iklan

Masyarakat Hindu Di Bali Khususnya Dandi Indonesia Umumnya Telah Bangun Kesadaranya Untu

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Masyarakat Hindu di Bali khususnya dan di Indonesia umumnya telah bangun kesadaranya untuk mendalami anutan agamanya secara lebih intensif. Asumsi ini sanggup dilihat dari semakin maraknya orang mengunjungi tempat-tempat suci, baik pada waktu diadakan piodalan maupun pada waktu hari purnama-tilem yang tidak berkaitan dengan hari piodalan. Fenomena ini sungguh sangat melegakan lebih-lebih semakin banyak muncul organisasi-organisasi yang menekankan keberadaannya pada esensi keagamaan.
Keadaan semacam ini hendaknya sanggup dipelihara dan dibina ke arah peningkatan kualitas yang betul-betul mantap, serta benar-benar dijiwai oleh rasa relegius yang murni. Masyarakat Bali sebagai potongan dari Negara Indonesia, memang semenjak dahulu populer sebagai masyarakat yang sangat religius yang khusuk menjalankan ibadah agamanya. Berbagai aspek kehidupan penuh dengan jiwa religius. Di mana-mana konsep Tri Hita Karana berusaha diterapkan di dalam kendaraan, sawah, di pasar, di toko-toko dan lain-lain, sebagai pernyataan dan cetusan rasa bhakti kepada Sang Hyang Widhi.
Pelaksanaan bhakti yang dijalankan sedemikian jauh, telah cukup elok sebagai perwujudan dan konsep-konsep yang tertuang dalam sastra agama. Akan tetapi masih terasa bahwa pelaksanaannya kurang diimbangi dengan peningkatan pengetahuan filsafat dan bentuk pemahaman yang lebih mendalam. Dengan kata lain jnana-nya perlu lebih ditingkatkan biar kesan gugon tuwon tidak semakin berkepanjangan, walaupun disadari bahwa kadar bhaktinya sangat bagus. Ini tidak berarti bahwa aspek gugon tuwon kurang baik. Aspek gugon tuwon dalam agama tetap penting dalam mewarnai daya budi sehat insan pada tingkat tertentu. Ketiga aspek bhakti, karma dan jnana seyogyanya berjalan seimbang penuh keserasian dan keharmonisan. Sebab ketiganya tidak sanggup dipisahkan. Jnana ialah aspek terpenting diantara tri marga biar mendapat pembebasan diri atau moksa, tapi kedua aspek eksekusi alam dan bhakti harus dilalui terlebih dahulu.
Untuk mengungkapkan kecintaan dan bhakti umat Hindu khususnya di Bali terhadap Ida Sang Hyang Widhi maka diwujudkannya dalam bentuk seni, baik berupa seni rupa, seni tari atau gerak, seni bunyi dan seni sastra. Sehingga dengan demikian umat Hindu sanggup mengekpresikan kerinduannya dan merasa lebih akrab dengan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi. Disamping itu pula dengan kesenian dan dengan aneka macam kreasinya sanggup pula menyenangkan pelaku seni dan sepenikmat seni itu sendiri. Sehingga penulis tertarik untuk menulis tentang, “Estetika Seni Patung Sebagai Media Konsentrasi Umat Hindu Di Bali”.

1.2         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka sanggup dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.         Bagaimana  Esensi Seni yang terdapat dalam Seni Patung di Bali?
2.         Patung sebagai sandaran dalam konsentrasi pemujaan terhadap Tuhan?
3.         Bagaimana wujud estetika Tuhan yang di personalkan dalam wujud patung?


1.3         Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini ialah untuk mengetahui makna-makna yang terpendam dalam estetika patung yang terdapat di Bali yang dipakai sebagai media konsentrasi Umat Hindu di Bali. Dalam hal ini ialah bagaimana nilai seni yang terkandung.





1.4         Manfaat Penulisan
Acara agama Hindu yang dikenal umat Hindu di Bali sangat bermacam-macam dan sangat luas. Guna lebih memantapkan keyakinan dalam meyakinan keberadaan Ida Sang Hyang Widhi. Penulisan ini sanggup dijadikan materi bacaan bagi umat Hindu yang ingin memahami makna-makna teologis yang terkandung dalam Estetika Seni Patung Sebagai Media Konsentrasi Umat Hindu Di Bali.




BAB II
ESTETIKA SENI PATUNG SEBAGAI MEDIA KONSENTRASI UMAT HINDU DI BALI

Animisme dan dinamisme ialah kepercayaan yang umum bagi masyarakat prasejarah. Animisme merupakan keyakinan akan adanya roh bahwa segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda, sedangkan dinamisme ialah keyakinan terhadap adanya kekuatan-kekuatan alam, sedangkan kekuatan alam ini sanggup berupa makhluk (personal) atau pun tanpa wujud (Titib 2003:30). Seorang penganut animisme juga percaya tentang adanya kekuatan-kekuatan supra natural atau “magi”. Pada peradaban prasejarah ritual magis yang animistis niscaya merupakan sumber penting dari ide artistik (Brandon 2003:10).
Penghormatan terhadap para leluhur, lambang-lambang ibarat pohon kehidupan, air suci, topeng yang mempersonakan, itu semua memperlihatkan rasa hormat, penuh getaran ketakutan, terhadap dasar eksistensinya. Semua lambang-lambang itu merupakan jendela-jendela yang membuka pandangan terhadap dunia transcendent dan immanent. Dewa-dewa pun diwujudkan dengan lambang-lambang, lewat patung, topeng, dan tari-tarian yang menyangkut manusia. Lewat pementasan dongeng-dongeng, dewa-dewa itu seakan-akan dihadirkan di tengah-tengah umat manusia. Inti perilaku hidup mitis ialah bahwa kehidupan ini ada, asing dan berkuasa, penuh daya kekuatan. Bersama dengan kesadaran tersebut timbullah cerita-cerita mitos beserta perbuatan, yang menjamin kehidupan insan dan kebertalian dengan sukunya, bahkan kepemimpinan dan kerukunan dalam suku itu gres mungkin atas dasar mitos-mitos. Manusia dan alam raya saling meresapi, dan oleh sebab itu kekuatan manusiawi dan ilahi juga saling terlebur. Tentu saja, manusia berfaham animisme maklum juga akan dunia profan yang diolah dan diaturnya dengan pekerjaan tangan dan kepala dingin, tetapi pada saat-saat tertentu dia seakan-akan disergap dan dikuasai oleh daya kekuatan para dewa, lambat laun sambil menari, berubah menjadi sebagai tuhan hujan (Van Peursen 1984:46).
Manusia percaya kepada suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi dari dirinya, dan manusia melakukan aneka macam macam cara untuk mencari kekerabatan dengan kekuatan-kekuatan alam. Ketika mereka menyadari ilmu gaib tak bermanfaat bagi mereka, mulailah timbul kepercayaan bahwa alam dihuni oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa, untuk itu muncul ide, dengan siapa kemudian insan mulai mencari hubungan, sehingga kemudian timbul religi. Tampaknya kepercayaan atau kesadaran inilah yang mendorong atau mendasari masyarakat mitis, timbulnya gagasan atau ide untuk membuat karya seni yang disakralkan sebagai sarana untuk memohon perlindungan religius atau mistik, dijauhkan dari hal-hal yang bersifat jelek atau bencana.
Berkesenian bagi masyarakat Bali merupakan nafas setiap hari, sebab semua hasil produk kesenian ibarat seni rupa, seni kriya, kerawitan, seni tari dan sebagainya sangat dibutuhkan dalam melaksanakan semua kegiatan upacara ritual. Hal ini tampak dalam kegiatan upacara manusa yadnya, pitra yadnya, tuhan yadnya dan resi yadnya. Banyak seni pertunjukan di Bali dewasa ini yang mempunyai akar budaya pada magis, seperti: Sang Hyang Widadari, Sang Hyang Jaran, Sang Hyang Bojog, Sang Hyang Bangkung, dan lain sebagainya. Satu dari tipe tari pertunjukan yang bernuansa ritual magis yang hingga kini masih tetap ada dan didukung oleh masyarakat adat di Bali ialah Barong Ket dan Rangda. Pertunjukan Barong Ket dan Rangda merupakan warisan budaya yang memperlihatkan adanya bentuk dan struktur kesenian dari jaman animisme. Berbicara perihal kesenian tradisional Bali berarti membahas aktivitas berkesenian masyarakat Bali yang hidup dari masa lampau hingga kini yang terpelihara dengan baik dan berkembang.

2.1         Esensi Seni yang terdapat dalam seni Patung di Bali
Setiap teori seni harus dimulai dengan anggapan bahwa insan memperlihatkan reaksi terhadap bentuk, massa dan permukaan dari benda-benda yang dilihatnya, dan bahwa komposisi dan penataan unsur-unsur tersebut menjadikan rasa bahagia pada diri manusia.
Beberapa definisi dan pengertian kata seni: Pengertian kata seni kita ambil dari Inggris art, yang berakar pada kata Latin ars, yang berarti: "ketrampilan yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan atau proses belajar". Dari akar kata ini kemudian berkembang pengertian yang diberikan oleh kamus Webster sebagai berikut: "penggunaan ketrampilan dan imajinasi secara kreatif dalam menghasilkan benda-benda estetis." (Webster's Collegiate Dictionary, 1973, hal.63).
Pengertian lain diambil dari bahasa Belanda kunst, yang mempunyai definisi sebagai berikut: "suatu kesatuan secara struktural dari elemen-elemen estetis, kwalitas-kwalitas teknis dan ekpresi simbolis, yang mempunyai arti tersendiri dan tidak membutuhkan lagi  pengesahan oleh unsur-unsur luar untuk pernyataan dirinya".(Winkler Prins, hal.427).
Definisi seni Kamus Umum Bahasa Indonesia: Kecakapan membuat (menciptakan) sesuatu yang elok-elok atau indahSesuatu karya yang dibentuk (diciptakan) dengan kecakapan yang luar biasa ibarat sanjak, lukisan, ukiran-ukiran dan sebagainya.

2.2         Patung Sebagai Sandaran Konsentrasi Pemujaan Tuhan
Dalam kaitannya agama Hindu di Bali yang meyakini konsep tuhan yang berwujud (Personal GOD) tersebut dalam melaksanakan proses upacara. Konsep seni dan keindahan dalam mewujudkan tuhan sebagai sandaran dalam memusatkan konsentrasi ini membuat anggapan bahwa agama Hindu di Bali pada khususnya dianggap sebagai penyembah patung (berhala). Kenyataan tersebut hendaknya perlu diluruskan, biar tidak terjadi suatu anggapan dan pandangan yang menjerumuskan umat Hindu itu sendiri.


 









Patung atau media konsentrasi lain yang dipakai dalam prosesi pemujaan, hendaknya dipahami sebagai media empiris yang dipakai sebagai media konsentrasi pemujaan kehadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Hal ini sanggup kita perhatikan disekitar ruang lingkup tempat suci atau tempat suci (Pura). Banyaknya perwujudan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau manifestasi dia yang diwujudkan dalam bentuk patung atau bentuk-bentuk lain ibarat patung, pelinggih, arca-arca, padmasana (Stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa) maupun bentuk empiris lainnya. Dimana fungsi dari mewujudkan Tuhan dalam aneka macam bentuk ini ialah mempunyai makna dan tujuan sebagai berikut :
 








1.      Memudahkan umat untuk melaksanakan pemujaan
2.      Sebagai sandaran dalam memuja Tuhan beserta manifestasinya
3.      Peningkatan Sradha (Keyakinan)
4.      Sebagai alat konsentrasi
Dari makna dan tujuan yang diwujudkan secara empiris tersebut, hendaknya umat Hindu tidaklah menjadi atau membuat terjadinya kesalahpahaman antara pemahaman yang bersama-sama dan utuh.
Maksudnya secara utuh tersebut ialah dimana umat Hindu sanggup dan sanggup dengan gampang melaksanakan aneka macam hal dalam pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Umat Hindu juga semakin gampang mengenal Tuhan beserta manifestasinya dengan wujud-wujud empiris dan estetika yang disimbolkan dalam aneka macam bentuk. Memang adanya anggapan bahwa bentuk dari sandaran yang ada tersebut membuat umat sedikit bertanya, apakah benar wujud empiris tersebut merupakan bentuk atau wujud orisinil dari beliau?
Dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin timbul dikalangan umat Hindu itu sendiri, hendaknya sanggup membuat kita meyakini atau meningkatkan rasa sujud dan bhakti kehadapan Tuhan beserta manifestasinya. Karena dalam sebuah konsep penciptaan itu sendiri yang dinyatakan dalam Yajur Veda disebutkan sebagai berikut :
Brahmanã bhumir vihitã
Brahma dyaur uttarã hitã
Brahma-idam urdhvam tiryak ca
Antariksam vyaco hitam.
Artinya:
Brahman membuat bumi ini. Brahman menempatkan langit di atasnya. Brahman menempatkan wilayah tengah yang luas ini di atas dan di jarak lintas. Demikian, Tuhan yang bergelar Brahman diyakini pencipta alam semesta beserta segala isinya, termasuk manusia. Bahkan Dewa-Dewa pun ialah ciptaan Beliau.
Karena segala sesuatu ialah ciptaan Beliau, insan pun mengharapkan segala sesuatu dari-Nya. Manusia meyakini bahwa Beliau Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ketiganya, oleh Umat Hindu Alukta, digelari-Nya dalam satu kata, “Dewata Sumpu Mamase”. Kata Sumpu Artinya Maha sedangkan Mamase sanggup berarti: Pemurah, Pengasih, atau Penyayang. Dalam Kitab Yajur Veda X. 24 disebutkan : “Tuhan ialah Maha Suci bagaikan angsa, ..... Dia bagaikan orang yang menghaturkan sesajen yang duduk di altar. Dia bagaikan tamu yang beristirahat di sebuah Rumah”. Mantra ini mengandung makna bahwa Tuhan ialah Maha Pemurah.
Selain sebagai Maha Pencipta, Tuhan pun senantiasa memperhatikan bagaimana ciptaan-Nya di alam semesta. Umat Hindu Alukta menggelari Beliau sebagai Puang Tomerandanan. Apa pun yang dilakukan, dipikirkan dan dikatakan selalu dilihat tanpa sanggup disembunyikan. Kitab Suci Atharvaveda IV. 16.5 menyebutkan:” Semua itu, Tuhan, Sang Raja, melihat apa yang ada dalam langit dan apa yang diluar itu, Ia menghitung kedipan mata manusia, Seperti pemain dadu menghitung dadu, Demikianlah Ia menetapkan hukum-Nya”.
“Puang Tomekambi’ Allo Bongi”, demikian predikat Puang Matua/Tuhan yang lain. Artinya, Tuhan senantiasa melindungi/membimbing (segala ciptaan-Nya) baik di siang (allo) maupun malam (bongi) hari. Dengan kata lain, Beliau Maha Pelindung. Keyakinan ini, berdasarkan Gde Pudja telah termuat di dalam Kitab Suci Reg Weda X. 4.1.
Demikian antara lain citra umat Hindu Alukta perihal Tuhan yang dipuja dalam kehidupan sehari-hari; tentu masih ada predikat-predikat lain yang menempel pada-Nya. Hal ini cukup meyakinkan kita bahwa apa yang diyakini mereka sesungguhnya sama dengan apa yang terdapat dalam Kitab Suci Veda dan susastra Hindu.


 










Dari pernyatan-pernyataan diatas sanggup kita ambil sebuah garis lurus perihal Tuhan itu sendiri, dengan konsep pencipta dan mempunyai kesucian yang dilambangkan sebagai seekor angsa. Dalam konsep sandaran pemujaan padma Tuhan, ada aneka macam bentuk yang dikonsepkan dalam bentuk sebagai berikut :
1.             Padma Sari: mempunyai rong satu, tidak menggunakan Bedawangnala dengan palih telu. Stana Sanghyang Tripurusha.
2.             Padmasana: mempunyai rong satu, menggunakan Bedawangnala, dengan palih lima. Stana Bhatara Surya
3.             Padma Agung: mempunyai rong dua, menggunakan Bedawangnala, dengan palih lima. Stana Sanghyang Siwa Raditya
4.             Padma Angelayang: mempunyai rong tiga, menggunakan Bedawangnala, dengan palih pitu. Stana Bhatara Guru



 










Dari aneka macam macam bentuk padma tersebut dapatlah diambil sebuah pandangan, bagaimana umat Hindu memahami dari aneka macam konsep sandaran untuk melaksanakan pemujaan kehadapan Tuhan.
Selain itu, di Bali kita juga mengenal konsep Kahyangan Tiga. Dimana dalam Kahyangan Tiga tersebut ada akal-akalan yang disebut Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Di masing-masing pura tersebut ada aneka macam bentuk estetik dan empiris dari manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Terutama di Pura Dalem yang merupakan sebagai tempat suci (Pura) yang berstanakan Dewa Siwa beserta saktinya Dewi Durgha, merupakan pura yang mayoritas lebih banyak mewujudkan bentuk estetik dan empiris dari Tuhan beserta manifestasinya. Hal ini tercermin dari banyaknya patung-patung yang menjadi symbol sandaran konsentrasi kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Simbol-simbol estetika dan empiris tersebut juga ada yang melambangkan Tuhan dalam wujudnya Purusha dan Pradana (Laki-laki dan Perempuan).

2.3         Wujud Tuhan
Pertanyaan awal yang menarik terkait dengan agama Hindu: Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Hal ini menjadikan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan menyampaikan umat Hindu menyembah berhala.
Penjelasan lebih lanjut perihal pelukisan Tuhan dalam bentuk patung ialah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jikalau seorang cowok jatuh cinta pada kekasihnya, hingga tingkat madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya., diapun ingin menunjukan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan perumpamaan. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang berisi makanan yang enak dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat Hindu ibarat manusia, suka makan yang enak-enak? Pura dihias dan diukir sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja tidak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan.
 
Selain bentuk-bentuk estetika dan empiris yang telah disebutkan diatas, Daksina Linggih juga merupakan salah satu bentuk perwujudan dari Tuhan Yang Maha Esa. Berbagai wujud Tuhan tersebut merupakan hal-hal yang memudahkan umat untuk mencapai tingkat konsentrasi kesadaran kehadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa).


BAB III
PENUTUP

3.1     Simpulan
Melaksanakan suatu proses konsentrasi kehadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) di Bali sanggup dipergunakan aneka macam bentuk-bentuk estetika dan empiris Tuhan. Umat Hindu menyadari dengan adanya konsep tersebut diatas, akan mempermudah dalam pencapaian tingkat konsentrasi dan menghubungkan diri kehadapan Tuhan. Meningkatkan rasa Bhakti ialah tujuan dari konsep perwujudan estetika dan empiris dari Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa)


DAFTAR PUSTAKA

Cudamani. 1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Yayasan Dharma Sarathi: Jakarta
Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Penerbit Paramita: Surabaya.
Machwe, Prabhakar. 2000. Konstribusi Hindu Terhadap Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Penerbit Widya Dharma
Webster's Collegiate Dictionary, 1973
Romdhi Fatkhur Rozi. Menguak Keindahan Arsitektur Bali dan Eropa




Sumber http://agussedana.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Masyarakat Hindu Di Bali Khususnya Dandi Indonesia Umumnya Telah Bangun Kesadaranya Untu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel