iklan

✔ (Komunikasi) Politik Jokowi


(Komunikasi) Politik Jokowi-tidak lagi butuh pemimpin yang ganteng berdegap, bicara diatur seapik mungkin dan susah ditemui bagai di menara gading (terakhir malah terusik oleh bunyi speaker para demonstran yang justru menuntut agresi faktual dari pemimpinnya, Presidennya sendiri), terkesan cuek dengan segala persoalan.
Menariknya, di hari-hari terakhir, kita masih melihat bagaimana Jokowi secara elegan merespon desakan wartawan mengenai kesediaannya untuk dicalonkan sebagai Presiden. Ia menjawab apa adanya, masih sibuk memikirkan Jakarta. Jangan-jangan Jokowi justru sedang menaikkan posisi tawarnya, tidak ingin dilihat sebagai kandidat yang haus kekuasaan. Langkah ini tergolong brilyan apalagi bila disandingkan dengan hiruk-pikuk konvensi partai Demokrat yang secara gamblang mempertontonkan persaingan merebut kekuasaan namun ‘mengawang-awang’ tersebab sangat jarang yang telah mengambarkan langkah kongkrit terhadap banyak sekali duduk kasus bangsa.

Mohammad Isa Gautama
Membicarakan Jokowi tidak ada kata basi, terutama hari-hari menjelang Pemilu ini. Tidak saja di media-media nasional dan daerah, diskursus per-Jokowi-an merambah warung-warung kopi kelas akar rumput. Jokowi menciptakan orang ingin tau dengan keberaniannya menerabas pakem gaya komunikasi politik selama ini yang terkesan begitu formal, sarat jargon dan retorika serta miskin dengan eksekusi.
Bagaimanakah kita memaknai komunikasi politik Jokowi dengan aspirasi politik masyarakat terkini? Apakah ia terbentuk dengan sendirinya? Mari kita komparasi dengan pemimpin lain yang lebih senior, katakanlah SBY. Alasannya simpel, dalam dua kali Pemilu terakhir SBY berhasil merebut bunyi terbanyak, memimpin sudah nyaris sepuluh tahun di negeri ini, dan mempunyai gaya komunikasi politik yang berbeda dengan Jokowi.
SBY tampil ketika masyarakat merasa jenuh dan muak dengan agresi komunikasi Megawati Sukarnoputri yang cenderung ekonomis kata, kurang reaktif terhadap krisis, dan cenderung sibuk dengan dirinya sendiri. Meski selalu menempatkan dirinya sebagai ‘ibu bangsa’ dan mengklaim keberpihakan kepada wong cilik, ketika memimpin Mega justru terjebak dengan problem reposisi identitas kepartaian dan mistifikasi/duplikasi kharisma ayahandanya.
Ditambah dengan kesan sebagai ‘si tertindas’, sehabis Mega memecatnya di saat-saat menjelang Pemilu, maka lengkaplah sudah ‘keberuntungan’ yang didapat oleh SBY. Ia dengan segera merebut simpati khalayak lewat tampilan yang ‘santun’, berlawanan dengan gaya yang lugas bahkan cenderung di luar kontrol dari seorang Mega. Kata-kata yang diucapkan diatur secara hati-hati, intonasi cenderung datar.
Citra pemimpin santun, ditambah dengan aura priyayi ‘dipakai’ secara konstan sepanjang oleh SBY sepanjang karir kepresidenannya. Ironisnya, di balik kesantunannya, SBY tak jarang sulit memilah secara proporsional bias emosi, dalam beberapa kali pidato justru menangis, bahkan juga overreaktif manakala tampil di sebuah iven hari anak nasional, memarahi belum dewasa yang tertidur di tengah-tengah pidatonya (bisa ditelusuri di media-media on-line, 29/8/1012, atau di youtube.com).
Adalah suatu hal yang manusiawi sebenarnya, siapa pun pemimpinnya dan di mana pun ia memimpin, tetaplah ia seorang insan yang kompleks, mempunyai perasaan sentimentil atau emosional yang kadang muncul secara spontan. Namun di tengah keprihatinan banyak sekali permasalahan bangsa yang belum juga selesai, rakyat justru butuh Presiden yang tegar dan bisa mengobarkan semangat dan inspirasi.
Pada titik ini, masyarakat kemudian mulai rindu sosok yang tegas, tidak saja santun, tapi juga cekatan mengambil tindakan. Dalam teori paling dasar komunikasi politik pun ada adagium yang menyampaikan bahwa bahasa komunikasi politik yang paling efektif itu bukanlah kata-kata atau retorika serta pencitraan, melainkan melulu action, tingkah laris dan implementasi dari kebijakan. Action speaks louder than words, demikian pepatah Inggris mengatakan.
Pada momentum itulah kehadiran Jokowi begitu mengena dengan kemauan masyarakat. Rakyat butuh pemimpin yang tidak saja mau bertindak faktual mewujudkan kata-katanya, namun juga mau hadir ke tengah masyarakat mengontrol kinerja bawahannya. Bisa jadi, Jokowi masih belum yakin budaya ABS (Asal Bos Senang) sudah terkikis tepat di struktur eksekutif.
Dus, bila kehadiran SBY merupakan antithesis dari laris komunikasi politik seorang Megawati Sukarnoputri, maka berkemungkinan besar rakyat menemukan antithesis-nya SBY pada sosok seorang Jokowi. Rakyat butuh pemimpin yang apa adanya, kalau perlu bicara dengan gaya seorang rakyat biasa, tampang biasa, tapi dengan agresi yang luar biasa. Rakyat ternyata


Sumber http://nindraa.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "✔ (Komunikasi) Politik Jokowi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel