iklan

7 Mitos Telecommuting


Menurut isu yang kami kutip dari situs web female.kompas.com, di kebanyakan negara berkembang, telecommuting menjadi tren baru. Menurut survei yang dilakukan Ipsos (lembaga penelitian) di aneka macam negara, pekerja yang sudah mengaplikasikan telecommuting di Timur Tengah dan Afrika sebesar 27 persen, Amerika Latin 25 persen, Asia Pasifik 24 persen, dan Eropa 9 persen.
Sementara Indonesia sendiri, dengan jumlah pekerja sampai 34 persen, telah berubah menjadi negara kedua terbesar sesudah India 56 persen dalam hal telecommuting. Dengan pekerja dari seluruh dunia setuju menentukan untuk bekerja secara remote/online daripada tiba secara fisik di kantor atau ke klien. Cara bekerja semacam ini diklaim akan bisa mengurangi tingkat stres, selain membantu terciptanya worklife balace, khususnya bagi perempuan.
Namun demikian, banyak mitos yang ternyata masih tertanam dibenak sebagian besar orang ketika mendengar istilah telecommuting ini. Inilah sebagian mitos yang kami rangkum dari majalah infokomputer.

Mitos 1: Tidak ada tenggat waktu (deadline)
Banyak orang mengira bahwa bekerja dari rumah berarti bisa bersantai-santai. Tidak perlu melaksanakan rutinitas layaknya bekerja di kantor. Padahal, meskipun sistem telecommuting memberi keleluasaan dalam bekerja, menjaga rutinitas ibarat halnya bekerja di kantor tetap harus dilakukan, contohnya bekerja sempurna waktu, menepati tenggang waktu. Jika tidak, pekerja anggota tim lain bisa sangat terganggu. Jadi, kedisiplinan diri sendiri ketika mengerjakan kiprah tetap harus ada meskipun secara fisik tidak ada pengawasan dari atasan. Karyawan sebab itu dituntut untuk memperlihatkan deadline bagi diri sendiri biar pekerjaannya bisa simpulan sempurna waktu.

Mitos 2: Karyawan akan lebih sulit naik jabatan
Mitos ini muncul mungkin sebab tidak bertatap muka di kantor, seorang karyawan tidak bisa melaksanakan kegiatan politickhing (aktivitas untuk memperkenalkan kemampuan diri sendiri, biasanya dengan mengadakan pendekatan secara personal terhadap atasan). Padahal justru dengan telecommuting, hasil karyawanlah yang akan menjadi fokus penilaian, bukan sekadar pendekatan yang dilakukan oleh karyawan terhadap atasan untuk mendapat simpati atau evaluasi yang bersifat subjektif. Kaprikornus siapa pun yang bisa memperlihatkan hasil dan kinerja baik, akan mempunyai kesempatan yang sama untuk dipromosikan.

Mitos 3: Karyawan akan bosan setengah mati
Bekerja di rumah dianggap membosankan. Ini sebab ia hanya akan berhadapan dengan layar komputer secara berjam-jam, tidak bertemu dengan siapa-siapa. Benarkah bekerja di luar kantor harus ibarat itu? Tentu saja, ini merupakan anggapan yang keliru. Sistem telecommuting akan memperlihatkan keleluasan bagi si pekerja untuk menentukan suasana kerja yang ia inginkan. Saat bekerja di rumah atau di luar kantor, misalnya, karyawan bisa dengan leluasa mengubah suasana kerjanya sesuai dengan keinginannya. Ia bisa menentukan untuk bekerja di taman, di halaman, atau bahkan di kafe favoritnya. Kini, bahkan pekerja cubicle di kantor pun banyak menentukan kawasan rapat di luar.

Mitos 4: Akan sulit berkomunikasi dan mendelegasikan pekerjaan
Menggunakan teknologi secara efektif menjadi sangat penting. Layanan kerja sama dokumen ibarat Dropbox, Box, dan perangkat lunak untuk kerja sama proyek ibarat Wrike, sangat memudahkan pengelolaan pekerjaan. Hal ini bisa tetap dilakukan meskipun anggota tim sedang berada di lokasi yang berbeda-beda. Komunikasi untuk melaksanakan pembicaraan dan pembagian pekerjaan akan bisa dilakukan via aneka sarana, ibarat WhatsApp atau aneka sarana lain. Dengan demikian, karyawan bisa mengembangkan isu dan bisa melaksanakan penagihan hasil kerja anggota tim. Jika ada problem atau keraguan, komunikasi akan dilakukan secara lebih intens dan bukan malah berkurang.

Mitos 5: Karyawan mempunyai agenda yang fleksibel
Bekerja sendiri di rumah memang tidak menuntut kita untuk bangkit di pagi buta dan tiba di kantor sempurna waktu. Jadwal kerja karyawan menjadi lebih fleksibel. Kenyataannya, fleksibilitas yang bisa dinikmati karyawan pun ada batasnya. Bahkan sebab tidak ada agenda resmi, seringkali karyawan harus menjalankan kewajiban pekerjaan selama lebih dari delapan jam, melebihi waktu normal ketika bekerja di kantor.

Mitos 6: Biaya akan lebih hemat
Sepintas terlihat bahwa bekerja dari rumah akan bisa menghemat pengeluaran. Karyawan tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk biaya transportasi umum, mengeluarkan biaya untuk bensin atau biaya tol. Karena itu, muncul anggapan bahwa dengan bekerja di rumah, pengeluaran harian akan bisa ditekan. Namun kenyataannya, bekerja di rumah pada zaman modern ibarat ini memerlukan kecanggihan teknologi. Maka karyawan harus online lebih usang dari biasanya di rumah. Juga ada biaya embel-embel lain untuk percakapan telepon atau lampu yang sebelumnya tidak ada.

Mitos 7: Urusan rumah tangga akan lebih gampang ditangani
Bekerja di rumah memang mempunyai manfaatnya sendiri. Karyawan tidak akan mengalami gangguan atau konflik yang biasa muncul ketika karyawan berada di kantor. Namun, bekerja sendiri pun mempunyai kekurangan. Semua kiprah harus dikerjakan sendiri. Tidak akan ada lagi yang bisa dimintai proteksi secara langsung. Akibatnya, pekerjaan rumah tangga malah bisa terbengkalai sebab karyawan harus berfokus pada pekerjaan yang tidak bisa ditunda.

Sumber : Majalah Infokomputer hal: 45 Edisi #11 November 2015

Sumber http://santekno.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "7 Mitos Telecommuting"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel