iklan

Cerpen Senyum Simpul Nana

 Hujan rintik membasahi tanah merah dipekarangan rumah Cerpen Senyum Simpul Nana

Hujan rintik membasahi tanah merah dipekarangan rumah. Dedaunan anyir basah. Embun luruh bersama percik air. Udara sejuk menusuk rusuk. Langit sedikit mendung tapi tidak dengan perasaan sahabatku, Nana. Perasaannya sedang membuncah hebat. Hari ini ialah hari pernikahannya dengan seorang laki-laki hitam manis berjulukan Ridwan. Santun dan sholeh. Sedikitnya itu yang saya tahu. Tiga bulan yang kemudian mereka dipertemukan dalam sebuah proses ta’aruf  kemudian dilanjutkan dengan khitbah dan persiapan pernikahan. Ah singkatnya. Entah malaikat apa yang membisikan mantra ditelinganya. Hingga begitu gampang ia mendapatkan pinangan laki-laki yang gres dikenalnya. 

“mantap Na?” tanyaku mencurigai niatnya, saya bersandar dipintu kamarnya sambil memakan camilan manis yang dipajang diatas meja rias.

“hey, Laa takul qooiman. Jangan makan sambil berdiri!” Bentaknya, kemudian tersenyum puas

“oops,, Astaghfirullah. Afwan afwan. Jadi? Tanyaku ingin tau kemudian terduduk diranjang pengantin yang empuk.

“jadi apa?” tanyanya lagi, akal-akalan lupa. Tersenyum cuek

“mantap? Nikah muda? Belum kenal usang kan sama kak Ridwan” tanyaku dengan mimik serius dan intonasi penuh tanda tanya.

“Ayya cantik, ukhtiku sayang. Ingat dengan sebuah hadits yang kita kaji tempo hari? ‘Apabila tiba melamar kepadamu seseorang yang kau ridhoi agamanya dan akhlaknya, maka kawinkanlah. Jika tidak kau laksanakan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas’. (HR. Tirmidzi).’ Tegasnya. Dengan gaya bicara mamah Dedeh

“Satu lagi ‘Sesungguhnya di antara berkah perempuan ialah fasilitas dalam meminangnya’ (HR Ahmad).” Sambungnya mantap

“Aku memang gres mengenalnya, tapi tidak dengan mbak Novi dan mas Ari yang merupakan orang yang menimbulkan kami akan saling menyayangi alasannya Allah. Tentu mereka mempertimbangkan dengan sangat matang untuk menta’arufkan saya dengan kak Ridwan. Memang betul saya belum usang mengenal kak Ridwan. Tapi tidak dengan Allah yang Maha mengetahui. Aku hanya sanggup berdo’a biar kak Ridwan benar jodoh yang Allah tuliskan di lauhil mahfudz. Yang sanggup menuntunku menjadi muslimah lebih baik dimata Allah”. 

Matanya berbinar. Parasnya semakin bagus dengan riasan wajah natural yang semenjak setengah jam tadi diaplikasikan diwajah manisnya. Mbak Ratih hanya tersenyum-senyum mendengarkan percakapan kami. Ia agaknya kerepotan merias wajah Nana yang sambil berbicara meladeni pertanyaan-pertanyaanku. Apa dalam hatinya mbak Ratih bahu-membahu ingin mengusirku? Karena saya mengganggu pekerjaannya? Hehehe… 

Aku meminum dua gelas air mineral kemasan kemudian menghela nafas panjang. Aku dekati Nana dengan wajah senang dan perasaan sedih, salut, senang, campur aduk. Aku terduduk dihadapannya sambil memegangi kedua tangannya yang hangat. 

“Barakallah yah Nana, saya begitu senang melihatmu bahagia, saya senang kau akan segera mengikuti sunah Rosulullah untuk menyempurnakan separuh agamamu, saya senang alasannya sebentar lagi kau akan ada yang jaga, jadi saya udah gak repot lagi telpon malem-malem untuk bangunin kau sholat lail, kau kan jikalau tidur tidur kayak sapi dibius, terus saya gak usah tuh sms kau tiap hari buat ngingetin minum vitamin, terus….” 

Suaraku parau tak sanggup berkata-kata lagi. Aku hanya menangis sejadinya. Yah, saya sangat cengeng. Kemudian kurasakan Nana membelai kepalaku yang terbalut jilbab berwarna merah muda.

“Ayya sayang, saya mencintaimu alasannya Allah. Aku justru yang kini khawatir terhadapmu alasannya kau kan orangnya pecicilan, jutek, gak sanggup duduk manis dan manja banget” terdengar ia tertawa kecil sambil meneteskan air mata

“kamu jaga diri baik-baik yah, sesudah saya menikah kan kita gak sanggup telponan tiap malem lagi, tapi sebisa mungkin silaturahim ini harus kita jaga oke?” kemudian ia mencium keningku lembut dan kami berpelukan sangat erat. Hening. Terdengar rengekan bernada sebal 

“hmmm, udah dong nangisnya! Itu make upnya berantakan. Aduuuh” mbak Ratih terlihat murka dan melototiku. Spontan saya meminta maaf sambil berlari keluar kamar kemudian tertawa lepas.

Dibelakang pintu kamar Nana yang kututup tadi, saya kembali menangis. Ingatanku terbang pada beberapa tahun lalu. Saat pertama kali saya mengenalnya dulu. Ia gadis bertubuh tinggi dan berkulit hitam manis. Saat itu ialah hari registrasi SMA. Aku didaftarkan oleh ayahku. Sementara saya menentukan melihat-lihat bakal SMAku itu. saya berlenggang santai sambil memegangi gagang lolipop dimulutku. Aku melihat Nana bersama seorang laki-laki paruh baya berpakaian lusuh dan bersendal jepit. Yah itu ayahnya. Nana berdiri disampingnya dengan wajah gusar. Aku mendengar pembicaraan sang ayah dengan pecahan keuangan SMA. 

“bu, insya allah besok saya lunasi uang pangkalnya. Ada hasil kebun yang akan saya jual besok subuh kepasar. Seminggu ini saya sakit jadi tidak sanggup berjualan. Hanya sayuran yang sanggup saya jual pagi tadi jadi saya mohon terima dulu sebagian uangnya bu” pinta ayah Nana dengan bunyi bergetar menahan tangis.

“baiklah, tapi tolong jangan ingkar komitmen yah pak. Besok sore harus sudah lunas” jawab pegawai keuangan sekolah dengan mimik wajah dan nada bunyi sinis.

“Alhamdulillah. Insya allah bu, niscaya akan saya usahakan. Terimakasih” Timpal ayah Nana dengan wajah senang sambil memeluk putri tercintanya yang tak kalah bahagianya.

“kamu gak usah khawatir nak. Bapak akan melunasi uang pangkalnya besok” ucap sang ayah sambil memegangi kedua pundak anaknya. Meyakinkannya untuk tetap bersemangat sekolah. Nana tersenyum sumringah dengan sisa-sisa air mata senang dipipinya. Ia tak sengaja melihatku yang sengaja melihat kedua ayah beranak tersebut. Aku terkaget hingga permen lolipopku jatuh. Ia tersenyum padaku kemudian menghampiriku. 

“assalamu’alaikum. Hai namaku Nana. Aku murid gres disini, insya allah” Sapanya dengan begitu hangat sambil mengulurkan tangannya. Sejurus kemudian saya mengulurkan tanganku dan bersalaman dengannya 

“aku Cahaya Bintang, panggil saja Ayya. Murid gres juga. Nih masih pake seragam Sekolah Menengah Pertama tapi seragamku pendek dan gak pakai jilbab kayak kamu” sambil menyengir padanya. Ia tersenyum kemudian tertawa kecil

“suatu hari kau akan berjilbab syar’i insya allah” ucapnya sambil mengusap pundakku

“jilbab? Syar’i? kayak kau gitu yah? heee… saya belum kepikiran dan belum ngerti juga” timpalku polos. Saat itu.

“suatu hari insya allah kau ngerti, ayo dong aaminkan saja dulu. Oke?” pintanya sambil tersenyum.

“oh. Oke. Aamiin ya Allah” seronohku sambil memungut permenku dan membuangnya ke tong sampah. Terdengar bunyi ayahnya memanggilnya untuk pulang. Ia berpamitan padaku dan mengucapkan salam. Dari kejauhan kulihat anak beranak itu. Dua insan yang sederhana namun penuh cinta. Tak terlihat sedikitpun kesedihan diwajah mereka.

Esok harinya ialah hari pertama masuk sekolah dan saya sangat senang ketika tahu Nana sekelas denganku namun tak kutemukan ia dikelas. Aku tersentak mendengar kabar dari ibu wali kelas bahwa ayah Nana meninggal dunia subuh tadi dipasar alasannya tertabrak sepeda motor dikala menyebrang dengan lembaran uang berhamburan ditangannya. Yah uang dari hasil penjualan hasil kebunnya untuk melunasi uang pangkal Nana. Air mataku luruh. Aku menangis sejadinya. Teman-teman sekelasku keheranan. Aku menangis alasannya saya telah jatuh cinta dengan seorang sahabat gres yang sangat bersahaja, yang hidupnya penuh kesusahan namun selalu tersenyum itu. Keesokan harinya Nana sudah masuk sekolah. Ia berseragam putih abu-abu serba panjang dan berjilbab menutup dada dan menjulur hingga perut. Wajahnya berbinar dengan senyum yang terkembang. Salamnya memecah sunyinya pagi dikelas itu yang gres ada beberapa siswa saja yang datang. Ia menghampiriku.

“Assalamu’alaikum Ayya. Kamu duduk sendirian yah? Apa sengaja kursi disebelahmu ini untuk aku?” Tanyanya sambari menatap mataku.

Aku terdiam kemudian menitikan air mata disusul tangisku yang meledak. Nana memelukku erat kurasakan hangat airmatanya menetesi bahuku. Nana menangis tanpa suara. Kami tak berkata apa-apa. Kami hanya saling memeluk kemudian mengusap air mata masing-masing. Aku tak punya kata-kata bijak untuk menguatkannya alasannya saya begitu cengeng. Sementara Nana, cukup dengan kekuatan diwajahnya yang penuh semangat itu ia memberikan bahwa ia baik-baik saja. Sejak dikala itu kami menjadi sahabat sebangku dan sekelas hingga tiga tahun di SMA. Aku bersyukur alasannya pihak sekolah membebaskan Nana dari biaya apapun. Disamping keadaannya yang tak lagi mempunyai ayah, juga alasannya prestasinya yang membanggakan disekolah. Aku mulai berjilbab dikala kelas dua Sekolah Menengan Atas dengan keinginanku sendiri atas tunjangan Nana. Ia tak pernah memaksaku atau mengguruiku untuk berjilbab namun saya sering menemaninya menghadiri program pengajian rohis di sekolah sperti halnya Nana yang menemaniku latihan bola basket. Ia turut serta dalam perjalanan hijrahku. Ia mengenalkanku pada perintah kewajiban berhijab, menemaniku belanja atribut hijab disekolah hingga membantuku berguru memakainya. Hingga pada suatu waktu kami harus terpisah. Aku kuliah jurusan jurnalistik dikota dan ia menentukan untuk bekerja. Sebetulnya ia mendapatkan beasiswa disebuah universitas swasta dikota, namun ia lebih menentukan bekerja alasannya harus membiayai keluarganya yang terdiri dari nenek,  tiga adik yang masih kecil-kecil dan ibunya. Sebetulnya ibu Nana bekerja sebagai petani di kebun peninggalan ayah Nana. Namun  demam isu yang tak menentu dan panen yang tak sanggup diandalkan serta kebutuhan hidup yang kian tinggi menyebabkannya harus mengikhlaskan putri tertuanya itu untuk membantunya bekerja.

“mempelai laki-laki sudah datang” teriak belum dewasa dihalaman rumah. Seisi rumah bersuka cita menyambut rombongan mempelai pria. Setengah jam kemudian ijab kabul dilangsungkan. Aku, Nana, kedua sahabat kami Frida dan Gusti serta ibunda Nana menunggu dikamar hingga ijab kabul selesai diucapkan. Samar-samar terdengar bunyi sang mempelai pria 

“saya terima nikah dan kawinnya Siti Marlina binti almarhum Sobari dengan mas kawin lima gram emas dan seperangkat alat sholat dibayar tunai”. Kemudian seisi rumah berteriak sah dan kami saling berpelukan. Tibalah saatnya Nana keluar. Aku, Frida dan Gusti mengiringnya dibelakang laksana dayang-dayang putri raja. Kak Ridwan memakaikan cincin. Nana mencium tangannya. Kak Ridwan mengecup kening Nana. Ah, indahnya…. hihihi

Aku sibuk jeprat jepret kesana kemari. Aku cek lagi hasil tangkapan kameraku. Tersenyum puas. Kemudian memotret lagi. Apa saja yang kupotret. Bisa tamu undangan. Pengantin tentunya. Kadang-kadang para prawali yang mencuci piring, memasak dan memungut piring dan gelas bekas para tamu undangan. Hingga pada satu momen memalukan. Aku memotret seorang laki-laki. Tamu undangan. Teman kak Ridwan sepertinya. Aku memotret siapa saja sebetulnya, termasuk dia. Aku memotretnya ketika ia sedang tersenyum sambil memegang sepotong camilan manis bolu yang hendak ia makan. Kemudian saya cek hasil jepretanku. Manis sekali.

“Maaf mbak boleh pinjam kameranya sebentar?” tanya seseorang disampingku. Aku melongo melihatnya. “yah? Apa?” tanyaku bengong.

“kameranya” telunjuknya mengarah kekamera yang kupegang. “boleh saya pinjam?” dengan nada semakin sopan.

“oh…. Ini” saya tersadar kemudian cepat-cepat menawarkan kameraku padanya. Menunduk. Tanpa melihat matanya. Ia mengambilnya. Aku pergi kedapur. Entah untuk apa. Dengan ajudan memukul-mukul kepalaku sendiri. Menghukum kebodohanku memandanginya dengan tanpa sadar.

Aku gres sanggup melihat hasil jepretanku diresepsi pernikahan Nana seminggu setelahnya. Kubuka chip kameraku kemudian kumasukkan di card reader dan kucolokkan dilaptopku. Satu persatu kucek foto-foto tersebut. Kebanyakan ialah foto pengantin. Foto Nana mendominasi. Ah cantiknya sahabatku ini. Hingga hingga pada sebuah foto laki-laki berwajah manis yang sedang tersenyum sambil memegang sepotong camilan manis bolu itu. Aiiih. 

“astaghfirullah” teriakku didepan laptop. Aku gres ingat. Laki-laki ini yang meminjam kameraku yang sebelumnya saya potret dan belum sempat saya switch off kameranya. Ah niscaya ia melihat fotonya ketika hendak menggunakan kameranya. Aku lemas. Malu. Kemudian menangis menutup wajah yang kubenamkan dimeja kerjaku.

Handphoneku bernyanyi. Lagu kun anta. Tanda ada panggilan masuk. Nama Nana muncul dilayarnya. Kuangkat setengah terpaksa.

“Assalamu’alaikum, yang udah jadi istri” sapaku.

“Wa’alaikumsalam, calon istri” jawabnya sambil tertawa meledek. 

“ayo aamiin kan dong cantik” godanya lagi.

“iya. Aamiin”. Balasku dengan bunyi kesal dan parau. Sisa air mata aib masih membasahi pipiku.

“eh gimana skripsi? Beres?” tanyanya serius.

“Alhamdulillah beres Na. Sehari sesudah pernikahan kau itu saya sidang. Lancar dan eksklusif yudisium. Lulus dan kesannya A. ketiga terbesar sefakultas. lumayan”. Jawabku Datar.

“aiiih. Masya Allah…. Barakallah yah”. Sumringah. 

“Eh tapi kok suaranya lemes beraroma kesel gitu? Kenapa?” dengan nada bunyi heran. “Oh ya, lagi ngapain?” sambunbgnya.

“Lagi cek hasil jepretanku diwalimahanmu” jawabku ketus sambil menggigit bibirku sendiri.

“hehehe” terdengar tawa jahilnya. Tawa khas Nana.

“kenapa ketawa?” kini saya yang keheranan.

“Ada salam dari Ismail. Laki-laki yang ada fotonya pas ia pinjam kameramu waktu nikahanku itu. Dia sahabatnya Mas Ridwan. Pas ia titip kamera kau ke saya ia tanya apa kau sudah ada yang khitbah. Aku jawab belum. Dia titip proposalnya di saya nih. Kamu siapin juga yah proposalmu. Biar fair. Kalo cocok, gres deh ketemu untuk ta’aruf. Gimana?” 

“gimana apanya?” jawabku masih termenung tak percaya

“malah ngelamun! Siap nikah kan? Katanya terget nikahnya sesudah wisuda. Wisuda kapan? Bulan depan kan?”

“oh itu. Ia insya Allah. Tapi saya belum tahu loh Na ia kayak gimana”

“yah kan semuanya lengkap di proposalnya. Dari pendidikan terakhir, narasi sifat perilaku dan karakternya hingga hobinya” terperinci Nana. “lagipula kan sesudah ta’aruf sanggup dipertimbangkan lagi cocok atau tidaknya” sambungnya lagi.

“oh.. iya iya… nanti saya buat proposalnya dulu terus titip di kau yah sambil nanti saya ambil usulan punya dia” jawabku. Mataku tertuju pada foto seseorang di layar laptopku sambil lirih bertanya dalam hati “mungkinkah ia takdirku?”. Kemudian seketika terlintas wajah Nana. Dengan senyum simpulnya.


Karya Suciawati Dulkam
Komunitas Bisa Menulis

Sumber http://gudangbukusekolah.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cerpen Senyum Simpul Nana"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel