iklan

Materi Umum


            Dalam pandangan Ibn Athaillah, dedikasi kita kepada Allah seharusnya tidak hanya ditunaikan dengan menjalankan kewajiban, yakni segala yang diperintahkan Allah, namun pula dengan menjalani ketetapan, yakni segala yang ditentukan Allah. Kematangan iman hanya dapat dirasakan bila kedua hal ini secara tepat dilaksanakan. Dengan demikian, bekerjsama ada dua aturan yang patut dipatuhi oleh orang beriman, yaitu aturan taklif yang sudah lazim kita kenal sebagai banyak sekali perintah dan larangan Allah yang mesti dijalankan selama hidup, dan aturan takdir yang meliputi ketentuan dan keputusan Allah yang mesti dijalani dalam hidup.
            Keperluan atau kebutuhan hidup makhluk sebetulnya ialah sesuatu yang sudah dan terus dijamin oleh Allah. Dengan ilmu-Nya, Alah sudah mengatur diri kita bahkan sebelum kita ada. Setelah kita terlahir di dunia, Allah pun terus mengatur urusan kita. Akan tetapi, sesudah berakal, kebanyakan insan seolah lupa bahwa selama ini urusan hidupnya ada dalam pengaturan Alah. Setelah berakal, mereka seakan ingin mengambil alih ‘hak pengaturan’ itu; mereka ingin mereka sendiri yang mengatur segenap urusan hidup mereka. Dalam pikiran Ibn Athaillah, ini hal yang tidak betul; ini justru sebentuk ketidakbersyukuran atas nikmat akal.
            Allah tidak berhenti mengurus kita sekalipun kita sudah berakal. Ketentuan-Nya terus berlaku. Akal kita semestinya kita gunakan untuk memahami dan melakukan kita gunakan untuk memahami dan melakukan secara baik perintah Allah, dan bukan untuk melanggarnya; untuk memahami dan melakoni secara baik ketentuan Allah, dan bukan untuk menolaknya.
            Yang lebih penting untuk kita perhatikan ialah apa yang dituntut dari kita, bukan yang dijamin untuk kita. Dalam Al-Hikam, Syekh Ibn Athaillah bertutur, “Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu dan kelalaianmu melakukan apa yang sudah dituntut darimu, ialah bukti dari rabunnya mata batinmu.” Karena itu, “istirahatkan dirimu dari mengatur urusanmu, lantaran segala yang telah diurus oleh ‘Selainmu’ (yakni Allah), tak perlu engkau turut mengurusnya.”
Ada beberapa alasannya mengapa kita dihentikan ikut mengatur bersama Allah :
  1.  Pengetahuanmu ihwal pengaturan Allah yang berlaku atas dirimu. Maksudnya, kamu tahu bahwa Allah telah berbuat untukmu sebelum kamu berbuat untuk dirimu. Sebelum kamu ada dan sebelum kamu ikut mengatur, Dia telah mengatur untukmu. dan kini, sesudah kamu ada, Dia jugalah yang mengatur.
  2. Pengaturan terhadap dirimu sendiri menawarkan ketidak tahuanmu akan pengaturan padaNya yang baik kepadamu. Seorang mukmin mengetahui bahwa kalau ia tidak ikut mengatur bersama Allah, Dia akan mengaturnya dengan baik sebagaimana firman-Nya, "yang bertawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya"
  3. Takdir dan ketentuan yang berlaku kerap kali tidak sesuai dengan pengaturanmu. Hanya sebagian kecil yang bertepatan dengan pengaturanmu. Orang bakir tidak akan membangun di atas landasan yang labil. Sebab, dikala bangunan dan rancanganmu telah selesai, ketentuan Tuhan akan menghancurkannya.
  4. Allah Swt ialah mengatur seluruh kerajaan-Nya, baik yang di atas maupun yang di bawah, yang mistik maupun yang tampak. Seandainya insan mengenal Tuhannya, tentu ia malu untuk ikut mengatur bersama-Nya. Kau berhasrat untuk ikut mengatur lantaran kamu terhijab dari Allah Swt. Sebab, dikala Dia tersingkap pada hati orang yang yakin, ia menyaksikan dirinya diatur bukan mengatur, ditentukan tidak ikut menentukan, serta di gerakkan bukan bergerak sendiri.
  5. Kau mengetahui bahwa dirimu ialah milik Allah. Dengan demikian, kamu tidak berhak mengatur apa yang bukan milikmu. Engkau tidak dapat ikut campur mengatur apa yang tidak kamu miliki. (Sebenarnya kamu tidak punya apa-apa. Apa yang kamu miliki ialah amanah dari Allah. Kau tidak punya kepemilikan hakiki. Hanya saja, secara aturan lahir kamu dianggap sebagai pemilik meskipun tidak punya alasan yang layak). Jadi, sangat tepat kalau kamu tidak ikut mengatur atas apa sesungguhnya milik Allah. Apalagi, Allah Swt, telah menegaskan, " Allah telah membeli dari orang beriman, jiwa dan harta mereka untuk di ganti dengan nirwana (Al-Zumar-36).
  6. Kau mengetahui bahwa kamu sedang di jamu oleh Allah Swt. Pasalnya, dunia ialah rumah Allah. Kau hanya singgah di sana. Seorang tamu semestinya percaya kepada sang pemilik rumah.
  7. Sesungguhnya Allah senantiasa mengurus segala sesuatu. Bukankah Dia telah berfirman, "Allah, tiada Tuhan selain-Nya Yang Mahahidup dan Mahategak (terus-menerus mengurus seluruh makhluk-Nya)
  8. Tujuan dan simpulan kehidupan seorang hamba ialah pengabdian, sebagaimana firman Allah Swt, "Beribadahlah kepada Tuhanmu hingga simpulan hidup menjemputmu
  9.  Engkau ialah hamba yang selalu Dia pelihara. Seorang hamba dihentikan ragu kepada majikannya. Apalagi sang majikan selalu memberi dan tidak pernah mengabaikan.
  10. Sesungguhnya kamu tidak mengetahui simpulan dan akhir dari setiap urusan. Mungkin kamu dapat mengatur dan merancang sebuah urusan yang baik menurutmu. Tetapi ternyata urusan itu berakibat jelek bagimu. Mungkin saja ada laba di balik kesulitan dan sebaliknya, banyak kesulitan di balik keuntungan. Bisa jadi ancaman tiba dari fasilitas dan fasilitas tiba dari bahaya.

Sumber http://muhamadtajul.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Materi Umum"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel