iklan

Bahasa Pria Dan Wanita Dalam Bahasa Jepang



Bahasa  Laki-Laki dan Perempuan dalam Bahasa Jepang
Emiko Watanabe (117835601)
a.            Pendahuluan
                Dalam bahasa Jepang terdapat dua buah dialek sosial yang berbeda menurut diferensiasi jender penuturnya yaitu ragam bahasa perempuan (joseigo, onna kotoba) dan ragam bahasa pria (danseigo, otoko kotoba). Meskipun kedua ragam bahasa ini bertahap hilang sebab oleh perubahan zaman, tetapi ada cuilan yang masih tetap bertahan dan digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Jepang sampai sekarang. Kalau zaman dulu pria Jepang niscaya memakai bahasa laki-laki, tetapi pada zaman kini ada banyak anak perempuan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengan Atas yang memakai bahasa laki-laki. Demikian juga pada zaman dulu perempuan memakai bahasa perempuan, tetapi kalau zaman kini perempuan yang memakai bahasa perempuan yakni perempuan yang bersifat sopan dan lembut, dan kadang kala ada pria yang memakai bahasa perempan juga.
                Memang pada suasana tuturan formal ibarat pada program rapat, seminar, simposium, dan acara formal lainnya sama sekali tidak sanggup terdengar kedua ragam bahasa ini. Tetapi pada percakapan sehari-hari yang tidak resmi kadang kala sanggup terdengar pemakaian bahasa ini dari orang-orang Jepang pada kalangan tertentu. Demikian juga pada ketika perkenalan atau pertemuan pertama dengan orang Jepang, percakapan dilakukan dengan memakai ragam standar. Tetapi semakin lama  bergaul dengan orang Jepang, terutama apabila kekerabatan dengan orang Jepang sudah sangat akrab, bertahap akan terjadi perubahan variasi bahasa yang digunakan termasuk ke dalam ragam bahasa perempuan dan ragam bahasa laki-laki. Tidak sedikit kedua ragam bahasa tersebut digunakan dalam novel sebab kalau memakai bahasa pria dan perempuan sangat gampang dipahami tokoh dalam novel ini pria atau perumpuan.
                Dalam makalah ini, akan dibahas perihal sejarah, jenis, tugas bahasa pria dan perempuan, dan perubahan bahasa perempuan dan pria oleh perubahan zaman.


b.            Pembahasan
                Jender merupakan perbedaan jenis kelamin laki-perempuan yang dibuat secara sosial dan kultural (Tadao, 1995 : 911). Dari zaman dulu di Jepang pria sering dikatakan cepat mengambil keputusan, rasional, egois, atau agresif. Sementara perempuan sering dikatakan lemah, lembut, sopan santun, pasif, dan penuh perhatian.  Laki-laki dan perempuan masing-masing dilambangkan dengan kanji yang berbeda. Laki-laki dilambangkan dengan abjad yang mengandung unsur kanji yang berarti ‘sawah’ dan ‘tenaga’ yang menggambarkan kiprahnya sebagai orang yang bekerja sekuat tenaga memproduksi padi di sawah untuk menyokong kehidupan bangsa guna membangun negara. Pekerjaan mulia ini dianggap milik pria walaupun pada kenyataannya banyak juga perempuan yang turut bekerja di sawah. Berbeda dengan laki-laki, perempuan ditulis dengan abjad yang melambangkan orang yang sedang menari. Hal ini memberi citra sosok perempuan yang berperan sebagai penghibur orang (laki-laki). Seolah-olah mereka dijadikan objek kesenangan atau kepuasaan orang yang melihatnya.
                Dalam pembentukan kata pun perempuan terlihat tidak mendapat prioritas utama. Kata danjo (Laki-Perumpuan) tidak sanggup diubah menjadi jodan dengan impian mendahulukan unsur perempuannya. Sama dengan danjo, kata-kata fubo (ayah-ibu), fuufu (suami-istri) tidak sanggup dibalikkan menjadi bofu, fufuu. Kata fukei yang berarti orang tua/wali murid berasal dari kata chichi (ayah) dan ani (kakak laki-laki). Begitu juga kata kyoodai yang berarti keluarga/saudara berasal dari kata ani (kakak laki-laki) dan otooto (adik laki-laki). Walaupun fukei berarti ‘orang tua/wali murid’ dan kyoodai berarti ‘keluarga/saudara’ namun di dalamnya tidak terkandung unsur ‘perempuan’ baik ibu, abang perempuan, maupun adik perempuan.
                Seperti ditulis di atas, dari zaman dulu di Jepang sangat terang dibedakan posisi, tugas pria dan perempuan, maka dibuat bahasa pria dan perempuan. Namun, kedua ragam bahasa ini berubah terus dengan arus zaman. Asal bahasa pria yang sering digunakan kini yakni bahasa Samurai Zaman Edo (Edo-Jidai). Samurai ( atau ) yakni istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata "samurai" berasal dari kata kerja "samorau" asal bahasa Jepang kuno, berkembang menjadi "saburau" yang berarti "melayani", dan balasannya menjadi "samurai" yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan. Ciri khas bahasa pria yakni variasi kata ganti pertama. Misalnya, “Ore”, “Boku”, “Washi”, “Oira” dan lain-lain. Kara ganti pertama dalam bahasa perempuan yakni “Watashi” dan “Watakushi”. Dilihat dari aspek pemakaian simpulan kalimat terdapat beberapa perbedaan antara yang digunakan pria dan yang digunakan perempuan. Di dalam ragam bahasa pria digunakan ibarat zo, ze, kai, dazo, daze, sedangkan di dalam ragam bahasa perempuan digunakan kashira, wa, wayo, wane, no, noyo, none, dan kotoyo. Zo, ze, kai, dazo, daze, dan sebagainya dalam ragam bahasa pria merefleksikan maskulinitas penuturnya sebagai manusia yang sangat tegas, berani, kuat, penuh percaya diri, penuh kepastian, atau cepat dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan partikel-partikel itu, partikel-partikel kashira, wa, wayo, wane, no, noyo, none, koto, dan kotoyo yang digunakan dalam ragam bahasa perumpuan menimbulkan bahasa yang diucapkan lemah lembut dan tidak mengatakan ketegasan atau kekuatan. Partikel-partikel itu digunakan untuk menghaluskan atau melemahkan pendapat, kesimpulan, keputusan, pikiran, atau pertanyaan penuturnya sehingga mereka terkesan ramah tamah dan sopan santun. Dalam penggunaan kata benda juga perbedaan bahasa pria dan perempuan sangat jelas. Dalam bahasa Perempuan di depan kata benda memakai “O”. Misalnya, “Sushi” menjadi “Osushi”, “Cha(teh)” menjadi “Ocha”, “Hana(bunga)” menjadi “Ohana” dan lain-lain. Dalam bahasa sopan juga, terlihat perbedaan bahasa pria dan perumpuan.
                Seperti ada di atas, dari zaman dulu bahasa Jepang dibagi bahasa pria dan perempuan dengan jelas. Akan tetapi, bertahap fenomina tersebut berubah dengan arus zaman. Dulu tugas perempuan Jepang yakni menjaga rumah sebagai ibu rumah tangga. Namun, zaman kini perempuan pun sanggup bekerja ibarat laki-laki. Peran perempuan dan pria tidak ibarat dulu, maka bahasa antara pria dan perempuan juga berubah. Banyak perempuan Jepang yang muda tidak mau memakai bahasa perempuan. Bahasa pria menjadi bahasa Jepang yang sering digunakan oleh orang Jepang, baik pria maupun perempuan zaman sekarang.


c.             Simpulan
                Bahasa mengrefleksikan lingkungan masyarakat. Begitu juga bahasa Jepang, yang mengandung nilai-nilai secis, sanggup merefleksikan nilai-nilai, sikap, atau pandangan masyarakat Jepang terhadap pria dan perempuan. Akan tetapi, dengan arus zaman bahasa perempuan jaran digunakan oleh perempuan Jepang sebab tugas perempuan juga berubah. Perempuan bukan hanya bekerja di rumah lagi. Perubahan itu ada sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif yakni perempuan sanggup mendapat kebebasan ibarat laki-laki. Sedangkan sisi negatif yakni menghilang kebudayaan tradisional.


Daftar Pustaka

Nihongo Daijiten, Tadao, Umesao Kodansha, 1995, Tokyo.
Jyosei-go, http://ja.wikipedia.org/wiki/%E5%A5%B3%E6%80%A7%E8%AA%9
Samurai, http://ja.wikipedia.org/wiki/%E4%BE%8D
Nihongo no kokoro, Yumiko Yamada, Hikari 1985, Tokyo

Sumber http://pascaunesa2011.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Bahasa Pria Dan Wanita Dalam Bahasa Jepang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel