Analisismanajemen Dan Kepemimpinan Perguruan Tinggi Tinggi
ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
Oleh: SUNARDIN, M.Pd.I
DOSEN TEPA UNIVERSITAS ATTAHIRIYAH JAKARTA
PENDAHULUAN
Kepemimpinan yang baik selalu dikaitkan dengan keberhasilan sebuah institusi pendidikan. Ada relasi yang signifikan antara peningkatan kinerja institusi pendidikan dengan keefektifan seorang pemimpin. Pemimpin yang baik tidak semata-mata lantaran faktor bawaan, akan tetapi juga lantaran diusahakan. Latar sosial dan budaya seorang pemimpin menjadi salah satu yang kuat terhadap keefektifan kepemimpinan, sehingga menjelaskan konstruksi sosial warga dan latar sosial dan budaya menjadi sebuah keharusan untuk mengungkap keberhasilan sebuah forum pendidikan.
Dalam kenyataannya para pemimpin sanggup menghipnotis moral dan kepuasan kerja, keamanan, kwalitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi. Para pemimpin juga memainkan paranan kritis dalam membantu kelompok, organisasi atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka.
Kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam pengarahan yakni faktor penting efektifitas manajer. Bila organisasi sanggup mengidentifikasikan kualitas –kualitas yang berafiliasi dengan kepemimpinan, kemampuan untuk menseleksi pemimpin-pemimpin efektif akan meningkat. Dan bila organisasi sanggup mengidentifikasikan sikap dan teknik-teknik kepemimpinan efektif, akan dicapai pengembangan efektifitas personalia dalam organisasi.
Dalam sebuah institusi pendidikan, tentunya bukan hanya kiprah kepemimpinan dalam roda perjalanannya. Akan tetapi membutuhkan banyak elemen lain yang harus mendukung. Diantaranya yakni tuntutan adanya manajemen,administrasi, organisasi yang solid.
Gabungan tiga elemen di atas akan meningkatkan mutu sebuah pendidikan, dimana kiprah masing-masing elemen tersebut amat berkaitan erat. Kinerja manajer lebih difokuskan kepada pencapaian tujuan, tanpa perlu memperhatikan penerimaan sosial atas kehadirannya. Pemimpin sebaliknya, ia tidak hanya mementingkan ketercapaian tujuan tetapi juga peduli pada sisi penerimaan social.
Pendidikan yakni hal yang tidak sanggup dipisahkan dari siklus kehidupan manusia, sebuah fitrah dari makhluk yang dianugrahi nalar dan pikiran. Proses pendidikan berjalan semenjak dalam kandungan hingga keliang lahat (baca: meninggal dunia). Pendidikan bisa didapat dimana saja dan kapan saja. Proses pendidikan yang paling efektif yakni melalui pendidikan formal. Dimana sekolah merupakan perwujudan nyata pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar sistem dan kebijakan tertentu.
Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas yakni Perguruan Tinggi. Dimana pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan tertentu. Maka tidaklah mengherankan kalau perguruan Tinggi menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimanapun di dunia itu. Itulah salah satu kiprah dan fungsi Perguruan Tinggi.
Dengan menyandang kiprah yang sangat penting tersebut sudah barang tentu Perguruan Tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter dalam kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala bentuk tantangan selaras dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of chenge dapat dijadikan alternatif parameter berdasarkan idiologi Perguruan Tinggi atau lebih dikenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang mencakup pendidikan, penelitian, dan dedikasi kepada masyarakat[1].
Dalam konteks Indonesia, kajian ulang ihwal Perguruan Tinggi semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menyebabkan keprihatinan mendalam ihwal meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga ihwal semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang mempunyai competitive advantage, mempunyai daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan menyerupai ketika ini. Pengembangan perguruan-perguruan tinggi Islam (PTI), dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan PTI sekaligus pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik nasional dan global.
Makalah ini mencoba mengkaji menganalisis manajemen dan kepemimpinan perguruan tinggi. dan lebih dalam membahas problem manajemen perguruan tinggi.
ANALISIS MANAJEMEN DAN KEPEMIMPINAN PERGURUAN TINGGI
Mengenai definisi kepemimpinan, banyak perbedaan pendapat mengenainya. Hal ini disebabkan berbedanya sudut pandang dari masing-masing peneliti, maka mendefinisikan kepemimpinan sesuai dengan perspektif-perspektif individual dan aspek dari fenomena yang paling menarik dari perhatian mereka.
a. Jacobs & Jacques, mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang menjadikan kesediaan untuk melaksanakan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.[2]
b. Sedangkan berdasarkan Tannenbaum, Weschler & Massarik, kepemimpinan yakni dampak antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu sistem situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapain satu tujuan atau bebrapa tujuan tertentu.[3]
c. Mar’at mengutip pendapat Browr, menyatakan bahwa pemimpin yakni seseorang yang mempunyai posisi dengan potensi tinggi di lapangan.[4]
d. Kartini Kartono mengatakan, bahwa pemimpin yakni pribadi yang mempunyai kecakapan khusus dengan atau tanpa pengangkatan resmi untuk sanggup menghipnotis kelompok yang dipimpinnya untuk melaksanakan usaha bersama mengarah kepada sasaran-sasaran tertentu.[5]
Dari pengertian di atas, bisa di tarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan suatu relasi proses menghipnotis yang terjadi dalam suatu komunitas yang di arahkan untuk tercapainya tujuan bersama.
Dibawah ini dijelaskan beberapa pendapat yang menjelaskan ihwal pengertian manajemen.
a. George R. terry dalam bukunya yang terkenal berjudul Principle of Management, dikemukakan bahwa:
"Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, kegiatan, dan tindakan pengawasan (controlling), yang dilakukan untuk memilih serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya insan dan sumber-sumber lain.
b. The Liang Gie
Manajemen sebagai perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan terhadap sumber daya insan dan alam untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
c. Sondang P. Siagian
Manajemen yakni kemampuan dan keterampilan untuk memperoleh hasil dalam rangka mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain.
d. Malayu S.P. Hasibuan
Manajemen yakni ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya insan dan sumber daya yang lain secara efektif dan efesien untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari beberapa pendapat diatas sanggup disimpulkan bahu-membahu manajemen yakni proses untuk mencapai tujuannya yang diinginkan dengan dibantu oleh faktor-faktor pendukung menyerupai perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan (controlling) dengan melalui pemanfaatan sumber daya insan dan lainnya.
Sebelum membicarakan manajemen perguruan tinggi, lebih dahulu perlu menelaah hakekat yang lebih utuh mengenai perguruan tinggi lantaran entitas perguruan tinggi mempunyai beberapa dimensi fungsi atau dimensi makna. Definisi dan penjelasan yang sudah diberikan menyebutkan bahwa perguruan tinggi yakni suatu satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. Tujuan pendidikan tinggi ialah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, ada sekurang-kurangnya empat atau lima dimensi makna yang menempel pada perguruan tinggi, yaitu: (1) dimensi keilmuan (ilmu dan teknologi); (2) dimensi pendidikan (pendidikan tinggi); (3) dimensi sosial (kehidupan masyarakat); (4) dimensi korporasi (satuan pendidikan atau penyelenggara). Di atas semua itu, apabila pendidikan tinggi dimaksudkan untuk meningkatkan martabat manusia, maka sanggup diangkat ke dalam dimensi makna yang lebih mendalam, yaitu (5) dimensi etis.[6] Saat membicarakan manajemen perguruan tinggi, aneka macam dimensi maknalah antara lain yang membedakannya dengan manajemen perusahaan atau manajemen entitas lain. Oleh lantaran itu, sebelum membicarakan mengenai perguruan tinggi, ada baiknya kelima dimensi makna ditelaah satu persatu.
a. Dimensi Etis
Universitas dikenal sebagai pusat kreativitas dan pusat penyebaran ilmu pengetahuan bukan demi kreativitas sendiri, tetapi demi kesejahteraan umat manusia. Hakekat kiprah dan panggilan universitas ialah mengabdikan diri pada penelitian, pengajaran, dan pendidikan para mahasiswa yang dengan suka rela bergabung dengan para dosen dalam cinta yang sama akan pengetahuan. Universitas yakni suatu komunitas akademik yang dengan cermat dan kritis membantu melindungi dan meningkatkan martabat insan dan warisan budaya melalui penelitian, pengajaran, dan aneka macam pelayanan yang diberikan kepada komunitas setempat, nasional, dan bahkan internasional. Peran universitas pada proteksi martabat insan serta pada tanggungjawab moral inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yakni beberapa rujukan dimensi etis dari makna perguruan tinggi.[7]
b. Dimensi Keilmuan
Dunia perguruan tinggi yakni dunia ilmu pengetahuan. Tujuan utama pendidikan tinggi yakni mengembangkan dan berbagi ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan dengan proses berguru mengajar, penelitian dan dedikasi kepada masyarakat. Hanya di perguruan tinggi melalui pendidikan tinggi, ilmu pengetahuan betul-betul dikembangkan dan bukan di pendidikan yang lebih rendah atau di kawasan lain. Oleh lantaran itu, para dosen harus berusaha selalu meningkatkan kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan penelitian yang dikuasainya. Demikian pula, para mahasiswa dirangsang untuk berpikir secara kritis, sistematis dan taat asa serta mau dan bisa berguru seumur hidup.
c. Dimensi Pendidikan
Pendidikan tinggi yakni pendidikan, yaitu pendidikan pada tingkat tinggi. Namun, hal ini sering menyebabkan polemik, apakah memang betul bahwa proses yang terjadi di universitas merupakan suatu pendidikan atau suatu pembelajaran lantaran arti “pendidikan” lain sama sekali dengan “pembelajaran”. Dalam proses pembelajaran, mahasiswa diusahakan menjadi orang yang belajar, mau berguru terus-menerus. Proses pembelajaran umumnya bersifat formal. Sebaliknya, pendidikan yakni proses penyiapan insan muda menjadi insan dewasa, yaitu insan yang berdikari dan bertanggungjawab. Proses pendidikan bersifat informal dan terjadi terutama di dalam keluarga, tetapi sanggup pula di dalam masyarakat dan sekolah.
Dalam proses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, tidak ada pengaturan, kurikulum, maupun penjenjangan. Yang ada hanyalah perjenjangan, pengaturan, perencanaan, struktur, dan sistem mengenai pembelajaran. Namun polemik mungkin sanggup didamaikan dengan penjelasan bahwa di dalam perguruan tinggi terjadi pendidikan melalui pembelajaran. Pendidikan sanggup diberikan, baik dalam kurikulum intra, kurikulum ekstra. Dalam kurikulum intra, pendidikan sanggup diberikan dalam bentuk penjelasan dan rujukan aplikasi ilmu pengetahuan. Dalam kurikulum ekstra, pendidikan sanggup diberikan dalam seni budaya, seni olahraga, seni organisasi, dan sebagainya. Disiplin, keterbukaan, pelayanan, pinjaman pada yang lemah, kejujuran, kerja keras, dan sebagainya yang diperlihatkan dalam pengelolaan universitas yakni nilai-nilai aktual yang merupakan rujukan nyata untuk pendidikan.
d. Dimensi Sosial
Penemuan ilmiah dan inovasi teknologi telah membuat pertumbuhan ekonomi dan industri yang sangat besar. Melalui pertumbuhan ekonomi dan industri, kesejahteraan insan pun ditingkatkan. Melalui kegiatan dan usaha para jago dan mahasiswa, kehidupan demokrasi ditingkatkan dan martabat insan lebih dihargai. Perguruan tinggi mempersiapkan para mahasiswa untuk mengambil tanggungjawab di dalam masyarakat. Dari para lulusannya, masyarakat mengharapkan pembaruan dan perbaikan terus-menerus dalam tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut, melalui pengajaran dan penelitian, perguruan tinggi diperlukan memperlihatkan sumbangan dalam memecahkan aneka macam problem yang sedang dihadapi masyarakat menyerupai kekurangan pangan, pengangguran, kekurangan pemeliharaan kesehatan, ketidakadilan, kebodohan, dan sebagainya.
e. Dimensi Korporasi
Perguruan tinggi memperlihatkan jasa kepada masyarakat berupa pendidikan tinggi dalam bentuk proses berguru mengajar dan penelitian. Yang diajarkan dan diteliti yakni ilmu pengetahuan. Jadi, bisnis pendidikan tinggi ialah ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi mempunyai pelanggan, yaitu para mahasiswa dan masyarakat pengguna lulusannya. Perguruan tinggi menghadapi persaingan, yaitu antar perguruan tinggi lain, baik dari dalam maupun luar negari. Apabila mahasiswa (pelanggan) perguruan tinggi terlalu sedikit, perguruan tinggi tidak sanggup membiayai dirinya sendiri, sehingga mengalami defisit dan kalau terus-menerus demikian, kelangsungan hidupnya akan terancam. Perguruan tinggi mempunyai dan mengelola aneka macam sumber daya menyerupai manusia, barang-barang, peralatan, keuangan, dan metode. Perguruan tinggi perlu memperkenalkan produknya pada masyarakat biar dikenal dan “dibeli”. Semua memperlihatkan kesamaan antara perguran tinggi dengan perusahaan. Inilah dimensi korporasi perguruan tinggi.
Di kala kontemporer, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini mensyaratkan adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih terkenal dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE) yang dikembangkan dari konsep Total Quality Management (TQM), pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia pendidikan (Salis, 2010).
Secara filosofis, konsep ini menekankan pada perbaikan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Sehingga tidak mengherankan, kalau institusi pendidikan, baik pendidikan dasar dan menengah mau pun pendidikan tinggi berlomba-lomba mengadopsi teori dan praktek manajemen mutu di perusahaan untuk diterapkan di institusi pendidikannya, yang disahkan melalui sertifikasi yang diberikan oleh forum yang berwenang. Salah satu jenis sertifikasi yang banyak dikejar oleh institusi pendidikan yakni sertifikasi ISO dengan aneka macam variasinya. ISO sebetulnya berasal dari istilah International Organization for Standardization, supaya lebih gampang disingkat menjadi ISO (Chatab, 1996). Sertifikasi ISO akan diberikan kalau institusi pendidikan tersebut telah berhasil menerapkan standar mutu pendidikan secara konsisten sesuai dengan persyaratan ISO.
Sejalan dengan penerapan manajemen mutu pada institusi pendidikan tinggi, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) telah mengeluarkan sebuah pedoman, yaitu Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi, yang secara tegas mensyaratkan bahwa proses penjaminan mutu di pendidikan tinggi merupakan keharusan yang tidak sanggup ditawar lagi. Pedoman ini disusun tidak dengan maksud untuk ‘mendikte’ perguruan tinggi dalam melaksanakan proses penjaminan mutu pendidikan tinggi, melainkan untuk memperlihatkan wangsit ihwal siapa, apa, mengapa, dan bagaimana penjaminan mutu tersebut sanggup dijalankan (Departemen Pendidikan Nasional, 2003).
Dengan melaksanakan penjaminan mutu secara konsisten dan berkesinambungan diperlukan perguruan tinggi sanggup meningkatkan kinerjanya dengan maksimum, sehingga sanggup bersaing secara sehat dengan perguruan tinggi yang sejenis. Lebih jauh lagi, dengan pelaksanaan penjaminan mutu artinya perguruan tinggi tersebut bisa memberi kepastian dan keyakinan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) bahwa mutu pendidikan di perguruan tinggi tersebut sudah mengikuti standar-standar yang disyaratkan oleh forum pemberi sertifikasi atau akreditasi.
Di belahan final pedoman tersebut dijelaskan ihwal pelaksanaan penjaminan mutu di perguruan tinggi, menyerupai kutipan berikut ini.
‘’Agar penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi sanggup dilaksanakan, maka terdapat beberapa prasyarat yang harus dipenuhi biar pelaksanaan penjaminan mutu tersebut sanggup mencapai tujuannya, yaitu komitmen, perubahan paradigma, dan sikap mental para pelaku proses pendidikan tinggi, serta pengorganisasian penjaminan mutu di perguruan tinggi’’.
Komitmen yakni syarat pertama yang harus ada. Komitmen di sini mencakup komitmen semua pihak, baik pimpinan, tenaga edukatif, tenaga non edukatif, atau pun tenaga penunjang, dengan kata lain seluruh civitas academica. Tetapi yang terpenting yakni komitmen pimpinan, lantaran untuk mengubah paradigma dan sikap mental, serta pengorganisasian penjaminan mutu yang baik dibutuhkan komitmen pimpinan. Tanpa komitmen pimpinan semua hal yang sudah dirancang tidak akan ada gunanya.
Jelas sekali bahwa kiprah pimpinan dalam melaksanakan penjaminan mutu di perguruan tinggi sangatlah penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Salis (2010) bahwa: “Kepemimpinan yakni unsur penting dalam TQM. Pemimpin harus mempunyai visi dan bisa menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan yang terang dan tujuan yang spesifik”.
Pemangku Kepentingan di Perguruan Tinggi
Perguran tinggi di Indonesia sanggup dibedakan menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), dan Perguruan Tinggi Agama (PTA). Pada dasarnya pemangku kepentingan di semua perguruan tinggi di atas hampir sama, yang membedakan yakni forum penyelenggaranya. Perguruan Tinggi Negeri diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, Perguruan Tinggi Swasta diselenggarakan oleh yayasan pribadi, PTK diselenggarakan oleh kementerian lain di luar Kementerian Pendidikan Nasional, dan PTA diselenggarakan oleh Kementerian Agama.
Untuk merinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi bisa dipakai pendekatan sistem, yaitu dengan melihat prosedur input-proses-output di perguruan tinggi, dengan menganggap bahwa perguruan tinggi sebagai sistem terbuka. Berdasarkan gambar prosedur input-proses-output perguruan tinggi, maka sanggup dirinci pemangku kepentingan di perguruan tinggi secara umum adalah:
a. Dosen
b. Mahasiswa
c. Tenaga non edukatif
d. Lembaga penyelenggara
e. Pemerintah
f. Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya)
g. Alumni
h. Lembaga lain
i. Masyarakat
Problematika PTAIS
Terkait dengan perguruan tinggi Islam swasta, cukup umur ini, jumlah perguruan tinggi Agama Islam dari hari ke hari secara kuantitas mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Ada 400 lebih PTAIS yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik dalam bentuk Sekolah Tinggi, Universitas dan lain sebagainya. Tentu saja dengan jumlah tersebut, dilihat dari segi kuantitasnya, patutlah untuk disyukuri. Namun demikian perlu dipertanyakan sejauhmanakah kondisi dari sebagian PTAIS tersebut. Artinya, sejauhmana kualitas PTAIS dibanding dengan PTAIN dan PTUN? Apakah mereka sudah benar-benar menjadi Perguruan Tinggi, atau hanya sekedar menjadi forum "penjual" ijazah, yang tidak pernah mengetahui bagaimanakah kompetensi dan daya serap (akseptabilitas) lulusannya di masyarakat. Oleh lantaran itu, melihat keadaan makro PTAIS kini ini, pengembangan PTAIS menjadi kebutuhan yang amat mendesak, apalagi dikaitkan dengan kiprah pemerintah (baca: Depag) untuk mengembangkan PTAIS.[8]
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari aneka macam problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, mencakup infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan. Dari segi inftastruktur, walaupun pada umumnya PTAIS telah mempunyai kampus, namun bervariasi antara yang berada di tanah milik dilengkapi dengan bangunan dan sarana yang memadai, namun ada juga yang masih menyewa, atau di kampus sendiri namun sarananya masih sederhana dan terbatas. Kampus PTAIS yang berada di pondok pesantren sangat ideal, namun mahasiswa yang mondok di pesantren terbatas jumlahnya. Kampus PTAIS rata-rata dilengkapi dengan perpustakaan namun bervariasi antara yang banyak dan sedikit buku pustakanya. Sedangkan laboratorium, baik micro teaching, komputer atau bahasa, rata-rata masih terbatas, bahkan ada yang belum memiliki.[9]
Dari segi mahasiswa, rata-rata Program Studi PTAIS kecil sekali animonya, apalagi yang selain Prodi PAI, sehingga kualitas in put tidak biasa diseleksi. Penurunan penerimaan mahasiswa terjadi di semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hal tersebut lantaran angka partisipasi berangasan nasional masih rendah, sementara Perguruan Tinggi Negeri memperluas Program Studi yang menyedot demam isu yang biasa masuk PTAIS, dan jumlah PTAIS makin banyak. Salah satu implikasi dari kondisi ini, PTAIS membuka kelas jauh untuk mengejar demam isu dengan mendekatkan jarak antara mahasiswa dengan kampus.
Dampak Dari kecilnya jumlah penerimaan mahasiswa maka menjadikan sulitnya pembiayaan PTAIS, alasannya yakni rata-rata pembiayaan PTAIS tergantung pada dana Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Sedikit sekali, bahkan hampir bisa dikatakan tidak ada, PTAIS yang mempunyai sumber lain yang menjadi kiprah usahanya untuk membiayai kegiatan akademik. Bantuan dari pemerintah belum terbuka, harusnya Pemerintah menyetarakan anggaran bagi perguruan tinggi negeri dan swasta. Terdapat PTAIS yang secara terjadwal menerima alokasi anggaran dari Pemda setempat, terutama yang secara historis kelembagaannya dibidani oleh Pemerintah Daerah.
Dari problematika sarana yang terbatas, input mahasiswa yang kecil, jumlah biaya yang tidak memadai, berimplikasi pada problematika proses akademik. Dari segi kurikulum ditempuh pengurangan SKS hingga batas yang limitatif, dari segi hari perkuliahan dikurangi jumlahnya perminggu, rekruting dosen terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok, tidak tidak mungkin terjadi penyederhanaan dalam proses perkuliahan dan ujian. Yang pasti, darma penelitian masih sangat terabaikan, kecuali dalam penelitian skripsi yang dilakukan mahasiswa. Begitu juga Kuliah Kerja Nyata atau yang sejenisnya sebagai salah satu kegiatan untuk darma dedikasi kepada masyarakat, ditunaikan dalam porsi yang terbatas.[10]
Dalam pada itu PTAIS justru menikmati keterbatasan, walaupun tidak tersedia sarana dan dana yang banyak namun tetap berjuang maksimal dalam proses akademik melalui prosedur yang sesuai dengan standar regulasi untuk mengantarkan para mahasiswa menjadi alumni yang memenuhi kompetensinya.
Problematika di atas berimplikasi bagi problem kualitas yang belum optimal, baik kualitas kelembagaannya maupun kualitas lulusan yang menjadi out put PTAIS. Namun patut disyukuri bahwa berdasarkan hasil pengakuan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, PTAIS menerima pengakuan yang tidak buruk, walau belum banyak yang menerima pengakuan puncak, rata-rata sedang-sedang saja, antara B dan C. Begitu juga lulusan PTAIS, rata-rata menerima job di masyarakat lantaran dominan yakni guru agama yang sudah menerima status sebelum masuk kuliah atau menerima kiprah sehabis lulus, baik sebagai guru, mubalig, pimpinan organisasi Islam, kader politik dan lain-lain. Memang masih banyak alumni yang berorientasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil baik di lingkungan Depertemen Agama atau Departemen lain dan Pemerintah Daerah. Mereka menekuni proses testing yang sudah berulang-ulang namun kebanyakan dari mereka menjadi Guru Honorer.
PENUTUP
Dari pemaparan tersebut di atas sanggup penulis memperlihatkan kesimpulan bahwa pendidikan tinggi ketika ini sudah berkembang dengan pesat, ini tidak terlepas dari manajemen dan kepemimpinan dan kerjasama pihak yang berwewenang dari segala sisi yang dimaksud adalah. Dosen, Mahasiswa, Tenaga non edukatif, Lembaga penyelenggara, Pemerintah, Unsur pimpinan (Rektor, Dekan, Ketua Jurusan/Prodi, Kepala Lembaga, Kepala Biro, Kepala Bagian, Kepala Unit, dan pimpinan satuan kerja lainnya), Alumni, Lembaga lain, Masyarakat.
Seiring berkembang dan majunya PTAIS, tidak terlepas dari aneka macam problem yang merintangi perjalanannya. Permasalahan yang dialami oleh PTAIS sangat kompleks, mencakup infrastruktur, mahasiswa, pembiayaan, proses akademik, dan kualitas lulusan.
DAFTAR PUSTAKA
Yukl Gary. 1994. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta. Prenhallindo.
Marno dan Triyo Supriyatno. 2008. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam.. Malang. Refika Aditama.
R. Djokopranoto & R. Eko Indrajit, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset, 2006,
Furchan, Arief, 2004. Transformasi di Indonesia.Yogyakarta: Gama Media.
Indrajit, R. Eko. 2006, Manajemen Perguruan Tinggi Modern (Yogyakarta: Andi Offset.
www.beritamakasar.com. juga baca di http://alumnigontor.blogspot. com/2008/06/problematika-ptais. html
mamapayish-online.blogspot.com/search?q=15/problematika-pendidikan-tinggi/.
[2] . Gary Yukl. Kepemimpinan Dalam organisasi. (Terj, Jusuf Udaya). Jakarta. Prenhallindo. 1994. Hlm 2
[4]. Marno dan Triyo Supriyatno. Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam. 2008. Malang. Refika Aditama. Hlm 22.
[6]. R. Eko Indrajit & R. Djokopranoto, Manajemen Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Andi Offset, 2006, hlm.36
[7] . Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3859, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 60 Tahun 1999 ihwal Pendidikan Tinggi, Jakarta: 1999
[10] . www.beritamakasar.com. juga baca di, http://alumnigontor.blogspot.com/2008/06/problematika-ptais
0 Response to "Analisismanajemen Dan Kepemimpinan Perguruan Tinggi Tinggi"
Posting Komentar