iklan

Variasi Bahasa Dan Kelas Sosial


Variasi Bahasa dan Kelas Sosial


A.         Variasi Bahasa
Variasi bahasa terjadi oleh lantaran amat luas wilayah pemakaiaannya dan majemuk penuturnya. Interaksi antara satu orang dengan orang yang lainnya yang berbeda, faktor sejarah, dan perkembangan masyarakat membawa kuat pada bahasa sehingga bermetamorfosis aneka macam ragam. Kaprikornus keragaman itu yakni mau tidak mau, merupakan konsekwensi dari aturan alam.
Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akhir adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Kaprikornus variasi bahasa itu terjadi sebagai akhir dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini sanggup saja diterima ataupun ditolak. Yang jelas, variasi bahasa itu sanggup diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan didalam masyarakat sosial. Namun Halliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakai (dialek) dan pemakaian (register).
Jenis Ragam Bahasa
Berbagai sumber merincikan ragam bahasa. Ada yang merincikannya dengan membedakan dalam aneka macam aspek. Pertama, berdasarkan tempat penggunanya. Ragam tempat semenjak usang dikenal dengan nama logat atau dialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat. Masing-masing sanggup dipahami secara timbal balik oleh penuturnya; sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang wilayahnya berdampingan. Jika wilayah pemakaiannya orang tidak gampang berhubungan, contohnya lantaran dipisahkan oleh pegunungan, selat, atau laut, maka lambat-laun logatnya akan membentuk ragam bahasa baru.
Ragam logat/dialek dengan sendirinya erat hubungannya dengan bahasa ibu si penutur. Ciri-ciri yang meliputi tekanan, turun-naiknya nada, dan panjang-pendeknya bunyi bahasa membangun aksen yang berbeda. Logat tempat paling kentara lantaran tata bunyinya. Logat Indonesia yang dilafalkan oleh orang Tapanuli dan Ambon sanggup dikenali lantaran tekanan kata yang amat jelas.
Sikap penutur terhadap aksen penutur lain berbeda-beda. Aksen itu sanggup disenangi dan/atau tidak disenangi. Umumnya sanggup dikatakan bahwa kita berlapang hati terhadap kelainan aksen orang selama bahasanya masih sanggup dipahami. Mungkin hal ini sebagai dampak atas penguasaan bahasa itu yang belum terlalu lama, hingga ketika ini masih belum ada proses penyatuan logat yang jelas.
Kedua, berdasarkan tingkat pendidikan penutur. Ragam bahasa berdasarkan pendidikan formal menawarkan perbedaan yang terang antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tatabunyi bahasa golongan yang kedua berbeda dengan tatabunyi kaum terpelajar. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, bunyi /f/ dan akhiran /-ks/, misalnya, tidak selalu terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah. Kata fakultas, film, fitnah, kompleks yang dikenal oleh orang berpendidikan, bervariasi menjadi pakultas, pilm, pitenah, komplek dalam orang yang tidak menikmati pengajaran bahasa di sekolah. Perbedaan yang lain juga nampak pada tata bahasa. Kalimat Saya mau bayar itu uang ke bank cukup terang maksudnya, tetapi bahasa yang terpelihara menuntut biar bentuknya menjadi Saya mau membayar uang itu ke bank. Bahasa orang yang berpendidikan berciri pemeliharaan.
Ketiga, berdasarkan perilaku penutur. Ragam bahasa Indonesia dalam hal ini meliputi sejumlah corak. Ragam ini, biasa disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada perilaku penutur terhadap orang yang diajak berkomunikasi. Sikap ini dipengaruhi antara lain, oleh umur dan kedudukan yang disapa, pokok duduk masalah yang hendak disampaikannya, dan tujuan penyampaian informasinya. Dalam hal ini, penutur dihadapkan dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan perilaku penutur yang kaku, dingin, hambar, hangat, akrab, atau santai. Perbedaan aneka macam gaya itu tercermin dalam pilihan kosa kata dan tata bahasa. Meskipun begitu, gaya yang majemuk itu tetap kita kenali. Misalnya, gaya bahasa ketika kita sedang laporan kepada atasan, atau ketika sedang marah, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, mengobrol dengan teman karib.
Keempat, ragam bahasa berdasarkan bidang atau pokok duduk masalah yang melingkupi penutur. Setiap penutur bahasa hidup dan bergerak dalam sejumlah bidang kehidupan sehingga penutur harus menentukan salah satu ragam yang berkaitan atau cocok dengan bidang yang dikuasainya. Bidang yang dimaksud itu, misalnya, agama, politik, teknologi, pertanian, seni, olah raga, hukum, dll.
Kelima, ragam bahasa berdasarkan sarananya terbagi atas ragam verbal atau ujaran dan ragam tulisan. Ragam verbal lebih dahulu dikuasai oleh penggunanya sedangkan ragam verbal diperoleh kemudian. Dalam ragam tulis, orang yang diajak berkomunikasi tidak ada dihadapan kita. Akibatnya, bahasa kita perlu lebih terang lantaran goresan pena kita tidak sanggup disertai oleh gerak isyarat, pandangan, atau anggukan tanda penegasan di pihak kita atau pemahaman di pihak lain yang kita ajak berkomunikasi. Itulah sebabnya, kalimat dalam ragam goresan pena harus lebih cermat sifatnya. Fungsi tata bahasa, menyerupai subjek, predikat, dan objek, serta kekerabatan di antara fungsi itu, harus jelas. Dalam ragam ujaran, lantaran penutur bersemuka/berhadapan, fungsi itu sanggup ditinggalkan.
Halliday merincikannya sebagai berikut:
a.         Variasi dari Segi Pemakai/Penutur: Idiolek, dialek, kronolek, sosiolek
b.         Variasi dari Segi Pemakaian, yakni bahasa digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, pertanian, militer, pelayaran, pendidikan, dsb.
c.         Variasi dari Segi Keformalan. Dalam hal ini variasi bahasa dibagi menjadi lima macam gaya (ragam), yaitu ragam beku (frozen); ragam resmi (formal); ragam perjuangan (konsultatif); ragam santai (casual); ragam dekat (intimate).
d.         Variasi dari Segi Sarana. Dalam hal ini terdapat ragam verbal dan tulis atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, contohnya bertelepon atau bertelegraf.
Beberapa Istilah dalam Ragam Bahasa
1.         Bahasa Standar
Bahasa standar yakni bahasa yang mempunyai norma tertentu sebagai patokan atas ragam yang lain. Bahasa standar atau bahasa baku digunakan sebagai bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa. Bahasa baku umumnya ditegakkan melalui kamus (ejaan dan kosakata), tata bahasa, pelafalan, forum bahasa, status hukum, serta penggunaan di masyarakat (pemerintah, sekolah, dll).
Bahasa baku tidak sanggup digunakan untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Di luar keempat penggunaan itu, digunakan ragam takbaku.
2.         Idiolek
Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Setiap orang mempunyai idiolek masing-masing. Idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dsb. Yang paling secara umum dikuasai yakni warna suara, kita sanggup mengenali bunyi seseorang yang kita kenal hanya dengan mendengar bunyi tersebut Idiolek melalui karya tulis pun juga bisa, tetapi disini membedakannya agak sulit.
3.         Dialek
Dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang berada di suatu tempat atau area tertentu. Bidang studi yang mempelajari wacana variasi bahasa ini yakni dialektologi. Variasi ini berbeda satu sama lain dalam sekelompok penutur itu, tetapi masih banyak menawarkan kemiripan sehingga belum pantas disebut bahasa yang berbeda. Biasanya pemerian dialek yakni berdasarkan geografi, namun bisa berdasarkan faktor lain, misalkan faktor sosial.
Sebuah dialek dibedakan berdasarkan kosa kata, tata bahasa, dan pengucapan (fonologi, termasuk prosodi). Jika pembedaannya hanya berdasarkan pengucapan, maka istilah yang sempurna ialah aksen dan bukan dialek.
Jenis dialek
Berdasarkan pemakaian bahasa, dialek dibedakan menjadi berikut:
          Dialek regional: varian bahasa yang digunakan di tempat tertentu. Misalnya, bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta, atau dialek Medan.
          Dialek sosial: dialek yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu atau yang menandai strata sosial tertentu. Misalnya, dialek remaja.
          Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Misalnya, dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
          Idiolek, keseluruhan ciri bahasa seseorang yang khas eksklusif dalam lafal, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
4.         Kronolek
Kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Sebagai contoh, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, lima puluhan, ataupun ketika ini.
5.         Sosiolek
Sosiolek (dari sosial dan dialek) yakni ragam bahasa yang terkait dengan suatu kelompok sosial tertentu. Sosiolek antara lain terjadi pada aneka macam kelompok masyarakat berdasarkan kelas sosial, usia, serta pekerjaan. Contohnya yakni perbedaan bahasa antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah, cukup umur dan orang tua, serta antara dokter dan pengacara.
Sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosiolinguistik variasi inilah yang menyangkut semua masalah eksklusif penuturnya, menyerupai usia, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, pekerjaan, sec, dsb. Sehubungan dengan variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya disebut dengan prokem.
6.         Register
A register is a variety of a language used for a particular purpose or in a particular social setting ‘berbagai bahasa yang digunakan untuk tujuan tertentu atau dalam lingkungan sosial tertentu’. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini yakni menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, pertanian, militer, pelayaran, pendidikan, dsb. Berdasarkan gaya contohnya, ketika menyapa lawan bicara digunakan kata “kamu” untuk yang sebaya/lebih rendah statusnya atau “anda” untuk yang lebih tinggi.
7.         Ragam Beku
Ragam beku yakni variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi khidmat dan upacara resmi. Misalnya, dalam khotbah, undang-undang, akte notaris, sumpah, dsb.
8.         Ragam Resmi
Ragam resmi yakni variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, ceramah, buku pelajaran, dsb.
9.         Ragam Usaha
Ragam perjuangan yakni variasi bahasa yang lazim digunakan pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, ataupun pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan ragam informal atau santai.
10.       Ragam Santai
Ragam santai yakni variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dangan keluarga atau teman pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dsb. Ragam ini banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk ujaran yang dipendekkan.
11.       Ragam Akrab
Ragam dekat yakni variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubngannya sudah akrab, menyerupai antar anggota keluarga, atau teman karib. Ragam ini menggunakan bahasa yang tidak lengkap dengan artikulasi yang tidak jelas.
12.       Ragam Lisan dan Tulisan
Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan goresan pena dengan karakter sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Kaprikornus dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu mempunyai kekerabatan yang erat. Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh lantaran itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa verbal dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang mempunyai seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing mempunyai seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.
Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku verbal makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh lantaran itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diharapkan kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
13.       Diglosia
Diglosia yakni suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa tempat di Indonesia, menyerupai bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dengan demikian diglosia itu mengacu kepada kondisi dua ragam dalam satu bahasa hidup berdampingan dalam guyup bahasa, dan masing-masing ragam itu mempunyai tugas atau fungsi tertentu.
14.       Pidgin
Bahasa pijin atau pidgin yakni sebuah bentuk bahasa kontak yang digunakan oleh orang-orang dengan latar belakang bahasa yang berbeda-beda. Sebuah pijin biasanya mempunyai tatabahasa yang sangat sederhana dengan kosakata dari bahasa yang berbeda-beda. Sebuah pijin tidak mempunyai penutur bahasa ibu. Jika mempunyai penutur orisinil maka bahasa ini disebut bahasa kreol.
Kebanyakan bahasa mempunyai penutur asli. Pidgin yakni bahasa yang tidak mempunyai penutur asli. Pidgin tidak pernah menjadi bahasa pertama dari sebuah kelompok masyarakat. Pidgin hanyalah bahasa untuk melaksanakan kontak sosial. Dengan kata lain, pidgin lahir dari sebuah situasi multibahasa. Dalam situasi menyerupai ini, para individu mencari bahasa yang bentuknya sederhana. Oleh lantaran bentuknya sederhana, bahasa itu sanggup dipahami oleh orang lain juga. Pidgin acapkali disebut sebagai bahasa normal yang ‘disunat’ atau disederhanakan.
15.       Kreol
Bahasa kreol yakni keturunan dari bahasa pijin yang menjadi bahasa ibu bagi sekelompok orang yang berasal dari latar belakang berbeda-beda. Bahasa-bahasa kreol yang ada di dunia menawarkan yakni kesamaan, khususnya dari segi tata bahasa yang mengarah pada bahasa universalnya (pidgin). Contoh kreol Melayu, yakni: Betawi, Melayu Ambon, Melayu Manado, Melayu Ternate, Melayu Banda, Melayu Kupang, dll.
16.       Aksen/Logat
Aksen yakni pelafalan khas yang menjadi ciri seseorang sesuai dengan asal tempat ataupun suku bangsa (logat). Kekhasan itu pada cara mengucapkan kata (aksen) atau lekuk lidah. Logat sanggup mengidentifikasi lokasi dimana pembicara berada, status sosial-ekonomi, dan lain lainnya.
B.         Kelas Sosial
Kelas sosial atau golongan sosial merujuk kepada perbedaan hierarkis (atau stratifikasi) antara insan atau kelompok insan dalam masyarakat atau budaya. Biasanya kebanyakan masyarakat mempunyai golongan sosial, namun tidak semua masyarakat mempunyai jenis-jenis kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi sosial, sanggup kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam masyarakat. Beberapa masyarakat tradisional pemburu-pengumpul, tidak mempunyai golongan sosial dan seringkali tidak mempunyai pemimpin tetap pula. Oleh lantaran itu masyarakt menyerupai ini menghindari stratifikasi social. Dalam masyarakat menyerupai ini, semua orang biasanya mengerjakan acara yang sama dan tidak ada pembagian pekerjaan.
Secara harfiah kelas sosial sering juga mengacu kepda golongankepada masyarakat yang yang mempunyai kesamaan atau perbedaan dalam bidang kemasyarakatan menyerupai Ekonomi, Pekerjaan, Pendidikan, Kedudukan, Kasta, dan Sebagainya. Perbedaan berdasarkan bidang ini pun masih mempunyai kelas sosial, contohnya dalam bidang Ekonomi, yakni kelas sosila ekonomi bisa dan tidak mampu. Dalam bidang Pekerjaan pun terdapat kelas sosial yakni kelas para petinggi (direktur dan semacamnya) dan kelas pekerja bergairah (anak buah).
Jika dikaitkan dengan bahasa bisa  kita mengambil beberapa rujukan sebagai berikut:
1.         Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi pecahan integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini lantaran beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur menyerupai bahasa Korea dan bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama  ("halus"). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake,honorific) dan "perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang sanggup berubah-ubah registernya pada suatu ketika tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama digunakan di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya digunakan sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan rujukan sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
1.         Ngoko kasar: “Eh, saya arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2.         Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
3.         Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa lantaran menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
4.         Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar)
5.         Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
6.         Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu bergotong-royong pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Kaprikornus ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
7.         Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
8.         Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
nèng yakni bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan abreviasi dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan menggunakan kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.
2.         Bahasa Madura
Sama halnya dengan bahasa Jawa, bahasa madura pun memilki kelas atau tingkatan dalam hal penggunaannya. Karena mempunyai tiga varian bahasa yakni bahasa Enje’-Iyeh (kasar), Enggi-Enten (biasa),dan Enggi-Bhunten (halus).
Kelas bahasa ini sangat gampang kita jumpai bila kita berada di sekitar lingkungan pondok pesantren yang ada di Madura. Dapat dijelaskan, dalam perkataan sesama santri mereka menggunakan bahasa “kasaran” yakni enje’-iyeh, dan bila santri dengan pengurus pesantren para santri menggunakan bahasa enggi-enten, dan bila santri dengan kiai maka para santri harus menggunakan bahasa enggi-bhunten. Itu bila di lingkungan pesantren, yang masih sangat kental dan merupaka tempat untuk mencar ilmu tatakrama dalam bertingkah laris ataupun berbicara dengan sesama ataupun orang yang lebih tua. Namun, kelas ini sangat fleksibel sama halnya dengan bahasa jawa, tapi tidak sekongkrit bahasa Jawa.
Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
a.         Enje’-iyeh terhadap ...
          Sesama: “Eh, sengko’ atanya ah, romanahcak Budi juah, e dimmah?”
          Orang yang lebih tua: “Ta’ langkong saporanah, kaula atanya ah compok nah cak Budi e kimmah gi ?”
          Orang Tua/ Guru/ Kiai (orang yang dihormati):“yu’un saporah pak, buleh/ abdinah atanya ah dhalem mah cak Budi, e ka immah gi ?”
b.         Enggi-Enten
          Sesama : manabi roma nah kebijaksanaan e dimmah gi?
          Orang yang lebih tua: tak langkong gi, kaula apkonah compok nah cak Budi e kimmah gi ?
          Orang Tua/ Guru/ Kiai (orang yang dihormati):  “yu’un pangaporah nah, buleh/ abdinah terro oneng ngah dhalem mah cak Budi, e ka immah gi ?”
c.         Enggi-Bhunten
Dalam kelas ini hanya di kenal dengan kelas sesama saja, lantaran yang menggunakan bahasa ini hanya orang-orang sesepuh atau para kiai terhadap kiai. Namun dalam masalah kelas bahasa ini ada sistem kebalikan yaitu bagaimana bicara dengan sesama, dan dengan yang lebih muda saja.
          Sesama: tak langkong, kaula alenggi yeh de’ ka compok nah cak budi, e dimmah gi ?
          Yang lebih muda : eh, engko’ atanya ah, e dimmah roma nah Budi ?
Catatan:
Dalam penggunaan bahasa Madura, ini sangat dipenbgaruhi oleh tindak kesopanan, bila dari anak muda berbicara pada sesama bisa menggunakan bahasa Enje’-Iyeh, sedangkan dengan orang yang lebih renta menggunakan kelas bahasa Enggi-Entenatau pun Enggi-Bhunten, dan bila berbicara dengan orang yang sangat dihormati menyerupai Orang Tua, Guru, Atau Kiai menggunakan bahasa Enggi-Bhunten.
Namun bila sebaliknya bila orang renta atau sesepuh, guru atau kiai yang berbicara pada anak muda, mereka tidak diharuskan menggunakan bahasa Enggi-Enten atau pun Enggi Bhunten. Karena bila seorang tersebut menggunakan bahasa tersebut terkesan merendahkan, meski bahasa yang digunakan yakni bahasa enggi-bhunten. Dan bila kepada sesama bebas menggunakan kelas bahasa apapun.
Jadidapat disimpulkan bahwa kelas sosial di dalam bahasa itu merupakan sebuah peraturan atau tatak rama dalam berbicara kepada orang lain, yang biasa di kenal dengan tindak tutur kesopanan dalam berbicara. Banyak teori yang sudah dikemukakan wacana kelas sosial bahasa ini. Seperti penelitian William Labov, yang memasukkan dimensi sosial ke dalam dialektologi. Kemudian ada kelas sosial dengan ragam baku ini terdapat di Inggris. Dan ada lagi Teori Bernstein yang mengemukakan pendapat bahwa ada dua ragam bahasa penutur yakni kode terperinci dan kode terbatas. Selain itu ada hipotesis dari Sapir Whort yang berbunyi “pandangan insan wacana lingkungannya sanggup di tentukan oleh bahawanya”.
Daftar Referensi
Gowdy, John. 2006. “Hunter-gatherers and the mythology of the market" in Richard B. Lee and Richard H. Daly (eds.), The Cambridge Encyclopedia of Hunters and Gatherers, pp.391-394. New York: Cambridge University Press
Habermas, J. 2006. "The European Nation State - Its Achievments and Its Limits. On the Past and Future Sovereignty and Citizenship", in G. Balakrishan (ed.) Mapping the Nation. London: Vernon. 281 - 294
mamapayish-online.blogspot.com/search?q=27/variasi-bahasa-dalam-sosiolinguistik/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Ragam_bahasa
http://intl.feedfury.com/content/15241462-ragam-bahasa
mamapayish-online.blogspot.com/search?q=27/variasi-bahasa-dalam-sosiolinguistik/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Ragam_bahasa
http://intl.feedfury.com/content/15241462-ragam-bahasa
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/Menimbang-nimbang Bahasa Cirebon (Edisi Tahun 2009). Html.
mamapayish-online.blogspot.com/search?q=27/variasi-bahasa-dalam-sosiolinguistik/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Ragam_bahasa
http://intl.feedfury.com/content/15241462-ragam-bahasa
Hudson, R.A. 1985. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Meecham, Marjorie and Janie Rees-Miller. 2001. Language in social contexts. In W. O'Grady, J. Archibald, M. Aronoff and J. Rees-Miller (eds) Contemporary Linguistics. pp. 537-590. Boston: Bedford/St. Martin's.
Poerwodarminto, WJS. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pendahuluan KBBI edisi ketiga.
Uhlenbeck, E.M. 1964. A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura. The Hague: Martinus Nijhoff
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Sabda.

Persoalan2 dari temen2:
Ø  Ragam bahasa dan variasi bahasa:

Ø  Slogan menyerupai bojonegoro matoh bisa apa tidak di masukkan?
Ø  Berikan rujukan sosial ragam bahasa Indonesia.?
Ø  Menurut anda bahasa indo iku sebaiknya harus ada kelas sosial apa tidak?
Ø  Ada gak sih keadilan bahasa iku?



Sumber http://pascaunesa2011.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Variasi Bahasa Dan Kelas Sosial"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel