iklan

Analisis Struktural Levi-Strauss Dalam Kisah Mandin Tangkaramin



ANALISIS STRUKTURAL LEVI-STRAUSS DALAM CERITA
MANDIN TANGKARAMIN
Cerita Rakyat Malinau Kalimantan Timur
by evi "kaltim"
      Loksado yakni salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan. Di sana ada sebuah kabupaten berjulukan Malinau. Kabupaten Malinau merupakan salah satu daerah hasil pemekaran wilayah Kabupaten Bulungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999. Pada awalnya Malinau yakni sebuah daerah pemukiman yang semula dihuni suku Tidung. Daerah ini selanjutnya menjadi kampung, bermetamorfosis kecamatan. Kini Malinau menjadi ibukota kabupaten. Berdasarkan keterangan tokoh masyarakat suku Tidung, asal mula timbulnya atau disebutnya nama Malinau ketika kedatangan orang-orang Belanda ke pemukiman yang dulunya berjulukan Desa Selamban. Di Desa Selamban tinggal penduduk dari kalangan keluarga Suku Tidung. Sedangkan di seberang sungai terdapat Desa Pelita Kanaan, yang terletak di tepi sungai Kabiran tempat bermukimnya Suku Abai.
      Pada ketika Belanda tiba ke desa ini, terjadilah obrolan dengan sekelompok Suku Abai yakni kaum ibu yang sedang menciptakan sagu dari aren. Orang Belanda lantas bertanya: "Apa nama sungai ini?" Maksudnya sungai di desa mereka. Penduduk yang menerima pertanyaan tersebut tidak mengerti. Mereka hanya mengira maksud pertanyaan orang Belanda tersebut, mereka sedang mengerjakan atau melaksanakan apa. Lantas salah seorang dari mereka menjawab: "Mal Inau dako", yang maksudnya sedang mengolah atau memasak sagu enau/aren. Mal artinya membuat, sedangkan Inau artinya pohon enau/aren. Orang Belanda yang bertanya mencatatnya. Kaprikornus nama Malinau lahir secara tidak sengaja
      Kemudian nama Malinau dalam peta dan manajemen Pemerintah Hindia Belanda yang menyebutkan ada nama sungai Malinau. Sejak itulah daerah ini disebut dengan nama Malinau. Sedangkan dalam perkembangannya, daerah Malinau makin banyak penduduknya yang mulai menyebar ke sebelah hulu dan hilir Desa Selamban sebelumnya. Terus berkembang menjadi kota kecil yang kemudian menjadi Kecamatan Malinau. Terakhir sesudah adanya pemekaran wilayah Kabupaten Bulungan, Malinau menjadi ibukota Kabupaten (situs resmi Pemkab Malinau, 2012).
      Di malinau  ada sebuah riam berjulukan Mandin Tangkaramin. Konon, berdasarkan bahasa penduduk di sana, mandin berarti air terjun. Jadi, mandin Tangkaramin berarti riam Tangkaramin. Akan tetapi, kata mandin sudah menyatu dengan Tangkaramin sehingga kedua kata itu tak terpisahkan. Adapun kisah selengkapnya yakni sebagai berikut.

Kisah Madin Tangkaramin
(1)   Air terjun itu. tidak terlalu tinggi, sekitar tiga belas meter. Hutan lebat mengelilinginya sehingga jikalau berada di hutan itu terasa selalu dalam dekapan gelap malam. Di dasar riam Mandin Tangkaramin terdapat bongkahan-bongkahan kerikil besar dan kecil. Di antaranya ada bongkah besar berwarna merah, semerah kulit manggis yang ranum, berjulukan Manggu Masak. Konon, riam itu punya kaitan dengan satu kejadian, yakni perkelahian satu lawan satu antara Bujang Alai (BA) dengan Bujang Kuratauan (BK). Dalam perkelahian itu natinya akan melibatkan keluarha kedua belah pihak yaitu pihak Bujang Alai (PBA) dan pihak Bujang Kuratauan (PBK).
(2)   Kita ambil dongeng singkatnya bahwa kedua cowok itu mempunyai kelebihan dan kekurangan. Akibatnya, mereka hidup dalam persaingan yang membuahkan dendam terpendam. BA yakni seorang cowok tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun selilit pinggang. Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan impian orang-orang tertarik kepadanya.
(3)   Berbeda sekali keadaannya dengan BK. Ia berpenampilan sederhana dan tidak setampan BA. Ia seorang cowok yang rendah hati dan penyabar. Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menyampaikan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya. Akan tetapi, ia punya sisi lain yang sanggup diandalkan. Ia tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri lantaran diperlukan masyarakat. Musyawarah di desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala.
(4)   Jika BA menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah keangkuhannya, BK pun selalu membawa senjata setiap bepergian. Parang bungkul, senjata tradisional orang Banjar, selalu tersangkut di pinggangnya. Akan tetapi, senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jikalau bukan untuk menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan.
(5)   Pada suatu ketika, desa mereka gempar. Ada insiden yang dianggap melanggar etika dan mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang di muka anggota masyarakat. Seorang gadis hilang entah ke mana tanpa diketahui sebabnya. Bukan hanya orang bau tanah gadis itu yang panik dan amat terpukul, BK pun terusik perasaannya. Walaupun gadis itu bukan keluarganya atau wanita yang akan dijodohkan kepadanya, insiden itu dirasakan sebagai tantangan terhadap dirinya. Ia diminta menyampaikan kemampuannya untuk menemukan gadis itu. Oleh lantaran itu, BK bertekad memeriksa kasus ini hingga tuntas. Jauh di hati kecilnya muncul kecurigaan bahwa BA menculik gadis itu. “Sekali ini niscaya ia akan kena batunya,” ujar Bujang Kuratauan dalam hati. Belum lagi perjuangan pengusutan mencapai titik terang, BA tiba-tiba menepuk dada. Ia berkata dengan lantang, “Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu bisa menahan ujung kerisku lebih dulu!”
(6)   Jelaslah bahwa BA menantang BK. Dahi BK berkerut, daun indera pendengaran memerah, gigi gemeretuk, dan kilat mata tajam melukiskan amarah. Tangan kanannya meraba hulu bendo bungkulnya. Ia berkata dengan bunyi datar, “Aku tak akan menjemput gadis itu ke rumahmu, tetapi saya menuntut tanggung jawabmu sebagai lelaki!” “Lelaki maksudmu? Keris ini mengambarkan kelelakianku! Tentukan tempat dan waktunya!” ujar Bujang Alai sambil meraba keris di pinggang. “Musuh tidak kucari, tetapi jikalau bersua pantang kuelakkan,” sahut BK. Ia, berusaha meredam kemarahannya yang memuncak dengan bunyi tertelan, “Jika kerismu mau menjual darah, bendo bungkul tumpul ini bisa membelinya!”.
(7)   Singkat dongeng terjadi perang tanding antara BK dan BA. Keris Nagarunting milik BA ditarik dari sarungnya, diacungkannya ke atas, dan diliuk-liukkannya ke udara dengan sombong. BK tidak ingin kalah agresi melihat atraksi yang dipamerkan BA. Parang bungkulnya yang tajam berkilat berkelebat membelah udara, dipermainkannya dengan kecepatan tinggi. Setelah mempertunjukkan kebolehan masing-masing, tanpa diduga BA dengan tangkas melompat sambil berusaha menyarangkan keris Nagarunting ke dada BK. Akan tetapi, BK sudah siap sehingga serangan mendadak itu tidak mengejutkannya. Dengan gerakan enteng, ujung keris yang akan menembus jantung sanggup dielakkannya. Bahkan jikalau mau, niscaya sempat menebaskan bendo bungkulnya ke leher BA. Akan tetapi, BK bukan orang haus darah. Kesempatan emas itu tidak dimanfaatkannya. Sikap itu ternyata menciptakan hati BA semakin membara. Ia merasa dilecehkan. “Gunakan senjatamu jikalau engkau merasa sebagai lelaki!” tantang BA. BK tidak menjawab. Ia hanya tersenyum, tetapi tangannya telah siap memegang hulu bendo bungkul. Matanya nanap penuh selidik menyiasati gelagat yang akan dilakukan BA.
(8)   Nalurinya tidak salah. BA menyerbu dengan membabi buta. Ia menyarangkan kerisnya bertubi-tubi ke badan BK sehingga BK susah mengelakkannya. Gemerincing keris beradu dengan bendo bungkul mengakibatkan kilatan api di angkasa. Mereka mempunyai kehebatan dan kemampuan tempur yang tinggi. Akhirnya, BK tidak hanya menangkis dan mengelak, tetapi ia juga menyerang dan menebaskan bendo bungkulnya. Tebasannya berkali-kali mengenai bagian-bagian rawan badan BA, tetapi tidak segores pun melukai kulitnya. Demikian halnya BK, berkali-kali ujung keris BA tidak sanggup dielakkannya, tetapi sama sekali tidak mencederainya. “Kita lanjutkan di tempat lain!” ujar BA. “Di mana pun saya setuju!” sahut BK. “Mandin Tangkaramin pilihanku!” ujar BA. “Di sana pun saya setuju!” sahut BK.
(9)   Perang tanding ditunda sementara. Mereka sepakat, Mandin Tangkaramin sebagai arena perkelahian berikutnya. Waktu luang menjelang ketika pertarungan berikut itu mereka gunakan untuk mempersiapkan diri biar sanggup mengalahkan lawan. Setelah merenung dan menilai kehebatan BA, BK berkata dalam hati, “Ia kebal. Parang bungkul yang bagaimanapun tajamnya tak akan melukai kulitnya.” Jika BA berusaha mempertajam keris Nagarunting, BK justru menciptakan tumpul bendo bungkulnya. Mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul menyerupai cuilan belakangnya.
(10)           Dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka alasannya yakni keduanya kebal. Akan tetapi, bendo bungkul BK yang tumpul matanya itu menciptakan badan BA memar atau remuk di dalam. Akhirnya, BA pun meninggal.
(11)           Tersiarlah isu tewasnya BA di tangan BK. Kematian BA itu menciptakan suasana menjadi panas. PBA ingin menuntut balas alasannya yakni utang darah harus dibayar darah. PBK tidak tinggal diam. Mereka tidak menginginkan jatuhnya korban. Siasat pun diatur sebaik-baiknya. Obor-obor dinyalakan sehingga perhatian musuh terpancing dalam gelap gulita itu. PBA mengejar obor-obor yang gemerlapan itu dengan kemarahan meluap. PBK menghindarkan diri biar jangan terjadi bentrokan. Setelah hingga di puncak riam Mandin Tangkaramin, obor-obor itu mereka lempar ke bawah. Melihat nyala obor-obor itu PBA mengira musuh menyimpang jalan sambil berlari menyusuri lintasan. Mereka hanya berpatokan pada nyala obor yang dilemparkan.
(12)           Singkat dongeng PBA pun pribadi memintas menuju obor. Jalan pintas yang mereka perkirakan memang tidak ada, kecuali jurang menganga. Sehingga pada kesudahannya mereka pun  (PBA) jatuh di atas bongkahan-bongkahan batu. Darah mereka mengucur di batu-batu  dan menjadikan batu-batu merah warnanya, semerah kulit manggis masak. Kemudian hingga ketika ini para penduduk setempat menyebutnya Batu Manggu Masak.

      Demikian dongeng Madin Tangkaramin, untuk sanggup lebih mendalami dongeng ini maka perlu dilakukan analiais structural menyerupai yang telah ditunjukan Levi-Strauss. Mengingat data etnografi wacana Madin Tagkaramin ini belum sempat ditelaah lebih jauh, maka saya akan mencoba menafsirkan dongeng di atas berdasarkan mekanisme yang telah ditunjukkan oleh Levi-Strauss.
Analisis Ceriteme
      Strauss (2012 : 204) menyampaikan bahwa mytheme merupakan tindakan atau insiden yang hanya terdapat pada tingkat kalimat. Sedangkan ceritheme merupakan rangkaian-rangkaian kalimat yang mengandung pengertian tertentu. Sebelum melaksanakan alanilis srtuktural, pada tahapan ini saya akan menampilkan ceriteme terlebih dahulu yang nantinya akan sanggup menemukan rangkaian-rangkaian kalimat yang menunjukkan suatu ‘pengertian’ tertentu menyerupai berikut.
(1)   “…BA yakni seorang cowok tampan, angkuh, dan kaya. Ia selalu menyisipkan keris di pinggangnya setiap pergi ke mana saja. Jimat pun selilit pinggang. Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan impian orang-orang tertarik kepadanya...” (alenia 2)
(2)   ...”Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu bisa menahan ujung kerisku lebih dulu!” (alenia 4)
(3)   “… Ia berpenampilan sederhana dan tidak setampan BA. Ia seorang cowok yang rendah hati dan penyabar. Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menyampaikan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya…” (alenia 3)
(4)   “…Akan tetapi, ia punya sisi lain yang sanggup diandalkan. Ia tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri lantaran diperlukan masyarakat. Musyawarah di desa terasa belum lengkap tanpa kehadirannya. Sebuah keputusan dalam rapat tidak akan diambil tanpa ia turut menganggukkan kepala…” (alenia 3).

      Ceriteme pertama di atas sanggup kita katakana mengandung pengertian bahwa “BA yakni orang Malinau yang tergolong kaya dengan segala sikap buruknya sebagaimana terlihat pada kalimat “Karena merasa yakin akan kelebihannya, ia sering bertindak sesuka hati. Ia selalu mempertontonkan keberaniannya di mana saja, dengan impian orang-orang tertarik kepadanya”. Ceriteme kedua menyiratkan pengertian bahwa BA yakni orang yang tidak disukai oleh rakyat Malinau lantaran ia melanggar etika yaitu menculik anak gadis sebagaimana dalam kalimat ”Di rumah saya ada seorang gadis yang saya sembunyikan. Silakan jemput gadis itu, tetapi dengan syarat orang itu bisa menahan ujung kerisku lebih dulu!”. Ceriteme ketiga menyiratkan pengertian bahwa BK yakni orang Malinau yang tergolong tidak kaya akan tetapi mempunyai sikap yang baik menyerupai terlihat dalam kalimat “Selain itu, cara berpikir dan gagasannya menyampaikan kejernihan otaknya. Ia bukan dari kalangan orang kaya”. Ceriteme keempat menunjukkan bahwa BK yakni orang yang disukai oleh rakyat Malinau sebagaimana dalam kalimat “Ia tidak berusaha menonjolkannya, tetapi muncul sendiri lantaran diperlukan masyarakat”.
      Dari empat ceriteme ini sanggup kita lihat bahwa terdapat kekerabatan oposisi (oppositional) antara tokoh BA dan BK. BA sanggup dikatakan sebagai orang Malinau yang kaya akan tetapi mempunyai sikap jelek sehingga tidak disukai oleh masyarakat tersebut, sedangkan BK yakni orang Malinau dengan segala kebaikannya sehingga ia sanggup diterima dan disukai oleh masyarakat setempat.

Analisis struktural
Episode I (alenia 2-4)
      Dalam episode ini kita sanggup melukiskan wacana tokoh Bujang Alai (BA) dan Bujang Karatauan (BK) dengan perbedaan tingkat social dan perbedaan sifat diantara keduanya. BA mencerminkan orang Malinau yang kaya dan mempunyai sifat jelek sehingga masyarakat setempat tidak menyukainya dan (BK) yakni orang Malinau yang miskin dan mencerminkan sifat baik dan lantaran sifatnya tersebut ia disukai oleh masyarakat setempat. Dari sini kita sanggup memperoleh sketsa sebagai berikut:
BA      : orang Malinau yang tergolong kaya
BK      : orang Malinau yang tergolong miskin

Berdasarkan atas kategori strata sosial, ekonomi yang ada dalam kehidupan sehari-hari orang Malinau, maka episodeini sanggup ditafsirkan sebagai simbolisme dari dua strata yaitu strata atas dan strata bawah.
      Jika dilihat dari segi kebiasaan masyarakat dan sifat-sifat/perilaku masyarakat Malinau sanggup kita lihat pada sketsa berikut:
BA      : mempunyai sifat buruk - tidak disukai masyarakat
BK      : mempunyai sifat baik disukai masyarakat

      Dalam episode ini “makna” tokoh BA hanya sanggup ditangkap bila dibandingkan dengan tokoh BK. BA yakni orang Malinau yang mempunyai perangai angkuh, menyombongkan kekuatanya dan bertindak sesuka hati sehingga hal tersebut menciptakan masyarakat tidak menaruh simpati padanya. Berbeda dengan BK yang rendah hati, suka menolong danwalaupun ia mempunyai kesaktian akan tetapi ia tidak menggunakannya kecuali untuk menolong.
     Dilihat dari sudut pandang kemampuan atau kesaktian oposisinya yakni sebagai berikut:
BA      : mempunyai senjata yaitu keris Nagarunting dan menyelipkan keris dan jimat selilit pinggang untuk menambah keangkuhannya.
BK      : mempunyai senjata  yaitu Parang bungkul, senjata tradisional orang Banjar. Akan tetapi, senjata itu tidak akan keluar dari sarungnya jikalau bukan untuk menegakkan kehormatan, kebenaran, dan keadilan.

Dalam episode ini tokoh BA mencerminkan orang yang gemar memamerkan kesaktiannya kepada orang-orang guna menerima ratifikasi dari masyarakat, BA juga mempunyai senjata yang dipakai untuk menambah keangkuhannya. Hal ini bertolakbelakang dengan tokoh BK yang mencerminkan kerendahan hati walaupun ia juga mempunyai kesaktian dan senjata namun ia hanya mempergunakannya untuk menegakkan keadilan.

Episode II ( alenia 5)
      Pada episode ini meceritakan wacana insiden yang menggemparkan warga masyarakat yaitu salah seorang warga yang kehilangan anak gadisnya. Jelas bahwa dalam etika kebiasaan masyarakat Malinau bahwa melarikan anak gadis orang yakni perbuatan yang melanggar adat, mencemarkan nama keluarga, serta mencorengkan arang di muka anggota masyarakat. Di dalam episode ini mencerminkan sikap tolong menolong dalan masyarakat Malinau dengan cerminan tokoh BK yang terusik perasaannya, insiden itu dirasakan sebagai tantangan terhadap dirinya dan BK bertekad memeriksa kasus ini hingga tuntas.

Episode III ( alenia 6-8)
      Menceritakan wacana tantangan yang diajukan BA terhadap BK untuk bertanding. Keduanya saling menyampaikan kesaktian dan menunjukkan kelihaian mereka dalam memakai senjata masing-masing. Yang menarik dalam episode ini yakni tidak terjadi inverse atau tidak tergambar perbedaan antara tokoh BA dan BK menyerupai yang tergambar dalam episode I dan II. Di dalam episode ini mereka sama-sama berpengaruh dan tak terkalahkan, sehingga pertempuran ditunda dan akan dilanjutkan pada tempat yang telah mereka sepakati dengan tidak ada yang menang dan yang kalah.
     
Episode IV (9-10)
      Menceritakan wacana pertempuran sengit antara BA dan BK yang terjadi pada tempat yang telah mereka sepakati yaitu di Mandin Tangkaramin sebagai arena perkelahian. Namun sebelum mereka bertemu untuk bertempur mereka mempersiapkan diri biar sanggup mengalahkan lawan. Di sinilah terdapat perbedaan apa yang dilakukan tokoh, sketsa di bawah ini akan memerlihatkan inverse antara kedua tokoh tersebut.
BA      : berusaha mempertajam keris Nagarunting
BK      : membuat tumpul bendo bungkulnya, mata parangnya bukan dipertajam, melainkan diasah sehingga tumpul menyerupai cuilan belakangnya.

Dalam episode ini diceritakan bahwa dalam pertarungan di Mandin Tangkaramin, memang tidak seorang pun terluka alasannya yakni keduanya kebal. Akan tetapi,  akal cendekia BK dengan bendo bungkul yang tumpul matanya itu menciptakan badan BA memar atau remuk di dalam. Hingga pada akhirnya, BA meninggal.

Episode V (alenia 11-12)
      Mengisahkan insiden pasca janjkematian BA ditangan BK. Kematian BA itu menciptakan suasana hati rakyat Malinau menjadi panas.  Skema yang menunjukkan perbedaan adalah  sebagai berikut:
PBA    : ingin menuntut balas alasannya yakni utang darah harus dibayar darah.
PBK    : tidak menginginkan jatuhnya korban

Dalam sketsa di atas sangat terperinci tergambar bahwa PBA yakni pihak yang gampang terbakar amarahnya dan mempunyai prinsip utang nyawa dibayar nyawa menyerupai realitas yang sering terjadi pada masyarakat daerah pedalaman. Kaprikornus dalam episode terakhir ini sebagai simbol superioritas dikalangan masyarakat Malinau siapa yang berpengaruh akan sanggup bertahan hidup dan siapa yang kalah akan mempertaruhkan nyawanya. Singkat dongeng PBA yang sudah terbakar amarahnya sehingga menutupi akalnya sehingga pada kesudahannya mereka pun  jatuh ke jurang di atas bongkahan-bongkahan batu. Darah mereka mengucur di batu-batu  dan menjadikan batu-batu berwarna merah, semerah kulit manggis masak. Kemudian hingga ketika ini para penduduk setempat menyebutnya Batu Manggu Masak.
     Berdasarkan episode-episode yang telah dilalui tampak terperinci bahwa dalam episode II-V menyampaikan inversi yang ada dalam cerita. Skema berikut akan memudahkan hal ini:
1.      Eps III                         : BK bertempur tak terkalahkan
Eps IV             : BA kalah dalam pertempuran dan tewas ditangan BK

2.      Eps II              : PBK dan PBA saling musyawarah ketika ada pelanggaran adat
Eps V              : PBA terbakar amarah dan menuntut balas janjkematian BA

Kita lihat di sini adanya korelasi invensional antara episode III dan IV di mana dalam episode III digambarkan BK bertempur tak terkalahkan sedangkan di episode IV BA kalah dalam pertempuran tersebut. Kemudian juga terdapat korelasi invensional antara episode II dan V.
  
Wujud realitas sosial dan konflik antar suku di Malinau
      Cerita di atas sebagai salah satu citra bahwa di daerah Malinau pada kondisi ekonomi yang miskin. Dengan terperinci digambarkan dalam dongeng di atas wacana kondisi daerah tersebut  dengan latar perkampungan, hutan, riam dan jurang. Kabupaten Malinau merupakan salah dari 3 (tiga) wilayah kabupaten yang berbatasan pribadi dengan negara tetangga. Kabupaten Malinau juga salah satu kabupaten pemekaran yang baru. Secara umum kabupaten Malinau terletak di daerah hulu sungai dan pendalaman yang berbatasan dengan Negara Bagaian Serabwak Malaysia Timur. Dengan Mayoritas penduduk orisinil malinau berasal dari Suku Dayak dengan banyak sekali sub-etnisnya menyerupai Suku Kenya, Suku Lun Dayeh, Suku Tidung dan lain-lain.
      Secara geografis kondisi daerah perbatasan pada umumnya terpencil, miskin kemudahan sarana dan prasarana, pendapatan ekonomi masyarakat diwilayah perbatasan di Kabupaten Malinau masih kecil, sementara potensi sumber daya alam belum dimanfaatkan secara maksimal. Semua itu lantaran jalan masuk informasi, teknologi yang tidak memadai dan kondisi yang jauh dari sentra pemerintahan. Kehidupan mereka sangat pas-pasan dan bisa dikatakan jauh dari kata modern. Sangat jarang ditemukan alat-alat elektronik yang canggih. Sehingga dalam keadaan menyerupai itu apabila terjadi perselisihan diantara warga maka hal tersebut masih rawan terjadi konflik antar suku.

Penegasan nilai utama dongeng “Mandin Tangkaramin”
      Cerita di atas juga sanggup ditafsirkan sebagai upaya orang Malinau untuk menegaskan akan nilai sebuah sikap dalam masyarakat melalui kedua tokoh yaitu BA dan BK. Bahwasanya sikap yang dicerminkan atau digambarkan oleh tokoh BA tidaklah patut untuk di tiru lantaran kajahatan, keangkuhan, kesombongan, terlebih lagi m elanggar etika akan membawa peristiwa alam bagi dirinya sendiri yang kemungkinan besar juga mempertaruhkan nyawanya. Hal ini pertentangan dengan penggambaran sikap BK yang rendah hati, suka menolong dan membela keadilan yang berujung pada kemenangan dan keselamatan.




      

Sumber http://pascaunesa2011.blogspot.com

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Analisis Struktural Levi-Strauss Dalam Kisah Mandin Tangkaramin"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel