5 Pesan Yang Tersirat Lebaran
5 Hikmah Idul Fitri
IDUL FITRI selalu hadir sebagai epilog ibadah puasa Ramadhan setiap tahun. Sudah barang tentu kita semua bersama seluruh kaum muslimin senantiasa menyambut dan merayakannya dengan rasa penuh kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan dan kesuka citaan. Namun yang perlu menjadi pertanyaan adalah: sudah benarkah perilaku dan cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi materi renungan danmuhasabah (introspeksi atau penilaian diri) kita setiap saat, khususnya setiap kali kita berjumpa dengan Idul Fitri mirip hari ini.
Mari kita tengok sejenak bermacam-macam pemaknaan dan penyikapan yang ada di masyarakat kita terhadap hari raya idul fitri ini. Diantara masyarakat ada yang memelesetkan idul fitri yang juga biasa disebut hari lebaran menjadi haribubaran dengan arti: bubar puasanya, bubar pula ke masjidnya, bubar baca Qur’annya, dan seterusnya dan seterusnya. Artinya bubar Ramadhan-nya berarti bubar pula ketaatannya (?). Sementara itu banyak kalangan yang memaknai dan memahami hari raya lebaran ini hampir hanya sebagai hari yang identik dengan segala yang serba gres dan anyar; baju baru, celana baru, jilbab baru, dan lain-lain yang serba baru. Bahkan ada juga sebagian masyarakat kita yang tidak memahami hari raya Idul Fitri melainkan sekadar sebagai ajang pesta kembang api dan ‘perang’ petasan! Meskipun yang disebutkan terakhir ini sudah sangat berkurang kini kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
Sebagaimana, menurut fakta dan realita kebiasaan masyarakat kita, selama ini telah terbangun opini publik yang rasanya sangat sulit untuk diubah, yakni bahwa hari idul fitri itu sama dengan hari pulang kampung dan pulang kampung massal untuk berkumpul dengan keluarga dan handai tolan. Tapi disini, tentu bukanmangan gak mangan ngumpul, tapi justru ngumpul-ngumpul untuk mangan-mangan, alasannya pada hari raya hampir bisa dipastikan di setiap rumah keluarga muslim makanan dan jajanan selalu banyak dan bermacam ragam. Disamping itu telah terbentuk pula kebiasaan yang sudah merata di masyarakat kita bahwa, hari idul fitri yaitu hari salam salaman, hari maaf maafan, hari saling beranjang sana dan bersilaturrahim antar keluarga, kerabat, handai tolan, tetangga dan sahabat.
Itu yaitu sekelumit citra wacana bermacam-macam pemaknaan, penyikapan dan fenomena seputar hari raya idul fitri di masyarakat kita. Tentu masih banyak lagi yang lainnya. Dan tentu saja bukan berarti itu semua salah. Sebagiannya yaitu benar, baik, positif dan justru merupakan salah satu sunnah hasanah(kebiasaan baik) yang harus tetap dipertahankan, mirip kebiasaan silaturrahim itu misalnya. Namun kalau yang kita pahami dan dapatkan dari idul fitri yang merupakan epilog dan sekaligus komplemen ibadah Ramadhan, hanyalah yang mirip itu saja, tentu sangat tidak tepat.
Karena Idul Fitri dan Idul Adha yaitu dua hari raya dalam Islam yang ditetapkan pribadi oleh Allah sebagai pengganti hari-hari raya yang pernah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam datang.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: “مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟” قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر” (رواه أبو داود والنسائي وأحمد وابن حبّان).
Dari Anas dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sedangkan penduduknya mempunyai dua hari khusus yang mereka rayakan dengan permainan, maka dia bersabda: “Apakah maksud dari dua hari ini?” mereka menjawab; “Kami biasa merayakan keduanya dengan permainan semasa masih Jahiliyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (Iedul Adha) dan hari raya Iedul fithri.” (HR. Abu Dawud, An-Nasaa-i, Ahmad dan Ibnu Hibban ).
Dan kedua hari raya Islam tersebut dikaitkan dan digandengkan dengan dua rukun utama aliran Islam yakni: puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah di Tanah Suci Mekkah. Maka Idul Fitri dengan demikian – sebagaimana Idul Adha – yaitu merupakan salah satu diantara hari-hari dan syi’ar-syi’ar Allah yang harus kita sambut dan rayakan dengan perilaku penuh rasa ibadah, pemuliaan dan pengagungan – dalam batas-batas koridor syar’i – sebagai bukti ketaqwaan hati kita. Allah Ta’ala berfirman
”Begitulah, dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu termasuk (bukti) ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj : 32).
Nah, sebagai salah satu syi’ar Allah yang istimewa, tentu saja idul fitri mempunyai muatan makna dan kandungan pesan tersirat yang banyak dan istimewa pula, dan yang sangat kita butuhkan sebagai bekal utama dalam perjalanan hidup kita selanjutnya pasca Ramadhan.
Dan dalam kesempatan khutbah kali ini, aku ingin mengajak para jamaah dan seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk mentadabburi dan merenungkan wacana beberapa pesan tersirat besar di balik momentum syi’ar hari raya idul fitri ini.
- Hikmah Kegembiraan dan Kesyukuran
Hikmah pertama yang sangat menonjol dari momen idul fitri yaitu pesan tersirat kegembiraan dan kesyukuran. Ya, semua kita bergembira dan bersuka ria ketika menyambut Idul Fitri mirip kini ini. Dan memang dibenarkan bahkan disunnahkan kita bergembira, berbahagia dan bersuka cita pada hari ini. Karena makna dari kata ‘ied itu sendiri yaitu hari raya, hari perayaan, hari yang dirayakan. Dan perayaan tentu identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menegaskan itu dalam hadits shahihnya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: (إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي) لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ” (متّفق عليه).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu macam kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah ‘azza wajalla berfirman; ‘Selain puasa, alasannya puasa itu yaitu untuk-Ku dan Aku-lah yang pribadi akan memberinya pahala. Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.’ Dan bagi orang yang berpuasa ada dua momen kegembiraan: kebahagiaan ketika ia berbuka (baca: berhari raya fitri), dan kegembiraan lain ketika ia bertemu dengan Rabb-Nya. Sesungguhnya wangi lisan orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma kesturi.” (HR. Muttafaq ’alaih).
Tapi yang perlu menjadi perenungan, introspeksi dan pertanyaan kita adalah: kegembiraan mirip apakah yang harus kita miliki dan tunjukkan pada hari raya fitri mirip ketika ini? Dan jawabannya bahwa, kegembiraan yang harus kita miliki dan rasakan haruslah merupakan kegembiraan syukur kepada Allah yang telah mengkaruniakan taufiq kepada kita untuk bisa mengoptimalkan pengistimewaan Ramadhan dengan amal-amal yang serba istimewa, dalam rangka menggapai taqwa yang istimewa. Dan bukan kegembiraan lainnya contohnya yang muncul alasannya merasa telah lepas dari Ramadhan yang disikapi sebagai bulan beban yang serba memberatkan, mengekang dan membelenggu!
Itulah kebembiraan kita sebagai orang beriman: gembira alasannya ketaatan, kebaikan dan kesalehan. Dan bukan gembira alasannya sebaliknya, alasannya kemaksiatan, keburukan dan kejahatan. Seperti yang terjadi di zaman modern mirip kini ini, dimana banyak orang yang justru gembira dan besar hati dengan kemaksiatan dan penyimpangannya. Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan bahwa,
“مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ، وَ سَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ” (رواه الطّبراني).
”Barangsiapa bersenang hati dengan amal kebaikannya, dan bersedih hati dengan keburukan yang diperbuatnya, maka berarti dia orang beriman” (HSR Ath-Thabrani).
Begitu pula kegembiraan orang berima yaitu kegembiraan alasannya syukur atas aneka macam kenikmatan Allah yang tak terhitung. Seperti firman-Nya yang artinya):
“Dan kalau kau mau menghitung nikmat-nikmat Allah, pasti kau tidak akan bisa menghitungnya” (QS. Ibrahim [14]: 34; QS. An-Nahl [16]: 18).
Dan nikmat yang paling utama tentulah nikmat hidayah, nikmat keimanan, nikmat keislaman dan nikmat ketaatan.
- Hikmah Ketauhidan, Keimanan dan Ketaqwaan
Dalam menyambut ‘Iedul Fithri, disunnahkan bagi kita untuk banyak mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan tahmid sebagai bentuk penegasan dan pembaharuan deklarasi keyakinan dan tauhid. Itu berarti bahwa identitas keyakinan dan tauhid harus selalu kita perbaharui dan kita tunjukkan, termasuk dalam momen-momen kegembiraan dan perayaan, dimana biasanya justru kebanyakan orang lalai dari berdzikir dan mengingat Allah.
“… dan hendaklah kau mencukupkan bilangannya (puasa Ramadhan), dan hendaklah kau mengagungkan Allah atas hidayah-Nya yang diberikan kepadamu, dan supaya kau (lebih) bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Seperti juga yang diperintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ketika memperoleh karunia kenikmatan puncak yang telah diidam-idamkan selama bertahun-tahun oleh dia dan para sahabat, berupa kemenangan dakwah Islam yang gilang gemilang, penaklukkan kota Mekkah dan berbondong-bondongnya masyarakat Jazirah Arab dalam memeluk Islam. Dimana dalam rangka mensyukuri dan merayakan kemenangan puncak itu, dia justru diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid dan beristighfar.
“Apabila telah tiba pertolongan Allah dan kemenangan (penaklukan Mekkah).Dan kau lihat insan masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Maka (sebagai bentuk syukur) bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan beristighfarlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia yaitu Maha Penerima taubat” (QS. An-Nashr: 1-3).
Nah kalau kita tetap banyak bertakbir, bertasbih, bertahmid dan bertahlil serta berdzikir mengagungkan Allah, pada momen kemenangan, keberhasilan, kegembiraan dan perayaan – yang biasanya melalaikan – maka harapannya, pada momen-momen dan kesempatan-kesempatan lain, insyaa-allah akan lebih gampang lagi bagi kita untuk bisa menjaga dan melaksanakan itu semua.
Maka ma’asyiral muslimin, sehabis ditempa dan ditarbiyah di bulan keimanan, dan dengan bekal taqwa lebih istimewa yang telah kita raih darinya, marilah dalam perjalanan hidup selanjutnya, kita jaga, kita buktikan dan kita tunjukkan selalu identitas keimanan, keislaman, ketaqwaan dan kedekatan kita dengan Allah ‘Azza wa Jalla.
Karena itulah bukti bahwa, kita telah berhasil dan sakses dalam menjalani ibadah puasa beserta seluruh rangkaian amal ibadah yang menyertainya selama bulan Ramadhan. Bukankah tujuan dan goal utama dari ibadah Ramadhan yaitu untuk mendapat ijazah taqwa ?
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kau biar kau (lebih) bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).
Oleh alasannya itu, selepas Ramadhan ini, dan pada momen iedul fitri ini, kita harus terlahir kembali menjadi pribadi-pribadi muslim dan muslimah gres yang lebih murni tauhidnya, lebih indah imannya, dan lebih istimewa taqwanya, bagi kehidupan yang lebih islami dan lebih baik, dalam diri pribadi, dalam keluarga, dalam masyarakat, bangsa dan negara.
- Hikmah Kefitrahan
Biasa juga dikatakan bahwa, dengan hadirnya Iedul fitri berarti kita kaum muslimin kembali kepada fitrah, kembali kepada kesucian. Dan itu benar. Karena kalau benar-benar dioptimalkan, maka Ramadhan dengan segala amaliah istimewanya yaitu salah satu momentum terbaik bagi peleburan dosa dan pembatalan noda yang mengotori hati dan jiwa kita serta membebani diri kita selama ini.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متّفق علَيْه).
Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa alasannya keyakinan dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka pasti diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Muttafaq ‘alaih).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متَّفق علَيْه).
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melaksanakan qiyamullail pada bulan Ramadlan alasannya keyakinan dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka pasti diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Muttafaq ‘alaih).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متَّفق علَيْه).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Barangsiapa yang melaksanakan qiyamullail pada (malam) lailatul qadar (mengisi dengan ibadah) alasannya keyakinan kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu… “ (HR. Muttafaq ‘alaih).
Nah sehabis kebersihan diri, kesucian jiwa dan kefitran hati itu kita dapatkan kembali, sehingga kita menjadi kolam bayi suci yang gres dilahirkan ibunya, atau menyerupai lembar kertas putih nan bersih, marilah pada hari raya fitri ini kita tuluskan niat, bulatkan tekad dan kuatkan semangat untuk menjaga kebersihan, kesucian dan kefitrahan itu seterusnya dalam hidup kita. Sehingga sebisa mungkin jangan lagi kembali kepada dosa-dosa yang akan menciptakan noda-noda baru. Semoga Allah selalu menunjukkan kekuatan, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.
- Hikmah Kepedulian
Islam yaitu agama peduli. Oleh karenanya uammatnyapun yaitu ummat peduli. Dan sifat serta abjad kepedulian itu begitu tampak kasatmata dan terbukti secara mencolok selama bulan berkat yang gres saja berlalu. Dimana semangat menyebarkan dan spirit memberi melaui sunnah bederma dan bersedekah serta kewajiban berzakat, begitu indah menghiasi hari-hari penuh peduli sepanjang bulan Ramadhan. Dan itu semua tidak lain dalam rangka memalsukan dan mencontoh keteladanan terbaik dari Baginda Rasul tercinta shallallahu ‘alaihi wasallam.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ (متَّفق علَيْه).
Dari Ibnu ‘Abbas berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah insan yang paling dermawan, lebih-lebih pada bulan Ramadlan ketika malaikat Jibril ‘alaihis salam menemuinya, dan yaitu Jibril ‘alaihis salammendatanginya setiap malam di bulan Ramadlan, untuk bertadarus Al Qur’an dengan beliau. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih ermawan dengan kebajikan daripada angin yang bertiup (HR. Muttafaq ‘alaih).
Dan kewajiban kita sekarang, di hari fitri ini, yaitu menjaga keistiqamahan dengan melanjutkan semangat menyebarkan dan abjad memberi sebagai bukti taqwa ini, pasca Ramadhan pada hari-hari kehidupan kita selanjutnya.
Karena bukankan kita menyebarkan yaitu dengan saudara-saudara kita yang membutuhkan? Bukankah kita memberi yaitu untuk mereka-mereka yang menunggu uluran tangan? Bukankah kita berinfak, bersedekah dan berzakat, disamping untuk melaksanakan sunnah dan menunaikan kewajiban, yaitu untuk menutup kebutuhan ummat dan memenuhi kemaslahatan Islam? Nah kalau pasca Ramadhan kita berhenti menyebarkan dan memberi, apakah berarti bahwa, semua yang membutuhkan kepedulian kita itu hanya ada di bulan Ramadhan, dan pribadi hilang tanpa sisa begitu bulan suci berakhir?
Tentu saja tidak! Maka mari kita jaga dan pertahankan pesan tersirat kepedulian ini, sebagai bukti taqwa dan sekaligus wujud syukur yang telah kita raih melalui seluruh amaliah Ramadhan yang gres saja berlalu.
- Hikmah Kebersamaan dan Persatuan
Selama Ramadhan, suasana dan nuansa kebersamaan serta persatuan ummat begitu kental, begitu terasa dan begitu indah. Mengawali puasa bahu-membahu (seharusnya dan sewajibnya), bertarawih bersama (disamping jamaah shalat lima waktu juga lebih banyak selama Ramadhan), bertadarus bersama, berbuka bersama, beri’tikaf bersama, berzakat fitrah bersama, dan beriedul fitri bersama (semestinya!).
Dan hal itu alasannya memang ibadah dan amaliah Ramadhan serta ‘Iedul Fithri yaitu bersifat jama’iyah, kolektif, dan serba bersama-sama. Tidak bisa dan dilarang sendiri-sendiri.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ” قَالَ أَبُو عِيسَى وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ (رواه التّرمذيّ وأبو داود وابن ماجة، وصحّحه أحمد شاكر والألبانيّ).
Dari Abu Hurairah bekerjsama Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Berpuasa itu yaitu pada hari dimana kalian semua berpuasa (secara bersama-sama), dan beriedul fitri itu yaitu pada hari dimana kalian semua beeiedul fitri (secara bersama-sama), demikian juga dengan Iedul Adlha, yaitu pada hari dimana kalian semuanya beriedul adha (secara bersama-sama).” (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani. Imam Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata: sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa maksudnya, sesungguhnya shaum dan iedul fitri (dan juga iedul adha – pen.) itu (harus) bersama jama’ah dan lebih banyak didominasi ummat insan (ummat Islam).
Oleh alasannya itu kita semua patut bergembira dan bersyukur setiap kali bisa memulai puasa Ramadhan secara serempak, berbareng dan bersama-sama, tanpa ada perbedaan dan perselisihan yang berarti ( kecuali dari beberapa kelompok kecil Ummat yang tetap “istiqamah” dengan pilihan “madzhab” uniknya masing-masing). Begitu pula dalam berbahagia menyambut dan merayakan ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha, ketika terjadi secara serempak. Dimana nuansa kebersamaan dan persatuan terasa begitu indah. Suasana kegembiraan dan rasa kebahagianpun tampak demikian total dan seakan sempurna. Dan itulah memang esensi dan hakekat makna berhari raya dan beriedul fitri.
Meskipun sebenarnya masih ada saja yang mengganjal dan terasa kurang plong. Yakni alasannya terjadinya kebersamaan dan kesamaan dalam penetapan awal Ramadhan dan atau ‘Iedul Fitri serta ‘Iedul Adha khusus di negeri ini hingga detik ini, masih bersifat by accident (baca: by ketepatan dan kebetulan, dimana secara ketepatan dan kebetulan, baik penganut madzhab hisab maupun rukyah sama-sama memutuskan keputusan yang sama.), dan belum bersifat by design(baca: by kesepakatan antar seluruh atau lebih banyak didominasi kaum muslimin bersama Pemerintah menurut pola dan kaidah penyatuan tertentu). Padahal kondisi terakhir inilah yang wajib terjadi, dan yang selama ini masih selalu sangat kita harap-harap, tunggu-tunggu dan angan-angankan.
Karena sebelum tercapainya sebuah pola komitmen tertentu itu, menurut fikih toleransi dan kompromi disamping tentu keluasan wawasan, kelapangan dada, kedewasaan perilaku dan semangat penyatuan, maka perbedaan dan perselisihan – di tataran penerapan – masih selalu saja sangat mungkin terjadi sewaktu-waktu, ketika hilal berada pada posisi yang “tidak aman”. Sehingga terjadinya perbedaan dan perselisihan itupun akan selalu terulang lagi dan lagi. Dan, akibatnya, dengan perselisihan yang belum bisa ditoleransikan dan dikompromikan itu, ibadah-ibadah yang semestinya menjadi syi’ar ukhuwah, kebersamaan dan persatuan kaum muslimin tersebut, justru bisa berubah menjadi simbol ananiyah (egoisme), ‘ashabiyah (fanatisme) dan perpecahan antar kelompok-kelompok Umat.
Maka marilah pesan tersirat kebersamaan dan persatuan yang menjadi salah satu ruh ibadah Ramadhan dan esensi iedul fitri ini, kita jaga, pertahankan dan tingkatkan terus, sehingga benar-benar menjadi abjad tetap diri kita sebagai kaum mukminin yang senantiasa bersaudara secara serasi dan mesra.
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kau mendapat rahmat” (QS. Al-Hujuraat: 10).
Dan tentu kita semua tahu dan sadar bahwa, persaudaraan, kebersamaan serta persatuan yaitu penggalan terpenting dari pilar kekuatan dan kekokohan ummat Islam, yang wajib terus menjadi idealita dan keinginan setiap kita untuk direalisir dan diwujudkan.
Itulah 5 pesan tersirat penting dari amaliah ibadah Ramadhan dan keindahan iedul fitri yang seharusnya kita nikmati dan dapatkan. Semoga kita semua selalu bisa meraup penggalan terbaik dan terbanyak dari hikmah-hikmah besar itu. Dan selanjutnya terus bisa mempertahankan dan meningkatkannya. Aamiin yaa Rabbal'alamin.
0 Response to "5 Pesan Yang Tersirat Lebaran"
Posting Komentar