup. Dan kita jujur sama diri kita sendiri. Kita itu orangnya gimana? Karena jujur sama diri sendiri itu penting. Ketika kita jujur dengan diri kita sendiri, kita tahu apa yang harus kita lakukan. Kemudian kita harus berani. Berani untuk melangkah. Untuk take risk. Makara harus ada yang dikorbankan,” ujarnya.
Tak lupa berdasarkan Obin, yang juga tak kalah penting ialah kemauan untuk berjuang dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
“Jadi saya sih berharapnya gitu. Makanya saya bikin itu jadi moto saya sendiri. Be honest. Be brave. Be willing,” pungkasnya. [di]
Cerita yang sangat mengsinspirasi ini sebelumnya sudah dishare oleh www.voaindonesia.com. Semoga Robinson Sinurat yang dikenal dengan panggilan Obin, semakin sehat dan sukses sehingga bisa menunjukkan ide lebih banyak lagi kepada generasi muda.
Jangan Lupa Untuk Berbagi 🙏Share is Caring 👀 dan JADIKAN HARI INI LUAR BIASA! - WITH GOD ALL THINGS ARE POSSIBLE😊
Video pilihan khusus untuk Anda 💗 Everything Starts With A Dream;
0 Response to "Kisah Usaha Robinson Sinurat, Anak Petani Lulusan S2 Universitas Ternama Di As"
Posting Komentar