Cerpen Sabun Batang
Jalanan kota sudah terlihat padat, suasana bising mulai terdengar. Panas, gerah, dan keringat sudah menjadi sahabat akrab. Seperti Buyung dan Dion, mereka dekat semenjak kecil, bahkan semenjak masih bayi.
Siang ini, mereka gres saja pulang dari sekolah. Mereka biasa bersepeda. Namun kali ini, Buyung membonceng Dion, sepedanya sedang berada di bengkel.
“Yung… kita mampir bengkel sekalian ya,” kata Dion. “Kali aja sepedamu sudah sembuh.” Sambung Dion.
“Keh sip… lagi pula saya juga rindu si Bejo.” Jawab Buyung. Bejo yaitu nama sepedanya.
Dion memutar sepedanya kearah bengkel. Tak usang kemudian, mereka sampai. Disinilah awal dari mereka jadi tidak baik-baik saja.
“Wah… sepedaku semakin keren nih!” kata Buyung sambil mengusap sepedanya.
“Wiiihhh… gila! Joknya gres cuy!” ujar Dion.
Namun tiba-tiba, seorang gadis keluar dari sebuah ruangan yang berada di dalam bengkel.
“Kakak ini, mau mengambil sepedanya ya?” tanya gadis itu. Dion tak sanggup berkedip melihat kecantikan gadis di hadapannya itu.
“Eh…iya nih, bang Jimnya mana ya?” tanya Buyung.
“Ada kak, sebentar!” kata gadis itu. Ia pun berlalu memanggilkan bang Jim, pemilik bengkel tersebut.
Buyung menepuk bahu Dion yang masih terpana dengan gadis itu.
“Eh…kalau suka tuh bilang, jangan dilihatin mulu!” kata Buyung.
“Hahaha… enggaklah buat apa, seneng aja lihatnya adem.” Kata Dion.
Tak lama, bang Jim tiba bersama gadis itu. Buyung eksklusif menanyakan total rupiah yang harus dibayar. Setelah itu, Buyung membayarnya. Disela-sela transaksi, Buyung sengaja menanyakan nama gadis itu. Ternyata namanya Lia.
“Lia ini adik abang, gres aja pindah ke Sekolah Menengan Atas Nusa Bangsa.” Kata bang Jim.
“Wah…satu Sekolah Menengan Atas dong sama kita ya kan Yung?” kata Dion seraya menyenggol pinggang Buyung. Buyung hanya mengangguk. Mereka pun berkenalan satu sama lain.
Lia gres duduk di kelas satu, sedangkan Buyung dan Dion sudah di kelas tiga.
Setelah mengambil sepeda, mereka kembali menuju rumah. Kali ini mereka memakai sepeda masing-masing. Sepanjang perjalanan, Dion terus memuji Lia yang cantik, menurutnya. Buyung hanya mengiyakan apa saja yang dikatakan Dion. Termasuk ketika Dion menyampaikan bahwa Lia itu alien nyasar.
“Hah…gila aja! Masa saya bilang Lia alien nyasar diiya-in aja.” Kata Dion. Buyung tertawa. Buyung memang belum terlalu memikirkan perempuan. Ia fokus pada cita-citanya, seorang fotografer.
“Iya udah lah ya, besok pedekate sama Lia. Aku bantuin deh.” Kata Buyung. Dion menyeringai. Ia melajukan sepedanya lebih cepat, sambil meneriaki nama Lia.
“Liiiaaaa…aku dataaaaang…!” Buyung menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya. Mau bagaimana lagi, semua orang niscaya mencintai. Hanya saja Buyung merasa belum saatnya
Keesokan harinya, sesuai perjanjian semalam. Dion memaksa Buyung untuk menyebarkan puisi indah untuk Lia. Setelah itu, Dion akan mencarikan Buyung daerah penjualan kamera terdekat dan termurah.
“Ini jadi puisinya, coba baca lagi, kali aja ada yang gak pas!” kata Buyung sambil menyerahkan kertas puisi itu. Dengan semangat Dion membaca isi goresan pena di kertas tersebut. Sampai-sampai Dion tersenyum-senyum membacanya.
“Jangan sampe kau baper sama penulisnya.” Kata Buyung memperingatkan Dion yang mulai terlihat aneh.
“Apasih… saya masih normal kali Yung.” Kata Dion sambil mengibaskan jambul kebanggaannya.
“Ya udah sana, kasih ke Lia. Sambil bilang, iqro Lia. Kaya di film-film gitu.” Kata Buyung. Dion tertawa. Buyung tertawa. Orang-orang sekitar mereka juga ikut tertawa, entah mengapa tertawa menjadi menyerupai penyakit menular.
***
Sesuai ekspetasi. Setelah Dion menyurati Lia dengan untaian puisi plagiatnya. Dion berhasil memenangkan hati Lia. Mereka setuju menjadi sepasang kekasih. Tepat pada hari Buruh, satu Mei.
Buyung senang melihat sahabatnya bahagia. Ia juga senang lantaran sudah mengincar salah satu kamera. Buyung mulai menabung untuk mendapatkan kamera yang diincarnya. Dion yang membokingkan satu kamera untuk Buyung.
Mereka saling menguntungkan. Sesuai teori simbiosis mutualisme dimana kedua tugas saling menguntungkan. Seperti bahan pelajaran IPA ketika SMP.
***
Hari selalu berganti sesuai jadwalnya. Tak terasa hubungan Dion dan Lia sudah hampir yang ke tiga bulan. Dion berencana mengajak Lia jalan-jalan. Namun, Dion sedang tidak memegang uang. Tapi ia sudah berjanji pada Lia.
Dion pun perkara berkelanjutan. Akhirnya, memang Buyunglah satu-satunya alternatif. Dion menghampiri Buyung yang sedang asik dengan objek potretnya. Tempat pembuangan sampah di sekolah. Ditangan seorang Buyung, bahkan daerah pembuangan sampah pun akan terlihat indah.
“Hay Yung…!!” kata Dion sambil menutup hidungnya.
“Eh Yon, semenjak kapan disini?” tanya Buyung.
“Barusan sih.” kata Dion membetulkan posisi hidungnya, eh maksudnya, posisi tangan yang menutupi hidungnya. Dari ajun ke tangan kiri.
“Iya… ada apa gerangan?” Buyung asik memotret sampah-sampah itu.
“Lebih baik jangan di sini deh ngomongnya. Bau banget anjir…” kata Dion sambil menarik lengan Buyung.
Buyung pun terpaksa mengikuti Dion. Setelah menjauh dari daerah sampah, Dion mengutarakan isi hatinya yang dirundung pilu. Buyung hanya menjawab dengan anggukan dan tersenyum.
“Butuhnya berapa? Ambil aja!” kata Buyung sambil menyerahkan kartu ATM.
“Sumpah Yung, kau sahabat terbaik dah pokoknya. Makasih ya sayang.” Dion tak sadar memeluk Buyung. Buyung cepat-cepat menjauhkan tubuh Dion.
“Jangkrik… normal nih.” Kata Buyung, terdengar menyerupai mengumpat. Dion tertawa. Ia segera mencairkan uang untuk kepingan jiwanya. Meskipun pinjam.
Disaat Dion hendak mengambil uang di ATM. Tiba-tiba setan dalam dirinya berperan. Bisikan halus dari pendengaran kiri mulai terdengar.
“Kalau kau sanggup ngambil lebih banyak, kenapa cuma ngambil tiga ratus ribu?” batin Dion. Setengah sadar, ia pun menekan nomor ATM dengan nominal yang lumayan. Lebih dari setengah saldo.
Setelah itu, Dion mengembalikan kartu ATM itu. tanpa menyampaikan apa yang terjadi. Buyung juga tidak menanyakan apapun pada Dion. Dari awal persahabatan, mereka setuju saling percaya.
***
Seminggu kemudian, peristiwa alam itu datang. Buyung panik melihat saldo ATM yang terkuras habis. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Padahal hari ini ia akan membeli kamera impiannya. Satu nama yang ia ingat. Dion.
“Dion…!!!” kata Buyung sedikit menekan. Ia menahan emosi yang meluap-luap.
Ia segera menghampiri Dion di basecamp. Sesampainya di tempat. Buyung eksklusif menjatuhkan sepedanya dan meneriaki nama Dion.
“Dion bang*at!! Sini Lo…!!” kata Buyung. Sungguh mengerikan. Tidak pernah Buyung semarah ini. Beberapa sahabat Buyung keluar dan menghampirinya.
“Yung kenapa kamu?” tanya salah satu dari mereka.
“Gua nyari Dion, mana dia!?” kata Buyung.
Tak lama, Dion keluar. Buyung eksklusif menarik kerah baju Dion. Teman-teman yang lain berusaha memisahkan Buyung dan Dion. Dion hanya diam, ia tidak melawan. Dia sadar dengan apa yang terjadi. Kemarahan Buyung, Dion tahu penyebabnya. Satu pukulan mendarat di pipi Dion.
“Kenapa lo gak ngelawan anj*ng…!!!” satu pukulan lagi mendarap di pipi Dion. Dion masih diam. Dia tidak melawan kemarahan temannya.
“Sudah Yung…kamu santai dulu. Bicara baik-baik.” Kata salah satu sahabat mereka.
Buyung melepas cengkramannya. Nafasnya memburu. Terlihat terang kemarahan di matanya.
“Sahabat macam apa Lo…!!! Demi cewek lo, lo bangkrutin temen lo sendiri. Dasar bang…” Hampir saja pukulan ketiga mendarat lagi di wajah Dion. Namun, salah satu dari mereka sanggup menahan Buyung.
“Aku minta maaf Yung, pikiranku waktu itu gak tahu kemana. Aku gak nimbang-nimbang dulu. Kapan-kapan saya ganti uangnya.” Jawab Dion sambil menahan sakit di pipinya.
“Hah… ganti? Udah telat. Mungkin kamera yang udah gua incer udah diembat. Mikir dong…!!!” Buyung menunjuk kearah kepalanya sendiri. Ia memutar tubuh sambil mengatakan.
“Lo bukan sahabat gua lagi Yon.”
Dion berusaha mengejar Buyung. Namun Buyung mengayuh sepeda dengan kencang. Dion kembali ke basecamp, wajahnya terlihat sangat kecewa. Ia menjambak rambutnya sendiri.
“Tolol…kenapa sih, kau nurutin egomu. Sekarang, sahabatmu pergi.” Kata Dion berbicara pada dirinya sendiri. Ia berusaha mengirim pesan singkat untuk Buyung. Namun pesannya hanya dibaca, tanpa dibalas. Dion pulang ke rumah dengan hati yang hancur.
***
Keesokan harinya, ada pesan masuk dari Buyung. Dion dengan cepat membuka isi pesan tersebut.
Aku minta maaf buat kemarin. Tapi jangan dikira saya sudah melupakan semuanya. Aku masih perlu waktu buat mastiin bahwa kau masih PANTAS jadi sahabatku lagi.
Dion senang menerima akibat dari Buyung. Bahasanya sudah tidak sekasar kemarin. Meskipun isi pesan itu masih tidak bersahabat.
Dion membalas pesan itu, namun nomor Buyung sudah tidak aktif. Mungkin Buyung memblokir nomornya. Dion galau mau melaksanakan apa, biasanya hari Minggu mereka memancing. Kali ini, ia memancing tanpa Buyung.
Namun ditengah perjalanan ke empang, Dion melihat famplet berisi pengumuman perlombaan menulis cerpen. Ia melihat hadiah untuk para juara. Matanya berbinar ketika melihat hadiah juara dua, sebuah kamera yang persis menyerupai yang diimpikan Buyung.
Tanpa basa basi, Dion mencopot famplet itu dan menghubungi nomor narahubung yang tertera. Dion mendaftarkan dirinya. Setelah itu, semalam suntuk ia menulis cerpen. Sambil menulis ia terus berdoa dan yakin. Tulisannya layak jadi juara.
Keesokan harinya, Dion mengirim naskahnya. Ia tak sabar menunggu tiga hari lagi. Selama tiga hari ia terus memikirkan nasib cerpennya. Ia bahkan meminta doa dari seluruh kerabat dan saudaranya.
Lia apa kabar? Setelah peristiwa beberapa hari kemudian dengan Buyung, Dion tetapkan untuk tidak bermain dengan cinta. Lia diputuskannya tanpa sebab. Dan itu pilihan yang tepat. Karena sehabis itu, Dion tahu sosok Lia yang sesungguhnya matrealistis.
***
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Pengumuman pemenang akan diposting hari ini. Dion sudah memegang telepon genggamnya semalaman. Berharap ada pesan masuk.
Tepat pukul tujuh, sebuah pesan masuk ke nomornya. Dion berdebar membuka pesan itu . Berulang kali ia membaca pesan itu. Menepuk-nepuk pipinya.
“Anjay sakit…!” mata Dion membelalak.
Ia baca sekali lagi pesan itu. Masih sama, namanya tertera paling atas. Ia menjuarai lomba itu.
Dion meloncat dari kasurnya. Ia segera ke garasi untuk mengambil Rambo, sepeda kesayangannya. Ia meluncur ke rumah Buyung yang berada tak jauh dari rumahnya.
“Buyung…Buyung…Keluarlah sebentar!” teriak Dion dari bawah. Karena kamar Buyung berada di lantai dua.
Buyung menengok dari jendela kamarnya. Dion melihat Buyung eksklusif melambaikan tangannya. Tak tega melihat Dion, Buyung pun turun.
“Ada apa?” Buyung masih sinis.
“Baca…!” Dion menyerahkan ponselnya. Buyung mendapatkan ponsel itu, ia membaca pesan pengumuman itu. Matanya terbelalak, persis menyerupai Dion pertama kali membacanya.
Buyung menepuk bahu Dion. Ia tersenyum untuk pertama kalinya sehabis peristiwa beberapa waktu lalu. Namun wajah Dion sedih.
“Kenapa wajah kau murung Yon?” tanya Buyung.
“Aku kecewa sama diri saya sendiri.” Kata Dion.
“Kecewa kenapa? Lihat kau juara satu.” Kata Buyung.
“Iya, tapi saya gak mau juara satu.” Kata Dion masih dengan wajah murung.
“Kenapa?” Buyung bingung.
“Kan jikalau saya juara dua saya sanggup ngasih kau kameranya.” Jawab Dion polos.
“Dasar bego… ya mending juara satu, lima belas juta, kau sanggup beli kamera itu bahkan tiga. Dasar, jikalau bukan Dion siapa lagi yang kaya gini.” Buyung menepuk bahu Dion kemudian merangkulnya. Dion merangkul bahu Buyung. Mereka tertawa bersama.
Sore itu juga, langit perkotaan menjadi saksi, bagaimana sahabat dan uang saling berhubungan. Dua unsur yang berbeda. Antara minyak dan air. Mereka mustahil menyatu begitu saja.
Harus ada gabungan soda kaustik dan sedikit aroma parfum untuk kemudian dijadikan sebuah sabun batang.
TAMAT.
Karya Tri Astuti Mulyaningsih
Komunitas Bisa Menulis
0 Response to "Cerpen Sabun Batang"
Posting Komentar